Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8: Don't Worry, I'm Here

Hai, pipel. Mari kita coba update ini dua kali seminggu. Harusnya aku up kemarin lusa sih. Selasa-Sabtu oke, ya? ;)

---

Gio

Memilih velvet seat di bioskop seperti memesan surga dan neraka pada saat bersamaan.

Di satu sisi, sudah pasti ini kursi paling nyaman. Sialnya, godaannya juga banyak sekali. Entah kebetulan atau apa, semua pengunjung hari ini berpasangan-beberapa di antaranya ekstra bocah. Gue bukannya berniat mengomentari kenapa ada orangtua yang membawa anaknya menonton Deadpool yang jelas sekali bukan tontonan keluarga, walaupun katanya ini betulan 'film keluarga'. My point is ....

"Selimutnya, Yo."

Sip. Gue lupa tadi mau ngomong apa.

Sambil berterima kasih, gue menerima uluran selimut dari Ken, sementara dia sudah mengatur posisi lebih dulu. Bantal di belakang punggung, kaki sudah berselonjor, dan selimut dia kenakan rapat-rapat. AC di sini lumayan dingin sih, tapi mengenakan selimut sampai menutupi tubuh begitu agaknya bakal membuat gue berkeringat. Ken juga kelihatan seperti berada di kamar sendiri, dan layar lebar nggak lebih dari televisi di apartemennya.

"Dingin banget emang ya?" tanya gue, dan dia mengangguk pelan.

"Emang lo nggak kedinginan? Gue aja ngerasa kurang ini. AC-nya diatur berapa sih?"

Ketimbang pertanyaan, gue rasa yang tadi lebih cocok disebut omelan. Jadi daripada menjawab, gue langsung saja menyelimuti Ken. "Nih, pake. Tapi lo nggak gerah emang?"

"Keringatan sih, tapi asli ini dingin."

"Apa gara-gara sodanya? Tapi tadi mintanya less ice, kan?"

Ken hanya mengedikkan bahu saja. Beberapa orang tampak cukup tertarik dengan selimut gandanya. Ken sih cuek saja. Gue kira dia akan langsung memakan popcorn, itu kebiasannya tiap kali kami nonton ramean. Nyatanya, dia tetap diam dan bergelung. Selimutnya agak bergerak. Tebakan gue, dia sibuk menggesek lengan dengan telapak tangan.

Awalnya gue berniat berdiri, bertanya barangkali AC-nya memang sedingin itu. Tapi, setelah diperhatikan lebih lanjut, kayaknya bukan AC yang jadi masalahnya. Sewaktu gue menjemput Ken di kantor, dia kelihatan baik-baik saja sih. Kemungkinannya sekarang ada dua: dandanan Ken mulai luntur dan memperlihatkan wajah pucatnya, atau efek make up-nya seburuk itu sampai membuat kulitnya seperti nggak dialiri darah.

"Lo sakit?" tanya gue.

Dia menggeleng cepat, hanya saja reaksinya membuat gue curiga. Langsung gue tempelkan punggung tangan gue ke dahi dan lehernya. Panas.

"Lo sakit." Meski dengan kalimat yang sama, kali ini gue melontarkan pernyataan. Ken masih menggeleng, dan pada saat yang sama lampu bioskop dimatikan. Iklan mulai berputar cukup keras, jadi gue harus membungkuk supaya bisa bicara pelan, "Mau pulang aja? Jangan sampai kelar nonton lo jadi kayak zombie saking pucatnya."

"Gue cuma nggak enak badan doang," balasnya, jelas sekali menolak usul gue tadi. "Nggak lucu ya, lo nyuruh pulang sementara udah ngeluarin duit gitu."

"Elah, uang urusan belakangan. Yang penting lo dulu-"

"Nggak mau."

Keras kepalanya Ken ini memang sesuatu banget, for God sake. Gue berniat untuk bangun, tapi dia justru menahan gue. Ketika gue kembali terantuk ke punggung sofa, Ken menempelkan dahinya ke pundak kiri gue. Posisi kami jadi semakin merapat, dan di tengah berisiknya suara iklan, gue bisa mendengar Ken mengomel.

"Jangan bikin gue merasa makin bersalah, sialan. Gue yang ngajak, terus lo malah yang bayarin. Sekarang lo ngajakin pulang lagi? Screw that. Terus aja nggak jadi jalan barengnya."

Gue dibuat nggak berkedip sesaat, terus memandangi kepalanya di pundak gue. Wajahnya tersenyum, tapi bisa gue rasakan napasnya terasa hangat. Shit, Ken, lo bikin gue gila kalau begini! Padahal, niat gue untuk menjemput, membayar, dan semua ini lebih karena gue mau memberi kesan baik sebagai pasangan kencang yang pas. But it seems I was the one impressed by her.

"Yakin nggak mau pulang?" Gue mencoba memastikan, menggunakan tangan kanan gue untuk mengelus rambutnya.

Ken akhirnya mengangkat kepala, kemudian menggeleng pasti. "Nggak, sayang tiketnya."

"Lebih sayang mana sama kesehatan lo?" Gue balik bertanya.

Dengan cepat dia mencebik. "Udah, nonton aja. Habis lihat Ryan Renolds juga gue pasti baikan. Good entertainment is a good medicine afterall."

"If that were true, yang di rumah sakit itu bioskop, bukan instalasi farmasi," koreksi gue.

"Bawel!"

Ken berdecak sebelum memperhatikan layarnya. Gue sendiri masih ragu untuk membiarkan dia tetap di sini. Sudah pasti lebih baik gue membawanya pulang, atau memeriksa dengan kotak P3K gue di mobil. But then, none of us really move. Masih dengan mode cueknya, Ken memperhatikan layar yang mulai memutar film.

Sementara gue .... to be honest, gue pribadi nggak begitu menyimak filmnya. Karena ketimbang layar, kepala Ken di pundak gue lebih merengut atensi gue.

*

Kenizia

Kalau ada hal yang nggak bisa kulakukan di depan Gio, sudah pasti itu pura-pura nggak sakit.

Sebenarnya, aku sendiri pun menyugesti diri supaya bisa beraktivitas. Sejak tadi pagi aku sudah merasa kedinginan-sesuatu yang rasanya ganjil dirasakan terus menerus, terlebih di tengah panasnya Jakarta. Seharian ini, rasanya suhu Jakarta menjelma sebagai Kutub Selatan.

Not that I ever go there. But you got my point.

Sangat disayangkan, aku nggak bisa menikmati kemunculan Ryan Renolds di layar lebar karena tubuhku meminta perhatian. Niatnya mau lanjut makan, yang ada Gio langsung mengantarku pulang. Begitu sampai di apartemen, aku disuruh mengganti baju sebelum dia mulai memeriksa. Dia juga nggak langsung pulang, melainkan berubah jadi dokter yang mengurus pasien baru. He is technically a doctor, but ....

"Lo nggak pulang aja?" tanyaku. "Biar gue langsung tidur."

"Ngusir?" Dia balik bertanya sembari memasukkan termometer kembali ke kotak P3K yang dia bawa ke apartemenku. "Gue masih ada obat demam nih, tapi lo harus makan dulu."

"Nanti gue makan," balasku cepat.

"Nggak nanti, sekarang," tukas Gio. Dia kelihatan benar-benar ngotot.

Dulu semasa kuliah, aku sering banget sakit karena maag kambuh. Pernah juga sekali kena gejala tifus. Kurang lebih Gio juga bersikap begini. Yah, dia biasanya bawel sih urusan penyakit-aku nggak tahu apa memang semua dokter begitu atau nggak. Tapi, biasanya jatah ngomel panjang lebar itu bagian Risa. Kalau ada dari kami yang sakit, Risa seperti berubah jadi ibu tiri yang mengurung anaknya di kamar.

Namun, sekarang Gio seperti berubah jadi Risa juga.

"Kalau sakit tuh bilang, Ken. Jangan sok kuat. Tadi gue bilang juga mending pulang. Sekarang lo udah panas begini, masih nggak mau makan juga? Pusing gue. Jangan banyak mau, pokoknya makan terus minum obat."

Bahkan, Bunda saja ngomelnya nggak akan begitu.

Gio membuka kemejanya, membuatku bisa melihat kaus putih tipis yang agak menjiplak dadanya. Kemejnanya dia sampirkan di kursi terdekat, dan arlojinya dia tanggalkan di meja kerjaku.

"Lo ada beras, kan?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk saja.

"Paling nggak makan dikit. Gue bikinin bubur."

Tanpa menunggu, Gio langsung keluar. Buru-buru aku meluruskan punggung. "Lo mau masak?"

"Iye," balasnya tanpa berbalik. Aku bukannya meragukan sih. Gio lumayan bisa masak. Tapi, dia benar-benar mau masak karena aku?

"Kalau lo mau makan juga, masak aja apa yang ada!" seruku. Gio berteriak mengiakan tanpa kembali ke kamarku.

Kemudian, kamarku berubah sepi. Kembali kurebahkan diri di kasur, menghela napas dalam, dan berusaha nggak fokus pada denyutan di kepala. Saraf-sarafku seakan mulai peka dan serentak sepakat bahwa aku benar-benar sakit. Sugesti diri pun percuma. Kendati memikirkan keadaanku, yang lebih kucemaskan sebenarnya rapat bulanan besok. Aku harus presentasi perihal dua klienku. Mana bisa aku melakukan itu jika keadaanku saja begini.

Aku harus sembuh. Itu solusinya.

Kupegang kompres gel di dahi, menekannya sedikit sebelum berbalik dan memeluk guling. Apa pun yang terjadi, aku harus sembuh. Malam ini aku lagi-lagi mengacaukan rencana kencanku dan Gio-ugh, is that even can be called a date? Sudah dua kali.

Sekalipun nggak bilang, aku yakin Gio cukup sibuk. Sewaktu menjemput saja, dia bilang baru selesai memeriksa ulang data pasien yang akan menjalani operasi. Kesannya seperti aku kurang menghargai usahanya.

Aku memejamkan mata, memeluk guling erat-erat. Rasa lelap perlahan menyerang. Nyeri di kepala dan sensasi meriang mulai redup, dan aku merasa mulai lega.

"Ken?" Aku membuka mata begitu pundakku terguncang. Begitu berbalik, Gio sudah ada di dekat tempat tidur. "Udah ngantuk banget ya?"

Ada aroma lain tercium. Aku memicingkan mata sejenak, mengubah posisi untuk duduk dan bersandar pada headboard. Gio duduk di pinggir kasur, mangkuk putih berada di pangkuannya. Kulihat juga sudah ada gelas di meja kerjaku. "Mau makan sendiri atau gimana?"

"Maksudnya lo suapin gitu?" Aku menyipit, tapi dia malah mengedikkan bahu tak acuh. "Gue bisa makan sendiri, siniin ah."

Nggak mungkin juga aku mengiakan makan disuap Gio. Dari raut wajahnya saja aku sudah bisa menebak akan ada rentetan kejahilan yang dia rencanakan. Who knows? We're talking about this Giovanni afterall.

Awalnya, selera makanku rendah sekali. Tapi, ternyata buburnya Gio lumayan. Kelihatannya hanya pakai garam dan daun bawang sih. Porsi yang dia berikan juga nggak terlalu banyak, sehingga aku nggak perlu takut kenyang sebelum makanannya habis.

"Lo nggak makan?" tanyaku, sementara Gio tengah menjelajahi rak bukuku. Aku sengaja membeli rak buku sedang agar koleksiku teratur. Belakangan aku agak kesulitan membaca rutin sih, tapi tangan seringkali gatal melihat event atau diskonan buku.

"Nanti setelah elo selesai," katanya. Dia kemudian menarik salah satu novel bersampul tebal. Salah satu koleksi Percy Jackson-ku.

"Mawas diri sekali Anda," decakku kesal. "Nyuruh orang makan, tapi sendiri nggak makan."

Gio menoleh dengan sebelah alisnya yang terangkat. "Siapa suruh sakit."

"Emangnya gue mau?"

Gio malah tersenyum. "Udah, lo makan duluan aja. Tadi gue lihat ada roti sama Nutella di dapur. Nanti gue cemilin itu aja."

"Awas sampai lo cemilin Nutella doang," aku langsung memperingati, yang dia balas dengan anggukan malas.

"Iya, Kanjeng."

Ledekannya itu membuatku langsung melempar bantal kecil yang ada di dekatku. Sayangnya, tenagaku nggak cukup dan Gio menangkapnya begitu mudah. Dia geleng-geleng, lantas berjalan mendekat.

"Udah selesai makannya?" Dia menunduk melihat mangkukku, lantas menyengir. "Enak ya masakan gue?"

Aku mencebik. Yah, lumayan sih, tapi cengirannya itu membuatku malas mengiakan. Kubiarkan saja dia mengambil mangkukku, gantian menyodorkan gelas juga obat yang bungkusnya sudah dia sobek. "Minum dulu nih. Habis itu sikat gigi, terus tidur."

Sekarang dia persis kayak Bunda.

Usai meminum obat, aku beranjak ke kamar mandi untuk sikat gigi. Begitu keluar, aku langsung bergelung dalam selimut. Keluar sebentar saja membuatku kedinginan lagi.

"Ya udah, sana pulang," tukasku cepat.

"Jahat banget anjir," protesnya.

"Lo bukannya lagi persiapan buat operasi?"

Bukannya menjawab, dia justru menyentuh leherku dengan punggung tangannya. "Moga nanti pagi panas lo turun."

Gio meluruskan punggung, menyambar kemejanya tanpa memakainya kembali, lalu mengantongi arlojinya.

"Gue merasa jadi anak kecil kalau dirawat sama lo," kataku pelan.

"Aura kebapakan gue kuat banget ya?" Dia terkekeh sendiri. "Berarti udah ada lah ya modal gue buat jadi suami sama bapak? Tinggal nunggu calon istrinya yakin aja."

"Ngaco lo!" Aku berdesis, tapi memilih untuk berbalik memunggunginya. Entah itu sindiran atau bukan, dia membuat pipiku menghangat. Sial!

Gio masih terkekeh, dan kurasakan tangannya menepuk pundakku beberapa kali. Sebelum aku berbalik dia sudah lebih dulu berkata, "Good night, Ken."

Dan suara terakhir yang kudengar adalah pintu yang tertutup pelan.

*

Ketika bangun, tubuhku terasa jauh lebih baik. Obat dari Gio ternyata cukup ampuh. Paling nggak, sarafku mulai damai, dan aku bisa berjalan tanpa merasa kepala berdentam kuat.

Mungkin karena tidur terlalu cepat-yes, pukul 8 malam masih terbilang sore, biasanya aku bisa tidur paling cepat pukul sepuluh atau bahkan tengah malam-aku mendapati diri bangun sementara langit masih gelap. Jam dinding di kamarku mengarah pada angka 4.

Seingatku, tadi malam Gio sudah pulang. Dia mengambil arloji dan kemejanya sekaligus gelas dan mangkuk buburku. Pintu apartemen otomatis terkunci dari dalam setiap tertutup, jadi Gio bisa langsung pulang. Lagi pula, kemarin bukan pertama kalinya dia berkunjung ke sini.

Aku keluar dari kamar dan langsung ke dapur untuk minum. Awalnya, aku berniat tidur lagi, tapi begitu keluar dari pintu dapur, barulah kusadari dugaanku salah. Gio sama sekali nggak pulang. Dia berbaring di sofa ruang tengah yang membelakangi pintu kamarku, menjadikan kemeja sebagai selimutnya. Lengan kanannya terangkat dan menutupi wajahnya.

Dia ... tidur di sini? Dari tadi malam?

Mau membangunkan pun aku enggan. Pelan-pelan aku mendekat, mendengar napasnya yang agak kencang. Ada beberapa lembar kertas bertumpuk di meja. Meski nggak terlalu terbaca karena lampu di ruang tengah mati-yang dinyalakan Gio hanya lampu dekat dapur-bisa kulihat tulisan VATS sebagai judul paling atas, diikuti beberapa gambar dan keterangan dalam bahasa Inggris. Dia belajar sebelum tidur gitu?

Duh, Gio. Padahal lo bisa pulang. Rasanya aku seperti punya babysitter betulan. Dia bahkan nggak aku bayar untuk melakukan semua ini. Aku geleng-geleng, tanpa sengaja menyenggol sikunya dengan pinggangku. Dia sedikit terbangun dan melenguh pelan.

"Ken?"

Meski menyebut namaku, suaranya pelan banget. Segera aku berlari ke kamar, mengambil selimut dari lemari, kemudian merentangkannya ke Gio, menutupi kaki hingga setengah dadanya.

"Sorry, Yo. Tidur lagi aja," tuturku. Niat mengomel karena dia tidur di sofa alih-alih pulang kusingkirkan dulu. Gio jelas lebih membutuhkan waktu istirahat daripada dimarahi. Lagi pula, dia sudah membantuku. Nggak etis kalau aku ngusir-sekalipun bukan itu maksudku.

Entah dia mengigau atau nggak, tapi bibirnya menyunggingkan senyum lesu sebelum dia memejamkan matanya kembali. "Thank you."

Aku menggeleng, merapikan sedikit rambut di dahinya, dan merasakan dorongan kuat untuk tersenyum. Mungkin mencoba membayangkan hidup bersama Gio nggak seaneh dan semengerikan yang kubayangkan sebelumnya. []

---

P.s: cerita ini juga diunggah di gwp.id dan satu bab lebih cepet ketimbang di Wattpad. Yang pinisirin buat baca lebih dulu bisa baca di sana juga. Tinggak buka link-nya terus cari Mismatch. Jangan lupa buat akun dulu, supaya di sana views sama vote-nya kehitung sama sistem.

P.p.s: Gratis kok baca di sana. Sans. Aku publish di sana karena ada beberapa peluang dinotis editor 🙈
Aku nanem harapan banget lewat Gio-Ken ini LOL

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro