Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 13

Sudah lebih dari lima menit ia memelototi layar komputer di depannya tersebut, tetapi tak kunjung menemukan jawaban dari soal yang ia lihat. Kertas coret-coretnya pun sudah penuh penghitungan, tetapi lagi-lagi hasil yang ia dapatkan tidak ada dalam pilihan jawaban. Waktu tinggal sepuluh menit lagi, dengan lima soal terakhir belum terjawab.

Axa sudah belajar dari jauh-jauh hari, pun  tadi malam rela begadang untuk berlatih soal-soal, tadi pagi ia juga sudah kembali menghapal rumus-rumus yang kiranya sering dipakai dalam menyelesaikan soal.

Berhubung ruangan yang Axa pakai adalah ruangan komputer sekolah—ada tiga ruangan yang dipakai untuk UN—di mana ruangan tersebut, space satu siswa dengan siswa lainnya tidak terlalu jauh. Akhirnya ia menolehkan ke samping, melihat Afgan sepertinya sudah selesai mengerjakan ujian.

"Apa?" bisik Afgan menyadari dirinya sedari tadi dilihatin oleh Axa.

Sebelum menyampaikan keinginannya Axa melihat kondisi dulu, pengawas kali ini tipe yang hanya duduk di depan saja tanpa jalan-jalan seperti pengawas hari sebelumnya. perempuan yang hari ini menggerai rambutnya itu tidak yakin akan menyontek, tetapi jujur otaknya sudah buntu.

"Tidak jadi." Axa tidak pernah menyontek sebelumnya, bukan karena ia orang yang paling jujur, hanya karena ia tahu bahwa ia tidak punya seseorang untuk dimintai contek.

Sebagai siswa yang hanya berteman dengan diri sendiri, Axa tidak bisa bergantung pada orang lain. Ia selalu berusaha sendiri, itu sebabnya sejelek-jeleknya nilai yang diperolehnya, ia sedikit bangga karena itu hasil kerja kerasnya.

"Kau belum siap? Nomor berapa?" Ditanya begitu Axa tersentak.

Afgan siswa juara pararel kelas itu tidak pernah peduli pada Axa sebelumnya. Sekarang ditawarkan seperti ini membuat Axa dengan malu-malu menyebutkan nomor-nomor itu.

°°°

"Terima kasih banyak, Afgan. Kalau kau tidak membantuku mungkin aku akan menjawab dengan metode cap cip cup tadi," kata Axa tulus pada Afgan begitu waktu habis dan pengawas telah keluar.

"Yah, enggak apa-apalah, namanya teman, harus saling membantu, kan?" Afgan menepuk pundak Axa dan berlalu.

Teman? Axa masih asing dengan hal tersebut, kendati sudah membiasakan diri sejak semester lalu. Sudah banyak yang berubah semenjak pameran seni itu. Ia yang menjadi banyak bicara, bahkan terkadang ikutan menggosip bareng Eca dan geng, atau Mita yang sering mengajak Axa untuk main ke rumahnya.

Namun, satu masalah yang tidak kunjung selesai sejak saat itu. Ia belum berbaikan dengan Radit, mereka masih saling diam. Axa merasa amat bersalah karena ia tahu tidak seharusnya ia menyalahkan laki-laki itu.

"Kok, masih di sini? Gelombang berikutnya bentar lagi masuk, ayo keluar." Mita menyadarkan Axa dari lamunan, benar saja. Peserta ujian yang berikutnya sudah mulai masuk.

"Diam aja dari tadi, ini ujian terakhir loh, seharusnya senang bukan kusut gitu!"

Mereka berdua sedang dalam proses jalan keluar sekolah, tidak ada acara lagi. Axa juga tidak berminat dengan coret-coret, tradisi setelah UN selesai itu.

Dia dan Amitya sama-sama bernomor absen awal karena nama mereka dari abjad awal. Axa dan Amitya. Sedangkan Radit, R, harus ujian di gelombang yang berbeda.

Axa berhenti melangkah, membuat Mita melakukan hal yang sama. "Kenapa? Ada ketinggalan?"

"Mit ... aku butuh masukkan."

Mita yang peka akan tatapan Axa mengajak perempuan itu duduk di taman sekolah. Pasti ada sesuatu yang ingin Axa ceritakan.

"Silahkan bercerita."

"Kau tahu 'kan kalau aku masih belum berbaikan dengan Radit?"

Mita mengernyitkan keningnya. Barangkali pernyataan Axa terlalu membingungkannya.

"Jadi Axa belum minta maaf pada Radit?"

Axa tersenyum kacut. "Belum."

"Yaudah minta maaf adalah jalan keluarnya!"

Axa mengerti, tetapi bagi dirinya itu hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Antara malu dan gengsi, Axa belum mempunyai rasa percaya diri dan keberanian sebesar itu untuk melakukannya.

"Apa lagi yang Axa pikirkan? Ini hari terakhir ujian loh. Udah nanti kalau Radit selesai ujian langsung samperin,  Mita temenin Axa deh nungguin  doi selesai ujian."

Mita, teman pertama Axa yang paling mengerti dirinya. Entah mengapa perempuan itu selalu tahu apa yang Axa inginkan sebelum ia menjelaskan panjang lebar.

Ia jadi berpikir, mengapa ia terlambat untuk menyadari ada teman yang begitu baik sekelas dengan diri dirinya selama ini.

"Makasih Amityaku," kata Axa merangkul Mita.

Dua jam berlalu cepat, peserta ujian berhamburan keluar. Axa mulai deg-degan sendiri, ia mendadak gugup. Namun, meskipun demikian, ia sudah kukuh untuk menemui Radit kali ini.

"Semangat, Xa." Mita menyemangati Axa sambil mendorong perempuan itu menemui Radit yang baru saja keluar.

Sepertinya Radit sama seperti Axa. Pasti ia pening dengan soal ujian yang jauh berbeda dengan kisi-kisi, terlihat dari ia yang mengacak-acak rambutnya.

Memberanikan diri, Axa memanggil Radit begitu jarak keduanya sudah cukup dekat. Debaran jantungnya semakin cepat, padahal ia bukan ingin menembak laki-laki itu, tetapi tetap saja efeknya sama.

"Bisa bicara bentar?"

Radit mungkin tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Axa tahu-tahu menghampiri dirinya. Selama ini mereka salin jaga jarak, ia sendiri masih mengingat betul perkataan Axa yang mengatakan dirinya membawa masalah pada hidup Axa. Berawal dari itu, Radit tidak lagi mencoba mendekati perempuan itu dan selalu mencipta jarak bila berdekatan.

"Ada apa?"

Setelah mengambil tempat paling sepi—jauh dari keramaian teman-teman mereka yang sibuk merencanakan acara selanjutnya di hari terakhir ujian ini—yang bertempat di depan kelas mereka.

"Aku minta maaf," kata Axa tidak ingin berbasa-basi terlebih dahulu.

"Aku salah menyalahkan kamu atas apa yang terjadi, padahal kenyataannya kamu baik banget sama aku. Maaf."

Entah mengapa melihat Axa mengatakannya sambil tertunduk membuat Radit gemas lalu mengangkat dagu Axa agar melihatnya. "Kalau bicara itu lihat aku."

"Aku udah maafin, kok." Radit yang emang jahil lalu mencubit geram hidung perempuan itu.

"Kok mudah banget?"

Radit tertawa, Axa emang selucu itu. "Jadi Kamu mau berdrama bentar baru aku maafin gitu? Aku harus 'aku enggak terima kamu cuma minta maaf, kamu harus traktir aku makan di starbucks dulu baru aku maafin' gitu?"

"Yah ... yah, nggak gitu. Cuma, aku pikir kamu marah sama aku."

"Pernah marah, sih, tapi aku sadar kalau alasan kamu ada benarnya juga."

"Aku benar-benar sadar aku kekanakan banget waktu marah sama kamu! Aku salah paham sama kamu.  Maaf sekali lagi."

"Iya-iya, aku 'kan udah memaafkanmu."

Senyum lebar mengembang di wajah Axa. Ia rasa tidak sesulit itu untuk minta maaf. Kalau saja ia tahu semudah ini, mungkin ia akan lebih awal untuk meminta maaf pada Radit.

"Terima kasih."

Radit mengangguk dan menarik tangan Axa. "Sekarang kita harus merayakan hari  terakhir ujian kita."

"Tapi aku enggak suka coret-coret."

"Siapa bilang mau coret-coret, orang mau makan-makan kok."

---

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro