Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1 - Mel

Jadi diri sendiri selalu lebih baik, katanya.

Di era seperti ini, ciri khas merupakan sesuatu yang dibutuhkan. It's your selling point, khususnya di dunia hiburan. Nggak peduli kita ada di depan atau di balik layar. Orang-orang di luar sana jadi tahu seperti apa karya yang kita ciptakan, karena kita punya "tanda pengenal".

Kalau begitu, apa jadinya kalau hal tersebut hilang? It's not like aku bisa lapor polisi atau minta ganti. Bukan begitu cara kerjanya.

"Entah ini perasaan gue aja, atau belakangan ide-ide lo agak, you know, nggak kayak lo."

Bingung? Tentu. Pusing? Setelah dipikirkan terus, iya banget. Gila? Yah, hampir. Setelah mengajukan beberapa ide untuk film terbaru, yang ini ditolak juga. Sudah tiga kali. Kalau sampai empat kali, minimal aku harusnya dapat piring cantik.

"Asli deh, Mel, gue ngerasa ide lo yang sekarang tuh ...." Produserku, Neva, beranjak dari meja kerjanya ke kitchenette. "Mending sambil ngopi deh. Mau? Gue ada rasa baru nih, lo harus coba. Dimakan bareng biskuit pasti enak."

Arti lainnya, obrolan ini akan cukup panjang. Aku jelas saja mengangguk. Semua tawaran yang bisa mengisi perut akan selalu kuterima dengan senang hati. Paling nggak kalau stres, aku nggak kelaparan. Mungkin akan lebih baik kalau aku memesan makanan untuk diantar ke apartemen. Jaga-jaga kala stresnya berkepanjangan. Preferable chocolate. Risa pernah bilang ada kandungan dopamin di dalamnya untuk meningkatkan mood, tertulis di sebuah artikel penelitian. Aku nggak tahu persisnya bagaimana, tapi aku tahu cokelat itu enak.

Kurang dari dua menit, Neva sudah membawa dua mug merah, aroma kafein bercampur sesuatu yang manis dan sedikit asam langsung menyapa. Sekarang aku lebih penasaran akan rasa kopinya daripada komentar Neva soal ide-ide gagalku.

"Chocolate orange." Dia memberitahuku lebih dulu, lantas menarik kursinya hingga kami nggak sepenuhnya berhadapan, meskipun aku perlu sedikit menyerong agar bisa bertatapan. "So, back to the topic. Apa ada sesuatu, Mel?"

Kuseruput lebih dulu kopinya, sebelum balik bertanya, "Emangnya ada yang salah dari ide gue, Nev? Perasaan biasa aja. Gue cuman kepikiran untuk masukin sedikit unsur fantasi. Belakangan lagi banyak massa-nya tuh, kan. Bukannya itu jadi peluang bagus?"

"Gue nggak mempermasalahkan itu kok. Masalah tema dan genre, itu keputusan lo. Selagi menarik, gue yakin pihak atas juga bakal setuju."

"Terus? Ide gue kurang menarik?"

"Nggak." Aku sempat mengernyit, tapi Neva menambahkan, "Maksudnya, bukan ide lo yang nggak menarik. Tapi, ada yang gue nggak suka. To be precise, gue lebih ke bingung sih."

"Bingung?" Aku mengernyit atas komentarnya. "Naskah gue ngebingungin?"

Neva menggeleng sebelum mengusap tengkuk. Sejauh ini, aku percaya pada Neva sebagai orang pertama yang akan terang-terangan berkomentar seandainya pekerjaanku kurang memuaskan, atau bahkan jelek. Tapi, gesturnya kali ini justru membuatku ikut bertanya-tanya, sebenarnya apa yang salah?

"The ending was kinda ...," ujarnya menggantung, seperti tengah mencari cara untuk melanjutkan, "... see? Gue sendiri bingung ngomentarinnya. Tapi, ini nggak kayak lo, Mel. Beberapa script terakhir juga gitu. Gue jarang sih ngomentarin ending karena menurut gue lo sebagai penulis naskahnya pasti tahu cara tepat buat nutup filmnya. Masalahnya yang ini tuh agak ...."

"Agak gimana?" tanyaku. Gemas juga karena aku seakan harus menebak-nebak, sementara aku pun nggak punya petunjuk apa pun.

"Kayak dipaksa buat sad ending," ujar Neva akhirnya. "Film terakhir lumayan banget buat kita, Mel. Sekalipun lo kasih open ending, penonton terima aja karena memang udah begitu jalannya. Yang baru ini maksa banget. Kenapa lo giniin deh?"

Kucoba untuk mengingat-ingat kembali detail naskah filmku. Nggak ada hal aneh di sana. Semuanya bahkan bisa dibilang mainstream. Dua orang, dua keluarga, dan dua perbedaan prinsip yang membuat mereka memilih berpisah.

"Mel," panggil Neva sekali lagi. "I don't mind the sad ending. It doesn't have to be happy anyway. But at least, you have to make it make sense. Gue pas baca aja dibuat ngira lo punya dendam sama dua karakternya, sampai konfliknya dibuat sebegitu banget. Lo nulisnya nggak sambil marah atau punya dendam terpendam, kan?"

Aku menggeleng, tapi dalam hati nggak yakin bisa benar-benar membantah. Apa aku marah? Sejauh yang kutahu nggak. Ceritanya hanya rekaan semata, ide lama yang kutulis dalam penerbanganku dari New York ke Indonesia.

Atau mungkin ... justru itu penyebabnya.

Pada momen itulah aku bertemu dia.

"Gue suka konsep awalnya, Mel." Neva sekali lagi bersuara, membuat fokusku kembali terarah padanya. Tanganku lantas dia genggam seraya manggut-manggut, entah mencoba meyakinkan aku atau dirinya sendiri. "I know you can do better than this. Coba lo pertimbangin lagi buat ending-nya, ya? Minggu depan kita bahas lagi habis gue balik dari SG. Gimana?"

Jujur saja, aku sendiri masih ragu. Namun, aku tahu mengiakan merupakan hal terbaik yang bisa kulakukan sekarang.

"Biar gue coba perbaikin dulu kalau gitu, Nev," ujarku akhirnya. "Nanti gue kabarin lagi."

Seenggaknya, script film lebih mudah diubah daripada hubunganku yang sudah jelas akhirnya.

-

(Visuals given are actually my muses while I'm writing this, not in any means a "fixed" image for the characters)

Robert Noah, 32
Architect

Melissa Kania, 30
Director/Screenwriter

Mahesa Adiwira, 26
Actor

---

Catatan Penulis:

Mismatch aku tulis di 2021, terbit di 2022. Dan sekarang sudah ... 2025. Actually, awalnya aku nggak kepikiran untuk ngebahas lebih soal Mel. She was supposed to be the-barbaric-bestie type yang siap baku hantam bawa palu gada kalau temannya kenapa-napa. And then, ketika naskahnya kukasih ke editor, terjadilah diskusi kalau Mel deserves her own story to be told.

And so, here we are, a few years later, with her up-and-down life story. This story might contain some heavy topics, tapi trigger warning kukasih di bab yang kumaksud aja, ya. Mencegah spoiler juga.

Seperti biasa, kita mulai awalannya di Wattpad dulu (since kalau aku ngetik diam-diam kemungkinan besar ceritanya ngendap doang dan nggak dikerjain).

Also regarding the visual, I know I've used this man as my visual in Mismatch, tapi balik lagi ya, silakan bayangkan karakternya sesuai imajinasi masing-masing. Rob aslinya blasteran, but ngl aku dapat inspirasi buat nulis karakter kayak Rob tuh larena fangirling over thv (like usual). Feel free to use your preferences, while I use mine.

This will be updated weekly RABU/KAMIS (hopefully twice a week since I need to finish this story ASAP). Tapi yaaah you know the drill. Hidup kadang kejutannya banyak, tapi semoga tetap sabar menunggu ya. 🫶

So, see you in the next chapter!

Xoxo,
Joe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro