Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3

Axa menarik napas dalam-dalam sebelum satu tangannya mulai menarik knop pintu ke bawah. Hari ini ia merasa tidak enak sebab tumben sekali ia dipanggil ke ruang guru. Dengan gugup ia berjalan ke meja Bu Zoya, berharap dalam hati ia tidak melakukan kesalahan apa pun yang menyebabkan ia mendapat masalah. Ruang guru sedang ramai-ramainya, mungkin karena ini jam istirahat semua guru tidak mengajar.

Berjalan beberapa langkah dari pintu, Axa dapat dengan segera menemukan meja yang ia tuju. Di sana telah ada Bu Zoya yang sedang memeriksa tumpukan buku, yang bisa Axa tebak adalah buku tugas kelas mereka.

"Permisi, Buk. Ada apa, ya, memanggil saya?"

Bu Zoya melirik sekilas ke Axa dan kembali fokus ke tugasnya. "Silahkan duduk dulu, Xa," ucapnya tanpa mengalihkan pandangan pada Axa.

Beberapa lama tidak ada interaksi, setelah Bu Zoya selesai barulah sepenuhnya ia memberikan atensi pada Axa. Gadis itu sama seperti yang Radit bicarakan.

"Kata Radit kamu tidak mengambil bagian dalam pameran nanti."

Axa meremas roknya, pantas saja perasaannya tidak enak sedari tadi. Ia harus menjawab apa kalau begini, Radit benar-benar pengadu ulung. Ia memutar otak cepat menemukan alibi yang cukup kuat untuk ia sampaikan pada Bu Zoya.

"Saya tidak pandai melukis, Bu." Pada akhirnya alasan super klise itu yang dapat Axa sampaikan.

Bu Zoya sontak tertawa kecil. Pembohong, tentu sebagai guru seni wanita itu tahu kemampuan Axa baik, bahkan sudah mampu dibilang hebat. Ia kemudian merogoh laci kecil, mengambil sebuah buku panjang dan membukanya tepat di hadapan Axa.

"Kamu lihat nilai-nilai kamu. Sebagian besar pas-pasan. Hanya nilai seni yang tinggi. Kamu mau Ibu kurangi nilai seni hanya karena kamu malas ikut membantu."

Axa menggeleng cepat, menatap ngeri Bu Zoya. "Enggak, Bu."

"Kalau begitu, turuti permintaan Ibu. Ambil bagian, dan jangan banyak membantah." Bu Zoya menutup kembali buku nilai tadi sebelum kembi bersuara, "Sudah sana, Ibu hanya mau menyampaikan itu."

***


Axa tidak pernah ingin memulai sebuah masalah terlebih dahulu. Namun, jika ia tetap diam seperti biasanya, ia yakin, lama-lama Radit akan semakin berulah kepadanya. Bergegas selepas dari ruang guru ia kembali ke kelas, tampangnya tidak main-main, siapa pun yang melihatnya pasti tahu ia sedang marah besar saat ini.

Sampai pada kelas, ia mencari-cari keberadaan Radit, yang syukurlah saat itu tidak ke kantin melainkan bersama dua temannya di mejanya sedang bermain game online. Axa memukul keras meja Radit.

"Apa-apaan kau?!"

Ketiga orang yang sebelumnya tidak mengetahui kedatangan Axa, terkejut bukan main atas tindakan Axa itu. Apalagi tumben sekali perempuan itu seperti ini. Biasanya seperti apa pun masalahnya ia akan tetap diam.

"Apa ini benar, Axa?" Tidak memedulikan si Invisible yang sedang berapi-api. Sempat-sempatnya, mereka malah berguyon.

"Mimpi apa aku, Dit. Cewek satu ini bakalan kayak gini." Foni, lantas tidak peduli lagi dengan game-nya, sekarang tengah memandangi Axa heran.

Radit sendiri sangat mengerti atas respon yang dilakukan Axa, memilih untuk pura-pura tidak tahu dan mengikuti respon kedua temannya. Ia juga tertawa alih-alih tersinggung karena dibentak tiba-tiba seperti itu.

Satu lagi di antara mereka tadi hanya tertawa sebelum tenggelam kembali dalam permainannya.

"Radit. Jangan kayak anak-anak. Kenapa kau aduin aku ke Bu Zoya?" Peduli setan ia dengan mereka yang tidak peduli bahwa sekarang Axa marah, ia tetap kesal.

"Soalnya, Axa nggak mau. Itu kan kewajiban sebagai penghuni kelas ini."

"Tapi nggak gitu."

Radit mengendikkan bahu, sebagai responnya pada Axa.

"Aku benar-benar membencimu, Radit!"

Dengan menghentakkan kakinya keras ia membawa amarahnya ke tempat duduknya yang lumayan jauh dari tempat Radit. Radit merasa menang telak, tersenyum bangga.

Ada harapan yang kembali muncul. Asa kembali naik ke permukaan. Kali ini tidak akan gagal lagi.

***

Dua pasang kaki berjalan beriringan. Seorang mengiring sepedanya di samping seorang yang berjalan sambil menenteng tas belanjaan yang sudah penuh. Pagi pukul sembilan itu, matahari telah bersinar dengan sangat terangnya. Namun, tidak mampu mengurangi tawa ke duanya.

"Terima kasih udah menemani aku belanja."

Yang mengiring sepeda menghentikan langkahnya. "Besok sore jangan lupa lagi ya!"

Gadis yang menenteng keranjang langsung mengangguk cepat. Melawati satu blok lagi mereka akan berpisah karena rumah mereka berlawanan arah sampai situ. Ia bahagia setelah melewati masa sulit yang membuat ia tidak punya satu pun teman, akhirnya di lembaran yang baru ia punya teman juga.

"Iya, aku enggak bakalan lupa lagi. Kemarin itu aku ketiduran."

"Yee, tetap saja kau salah. Pokoknya sebagai gantinya kau harus menraktirku besok!"

"Baiklah .... baiklah, Radit."

Minggu itu adalah hari paling menyenangkan bagi gadis itu karena dapat merasakan kembali hidup untuk waktu yang cukup lama bersama luka yang menyelimutinya. Ia bersyukur punya Radit yang tidak pemilih dalam berkawan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro