Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1: An Invitation

Happy new year's eve! Menjelang yang baru, ada yang mau kenalan nih~ 🙊


Kenizia

"Kapan nikah?"

Aku nggak tahu dua kata singkat itu ternyata bisa mengubah hidup begitu drastis.

Dulu aku sering membaca curhatan orang di social media berisi keluhan-keluhan atas tuntutan dari pertanyaan itu. Kesannya lebay sih, mengingat dari dulu pun aku diajarkan bahwa pernikahan itu hal serius dan butuh yang diak bisa dipaksakan. Cara manusia bukan seperti kucing yang tinggal mengeong sedikit dan menggigit leher, tahu-tahu sudah hamil saja. It's about finding the right person at the right moment.

Awalnya, begitu. Sebelum usia dan lingkungan sekitarku menyerang, membuktikan dua kata diikuti tanda tanya di akhir sudah cukup untuk membuat seseorang kelimpungan.

Berlebihan? Well, kurasa komentar itu lebih cocok diajukan pada keluarga besarku. Seringnya, pertanyaan itu diikuti dengan kalimat keterangan yang penuh tuntutan seperti, "Kamu sudah nggak muda lagi, lho. Makin tua nanti makin susah cari suaminya."

Coba gitu merusuhnya sekalian kasih bantuan atau sodorin cowok cakep, bertanggung jawab, punya pekerjaan yang siap membiayai anak dan istri di depan, juga setia pada Tuhan dan negara.

Itu hanya harapanku sih. Bagaimanapun, aku tahu mencari jodoh bukanlah perkara mudah. Believe me, I've tried. Seringkali diperlukan bantuan dari luar, dan belum tentu sukses juga. Mengikuti teori sih, manusia pada dasarnya memang makhluk sosial yang perlu dukungan dan dorongan dari sesamanya. Dan sejujurnya, aku lebih menikmati peran sebagai pendorong.

Pernah berpikir kalau hidup orang cenderung terlihat lebih asyik dan mudah ketimbang urusan pribadi? Buatku sering sekali. Contohnya saja nih, si financial analyst baru yang akhirnya mengaku naksir senior sewaktu makan siang tadi. Ditambah senior itu temanku sendiri, dan kami bekerja di kubikel yang berhadapan.

Pas banget, kan, kalau aku yang ... you know.

"Van," panggilku.

Perhatian Evan berpindah dari layar ke arahku. "Napa, Ken?"

"Jadi dinner bareng klien malam ini?" tanyaku. Tentu saja ini basa-basi. Aku sudah tahu sendiri karena diceritakan BB alias Bos Besar pagi ini.

Kernyitan Evan menjadi catatan tambahan bagiku. Apa dia yang pikun, atau memang Alin kurang memorable? Padahal anak baru itu kentara banget di kalangan analyst, karena sejak awal masuk sampai sekarang selalu mengenakan rok motif bunga. Apa pun modelnya, pokoknya konsisten deh.

"Alina," akhirnya aku menyebut satu nama. Sayangnya, tetap saja kening Evan berjengit. Tampaknya mendekatkan mereka bukan hal yang mudah. "Yah, nanti lo lihat sendiri deh. Baik-baikin, ya. Kalau bisa berangkat bareng aja buat dinner. Setahu gue dia ngantor juga nggak pakai kendaraan pribadi."

Sejak awal berencana, sebenarnya aku tahu nggak bisa terlalu berekspektasi banyak pada tipikal pria seperti Evan. Selama bekerja nyaris delapan tahun di kantor yang sama, dia juga cukup konsisten menjaga citra diri yang kalem dan cool—dalam artian yang sebenarnya, dingin. Dia termasuk salah satu rekan kerjaku yang minim gosip. Agak bingung juga sih kenapa Alin kepincut sama manusia begini. Alin bilang, "Dia baik banget, Kak Ken. Kelihatan keren juga karena tenang terus."

Well, you can't expect where your heart gonna sail. Somehow it happens before you even realize.

Untuk ukuran wanita dengan pengalaman romansa minim, aku cukup bijak, kan?

Merasa Evan nggak bisa digali lebih dalam—mungkin sekarang bukan waktu yang tepat—aku pun kembali berfokus pada pekerjaanku. Laporanku sudah selesai langsung dikirim ke BB, sehingga aku bisa mematikan PC dan beres-beres. Waktunya untuk santai dan rileksasi, karena kegiatan semacam itu bagi orang keuangan bisa dibilang jarang, apalagi kantorku.

Berhubung minggu ini masih belum terlalu ganas, kuputuskan untuk menikmati waktu santai dulu. Opsi pertama dan yang paling menyenangkan jatuh pada Lima Sekawan versi bobrok. Dari tadi siang, aku sudah mengabari untuk mengajak empat teman sahabatku supaya nonton bareng. Sayangnya, yang paling sering berkicau nggak lain hanya satu orang.

Giovanni Pranaja
Gue kosong nih dari dua jam lalu
Alhamdulillah warga Jakarta masih banyak yang sehat

Kenizia Wiantari
Jemput dong padok :)

Giovanni Pranaja
Maunya. Berangkat sendiri-sendiri dong

Kenizia Wiantari
Yaelah jaad amad sihhh
Ini di kantor gue ada condel nih dua kotak, belum diminum. Mau?

Giovanni Pranaja
Sip, OTW buk

Aku hanya bisa geleng-geleng. Gio memang anomali tersendiri. Seingatku, orang-orang mengenal sosok dokter sebagai pekerjaan paling sibuk. Namun, justru dialah yang paling aktif di grup. Paling sering menolak, tapi kemudian goyah hanya dengan susu rasa kelapa.

Nggak lama setelah aku mengirim pesan tawaran susu itu, beberapa belas menit kemudian dia sudah mengirim pesan dan bilang ada di parkiran pick up point di lantai bawah. Aku segera pamit dari teman-teman yang lain dan menghampiri Gio. Benar saja, mobil Pajero putih sudah terparkir di depan kantor.

"Nunggu, ya, Pak?" tanyaku begitu masuk ke kursi depan, mendapati Gio dengan kemeja Polo merahnya. Di punggung kursi tersampir jas putih yang biasa dia pakai bekerja. "Langsung dari RS? Gue kira lo kosong karena lagi di rumah."

"Butuh duit demi sesuap nasi, mana bisa diam di rumah," balas Gio. Alih-alih menyalakan mesin dan pergi, dia justru memandangiku dengan sebelah alis terangkat, seperti menunggu sesuatu.

Dia memang menunggu. Aku sengaja tersenyum dan menggeleng, menikmati muka sebal ala anak-anak yang pria itu buat sebelum mengeluarkan dua kotak susu yang kujanjikan. Tanpa berkomentar lebih, Gio segera mengambilnya, meletakkan salah satunya di dasbok sementara yang satunya langsung dia minum.

Aku tahu sih susu nggak ada batasan umurnya, tapi sesuatu dalam diriku selalu tergelitik tiap melihat kelakuan Gio yang satu ini.

"Masih kurang nih," Gio memasang tampak sok serius, yang langsung kubalas dengan decakan. "Jauh dekat goceng. Condel dua kotak mana cukup."

"Jangan pamrih, nanti jodohnya susah," celetukku seraya memakai seatbelt. "Pantas aja nggak ada yang betah sama lo, Yo. Ongkos aja ditagihin. Jangan perhitungan gitu deh."

Gio langsung geleng-geleng, menoleh ke arahku dengan senyum meremehkan. "Yang jomlo karatan diam aja deh, nggak usah banyak comment. Kalau punya pacar kan, lo nggak perlu ngerusuhin anak grup atau gue."

Sialan! Malah aku yang kicep sekarang.

*

Gio

Pada dasarnya, sesuatu akan kita sesali setelah menjalaninya. Soalnya, kalau di awal namanya pendaftaran.

I know, lawas banget lawakannya. Tapi, gue juga nggak bisa menyanggah karena memang begitu adanya. Itu juga yang gue rasakan.

Tiap kali menikmati momen santai, sesederhana jalan bareng teman, gue jadi sering bertanya-tanya apa yang gue pikirkan dulu sampai pengin banget jadi dokter? Kenapa gue seniat itu untuk menghabiskan hampir satu dekade demi sebuah profesi? Kenyataannya, bersantai bukan sesuatu yang bisa gue lakukan sering-sering. Mau sebanyak apa pun rumah sakit dan tenaga kesehatan, kenyataannya dunia nggak akan sehat secara menyeluruh, dan pekerjaan gue nggak lantas menjadi lebih ringan.

Nyatanya, bisa nonton ke bioskop merupakan sebuah berkah. Seperti menang undian. Dokter memang banyak, tapi yang bergelut di bidang torakoplastik bisa dihitung jari di tiap rumah sakit. Lo bisa tiba-tiba dapat telepon, diberitahu kondisi pasien yang jauh dari bagus, dan begitu sampai lo diminta berdiri belasan jam untuk menjalankan operasi. And don't get me started with the recidency.

Tetap aktif via Whatsapp masih cukup mudah dilakukan, karena pekerjaan gue pun membutuhkan gue tetap bisa in contact.

Sekalipun kerja punya jadwal, nggak ada istilahnya orang sakit terjadwal. Gue dokter, bukan dukun yang tahu kapan pastinya mengoperasi seseorang. Dalam beberapa bulan terakhir, jadwal gue sepadat jalanan Jakarta, atau bahkan lebih parah. Rasanya konyol sekaligus miris, mengingat dulu gue bisa mengunjungi bioskop beberapa kali dalam seminggu.

"Kapan-kapan kita harus ngumpul semua," celetuk Ken begitu mobil gue berhenti di depan lobby apartemen. Dia langsung membuka seatbelt dan mengambil tas di dasbor. "Sama lo doang mana asyik."

"Ke bioskop itu kan buat nonton film, Ken, bukan ngerumpi," balas gue sambil geleng-geleng. Sewaktu menonton tadi, tiap kali melihat Chris Evans muncul di layar, dia langsung menyenggol gue dan bilang, "Ganteng banget nggak sih dia? Pusing gue lihatnya."

Lagi pula Ken berharap gue menjawab apa? Mengomentari penampilan karakter itu biasanya kerjaan dia dan Melissa.

Namun, harus gue akui berdua saja memang terasa berbeda. Dulu biasanya full team. Gue, Ken, Melissa, Risa, dan Adit. Sayangnya, semakin tua waktu main bareng jadi semakin menyusut. Nggak perlu jauh-jauh dengan yang beda kerjaan seperti gue dan Ken, bareng Risa saja susah banget buat bisa libur di waktu yang sama. Padahal kami bekerja di rumah sakit yang sama.

Omong-omong soal Risa, gue baru ingat hari ini dia nggak ada di rumah sakit. Perawat dari bagian pediatri bilang dia cuti.

"By the way, Ken," gue menoleh, mendapati perempuan satu itu sudah siap beranjak. Betul-betul deh, berasa gue jadi supirnya. "Lo dapat kabar dari Risa? Tumben banget dia senyap di grup."

Ken mengerjap lebih dulu sebelum mulutnya membulat. "Iya juga sih. Emangnya di rumah sakit kalian nggak ketemu?"

"Kata perawat lain dia cuti."

"Kalau gitu harusnya dia bisa ikut kita dong?" Gue nggak bermaksud memancing pertikaian sih, tapi dalam sekejap Ken langsung mendengkus. "Parah nih. Nanti gue coba telepon deh. Giliran cuti malah ngilang. Dasar!" Dia kemudian turun dari mobil setelah menepuk pundak gue. "Tiati lo, Yo."

Kalau nggak kenal Ken, bisa jadi yang tadi gue anggap sebagai ancaman daripada doa.

"Sip," sahut gue. "Malam, Jomlo."

Kalimat tadi mungkin terkesan nggak tahu diri, tapi percaya deh, it's worth to try kalau lawan bicaranya Ken. Mimik wajahnya langsung berubah cuek, lantas menutup pintu mobil dan beranjak untuk kembali ke apartemen. Gue juga lebih baik langsung pulang. Apartemen gue dan Ken nggak terlalu jauh, jadi hanya butuh beberapa menit sampai gue bisa merebahkan diri. Awalnya gue mau menghubungi Risa, tapi niat itu terhenti begitu satpam setempat, Pak Kasim, mendekati gue yang baru mau berbelok ke koridor lift.

"Malam, Pak," gue menyapa lebih dulu. Tiba-tiba gue disodorkan sebuah kotak berbungkus cokelat.

"Tadi ada yang nitip," katanya. Gue langsung membalik bagian depannya, mendapati nama Risa sebagai pengirim. "Kapan dititipnya, Pak?"

"Sore tadi. Sekitaran tiga jam yang lalu. Katanya tolong kasih langsung," jelas Pak Kasim lagi dengan senyum ganjil. Gue masih bingung, sampai dia tiba-tiba bertanya, "Pacarmu, ya? Cantik amat."

Asli, gue nyaris tersedak gara-gara itu. Senyum Pak Kasim semakin melebar, kemudian dia berbalik untuk kembali ke pos jaganya di luar. Dengan paket entah apa ini di tangan, gue langsung menaiki lift, menahan diri untuk nggak langsung merobek paket di tempat. Ulang tahun gue sudah lewat, dan gue nggak merasa ada perayaan spesial sampai Risa memberi kado begini.

Buru-buru gue merogoh access card dari saku celana, masuk tapi hanya berdiri di pintu. Langsung saja gue membuka paket, mendapati ada kotak berwarna velvet di dalam. Kotak tersebut diikat dengan pita silver. Namun sebelum membuka, perhatian gue teralih pada kartu kecil yang terselip di pitanya. Begitu menariknya keluar, hanya ada dua baris. Tulisan yang gue yakin betul merupakan tulisan tangan Risa sendiri.

Be our groomsman. Will you, Giovanni?

Regards, Risa & Adit

Gue memelotot, merasa salah baca. Mungkin efek jentikan jari Thanos sampai ke otak gue yang bekerja kurang maksimal. Tapi, nggak ada yang salah dari kalimatnya. Mata gue masih bagus.

Segera gue merogoh ponsel. Hanya saja, sudah ada orang lain yang lebih cepat. Nama Ken terpampang di notifikasi paling atas, memenuhi chat grup kami.

Kenizia Wiantari
<sent a photo>
Ini bukan hanya gue yang kaget kan? Tiba-tiba dapat baju sama undangan begini.
Gosh both of you realllyyyyyy
@Aditya Bagaskara @Aderisa Mahaputri Suksma
Berarti dulu usaha gue ngedeketin kalian sukses dong
PARAH PARAHHHH

Bukan hanya Ken yang kaget, gue yakin. Dipastikan Melissa juga begitu. Dalam sekejap, grup mulai ramai dengan dua wanita yang mengemukakan keterkejutannya.

Mungkin gue harusnya melakukanhal yang sama. Sialnya, gue bukan hanya terkejut, karena gue baru sajamenemukan penyesalan baru malam ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro