BAB 23
Sejak peristiwa di taman itu, sikap Bayu kepada Dhira sedikit berubah. Sikapnya pada Dhira menjadi baik dan kejahilan yang biasa dia pukulkan pada Dhira berkurang.
Entah apa yang merasukinya sehingga dia tiba-tiba berubah seperti itu. Dhira pun tidak tahu.
Seperti saat ini, ketika Dhira sedang duduk santai di atas rerumputan, Bayu menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Dia duduk tenang di sana. Tidak mengomel, meledek, bahkan menyaut buku Dhira dan mempermainkannya seperti tempo hari.
Ada yang berbeda dari sosok Bayu. Dia tidak seperti biasanya.
Apakah dia sudah berubah? Berubah dalam rangka apa? Karena rasa bersalah? Apakah mungkin? Entahlah, Dhira tidak tahu.
Dhira yang sedang fokus membaca buku pelajaran sejarah, menoleh ke arah Bayu. Dia merasa sedari tadi Bayu memandanginya dalam diam.
"Kamu kenapa liatin aku terus?" heran Dhira.
"Eh? Gue liatin lo? Ngaco lu! Gue gak liatin lo, gue lagi liat semut terbang."
"Hah? Mana ada semut terbang disini? Justru kamu yang ngaco."
Dhira tidak percaya dengan apa yang dikatakan Bayu. Mana ada semut terbang? Itu hanya ada di dunia fantasy.
"Diada-adain dong, biar ada,"
Bayu berkata santai sambil mencabut-cabut pelan rumput di lapangan itu.
"Apasih, gak jelas," ujar Dhira memutar matanya sebal.
Sepertinya masih sama aja, gak berubah.
Sebelumnya, Dhira berpikir mungkin Bayu sudah berubah. Terlihat dari sikapnya hari ini yang berbeda dari biasanya.
"Betewe, kepala lo gak pusing apa? Baca buku mulu tiap hari."
Bayu heran dengan orang-orang yang tiap harinya membaca buku. Apalagi itu adalah buku pelajaran. Ketika SMP, dia tidak pernah belajar terlalu keras. Justru, dia banyak bersantai. Namun, anehnya dia tetap mendapat nilai bagus. Sungguh aneh tapi nyata.
"Gak tuh! Saya sudah biasa seperti ini sejak SD. Saya malah seneng baca banyak buku pelajaran."
"Gak waras lo! Gue aja baru satu halaman udah ngantuk."
Bayu meluruskan kaki setelah sedari tadi dia tekuk. Semilir angin membelai mereka pelan.
"Oh iya, saya dengar kamu saat SMP anaknya baik ya? Dan pintar?"
Tiba-tiba Dhira melontarkan pertanyaan yang dapat membuat Bayu terkejut.
Kenapa dia tau tentang itu?
"Eh, kenapa lo tiba-tiba kepo sama gue?" sambungnya sesaat setelah membatin.
"Gak! Saya nanya aja. Denger dari anak-anak. Jadi, apakah itu benar?"
Bayu menghela napas sejenak. Pandangannya lurus ke depan dan raut wajah berubah serius. Dhira tidak pernah melihat sisi Bayu yang seperti ini.
"Iya, itu benar," jawab Bayu pelan masih dengan pandangan lurus ke depan.
"Lalu, kenapa kamu jadi nakal begini? Bahkan, sepertinya nilai kamu tidak sebagus ketika kamu SMP."
Entah apa yang merasuki Dhira. Tiba-tiba dia penasaran dengan sosok di sampingnya ini. Dia seolah bisa membaca, dibalik wajah tengilnya ada kesedihan dibalikya.
"Alasannya sebenarnya simple sih." Bayu berdehem sebentar, "gue lakuin itu semua biar nyokap bokap gue sayang lagi sama gue."
Nada bicara Bayu semakin serius. Dhira dapat membacanya bahwa Bayu berkata yang sebenarnya, tidak mengada-ada.
"Kalau boleh tau, orang tua kamu gak sayang sama kamu?" tanya Dhira hati-hati.
Bayu mengangguk lalu menoleh ke arah Dhira dan berkata, "Dulu sejak gue kecil, mereka sayang banget sama gue. Tapi, sejak si Bima adek gue lahir, semua berubah. Gak kayak dulu lagi. Mereka lebih sayang sama Bima dan gue gak dipeduliin. Gue gak tau, se-spesial apa sih itu Bima. Perasaan biasa-biasa aja."
Emang sih, dia pinter, baik, jarang buat keributan. Tapi kan, gue juga mau disayangin.
Lanjut Bayu dalam hati. Dia tidak ingin memuji Bima di depan Dhira. Hancur sudah nanti harga dirinya.
Terlihat Dhira berpikir sejenak, mencerna perkataan Bayu.
"Menurut saya, mungkin kamu yang terlalu terbawa perasaan. Bisa saja, orang tua kamu peduli sama kamu. Namun, kamu tidak menyadarinya karena kebencianmu terhadap Bima."
Dhira mencoba melontarkan opini-nya atas cerita Bayu.
"Tapi, mereka tuh suka banding-bandingin gue sama Bima. Gue kan kesel, dibanding-bandingin tuh gak enak tau gak!"
Bayu mencabut rumput-rumput di sekelilingnya brutal.
"Saya pikir, mereka tidak bermaksud membanding-bandingkan. Mereka hanya ingin kamu menjadi lebih baik."
Dhira kembali memberi Bayu pencerahan.
"Ahhh, tapi tetep aja. Gue gak suka dibanding-bandingin kayak gitu."
Dhira menggeleng-gelengkan kepala pasrah. Tidak tahu harus berkata apalagi agar laki-laki di sebelahnya ini sadar bahwa dugaannya itu bisa saja salah.
"Udahin aja deh tanya-tanya tentang gue. Giliran gue nanya tentang lo."
Dhira terkesiap seketika. Kira-kira apa yang ingin Bayu tau tentangnya.
"Kenapa ya lo kok selalu ceria gitu, terlepas dengan keadaan lo yang sederhana. Gue yang berkecukupan aja masih ngeluh."
Bayu penasaran dengan sosok Dhira yang selalu bahagia setiap hari.
Mendengar pertanyaan Bayu, Dhira tertawa seketika.
"Untuk saya, bahagia dan sedih sama saja. Ketika bahagia, kita menangis. Saat sedih pun kita juga menangis. Hanya saja kita tidak tahu, apakah tangisan itu benar-benar bahagia atau benar-benar sedih."
Bayu terlihat berpikir mendengar pernyataan Dhira.
"Maksud lo gimana sih? Ribet amat. Gue gak paham."
"Intinya, walaupun kita sedang sedih, usahakan jangan terlihat oleh orang lain. Karena dipandang lemah oleh orang lain itu menyebalkan," terang Dhira.
Iya, kayak gue ini. Gue nyembunyiin perasaan sedih gue dengan ngerjain orang-orang. Bahkan, mukulin orang sampe babak belur.
Batin Bayu bersuara tanpa diperintah setelah mendengar ucapan Dhira.
"Tapi, kemaren lo kok nangis di depan gue? Gak takut apa lo, kalo gue bilang kalo lo manusia lemah?" ledek Bayu.
"Saya tidak pernah merasa menangis di depan kamu," sangkal Dhira.
"Terus, yang nyender di bahu gue kemaren sambil nangis sesenggukan siapa ya? Apa mbak kunti? Tapi mana ada kunti siang bolong," kekehan Bayu meluncur mulus dari mulutnya.
Dhira pun ikut tertawa mendengar ucapan konyol Bayu. Dia merasa sedikit senang, setidaknya bebannya sedikit terangkat berkat tingkah konyol sederhana Bayu.
Dhira tidak tahu kenapa, dia menangis di bahu Bayu saat itu. Dia merasa ada sebuah kenyamanan jika berada di dekat Bayu. Dia pun tidak tahu sejak kapan menyadari hal tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro