Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4

"Ada perlu apa kau kemari?"

Axa bahkan belum memakai sepatunya, ketika Radit tahu-tahu sudah ada di depan rumahnya. Untung ibu dan ayahnya tidak terlalu bertanya-tanya, pasalnya pagi ini mereka terlihat sangat sibuk dengan pekerjaannya.

"Berangkat bareng yuk," ucap Radit dengan cengir.

"Enggak." Tentu saja Axa tidak semudah itu untuk menerima ajakan tersebut.

Radit yang sebelumnya telah menduga akan ditolak segera mengambil sesuatu dalam tasnya. Langkah selanjutnya yang akan ia lakukan jika Axa menolak.

"Tada. Masih mau nolak?" Radit menyodorkan sebuah kotak yang berisi cat akrilik yang lengkap warnanya.

Mata Axa membulat. Itu adalah cat yang selama ini Axa inginkan, hanya saja tidak terwujud karena tidak punya uang untuk membelinya. Ia menyentuh benda yang masih tersegel tersebut, ia sangat berhati-hati saking takjubnya benda itu sekarang ada di tangannya.

"Radit, ini mahal banget tau."

"Sekarang kita berangkat bareng, ya." Radit tetap dengan cengirannya.

"Kau benar-benar gila. Hanya untuk aku berangkat bareng, kau beli ini?"

"Sudah jam segini, Axa. Nanti di kelas kau tanyakan semua itu?"

Axa melirik ke dalam rumah, lebih tepatnya pada jam dinding yang berada tepat di belakangnya. Benar saja, lima belas menit lagi bel masuk. Buru-buru Axa memakai sepatu dan berpamitan pada orang tuanya.

Di atas boncengan Radit, Axa baru menyadari bahwa semalam ia mengatakan sangat membenci Radit sekarang malah luluh begitu saja hanya karena cat mahal yang kini berada dalam tas Axa. Ia ingin menjatuhkan dirinya saja, mengingat sekarang ia seperti menjilat ludah sendiri.

Salahkan ia yang begitu menyukai benda beragam warna tersebut, sehingga ia langsung kehilangan akal begitu melihat benda itu di depan matanya. Axa hanya perlu berpura-pura tidak mengingat bahwa ia pernah dengan bodoh takluk pada Radit dan besok ia akan kembali menjauhi laki-laki tersebut.

Sampai di sekolah berlantai dua itu, Axa buru-buru turun dan meninggalkan Radit. Namun, sebelum itu terjadi Radit mencekal tangan Axa.

"Kenapa ninggalin aku?"

"Radit. Aku belum siap PR." Axa melepaskan diri dari cekalan itu dan buru-buru lari seperti siswa terlambat ujian.

"Axa ... Axa." Radit meletakkan helmnya dan tertawa dalam hati karena ia tahu sebenarnya tidak ada PR yang di katakan Axa. Laki-laki itu tahu Axa tidak ingin orang-orang melihat mereka bersama.

***

Eca melirik sinis Axa yang baru melewati pintu kelas. Ia menutup ponselnya dan fokus mengamati gadis yang buru duduk itu. Eca menyikut Febi yang seolah-olah tidak peduli. Padahal jelas-jelas tahu bahwa perempuan itu yang paling syok dengan kabar dari Tere di grup chat mereka.

"Makanya bergerak cepat, tuh lihat gadis macem Axa doang bisa dekat dengan Radit."

Febi menghela napas, ia benci untuk kembali diingatkan pada kenyataannya bahwa dirinya benar-benar sangat pengecut. Bahkan ia merasa sangat bodoh karena harus cemburu pada Axa yang tidak bersalah sama sekali.

"Bukan jodoh."

"Radit, bukan artis yang sulit banget diraih. Ia cuma teman sekelas kita, Febi." Eca benar-benar tidak kuasa melihat Febi yang bodoh banget dalam asmara.

"Serah deh Feb, serah...."

Semenit kemudian Tere hadir dengan wajah penuh semangat, dan Febi langsung menyumpal telinganya dengan headset karena tahu mereka akan bergosip saat ini.

"Axa bareng Radit gaes!" teriak Tere keras membuat seisi kelas dapat mendengarnya.

"Wah manusia pendiam itu ternyata makan dalem guys, langsung ngincar ketua kelas lagi!" Tere benar-benar tidak bisa mengontrol mulutnya.

Kini sepanjang hari Axa harus menulikan pendengaran karena gosip aneh mulai menimpanya.

***

Mata bulat beriris coklat tua itu mengamati dinding yang cukup luas di depannya. Sekarang ia tahu seberapa besar lukisan yang akan ia buat. Radi mengoceh ria di depan sana, mengenai rencana pameran seni. Sebagian besar anggota kelas tidak begitu memperhatikan. Sekiranya hanya beberapa yang melihat, di antaranya pengurus kelas dan anak-anak rajin. Terbukti, saat Gio si wakil mengangkat tangan begitu Radit selesai menjelaskan.

"Dit. Menurut aku apa nggak boros banget kalau melukis di situ. Bakalan banyak memakan biaya untuk catnya."

"Enggak, Yo. Uang kas kita kan banyak. Lagi pula kalau lukisan individu itu pakai uang pribadi. Jadi kita hanya akan membiayai lukisan gede ini dengan uang kas."

"Bagaimana, kalau nanti gagal. Ruginya besar banget."

"Jangan pikirin gagal dulu, deh. Sekarang kita coba dulu."

Gio akhirnya menyetujui ide Radit. Dan selanjutnya adalah pembagian tugas. Radit adalah tipe pemimpin yang sangat pintar dalam membagi tugas, yang Axa pikir aneh banget, kenapa baru kelas dua belas ia terpilih jadi ketua kelas. Kalau saja dari kelas sepuluh pasti kelas ini akan jadi unggulan.

"Axa yang akan bertanggung jawab atas lukisan raksasanya."

Axa yang semula tidak berselera sama sekali dengan alat itu langsung melotot mendengar ucapan Radit, ia ingin menentang tetapi buru-buru Radit meneruskan pembagian tugasnya sehingga Axa tidak punya kesempatan untuk bicara.

Pukul empat sore, akhirnya Axa dapat pulang ke rumah. Rencananya ia akan segera mendesain lukisan raksasa itu, sebelum lagi-lagi si pengacau Radit menemuinya.

"Aku mau cepat-cepat pulang Radit!"

"Pulang bareng."

"Nggak."

"Ayolah. Masa Cat mahal itu hanya berlaku sekali aja. Pulang juga yuk."

Axa menggeleng dan menyampirkan tasnya ke pundak. Ia tidak mau lagi dibodohi oleh Radit. Ia malas dengan gosip yang kini tersemat padanya.

"Xa."

"Dit."

Tidak ada dari mereka yang sadar semua mata tertuju pada pertengkaran kecil itu, sebelum Foni berdeham cukup keras yang disusul oleh teriakan "Cie" seisi kelas.

Axa benar-benar merasa habis sudah masa tenangnya sekarang. Ia bergegas pergi tanpa memedulikan Radit yang ngekor di belakangnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro