Chapter 2: Cute Love Story Hates Me
Aloha! Ketemu lagi sama Padok.
Aku masih nggak tau ini kira-kira jadwal update rutinnya kapan, tapi diusahakan seenggaknya seminggu sekali. Kalau beruntung (dan daku rajin), mungkin bisa lebih cepet. Ada yang mau saranin hari?
-
Kenizia
Selalu ada pertama kali untuk segala hal.
Ketika pertama kali merasakan ASI pahit, pertama kali jatuh dari sepeda, atau pertama kali menjadi cupid ala-ala untuk teman terdekat. Untuk perkara terakhir, kali pertamaku jatuh pada Risa.
Aku ingat banget di kelas 2 SMA, kelas IPA-2 kedatangan murid baru. Anak kelas baru pada tahu begitu Bu Kartika mengenalkannya di jam pelajaran pertama, tapi Risa ternyata sudah mengenalnya lebih dulu. Aku ingat banget waktu itu dia berbisik, "Namanya Adit. Pindahan dari Bandung."
"Kok lo kenal?"
Pipi Risa tiba-tiba bersemu sebelum dia bilang, "Tadi ketemu di depan. Dia terus ngasih jaketnya karena gue ... tembus."
Bagiku—dan mungkin kebanyakan teman yang lain—Adit hanya anak baru yang lumayan asyik. Namun tampaknya Risa punya pemikiran berbeda, sehingga aku terpikir untuk mulai beraksi sebagai mak comblang, dibantu Melissa juga. Waktu itu hasilnya meleset sih, karena kendati jadi pacar, Adit justru gabung di ekskul mading. Sering main juga bareng aku, Melissa, Risa, dan Gio. Sejak hari itu Gio nggak lagi jadi yang paling ganteng, tapi kami semua jadi akur sampai sekarang ini.
Dulu, kupikir aku gagal. Risa dan Adit lebih cocok jadi sahabat. Beberapa kali juga mereka bilang mau jalan sama pacar dan melewatkan makan bareng atau karaoke. Siapa yang menduga kalau 'pacar' yang dimaksud dua curut itu ternyata mereka berdua juga?
"Gue seharusnya bilang duluan ke lo sih," Risa memulai.
Begitu mendapat baju dan permintaan mengejutkan sebagai bridesmaid tadi malam, mana mungkin aku diam saja. Setelah pulang kerja, sengaja aku mampir ke rumah sakit tempat Risa bekerja untuk meminta keterangan langsung. Dia bilang memang masih mengurusi cuti, jadi harus ke rumah sakit. Biar sekalian saja ketemu di sana.
"Sori kalau kesannya sembunyi-sembunyi," tutur Risa lagi. Dari caranya tersenyum saja, aku tahu semua itu serius. They really gonna get married soon.
Aku geleng-geleng, masih kurang percaya sekaligus takjub. "Jadi, udah berapa lama?"
"Sebenarnya dari lulus kuliah." Aku hampir terperangah karena jawaban itu. Sumpah, selama itu? Dan nggak ada dari kami bertiga yang sadar? "Adit ngajak pacaran di situ, tapi gue ngerasa bakal sibuk banget. Apalagi gue lagi masa koas, dan mau langsung lanjut ngambil spesialis. Gue nggak mau nanti putus karena kesibukan gue. And honestly, I didn't expect him to wait that long. Tapi setelah gue resmi jadi dokter anak, dia tiba-tiba lamaran."
Sekarang aku benar-benar ternganga. Dari kami berlima, bisa dibilang memang Adit yang paling sabar. Ibarat keluarga, dia dipastikan jadi ayah dan kami sisanya jadi anak banyak tingkah. Yah, kurasa anaknya jadi tinggal tiga, karena nyatanya Risa sudah lama mengisi peran sebagai calon ibu.
Aku berusaha untuk tetap diam, mengingat kantin rumah sakit cukup padat. Kupijat keningku sebentar sebelum kembali menatap Risa. "So, technically ... kalian nggak pacaran?"
Risa mengangguk kecil, masih tersenyum malu-malu. Seperti melihat dia versi ABG sewaktu pertama kali aku rusuhi soal Adit. "Nggak ada status. Tapi, dia selalu ada pas gue butuh. He's more than a best friend. He's also my best partner.."
Tentu saja aku kemari bukan untuk merusuh dan mengungkapkan ketidaksetujuan. Namun, aku merasa butuh waktu mencerna ini. Sulit untuk percaya nyaris tujuh tahun kedekatan mereka benar-benar tersembunyi, dan tiba-tiba ... boom! You're invited to a wedding ceremony.
"Petak umpetnya jago banget ya?" Aku tersenyum miring, baru menggenggam tangan Risa. "Gue kaget sih, tapi, selamat! Gue ikut senang."
"Thanks to you," balas Risa. "You know what? Adit bilang dia naksir gue dari SMA, apalagi setelah lo bombardir soal gue."
"Adit tuh emang diam-diam langsung serang gitu ya. Dulu aja, gue sama Melissa sampai jungkir balik, respons dia sama aja. Malah bilangnya lo ngingatin dia sama adiknya yang di Aussie. Siapa sih namanya ... Denisse?" Aku menyebut ragu-ragu, dan Risa langsung mengagguk. "Kirain lo sisterzoned gitu."
Waktu aku dan Melissa tahu itu, kami akhirnya memutuskan untuk nggak terlalu gencar. Kasihan kalau Risa tahu. Ketika lambat-laun kami berlima membaur, persoalan perasaan Risa jadi pudar dan menghilang begitu saja. Nggak ada lagi topik itu di permukaan, terlebih Adit yang sering dapat surat cinta dari adik atau kakak kelas, dan Risa kelihatan seperti "ya udahlah biarin, cinta monyet ini".
"The right one comes to those who wait," Risa berucap mantap, mukanya sok dibuat serius. Aku terkekeh sebelum mengaminkan. Walaupun, yah, serius dan berharap dikit bolehlah.
Percakapan kami pun bergulir dengan persiapan-persiapan yang sudah Risa dan Adit jalani. Undangan baru dibagikan pada kami, dan yang lain akan menyusul akhir pekan ini.
"Serius ya, Ken, ngurusin nikah berasa lebih berat dari ngurus pasien," tutur Risa lagi. Dia sampai menghela napas. "Capek banget. Untungnya Denisse punya kenalan WO, terus dihubungin buat bantuin. Gue sama Adit penginnya kan sederhana aja, tapi orangtua kami kompakan bilang nggak usah tanggung."
Kali ini aku terbahak. Omelan seperti tadi sih Risa banget. Dia dan semua kesederhanaannya. "Karena kalian sama-sama anak sulung kali. Jadi, merayakan pelepasan sekaligus party."
"Tapi, kan, pernikahan tuh cuma sehari aja. Gue jadi berasa hambur-hambur uang, padahal kan gue sama Adit juga butuh uang buat ngejalanin 'nikah' betulannya." Risa meringis. "Tapi, yah, tidah orangtua dan mertua udah nggak bisa diganggu gugat. Seenggaknya kalau hidup miskin nanti ada temannya."
Amit-amit sih. Namun, kalau dibayangkan lucu juga. Aku yakin kebanyakan orang mendambakan pernikahan begitu. Bukan pesta yang jadi incaran, tapi komitmen juga keputusan untuk menghabiskan hidup bersama orang lain. "Cinta aja cukup" dipastikan bullshit, tapi susah dan senang bareng-bareng itu salah satu alasan orang menikah, bukan?
"Habis gue nanti, lo ya? Nyusul."
Celetukan tiba-tiba dari Risa kali ini membuatku mengerjap. Dia langsung menyengir lebar, pertanda dia hanya bercanda. Dia pasti tahu bagaimana keadaanku. Nikah cepat? Tak mungkin, oh, tak mungkin.
"Doain aja moga hidup gue jadi kayak putri kerajaan mana gitu, terus ada handsome dude entah dari mana berlutut terus ngelamar gue," balasku nggak kalah nyeleneh. "Gue pasti nyusul."
Risa langsung tergelak, menggeleng-geleng. "Bagian nagih pasangan jatah keluarga lo sih. Tapi, menurut gue nih, lo bisa aja dapat pacar lho. Temannya Melissa yang waktu itu padahal kan cakep."
"Pas makan doi berisik banget. No deh," aku meringis. "Bisa habis dikomentarin Nyokap pas diajak makan ke rumah."
"Lo kan nyari pasangan buat hidup bareng, kan? Bukan cuma buat dipelototin pas ngunyah?"
Pertanyaan Risa tadi membuatku merinding. Ogah banget harus memperhatikan yang kayak begitu seumur hidup. Makin pengin menolak.
"The right one comes to those who wait," aku mengulangi ucapan Risa. "Yah, gue tinggal nunggu aja. Doain aja semoga cepat dapat. Bisa jadi nanti cara gue ketemu jodoh lebih cute dari lo sama Adit. Tapi sih, gue nggak akan sembunyi-sembunyi."
"Sialan!" Risa makin terbahak, tapi kemudian ikut mengaminkan. "Intinya sih, moga lo sama Mel nyusul. It would be so cute pas kita ngumpul udah punya momongan dan anak-anak kita sahabatan juga."
Sekalipun sejujurnya aku berharap, aku juga cukup sadar diri. Cute love story probably hates me, since I never had it even once in my life. There a line between an expectation and a dream. Boro-boro pacaran diam-diam, paling lama saja pacaran tiga bulan terus diputusin karena si mantan menemukan orang yang lebih 'menarik' ketimbang aku.
Nggak semua orang beruntung dalam hal romansa. Kebetulan, aku golongan dengan persentase keberuntungan paling buruk.
Dengan keadaanku yang begini, apa mungkin bakal ada 'cute love story' di hidupku?
"Eh, Gio!" Lamunanku agak terpecah karena suara Risa. Dia mengangkat tangan, melihat seseorang di belakangku, dan aku refleks menoleh. Ternyata ada Gio, mengenakan jas dokter. Satu bungkus roti dan susu kotak muncul di sakunya.
"Ngumpul nggak ngajak-ngajak. Bagusan." Meski kelihatan protes, tetap saja dia duduk di sampingku. "Berdua doang kalian?"
"Habis interogasi, Yo," aku menjelaskan. "Mana bisa gue diam aja setelah dikirim undangan sama gaun kemarin."
Kukira Gio akan ikut memanas-manasi. It's kinda his job in our group. Namun, dia hanya berdecak sambil geleng-geleng, kemudian dengan santai merogoh saku berisi roti dan mulai makan. Tangannya yang lain berkutat dengan ponsel.
"Jangan bilang lo udah tahu juga?" Aku menyipit curiga. Kemungkinan itu bukannya mustahil sih. Ketimbang aku dan Melissa, Risa lebih lama mengenal Gio. Mereka sudah seperti anak kembar, karena sudah kenal dari kecil dan ke mana-mana biasa berdua, sampai akhirnya aku, Melissa, dan Adit, ikut merusuh. Apalagi, semalam dia jarang muncul ketimbang biasanya.
"Gue sama blank-nya kayak lo, Ken," imbuh Gio, tapi masih kelihatan santai. Pandangannya teralih ke Risa. "Masalahnya Om Arsyad sama Tante Karin pun nggak cerita apa-apa. Lo jangan-jangan rahasiain dari mereka juga?"
"Sembarangan lo!" Risa langsung menyanggah. "Bisa dipenggal gue tiba-tiba minta nikah sama orang. Mereka udah tahu. Tapi, yah, gue minta jangan cerita siapa-siapa dulu. Apalagi lo. Nanti bocor!"
"Lagian, pacaran udah kayak ngumpetin rahasia negara," komentar Gio. "Teman lo parah banget dah, Ken."
Senyumku melebar karena logat Betawi Gio keluar. Berbeda dengan Risa yang jadi agak cemberut. "Kalau ngasih tahu takut awkward. Lagian, gue sama Adit bukan pacaran gitu."
"Langsung nikah," aku menambahkan. "Gila, kan? Berasa dapat uang kaget gue, tapi ini versi undangan."
"Lebay ah!"
"Wajarlah kalau kaget, Ris. Bayangin aja deh kalau gue sama Gio yang diam-diam punya hubungan, terus tahu-tahu ngasih kalian undangan. Reaksi lo emang bakal santai aja?"
Risa jadi diam. Sialnya, Gio juga ikutan diam. Dia malah menoleh dengan kening mengernyit.
"Nggak usah sok serius gitu muka lo!" tegurku. "Ini perumpamaan doang kali."
"Yah ... agak kaget sih," Risa ternyata lebih dulu bersuara, jadi aku menoleh ke arahnya. "Tapi, ya udah. Lama-lama kebiasa juga. Soalnya gue udah sering ngelihat kalian bareng."
"Kan barengnya bukan buat jalan begitu, Ris," koreksiku. "Beda."
"But it would be cute though." Yang ada Risa malah senyum-senyum. "Eh, iya. Kalau dibayangin rame juga. Selain gue sama Adit gitu. Barangkali jodoh kalian berdua nggak perlu dicari jauh-jauh. Iya kan, Yo?"
Aku langsung menggeleng. Nggak pernah sekalipun terlintas bakal kecantol sama pria di sampingku ini. Kami memang dekat, tapi itu juga sama dekatnya aku ke sahabatku yang lain.
"Halu lo kejauhan, Ris. Gue sama Gio mana bakal—dih, nih anak malah diam-diam aja." Kusikut Gio pelan, dan dia malah balik memandangiku tanpa membalas apa pun. Tatapan kami berserobok beberapa saat sampai aku akhirnya memukul pelan pipinya. "Tolong, jangan kemasukan pas lagi di dekat gue."
"Yah, habis gimana. Gue sebelahan sama iblis gini." Gio langsung membalas, bahkan menepuk lenganku. "Nggak heran kalau gue kemasukan."
"Ngaco lo!"
Sayangnya sebelum aku sempat menyikutnya lebih kuat, Gio sudah beranjak lebih dulu dari kursi selagi memandangi layar ponselnya. "Gue ditelepon. Kayaknya disuruh balik. Kalau ada apa-apa info aja di grup, ya. Jangan bikin gue jantungan lagi."
Kemudian dia pergi begitu saja, sementara sekilas aku sempat melihat layarnya hanya menunjukkan laman Instagram. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro