Chapter 3: Imagining Us
Alohaaa. Kembali lagi. Anyway, routine update aku buat jadi weekend, entah itu malming/mingmal. I really want to update fast, tapi perlu nabung dan liat jadwal kosong dulu wkwk. Hopefully soon.
Anw, selamat membaca~
Gio
Meskipun jomlo, gue merasa cukup mengenal pernikahan.
Pernyataan yang agak aneh, gue tahu. Tapi percaya deh, akan ada saatnya lo memasuki fase di mana lo mengetahui sesuatu tanpa perlu benar-benar melakukannya. Berkat bantuan umur yang sudah kepala tiga, banyak banget pernikahan yang gue hadiri. Entah itu dari teman SD, SMP, SMA, kuliah, atau bahkan sahabat gue sendiri yang tinggal menghitung minggu.
Dari semua pengalaman itu, gue belajar satu hal: nggak ada istilahnya datang dengan tangan kosong. Apalagi kalau lo dan mempelai cukup dekat. Amplop juga bukan solusi tepat.
In this case, yah lo tahu sendiri.
Sialnya, ternyata mencari kado pernikahan lebih sulit daripada kado ulang tahun—yang itu saja sudah cukup sulit. Dikarenakan kemampuan yang cetek inilah, gue membutuhkan bantuan orang lain. Setelah mencocokkan jadwal dan gue dapat libur sewaktu weekend, kami memutuskan pergi ke IKEA Alam Sutera.
Menurut Ken, lebih cocok memberikan sesuatu yang bisa dipakai dalam jangka panjang, semacam perabot atau alat elektronik. Kami berdua ditambah Melissa setuju untuk menyatukan kado. Lebih tepatnya uang sih. Berhubung Mel masih di Pontianak, akhirnya keputusan pun jatuh pada gue dan Ken.
Well, it's actually Ken alone.
"Gue serahkan semuanya sama kalian," kata Melissa di ponsel gue, sekalipun bukan gue yang memegang. Yang ditelepon sih gue, tapi yang asyik ngobrol justru dia dan Ken. "Eh, tapi lihatin Gio ya, Ken. Nanti yang ada dia beliin set PS buat Adit."
"Hei!" gue menegur. Memang sih gue sama Adit sering main playstation bareng dari SMA, tapi gue juga tahu yang seperti itu mana bisa dijadikan kado pernikahan.
Melissa cekikikan saja di ujung sana sebelum melambai sebagai tanda pamit. Ken mengakhiri telepon duluan dan menyodorkan ponsel kembali ke gue. "Mau lihat-lihat kulkas dulu nggak? Kayaknya lumayan buat dikasih ke mereka."
"Yakin mau kulkas?" tanya gue.
Ken hanya mengedikkan bahu, kelihatan ragu. Yakin deh, dia juga pasti memikirkan hal yang sama dengan gue. Bersahabat dengan Adit selama 13 tahun lebih cukup bagi kami untuk sadar Adit bisa beli kulkas sendiri, mungkin puluhan.
"Dilihat dulu aja deh," tutur Ken. Pandangannya seperti mengelilingi ruangan, mungkin mencari tempat peralatan elektronik.
"Gue kira lo ngajak ke IKEA karena biasa belanja di sini." Langsung gue pegang tangannya dan berjalan semakin ke dalam. Gue jarang belanja furnitur dan alat-alat begini sih, tapi tempatnya nggak begitu asing. Terakhir gue ke sini mungkin tahun lalu, sewaktu Om Arsyad dan Tante Karin bilang mau cari sofa, jadi gue yang mengantar. But please note, gue nggak familiar sama hal-hal kayak begini.
Untungnya, gue benar. Berbagai kulkas berderet di dekat dinding, mulai dari yang tingginya sepinggang gue, sampai yang ukurannya sebesar gue dan Ken disejajarkan. Ken sudah lebih dulu mendekati salah satu kulkas dua pintu yang berwarna merah, ada ukiran berwarna silver di pegangannya.
"Ini cakep sih," kata Ken. "Risa suka warna merah, kan?"
"Tapi yang ini terlalu terang. Dia biasanya demen yang gelap gitu," gue mengomentari. "Katanya yang gelap-gelap gitu lebih menggoda."
Percayalah, penjelasan gue bukan dibuat-buat. Begitu persisnya yang Risa bilang. Ken langsung terbahak. "No wonder dia nyembunyiin hubungan gitu. Yang gelap-gelapan memang lebih menggoda dan menantang."
Gue sampai geleng-geleng mendengarnya. Perempuan di samping gue ini otaknya memang ajaib banget, duh Gusti. "Konteks gelapnya udah beda dong. Kalau gitu sih mending Risa jadi simpanan aja, tanggung amat gelap-gelapannya sama sahabat sendiri."
Anehnya, gue malah dipukul. Nggak sakit sih, tapi sepasang pasutri—yah, kelihatannya begitu karena mereka gandengan—di dekat kami langsung menoleh dan berbelok untuk menjauh. Dari cara mereka menatap kami sebelumnya, rasanya gue bisa membayangkan salah satu di antaranya berbisik, "Lihat tuh, beli kulkas aja sampai berantem."
"Ken, please. Gue nggak berniat terkenal dengan kekerasan begini," tegur gue. Sayangnya, yang gue tegur hanya mendengkus sebelum melanjutkan langkahnya ke jejeran kulkas yang lain, sementara gue mengekori dari belakang.
Selama berkeliling, Ken kelihatan super serius mempertimbangkan. Pada saat seperti inilah gue semakin yakin kalau kaum Hawa memang punya kebiasaan soal berbelanja: melihat-lihat, tapi nggak berhenti sekalipun sudah berkomentar "ini bagus nih". Beberapa kali Ken bertanya pendapat gue sebelum lanjut menjelajahi alat-alat elektronik lainnya. Don't judge me for being sucks at this kind of thing, okay? Sudah gue bilang semuanya ini terserah kepada Ken. Masalah uang urusan belakang.
Entah sudah berapa lama kami berkeliling, dan berapa banyak persisnya barang yang kami periksa, tapi Ken masih belum puas. Sebelum berpindah dari area elektronik ke mebel dan furnitur, dia justru sibuk dengan ponselnya. Hampir saja dia menghalangi ibu-ibu yang melintas dengan trolley, jadi gue tarik tangannya supaya dia sedikit mundur.
"Jangan nunduk mulu makanya. Lagi nge-chat sama Melissa?" tanya gue.
Ken langsung menggeleng sembari menyodorkan layar ponselnya, memperlihatkan hiasan seperti personalized art bergambar mempelai dengan nama yang bisa di-custom. "Kalau ngasih ini gimana?"
"Cuma ngasih hiasan doang?" Gue mengernyit, yang langsung Ken balas dengan bola mata yang berputar, seakan-akan pertanyaan gue tadi konyol. Bukankah ide dia yang konyol? Bukannya bermaksud menilai sebuah pemberian dari harga, tapi ... yakin hanya mau ngasih begituan?
"Ini tambahan dong, gue nggak sepelit itu," celetuk Ken kemudian. "Kita coba tanya kulkas merah yang tadi ada warna lain atau nggak, kalau ada kita beli yang itu. Tapi, kan, biar ada yang khusus gitu jadi jangan ngasih kulkas doang."
"Ya elah, bilang dong. Gue mana ngarti," balas gue defensif. Penjelasannya tadi baru membuat usulnya lebih masuk akal. Gue akhirnya manggut-manggut saja. "Bebas deh, lo atur aja."
"Gue pesan kalau gitu ya?" Ketimbang pertanyaan, kalimat tadi lebih seperti gumaman. Jemari Ken sudah meluncur kembali ke ponsel, dan selang sepersekon berikutnya berkata, "Sip, udah. Sekarang kita tanyain kulkas."
Gue pikir kami bakal berbalik sebentar untuk kembali ke kulkas yang tadi, barangkali ada pertimbangan atau apa. Namun, Ken sudah melangkah lebih dulu untuk mencari petugas di toko. Begitu menemukan seorang pramuniaga di dekat deretan kasur, Ken langsung mendekat. Dan, yah, lagi-lagi gue hanya bisa mengekori.
Apa mending gue tadinya diam saja di mobil? Rasa-rasanya gue seperti anjing yang mengikuti majikannya, minus rantai dan gonggongan.
"Sorry, Mbak, saya mau tanya dong," terdengar suara Ken yang super ramah pada si pramuniaga.
Here is some fun facts, people. Setiap kumpul berlima, Ken bisa dibilang yang paling jutek. Sebelum mengenalnya pun, gue pikir dia tipikal yang bakal mengomel untuk segala hal—dan, yah, memang dia begitu. Tapi, tiap gue melihat dia berinteraksi dengan orang asing begini, gambar dirinya itu terkikis. Ken bisa menyunggingkan senyum manis banget seolah dia jelmaan malaikat yang membutuhkan bantuan. Nada bicaranya jadi lembut banget, dan orang nggak bakal menduga aslinya dia pecicilan dan gampang memukul atau mencubit orang. Unique yet terrifying.
Ketika Ken menjelaskan keperluannya soal warna kulkas yang dia maksud, pramuniaga perempuan yang jadi lawan bicaranya langsung mengangguk, mengarahkan kami berpindah ke area kulkas sebelumnya untuk menunjukkan katalog yang dimaksud.
"Ini aja?" tanya Ken.
"Terserah." Hanya itu jawaban terbaik yang gue berikan. Ken juga tampaknya nggak terlalu peduli, jadi dia langsung memberi instruksi bahwa kulkas berwarna merah marun itulah yang ingin kami bawa pulang. Pramuniaga tersebut segera menganggung. Sayangnya, dia tampaknya belum selesai dengan pekerjaannya.
"Untuk kulkas ini juga kami lagi ada promosi, Bu," kata si pramuniaga pada Ken, senyumnya merekah. Anggap saja gue dukun, tapi firasat gue bilang ada makna lain dari lengkungan bibir itu. "Ada paket peralatan elektronik dari merek ini. Jadinya dapat potongan 200 ribu untuk kulkas sama blender, atau sama 350 ribu buat juicer. Lumayan, kan, kalau Ibu atau bapaknya mau minum jus gitu di rumah bareng sama anak-anaknya."
Anak-anak?
Bentar deh. Mbak-mbak satu ini baru saja bilang kalau gue dan Ken ....
"Wah, gitu ya, Mbak." Ken justru manggut-manggut, kelihatan memikirkan tawaran tadi. Entah terlalu tergoda dengan diskonnya atau nggak terlalu peduli untuk mengoreksi kesalahpahaman yang terjadi.
Gue nggak yakin untuk pilihan terakhir sih, hanya saja di detik berikutnya Ken kembali menoleh ke arah gue dan bertanya, "Kita ambil aja, Pa?"
Pa? As if 'Papa'?
Kepala gue seperti berhenti berputar. Cengo mendadak. Ken masih memandangi gue dengan sebelah alis terangkat, pertanda menunggu jawaban.
"Ambil aja." Itu yang gue ucapkan, karena itu juga satu-satunya yang terlintas.
Awalnya Ken sempat berjengit, sebelum ekspresinya berubah cepat dan kembali bicara dengan pramuniaga tadi. Gue sudah sama sekali nggak mendengar, terlalu terkejut dengan apa yang terjadi.
"Kalau gitu kami langsung ke kasir ya, Mbak?"
Pikiran gue buyar begitu Ken menggandeng tangan gue usai diarahkan oleh pramuniaga. Sekali lagi, improvisasi baru yang berhasil mengantarkan sensasi aneh ke perut gue. Tentu saja ini bukan pertama kalinya gue digandeng perempuan—gue nggak sehijau itu—hanya saja ini bisa dibilang pertama kalinya Ken memperlakukan gue begini setelah menyerahkan peran seorang 'papa' tiba-tiba.
"Lo gila apa gimana, Ken?" Gue menyipit, sekalipun membiarkannya tetap menggandeng lengan gue. Gue bukan mempermasalahkan yang satu itu.
"Lumayan, Yo. Juicer-nya emang mahal. Nyokap gue punya satu di rumah," tuturnya santai. "Biar Risa sama Adit ngira kita hambur-hambur duit."
"Haram jadinya karena lo dapatinnya pakai bohong," gue mengoreksi, tapi Ken langsung menggeleng, menyanggah komentar gue dengan senyum puas.
"Gue bukan bohong, tapi mengikuti asumsi orang," Ken menjawab mantap. "Kan dia duluan yang bilang kita suami istri. Jabanin aja deh sekalian. Rezeki orang baik."
"Orang baik yang bohong?" tanya gue lagi.
"Resek lo ya!" Biar aja dulu ah," sungutnya. "Masa iya mereka nanya buku nikah gitu-gitu? Santai aja. Makin banyak tingkah malah dicurigain."
Gue nggak bisa memastikan, tapi memang ada benarnya juga. Tapi, tetap saja agak mengganjal. "Ada-ada aja lo, Ken. Heran."
"Sekali ini aja deh lo jadi suami gue, Yo. Cuma beberapa menit doang. Keluar nanti kita udahan." Dia menaik-turunkan alisnya dan kembali menyeret gue ke kasir, sementara gue menyodorkan kartu kredit dan tetap diam selagi dia melepas gandegan kami.
Tanpa perlu ditanya, ucapan Ken barusan pasti hanya lelucon asalnya saja. Namun di sisi lain, gue jadi ikut berpikir. Selama apa pun gue bareng perempuan satu itu, belum pernah gue membayangkan kemungkinan kami akan berakhir sama-sama. Sebelum saat ini.
If that happened, how would it be?
Gue jadi teringat pada percakapan singkat tempo hari di kantin rumah sakit. Perumpamaannya sama juga, kan? Seandainya gue dan Ken yang menikah, apa yang bakal terjadi setelahnya?
"Hey!"
Nyaris saja gue tersentak karena tepukan tiba-tiba di punggung. Ken sudah memandangi gue dengan sorot mata anehnya, menyuruh gue untuk tanda tangan pada struk. Kasir juga memandangi gue, tapi gue memilih untuk nggak terlalu memikirkannya, daripada menambah beban hidup.
Begitu kartu gue dikembalikan, gue dan Ken keluar untuk ke area parkiran. Sialnya kami baru sadar di luar hujan. Nggak begitu deras sih, tapi dipastikan bisa membuat pakaian basah.
"Mau nunggu dulu?" Gue menoleh ke arah Ken. Dia langsung menggeleng, tapi tangannya sudah menyilang. Hari ini dia pakai kemeja lengan pendek dan rok selutut sih. Pasti kedinginan. Langsung gue menanggalkan jaket, memakaikannya di pundak Ken. "Pakai dah nih, kasihan gue lihat lo menggigil begitu."
Alih-alih berterima kasih, dia malah menyipit. "Nggak ikhlas banget lo. Kalau dingin pakai aja. Kan nanti juga mau masuk mobil—"
"Lo aja yang pakai," potong gue. "Apa mau dihangatin pakai cara lain? Mau gue peluk?" Seperti dugaan gue, dia langsung mengernyit, seakan-akan kalimat gue barusan merupakan sesuatu yang menjijikan. "Kenapa? Gue jago meluk lho. Tadi aja lo rangkul-rangkul."
"Enyah sana lo!" ujarnya galak.
"Oh, mau pulang sendiri?" Gue menyeringai jahil. Dengkusan Ken langsung menjadi jawabannya. Sialnya, humor gue sedangkal ini ternyata—sekadar membuat perempuan ini kesal. "Mau gue pesanin ojol aja?"
Langsung saja gue dipelototi. "Nggak lucu, kampret!"
Humor gue ini jongkok banget ya? Cengiran gue makin lebar. Selagi tertawa, gue menepuk pundaknya. "Bercanda elah. Gue nggak sejahat itu," kata gue. "Gue suami yang baik kok."
"Pengin dipukul apa gimana sih lo?" protes Ken. "Udah dibilang, setelah keluar kita udahan. Pasutri KW end."
"Dipukul pakai rasa sayang apa gimana?" Dia memang menyipit, tapi gue langsung saja menggenggam tangannya sambil mengangkat alis. "Ya udah yuk, pulang. Nggak lucu kalau yang nerima kulkasnya nanti tetangga lo."
Walaupun marah-marah sebelumnya, Ken nggak menarik diri sewaktu kami berjalan menyusuri gerimis. And to be honest, I kinda like it this way. Gue baru sadar menggenggam tangan Ken ternyata bisa senyaman dan sehangat ini.
Being her fake husband isn't that bad, I guess. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro