BAB 20
Di jam istirahat ini, Dhira memilih duduk di bawah pohon rindang sambil membaca buku puisi yang dia pinjam kemarin. Semilir angin sesekali membali helaian rambut yang lolos dari ikat rambutnya. Sesekali daun dari pohon rindang itu menjatuhkan diri ke tanah dipenuhi rumput itu.
Dhira fokus membuka lembar demi lembar buku yang dipegang, tanpa memperdulikan keadaan sekitar. Namun, fokusnya buyar digantikan rasa terkejut karena dari arah belakang, buku yang sedang dia pegang direbut oleh tangan seseorang yang entah itu siapa. Dhira pun segera memutar tubuhnya cepat.
"Hai ... cewek ngeselin!" entah sejak kapan Bayu ada di belakangnya.
Dhira hanya menatap datar. Saat ini, dia tidak ingin ribut dengan siapa pun termasuk Bayu.
"Balikin buku saya," ujar Dhira datar sembari menengadahkan tangan di depan Bayu.
"Kalo mau, ambil dong."
Bayu meninggikan buku tersebut berniat agar Dhira melompat-lompat seperti anak cupu waktu itu dan membuatnya tertawa.
Namun, ekspetasinya gagal total. Reaksi Dhira jauh dari apa yang dia harapkan. Dia tidak mempedulikan Bayu dan memilih membalikkan badan memunggunginya. Bayu merasa heran, dari kemarin Dhira selalu seperti ini. Sebenarnya ada apa dengannya? Bayu masih belum tahu apa alasannya.
"Eh, kenapa lo? Dari kemaren nyuekin gue. Gak asik lo," ucap Bayu di balik punggung Dhira.
Dhira tidak menjawab dan memilih menundukkan kepalanya dalam. Bayu memutuskan untuk melihat, ada apa dengan Dhira sebenarnya?
Mata Dhira terlihat terpejam, bahunya bergetar dan ada sedikit isakan disana. Air mata meluncur mulus di mata kirinya. Lalu mata kanan tidak mau kalah mengeluarkan airnya. Seakan keduanya sedang berlomba siapa yang paling banyak mengeluarkan air asin itu.
"Eh lo kenapa? Lo nangis?" tanya Bayu yang sudah ada di depan Dhira saat ini.
Dhira tetap terdiam dan menunduk. Bayu bingung dibuatnya. Niat awalnya adalah untuk menjahili Dhira dan bercanda saja. Tetapi, dia tidak menyangka reaksi Dhira akan seperti ini.
"Oy cewek ngeselin, kenapa lo sebenarnya?" tanya Bayu lagi sedikit keras.
Tangis terpendam yang ditahan Dhira akhirnya pecah akibat ucapan Bayu yang sedikit keras.
Air mata keluar dengan deras bak hujan badai yang mengguyur bumi kehidupan.
Bayu semakin dibuat salah tingkah. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Rambut hitamnya dia jambak dengan frustasi.
"Duh, lo kenapa si sebenernya?"
Isakan Dhira semakin keras dan bahunya bergetar cepat.
"Eh eh ... jangan tambah nangis dong. Maaf deh maaf gue tadi cuma bercanda. Nih buku lo gue balikin," ujar Bayu sembari menyodorkan buku itu pada Dhira.
Tidak ada tanggapan dari sosok yang ada di depan Bayu itu.
"Hikks ... hikss ... hikss." Dhira menutup wajah dan meredam isakannya yang semakin keras.
Duh, kenapa sih nih cewek? Gue kan becanda doang tadi. Kok malah jadi gini sih?
Bayu mencoba duduk di sebelah Dhira dan mencoba menenangkan. Bayu bingung apa yang harus dia lakukan agar Dhira berhenti menangis.
"Eh jangan nangis lagi dong, gue kan udah minta maaf," ucap Bayu memelas.
Tidak ada respon apa pun dari Dhira. Akhirnya Bayu memilih diam dan dengan hati-hati dia menepuk bahu Dhira agar merasa sedikit tenang. Mungkin, yang sedang Dhira butuhkan saat ini adalah ketenangan. Sedikit demi sedikit isakan Dhira mereda. Getaran di bahunya mulai terlihat samar.
Tentu saja, dengan ketenangan Dhira bisa menghadapi kehidupan yang berliku ini. Di usia remaja, dia sudah harus sekolah sambil bekerja. Tetapi, dia harus bersyukur. Setidaknya dia bisa bersekolah, mempunyai tempat tinggal, ada sang ibu yang sangat menyayanginya.
Dari kejauhan, ada sosok dengan pandangan tajam ke arah Bayu dan Dhira.
Lo emang bener-bener gak takut sama gue ya, Dhir. Awas aja lo nanti sepulang sekolah.
Batin sosok itu dengan sejuta kekesalan di dalam jiwa.
Dhira berjalan sediki terburu-buru di koridor. Bel pulang sekolah berbunyi beberapa detik lalu. Ketika langkahnya dipercepat, tiba-tiba ada seseorang yang mencegatnya. Sontak, Dhira terkejut.
Mela? Batinnya.
Dhira dibuat bingung dengan tingkah Mela kali ini. Dia merasa tidak berbuat sesuatu yang membuatnya kesal. Namun, dia tidak peduli jika Mela akan melabraknya lagi. Untuk apa takut ? Manusia sama-sama makan nasi kan? Untuk apa ditakuti? Makhluk sejenis seharusnya tidak saling bertengkar. Itu yang ada di pikiran Dhira.
Namun, tentu tidak bagi Mela. Jika ada sesuatu yang dirasa merebut miliknya, tanpa melihat kejadian sebenarnya terlebih dahulu, dia akan langsung melabrak dan mengomel. Tidak peduli, apakah yang dia lihat itu benar adanya atau hanya asumsinya saja. Mela seseorang yang sulit menahan emosinya. Mengingat, pikirannya yang masih labil.
Mela mendekati Dhira dan menatap tajam bak seorang harimau yang ingin memakan mangsanya. Reflek, Dhira sedikit memundurkan tubuh karena terkejut.
"Kenapa, Mel?" tanya Dhira segera. Dia tidak ingin berlama-lama karena setelah ini dia harus bekerja.
Mela tidak menjawab dan langsung menyeret Dhira ke gudang belakang sekolah. Dhira tidak berniat melepaskan genggaman Mela padanya. Dia ingin tahu apa sebenarnya yang Mela inginkan? Semoga setelah ini, perselisihan dengannya cepat usai.
Brukkk!
Mela menghempaskan tubuh Dhira pada tembok yang sudah usang.
"Denger ya baik-baik. Buka kuping lo lebar-lebar!"
Mela menekankan di setiap kata yang dia ucapkan.
"Gue ... harus bilang berapa kali sama lo? Hah? Gue harus apa lagi biar lo jauhin Bayu? Gue cuma minta lo jauhin Bayu. Bisa kan?"
Sorot mata Mela begitu tajam dan berhasil membuat Dhira sedikit bergidik ngeri.
Dhira terdiam, dia masih mencerna apa yang dibicarakan Mela ini. Kapan dia mendekati Bayu? Dia tidak pernah mendekatinya? Justru Bayu yang sering menjahilinya? Apa salahnya?
Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak Dhira bak sebuah busur panah yang menancap di kepalanya bertubi-tubi.
"Lo tuli? Jawab!!" bentak Mela karena Dhira belum juga menjawab pertanyaannya.
Mata Dhira terpejam ketika mendengar bentakan Mela. Lalu membukanya perlahan dan mengatakan sesuatu.
"Gini ya Mel. Saya tidak pernah merasa saya mendekati Bayu. Justru Bayu yang sering deketin dan jahilin saya," ujar Dhira dengan nada setenang mungkin. Berbeda dengan hatinya yang sebenarnya emosi segera membuncah jika dia tidak menahannya.
"Cihh! Sok cantik banget lo! Mana mungkin Bayu yang deketin lo duluan? Apa yang menarik dari lo? Jangan boong lo dengan mengarang cerita," ucap Mela tak terima,
"lo tuh emang suka ngarang cerita ya. Dari dulu!" lanjutnya.
"Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang pasti, saya sudah mengatakan yang sebenarnya," tukas Dhira.
"Wahh! Hahah! Berani lo ya sama gue! Dhira keparat!"
Plakk!
Tangan kanan Mela mendarat selamat di pipi kiri Dhira. Tamparan tersebut mampu membuatnya tersungkur karena terasa begitu keras. Mata Dhira memerah menahan tangis yang hendak keluar. Tamparan Mela kali ini, terasa begitu kasar daripada waktu itu.
"Mel? Kamu kenapa sih? Saya salah banget ya sama kamu? Saya kan sudah minta maaf. Saya harus bagaimana biar kamu percaya sama saya?" ujar Dhira sedikit parau karena menahan tangis.
Mela memalingkan muka lalu membungkuk sembari telunjuknya yang mengacung pada Dhira dan menatapnya tajam.
"Hahahahhaha ... hahaahaha!" suara tawa Mela pecah.
"Hah? Lo masih nanya? Sejak lo khianatin gue dulu, gue sama sekali udah gak percaya sama lo!" jelas Mela.
"Waktu itu saya sudah menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dulu," Dhira mencoba berdiri.
"Gue gak peduli. Gue udah terlalu sakit hati sama apa yang lo lakuin ke gue dulu," ucap Mela.
"Terserah kamu, saya mau pergi dulu. Setelah ini saya ada urusan," ujar Dhira lalu meninggalkan Mela.
"Ingat ya Dhir! Jauhin Bayu! Jauhin Bayu!!" teriak Mela padanya yang sudah mulai menjauh.
Air mata yang sedari tadi Dhira tahan, akhirnya pun membebaskan diri dari pelupuk mata. Air matanya terus saja mengalir seraya dia mengendarai motornya.
Ya Allah! Apa salah hamba pada-Mu? Cobaan demi cobaan engkau beri kepadaku. Aku tidak yakin, apakah aku bisa melewatinya.
Hati Dhira meronta meminta penjelasan Tuhan. Mengapa Tuhan melakukan semua ini padanya?
Pipi kirinya terasa perih dan nyut-nyutan. Terasa lebih perih akibat air mata yang melintasi pipi mulusnya.
Di tempat kerja, Dhira mencoba bersikap biasa saja. Sang manajer melihat pipi Dhira yang memerah dan wajah juga terlihat sedikit pucat. Sang manajer akhirnya menyarankan Dhira untuk ijin saja hari ini. Awalnya Dhira menolak, tapi sang manajer sedikit memaksa. Dia pun akhirnya menurut.
Ketika di perjalanan pulang, dia harus memasang wajah bahagia. Dia tidak ingin membuat sang ibu khawatir. Dhira paling tidak suka jika membuat orang lain khawatir padanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro