Chapter 7: Dangerous Playground
Mas mantan udah selesai (publishnya belom sih), jadi aku bisa mulai bagi waktu lebih ke sini. Sekalipun masih riweuh sama urusan kampus dan upcoming project. Selain weekend, ada saran enak update hari apa?
P.s: jangan bilang tiap hari ye. Dipastikan itu mimpi belaqa~
Kenizia
Aku tahu Jakarta masih sama seperti seminggu sebelum aku pergi ke Bandung, anehnya aku merasa ada yang berbeda begitu aku kembali. Entah karena adanya perubahan kecil yang nggak aku sadari dari sekitarku, aku yang terlalu menikmati cuti—untuk alasan satu ini rasanya mustahil sih—atau karena satu orang. You know who.
Kelihatannya alasan terakhir lebih masuk akal. Dari semua hal, perubahan Gio yang paling kusadari. Kami memang sering pergi bersama. Namun, aku belum bisa langsung terbiasa menerima ajakannya untuk jalan setelah kerja, dan ajakan itu bukan dia lemparkan ke grup. Melainkan langsung ditujukan padaku.
He is my best friend, but for particular reason now he feels like a stranger.
"Santai aja," komentar Gio. Dia mendorong bakmi yang sudah dia campurkan ke arahku, menukarnya dengan milikku yang belum tersentuh sama sekali. "Gue ngajak lo makan, bukan terjun ke jurang."
Andai dia tahu semua tindakannya belakangan ini membuatku merasa baru saja terjun. Aku hanya nggak tahu persisnya ke mana aku akan jatuh, jurang atau neraka. Keduanya sama-sama mengerikan.
Sebenarnya Gio nggak separah itu sih. Perumpaan tadi agak berlebihan.
Aku menggumamkan terima kasih sebelum menyantap bakmiku. Gio pun begitu. Dulu, makan berdua nggak akan sehening ini. Seolah-olah satu tarikan napas bisa memunculkan berbagai topik obrolan. Gio bisa tiba-tiba menyeletuk dan mengucapkan hal bodoh, lalu aku tertawa karenanya. Semuanya seakan berubah sekarang.
Memikirkan ini membuatku makin takut. Apa kami akan terus canggung begini?
"Ken." Aku mendongak begitu dia memanggilku. "Ngobrol ngapa?"
"Kasih bahan dong makanya," balasku. Niatnya mau jawab baik-baik, aku malah kesal duluan karena ekspresi wajahnya. Nyebelin banget!
"Kirain lo diam karena nggak mau ngobrol sama gue," tukasnya lagi.
"Lah, tapi lo suruh gue ngomong. Gimana sih?"
Aku menyipit, tapi setelahnya sadar orang yang menempati meja di belakang Gio menoleh ke arah kami. Sekumpulan anak-anak berseragam putih abu-abu. Ketika aku melihat mereka, dengan cepat mereka langsung membenarkan posisi. Ada bisikan-bisikan kecil terdengar.
"Tuh, digosipin lo sama anak ABG," celetuk Gio. Dia hanya menggerakkan kepala sedikit untuk menunjuk. "Jangan bawel-bawel amat makanya."
"Siapa yang bawel coba—"
"Nah, kan."
Aku mengernyit, nyaris membalas tapi memilih untuk bungkam. Gio malah tersenyum sengak. Ditambah lagi dua alisnya yang naik turun itu. Pengin kucopot!
See? Daripada jadi suami istri, bukannya kami lebih cocok jadi musuh bebuyutan. Nggak ada manis-manisnya.
Begitu aku mendengkus, Gio justru tertawa. Aku sampai malu mendengarnya. Dia justru geleng-geleng sebelum berkata, "Just be the usual you. I like it better."
Strangely, his stares feels soft. Ekspresi angkuh sebelumnya sama sekali nggak berjejak. Satu tangannya meraih tanganku tanpa mengalihkan pandangan, ibu jarinya mengelus punggung tanganku. Aku sering menggenggam dan digenggam tangan ini. Konyol rasanya sentuhan sekecil ini membuat dadaku berdebar.
"Ehem."
Spontan aku menarik tanganku, menoleh ke belakang dan menemukan sosok familier. "Melissa?"
Shit. Shit. Shit. Kepalaku mulai mengabsen semua umpatan yang kuketahui dalam kepala. Namun, Melissa santai saja menempati kursi kosong di sampingku.
"Lho, lo udah di Jakarta?" tanya Gio. Reaksinya kelewat santai, seakan sudah menduga kedatangan Melissa.
"Baru nyampe kemarin," balasnya. "Baru aja padahal mau ngajak makan bareng. Ternyata ...."
Melissa melirikku, membuatku spontan meraih teh manisku, menenggak cepat. Dia justru menepuk pundakku sebelum menoleh ke arah Gio. "Sumpah, Yo. Kalau dia kenapa-napa, lo langsung gue jadiin kambing guling."
"Gue hanya ngajakin dia makan, anjir," Gio membela diri. "Anak orang bukan gue racunin."
"Lamaran lo tuh racun!" Melissa mendelik, kemudian menoleh ke arahku. "Kalau dia macam-macam, langsung tusuk aja. You know men's weakness point. Udah gue ajarin."
Sekalipun anaknya supel, Melissa dulu termasuk kaum 'anti-cowok'. Pasti di masa SMA kalian, ada satu atau dua orang terdekat kita yang kelihatan hesitant sama hubungan romantis dengan lawan jenis, tapi jadi orang pertama yang punya pacar juga. Well, that's basically Melissa. Jurus melindungi diri dari cowok pun hasil pemikirannya.
Gio langsung meringis mendengarnya. Alih-alih memikirkan teori Melissa, fokusku tertuju ke arah lain. "Lo tahu, Mel?"
Dia langsung mengangguk. "Gio nanyain lo ke gue. Pas gue tanya kenapa, baru deh dia cerita. Emang gila sih anak ini. Lamarannya persis kayak tahu bulat."
"Kok rasanya gue jadi salah banget?" Gio protes.
"Emang iya!"
Respons Melissa barusan membuatku spontan tertawa. Semua momen canggung mulai membaik dengan kehadiran dan omelannya. Mereka berdua memandangiku, jadi aku mengibaskan tangan di depan wajah. "Sori, ngakak aja ngelihat kalian."
Awalnya Gio berjengit, tapi lama-lama ikutan senyum juga. Seorang waiter juga datang ke meja, mengantarkan pesanan Melissa. Dia kemudian pamit ke toilet.
Tepat setelah kami tinggal berdua, Gio kembali bersuara, "Butuh waktu buat terbiasa ya?"
Aku menatap Gio bingung. Celetukannya itu terlampau tiba-tiba. Namun, dia nggak bicara lagi. Satu-satunya yang dia berikan hanyalah senyuman, yang anehnya kelihatan ganjil.
Beberapa menit kemudian Melissa sudah kembali bergabung dengan kami. Dia mengotak-atik ponselnya sebentar sebelum meletakkannya ke tengah meja, membiarkan aku dan Gio melihat. "Geez, asyik banget mereka berduaan di Tokyo."
"Bombardir suruh bawa oleh-oleh, Mel," Gio menimpali.
Sesi marah-marah Melissa tampaknya sudah selesai, karena sekarang dia dan Gio sibuk membicarakan pasangan newlywed itu, sementara aku hanya diam karena menyadari sesuatu. Mungkin itu yang Gio maksud sebelumnya.
Aku lupa. Harusnya ini jadi kencan untuk kami berdua.
*
Gio
Things is definetely went far from the plan.
Gue sadar mengubah langsung keadaan di antara gue dan Ken bukanlah perkara mudah, tapi gue juga nggak menyangka akan sesulit ini. The-talkactive Ken berubah jadi just-shut-up Ken. Kenyataannya, kehadiran Melissa justru membantu situasi jadi lebih baik, sekalipun hal itu juga membuat sore ini nggak bisa dikategorikan date.
Kami menghabiskan kurang lebih dua jam untuk makan, mengobrol, juga Skype-an dengan Risa dan Adit. Masih asing melihat mereka berdua nggak sekadar sahabat, tapi suami istri. Jangan salah paham. Gue bahagia, tentu saja, hanya belum terbiasa.
Atas permintaan dari Ken juga, Melissa setuju untuk diam dulu soal apa yang terjadi di antara gue dan Ken. "I just hope both of you would be okay. Gue senang kalian bareng-bareng, it's just ... kagetnya masih ada aftertaste."
Meski awalnya Mel marah-marah—not to mention teriakan dia di telepon minggu lalu, membuat gue mempertimbangkan untuk mampir ke dokter THT atau nggak—dia cukup mendukung gue dan Ken. Satu hal yang mengganjal bagi gue hanyalah ucapan terakhirnya sebelum kami pulang.
"Honestly, gue masih nggak paham, Yo. Gue sayang sama Ken dan elo, dan semoga pilihan ini tepat buat kalian berdua," katanya. Ken sedang mengangkat telepon dari Bunda dan sedikit menjauh dari kami. "Ini nggak ada hubungannya sama Risa dan Adit, kan?"
Pertanyaannya itu membuat gue terkejut. Kenapa bisa Risa dan Adit masuk dalam topik ini? Apa Ken yang cerita?
Apa pun itu, Mel nggak mengatakan apa pun. Dia hanya menepuk pundak gue, dan ketika Ken selesai teleponan dengan Bunda, dia kemudian pamit.
And then, here we are. Gue menyetir, Ken di samping gue, dan keheningan yang jadi tamu nggak diundang tapi terlalu betah di antara kami. Ken sibuk berkutat di ponselnya, entah urusan apa. Mau ngajak ngobrol pun gue jadi ragu.
"Sorry, Yo."
Gue menoleh sebentar. "Maaf buat apaan deh?"
Ken mengunci ponsel, memasukkannya kembali ke tas di pangkuannya. Ada helaan napas gusar lolos dari bibirnya. "This ... rasanya memang masih agak canggung. Niatnya mau makan berdua, tapi jadinya ngobrol sama Melissa." Bibirnya merapat sesaat, kemudian di menoleh ke arah gue. "Kesannya lo jadi buang-buang waktu."
Mendengarnya mengatakan semua itu setelah sekian lama diam membuat gue terpana. Dia mikirin gue dong ya?
"Kita berdua nggak ngira Mel bakal ada di situ," balas gue, kembali memusatkan perhatian ke jalanan, berbelok untuk masuk ke kawasan apartemen Ken. "Lagian, kalau nggak ada dia, bisa jadi kita berdua canggung terus."
"Sorry."
"Sumpah, aneh banget lo minta maaf terus." Gue terkekeh, dan Ken langsung mendengkus.
"Serius nih, ah!"
Senyum gue melebar. Gue memberhentikan mobil lebih dulu di drop point, supaya bisa mengobrol lebih leluasa. Gue menyerong untuk bisa menatap Ken. "Iya, tahu. Kan, gue juga udah bilang kita butuh waktu buat terbiasa. We eventually will, tapi mungkin bukan sekarang. Selama lo memberi gue kesempatan, artinya kita masih punya waktu. Kita bisa makan—"
"Nonton," sela Ken tiba-tiba. Gue mengerjap beberapa kali.
"Nonton?"
"Weekend nanti, kita nonton. Atau pas kapan lo kosong. Terserah. Ada film baru bulan ini."
Gue nggak yakin itu tawaran atau bukan, karena Ken bicara begitu terburu-buru, seperti mendengar suara robot. Tapi, begitu melihatnya menunduk, gue sadar kalau itu benar-benar tawaran. Dia mengajak gue duluan, dan itu membuatnya malu.
Realisasi itu membuat gue tersenyum. "Sure. Nanti kabarin ya mau nonton apa. Gue usahain ada waktu buat jalan bareng."
Ken manggut-manggut, menggumamkan oke pelan. Mau nggak mau gue tertawa dan mengacak puncak kepalanya.
"Gih, masuk. Orang kantoran harus bangun pagi," ledek gue. Agak nggak tahu diri sih, mengingat jam kerja gue bisa jauh lebih buruk dari sekadar 'masuk pagi'.
Ken menepuk lengan gue, tapi nggak protes lebih lanjut. Lantas dia beranjak, turun dari mobil gue. "Safe drive, Yo. Nanti chat kalau udah pulang."
"Sip."
Yang begini bisa gue bilang progres nggak sih? []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro