BAB 21
Ketika memasuki pintu rumah, Dhira mencoba menyembunyikan wajah dengan mata merah bekas tangis.
"Dhira, kamu sudah pulang?"
Dhira tersenyum menanggapi dengan wajah tertunduk.
"Dhira ke kamar dulu, Bu. Mau mandi lalu ganti baju," ucap Dhira sambil menutupi wajahnya.
Untung saja, ibunya sedang ada di dapur saat ini sedang memasak untuk makan malam.
Dhira pun mengguyur badan dari wajah hingga kaki. Dia memutuskan untuk tidak keramas karena jika keramas malam seperti ini, kepalanya akan pusing.
Pelan, dia mencuci wajahnya yang sedikit sembab akibat menangis dengan sabun pencuci muka. Mengusapnya hingga rata dan membilas dengan air mengalir.
Setelah itu dia lilitkan handuk untuk membalut badannya hingga selutut, dan membuka lemari berisi begitu banyak pakaian lalu mengambil beberapa busana untuk dikenakannya. Tak lupa dia salat maghrib karena saat dia pulang bertepatan dengan adzan maghrib tadi.
Dhira berdoa dan berkeluh kesah dengan Yang Maha Kuasa.
Ya Allah, maafkan hamba jika masih banyak mengeluh, jarang bersyukur. Tapi, hamba mohon kepada-Mu. Berikanlah hamba kekuatan untuk menghadapi semua ini. Berilah kesabaran ketika menjalaninya.
Tanpa sadar, bulir air bening lolos dari pelupuk matanya dan terisak pelan. Dhira tidak ingin menceritakan sesuatu yang dapat membuat ibunya khawatir. Dia memilih mencurahkan isi hatinya pada Tuhan. Setidaknya itu membuatnya tenang dan damai.
"Dhir, ayo makan malam. Sudah siap nih," panggil sang ibu dari luar kamar.
"Terima kasih ya, Dhir," ucap sang ibu tiba-tiba ketika Dhira sudah mendudukkan diri di meja makan.
"Untuk apa, Bu?"
tanya Dhira sambil menuangkan secentong nasi ke piring.
"Karena kamu udah jadi anak yang berbakti. Gak nyusahin ibu, bikin ibu senang terus. Terima kasih ya Dhira. Kamu memang kebanggan ibu," ucap ibu yang ternyata bernama Ajeng seraya menggenggam tangan kecil Dhira erat.
Senyum menyembul di bibir manis Dhira. Lalu menumpukan tangannya di atas tangan Ajeng. Sekali lagi, kristal bening lolos dari pelupuk mata bekas tangisan tadi.
Dhira tak kuasa untuk menangis di depan ibunya. Dia juga begitu bahagia memiliki ibu seperti Ajeng. Lembut dan sangat memahami Dhira. Tangis Dhira semakin menjadi, entah karena teralu tersentuh dengan perkataan sang ibu atau mungkin ingin menumpahkan beban di jiwanya yang tidak bisa dia ungkapkan pada ibunya.
Dhira pun luruh ke pelukan Ajeng yang hangat itu.
"Dhira, sudah-sudah. Maaf, ibu membuat kamu jadi nangis. Ayo sekarang makan."
Hampir saja lupa, sedari tadi makanan buatan sang ibu dianggurkan begitu saja karena terlarut dalam keharuan. Sebakul nasi, tempe dan tahu goreng di satu piring, sambal terasi andalan sang ibu yang sangat enak. Menemani dua wanita berbeda usia di malam itu.
Setelah selesai makan, Dhira meminta izin ingin belajar kelompok di rumah teman sekolahnya. Dia terpaksa membungkus alasan sebenarnya dengan kebohongan.
Maafin Dhira, Bu karena bohong. Dhira melakukan ini, semata-mata tidak ingin membuat ibu khawatir.
Tinggg!!
Bunyi dari ponselnya menampilkan sebuah notif yang mampu mengembangkan senyum simpul Dhira.
"Bu, temanku sudah chat nih. Kalo gitu, Dhira pamit dulu. Assalamualaikum."
Dhira mencium punggung tangan ibu yang begitu dia sayangi.
"Waalaikumsalam. Jangan pulang malam-malam. Jangan ngebut, hati-hati Dhira."
"Siap komandan," ujar Dhira sambil meletakkan tangan kanannya di dahi kanan seperti sedang hormat ketika upacara.
Maaf banget ya, Bu. Dhira berbohong lagi.
Sebuah chat yang dia terima beberapa saat lalu, bukan dari teman sekolah sesuai apa yang dia katakan pada Ajeng. Melainkan seorang penumpang ojek online-nya di apk NB-Jek.
Dhira mendaftar di aplikasi ojek online tersebut kemarin dan mulai aktif hari ini. Menurut Dhira, bekerja paruh waktu di rumah makan tidaklah cukup. Dia pun memutuskan untuk jadi ojek online. Hitung-hitung sambil jalan-jalan cuci mata menghilangkan bosan.
Mengingat dia seorang murid, ada kebijaksanaan bahwa jadwal untuk ngojek diperpendek, yaitu setiap weekend. Untuk weekend, Dhira memiliki waktu luang ketika malam hari. Siangnya, dia harus lembur di rumah makan. Dhira tidak mempedulikan badan yang pegal-pegal. Dia akan berjuang agar beasiswa-nya kembali.
Tiba-tiba air mata kembali menetes tanpa bisa Dhira cegah. Dalam perjalanan menuju penumpang, air matanya terus saja mengalir di balik helm itu. Dhira menangis memikirkan betapa keras hidupnya. Namun, dia harus tetap bersyukur, karena masih banyak orang yang lebih sulit daripada dia.
***
Sementara di sebuah ruangan, terlihat seseorang yang sedang merebahkan dirinya bosan di sebuah sofa.
"Mbok, mereka kemana sih? Kok gak pulang-pulang?"
"Simbok juga gak tau, Den Bayu. Ibu dan Bapak tidak bilang mau pergi kemana."
Bayu menghela napas panjang. Dia penasaran, kenapa akhir-akhir ini orang tuanya sering mengajak Bima pergi entah kemana. Ketika pulang, selalu saja membawa oleh-oleh. Akhirnya Bayu pun berasumsi bahwa mereka jalan-jalan untuk menyenangkan Bima.
Enak banget ya, jadi adik busuk. Dimanjain, dibelain, dibangga-banggain tanpa batas. Lah gue? Boro-boro. Andai aja gue jadi kecil lagi, pasti bahagia dah hidup gue. Eh, tapi kan gue masih kecil? Mama sama papa aja yang mandangnya gue udah gede.
Batinnya seiring dengan jari-jari yang menekan tombol remote TV tanpa melihatnya.
"Den Bayu mau camilan gak?" tanya Mbok Iyem.
"Camilan apa, Mbok?"
Bayu membangunkan diri dari sofa, tertarik. Dia pikir, dengan memakan camilan, mungkin bisa meredakan kekesalannya. Tidak mungkin kan dia menjahili Mbok Iyem untuk memadamkan kekesalannya bukan?
"Simbok baru saja buat keripik singkong pedas," ujar Mbok Iyem yang berdiri di sebelah Bayu.
"Bayu mau, Mbok. Yang banyak ya, Mbok."
"Siap, Den," Mbok Iyem berlalu ke dapur untuk mengambil camilan tersebut.
Bayu pikir, mungkin dengan memakan sesuatu yang pedas dapat membuat kekesalannya sedikit berkurang.
Awas kau kekesalan! Akan gue lawan lo sama keripik singkong super pedas buatan Mbok Iyem!
Matanya menyeringai seolah sedang menantang lawan yang berperang dengannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro