Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

MIRROR MAN

Catatan Penulis: April Fools produktif, hehe. April Fools soalnya aku cukup yakin banyak yang mengira update-ku yang berikutnya bakal dari Ragnarok Cycle, jadi maaf HAHAHAH.

Aku menulis cerita ini sebagai bentuk terapiku setelah sekian lama tidak menulis lagi. Jangan khawatir, Dark Raiders masih berlanjut terus, perlahan-lahan. If anything, aku baru saja merombak seluruh peta Ragnarok Cycle dari ujung Dark Raiders sampai akhir buku 6 dan sekarang aku sudah tahu jalan. Aku akan berusaha tidak tersesat lagi kali ini. Waktunya belajar membaca lagi.

Aku sudah agak lama menulis ini, tetapi aku tidak pernah sempat mengunggahnya, jadi ini dia. Aku kangen Wattpad, heu.

Also, kalau semua urusanku lancar, aku bisa wisuda Juni ini! Kalau semua lancar. Paling aku tertunda sampai Agustus, karena toh siapa juga sih yang suka birokrasi?

Gaya penulisan cerpen yang ini sangat eksperimental, jadi aku mohon maaf dulu kalau susah dinikmati. Aku sedang suka flow yang begini, hehe.

Seperti biasa, kutunggu komentar dan kritikmu. Jangan segan-segan untuk meninggalkan komentar, dan tolong koreksi aku jika aku ada salah karena aku cukup yakin ada typo yang terlewat dan detail yang kurang jelas.

Jadi, mohon maaf sekali lagi, aku kangen kalian, dan selamat membaca!

***

Suara yang membangunkan sang Ayah di tengah malam adalah sebuah geruduk keras dari lantai bawah.

Gerakan pertama sang Ayah adalah mencari senjata—refleks lama yang telah diajarkan oleh ayahnya dulu, yang juga diajarkan oleh ayahnya dulu, terus hingga ke moyang mereka ketika mereka baru saja pindah ke negara ini di akhir Perang Dunia II. Negara ini bebas, katanya, dan sebagai salah satu dari negara pemenang-pemenang perang, mereka pasti akan mendapatkan banyak keuntungan dari para negara yang kalah. Tempat yang sempurna untuk memulai hidup baru, jauh dari puing-puing gedung yang dibom, lepas dari abu dan mesiu jasad-jasad yang dibakar demi menyingkirkan penyakit yang bisa menyebar kapan saja mereka menghirup napas. Tidak ada lagi rentetan senapan, bunyi keras alarm darurat, atau gebrakan tanpa aba-aba dari polisi-polisi rahasia. Tidak ada lagi propaganda mengenai istri-istri yang merindukan suami mereka yang tak kunjung pulang, mengenai para pebisnis korup yang berusaha memperpanjang jalannya perang demi keuntungan mereka, atau mengenai anak-anak yang harus mengangkat pistol sebelum mereka bahkan pernah menyentuh gagang ayunan.

Dari segi bisnis, nenek moyang sang Ayah jelas gagal besar, tetapi tidak cukup besar hingga mereka harus merugi selama bergenerasi-generasi. Mereka punya lebih dari cukup untuk bertahan hidup, dan setelah mempelajari lewat jalan keras bahwa mereka lebih cerdas sebagai pekerja daripada pengusaha, situasi inilah yang bertahan terus hingga ke masa sang Ayah berkeluarga.

Keluarganya adalah sebuah gerombolan kecil berisi tiga orang yang bahagia. Istrinya cantik luar biasa, seorang primadona yang diidamkan oleh seisi sekolahnya sepanjang dua belas tahun masa pendidikan formalnya dan selama lima tahun berikutnya di pendidikan tinggi, dengan otak yang sedikit di luar nalar umum dan pembawaan yang sangat lembut. Sang Ayah dulu adalah satu-satunya pria di kampus mereka yang tidak tahu-menahu mengenai sang primadona, dan ketika mereka akhirnya bertemu, dia tetap tidak jatuh cinta begitu saja.

Ia cantik, aku sang Ayah—yang saat itu masih sang Mahasiswa—tetapi tidak lebih dari itu. Posisinya di kelas biasa-biasa saja, nilainya bukan sesuatu yang spesial, dan aktivitas ekstrakurikulernya masih berkutat di seputar hal-hal umum seperti seni dan olahraga. Ketika mereka mulai berpacaran, sang Mahasiswa belajar bahwa sang Mahasiswi terus melompat antarklub, mencari sesuatu yang menyenangkan untuk diikuti. Ketika mereka lulus, sang Mahasiswi sudah pernah mengikuti aktivitas praktis lebih dari separuh klub ekstrakurikuler di universitas mereka, semuanya tanpa memiliki satu pun keanggotaan permanen. Ia juga tidak mengikuti sorority apa pun, sama seperti sang Mahasiswa yang memutuskan tidak mengikuti fraternity apa pun semasa mereka kuliah. Mereka tidak punya masalah bersosialisasi ataupun berkomitmen, tidak; mereka cuma memilih untuk tidak ikut. Ada perbedaan jelas di antara kedua hal itu.

Melengkapi keluarga mereka, dan memberinya titel sebagai sang Ayah, adalah putri tunggal semata wayang mereka, yang matanya biru sejernih air laut di pantai yang masih perawan, seindah pemandangan berkilau yang selalu siap menyambut mata mereka yang menatap matahari yang baru terbit di cakrawala, yang rambutnya keemasan dengan nilai yang tidak bisa dihitung dengan carat. Namanya sama indahnya dengan penampilan dan suaranya, sebuah nama sederhana dengan dua kata—satu nama depan dan satu nama marga—yang telah dipilih dengan sangat hati-hati oleh sang Ayah agar berarti 'tali', 'hubungan'; sesuatu seiring nada 'ia yang menghubungkan'. Namanya bersahaja, cantik, dan mudah dilafalkan, bahkan walaupun sang Ayah sendiri lupa dari mana asalnya nama itu, atau bahkan apa bahasa asal nama itu. Sang Ibu tidak memberi protes apa-apa ketika sang Ayah mengajukan nama itu untuk anak mereka.

Senjata yang pertama berhasil diraih oleh sang Ayah adalah sebatang pemukul bisbol, sebuah memento dari masa mudanya dulu. Dia bukan pemain bintang atau apa, tetapi dia memiliki rekam jejak yang bisa dibanggakan sebagai seorang batter muda. Dia tidak memilih jalur itu lebih jauh untuk mengejar prestasi lebih tinggi karena dia merasa bahwa hatinya tidak siap untuk berjalan terus sampai ujung. Namanya hilang ditelan gebyar kelulusan sekolah menengah atas di seantero negara bagian.

Sang Ayah tidak tahu bagaimana rasanya sebuah pemukul bisbol jika beradu dengan sebuah tengkorak manusia, tetapi dia familier dengan sentakan yang melawan arah ayunannya dari masa-masanya di lapangan. Seharusnya memukul orang tidak terasa berbeda jauh. Dia tidak pernah melonggarkan latihan fisiknya selama dia menua, yang membuatnya cukup percaya diri dengan kekuatannya sendiri. Dia bisa memukul orang kalau mau, dan dia bisa membuat hantaman yang cukup keras untuk membunuh kalau perlu.

Dia tidak ingin sampai ke titik itu, tentu, tetapi lebih baik siap daripada sial.

Perlahan, nyaris tanpa suara, dia mendaratkan kakinya yang berat ke lantai sembari menyelip keluar dari selimutnya. Istrinya mengerang kecil, sangat lembut, saat merasakan keberadaan suaminya raib ditelan angin. Dengan sama lembutnya, sang Ayah membuka pintu kamar mereka dan menoleh. Tidak ada apa-apa di sebelah kanan selain kamar putri mereka. Hanya ada tangga turun yang gelap di arah kiri.

Jika pendengarannya tidak salah, itulah arah yang perlu diambilnya.

Satu hal terbersit di benaknya: dia payah soal bergerak diam-diam. Sayangnya, kalau sampai keberadaannya ketahuan, siapa pun yang tadi membuat suara keras di lantai bawah akan bisa kabur duluan. Dan itu jelas bukan hal bagus, karena jika sampai si pembobol kabur duluan, dia akan pergi sebelum terlebih dahulu mencicipi rasanya dipukuli dengan pemukul bisbol yang pantas didapatkannya.

Jadi, melawan segala impuls yang mengalir di seluruh tubuhnya, sang Ayah membiarkan insting pemburunya mengambil alih. Manusia adalah ras pemburu sebelum mengenal agrikultur, kata para ilmuwan, dan otak manusia belum banyak berubah dari masa itu hingga sekarang. Karena itulah internet sangat adiktif—di internet, informasi tidak datang sendiri dengan disodorkan di atas piring perak dan di depan layar kaca. Di internet, informasi bersembunyi, bergerak sendiri dengan dinamis, dan harus diburu. Manusia belum lupa rasanya memburu. Sang Ayah berharap para ilmuwan tidak sedang mengarang begitu saja ketika membuat pernyataan ini, karena bisa saja hidupnya sedang tergantung pada hal itu.

Perlahan, sang Ayah menuruni tangga gelap di sebelah kiri kamarnya dengan sebuah susuran lembut, dengan langkah yang berat dan tanpa suara, dengan satu tangan menyentuh dinding demi orientasi dan satu lagi memegang senjatanya. Menyalakan lampu hanya akan membuat si pembobol sadar bahwa sang Ayah akan datang. Tidak ada pemburu yang sebodoh itu.

Setibanya di lantai dasar, sang Ayah segera menyisir seluruh ruangan dengan matanya yang mulai terbiasa melihat di kegelapan. Tidak ada orang, tidak ada tanda kehidupan. Apakah si pembobol tahu bahwa dia datang? Dengan mendengar langkah kakinya, mungkin? Apakah si pembobol segera bersembunyi? Sang Ayah bisa memikirkan beberapa alasan, tetapi dia memutuskan untuk terus melangkah dengan waspada. Asal suaranya dari bawah, tetapi bukan dari ruangan ini. Sedikit lebih jauh lagi.

Hanya ada tiga ruangan di lantai dasar rumah mereka. Yang pertama adalah ruang tamu, tempat dengan dekorasi simplistis dan foto-foto keluarga yang digantung di dinding berwarna manis dan terang. Sebuah meja kecil dengan beberapa kursi juga terletak di sana, lengkap dengan sebuah asbak untuk tamu. Yang kedua adalah ruang keluarga, tempatnya berada saat ini, yang seluruh pengaturan perabot dan dekorasinya berpusat pada sofa keluarga di tengah ruangan yang menghadap sebuah sistem televisi LED yang lumayan mahal. Televisi itu mereka dapatkan dari gaji sang Ibu, omong-omong, karena waktu itu ia mendapatkan gaji tambahan lewat membantu temannya, dan berhubung mereka tidak sedang memiliki kebutuhan apa-apa dan masih menabung dengan sehat, mereka sepakat untuk sesekali membeli sesuatu untuk kemewahan hidup mereka. Toh, semua ini akan diwariskan pada putri mereka nanti, karena mereka juga sudah sepakat untuk masuk panti jompo saat sudah lanjut usia nanti daripada merepotkan putri mereka dan siapa pun yang cukup beruntung untuk menikahinya saat ia sudah dewasa.

Ruangan yang ketiga adalah ruang makan, yang berhubungan langsung dengan ruang keluarga dan hanya terpisah oleh sekat berbentuk jeruji kayu yang disusun dengan estetik, di mana meja makan mereka terletak. Hanya ada tiga kursi di sekitar meja makan mereka yang bundar, dan meja mereka sengaja diposisikan dekat dengan counter tempat sang Ibu biasanya memasak. Sang Ayah juga lebih dari mampu memasak makanan yang enak, tentu, tetapi sang Ibu meyakinkannya untuk membiarkan dirinya memasak untuk keluarga mereka dari sejak mereka baru saja menikah dulu. Di ruang makanlah semua perabot dan alat yang berhubungan dengan makanan terletak—oven, pencuci piring, wastafel, alat-alat makan, dan kulkas.

Kulkas.

Benda itu sedang bercahaya dari ruang makan.

Apakah pembobolnya seorang gelandangan yang lapar? Sang Ayah tidak bisa memikirkan alasan lain bagi seorang pembobol untuk menyerbu isi kulkasnya jika masih ada banyak barang berharga yang bisa dicari di rumah ini. Toh, sang Ayah masih menyembunyikan deposit uang tunai darurat di kamarnya sendiri, dan perhiasan istrinya adalah warisan yang bisa dijual dengan nilai yang mencapai angka dengan cukup banyak nol di belakang.

Perlahan, dengan senjata erat di tangan, sang Ayah mendekat.

Dugaannya sepertinya tidak salah—ada suara mengunyah yang sangat jelas dari belakang counter, yang sepertinya juga merupakan tempat kejadian perkara yang menyebabkan bunyi keras yang membangunkannya tadi. Siapa pun yang membobol rumah ini adalah orang kelaparan.

Artinya, kerja sang Ayah akan jadi sangat mudah. Jika dia berhasil mengendap-endap dengan rapi menyeberangi ruang makan ini, dia tinggal memberi kejutan dari sisi counter dan menghajar si pembobol selagi dia sibuk. Hmm. Terdengar seperti rencana yang bagus.

Sekarang semuanya tergantung pada kakinya, diiringi dengan doa dalam hati agar otot dan uratnya tidak menimbulkan bunyi apa pun karena dia sedang tegang belakangan ini gara-gara kerja.

Dengan diam seperti kucing, sang ayah terus bergerak menyusuri ruang makannya sendiri, semakin dekat menuju sumber cahaya berbentuk pendingin makanan nun jauh di sana, semakin dekat pada sumber suara berbentuk manusia yang sedang sibuk mengonsumsi jatah makan malamnya secara ilegal.

Belok kanan, pukul.

Sang Ayah mengambil satu langkah terakhirnya, dan akhirnya sang pelaku masuk dalam jangkauan pandangnya.

Tangannya telah terangkat, pemukul bisbolnya sudah siap memakan korban, dan sang Ayah tinggal melepaskan sedikit energi lagi untuk mendaratkan pukulan yang punya lima puluh persen kemungkinan membunuh.

Untungnya, sang pemakan rakus yang sedang menjarah kulkasnya adalah putrinya sendiri.

Sang Ayah mematung sesaat, melihat mulut putri kecilnya belepotan dengan cokelat krim, melihat kekacauan berupa bahan-bahan makanan di lantai yang pasti tumpah ketika sang Putri berusaha meraih camilan tengah malamnya. Sang Putri, akhirnya, menyadari kehadiran sang Ayah dan membeku dengan es krim cokelat masih di dalam genggaman mungilnya.

Mereka berdua hanya saling tatap sesaat, tidak ada yang bergerak, sebelum akhirnya sang Ayah menurunkan pemukulnya sedikit dengan ragu-ragu. Sang Putri perlahan melanjutkan kunyahannya, dan, setelah akhirnya menelan suapan es krim terakhirnya, berbicara dengan nada yang sangat lembut—sangat kecil dan bersalah, manis sekali—dengan kalimat singkat berisi empat kata yang meminta agar sang Ayah tidak melapor pada sang Ibu soal kenakalan kecilnya malam ini.

***

Bagi keluarga sang Ayah, hari yang indah adalah hari yang biasa. Pekerjaan sang Ayah memang memakan waktu, seringkali memaksanya pulang lewat jam makan malam, tetapi keluarganya setia menanti. Sang Putri menyayangi ayahnya sepenuh hati, dan sang Ibu bisa diandalkan untuk mengatasi permasalahan apa pun yang muncul di rumah. Sang Ayah menikmati kerjanya, yang mungkin terdengar agak aneh bagi pembaca yang berasal dari masyarakat yang lebih progresif, yang menekankan bahwa 'kerja' tidak harus didefinisikan sebagai pengungkungan hidup di dalam sebuah penjara berbentuk kubikel di hadapan sebuah komputer desktop bermonitor abu-abu yang masih menggunakan sistem operasi Windows XP untuk menjalankan segala tugasnya. Tidak, sang Ayah baik-baik saja menjalankan kerjanya, karena dia tahu bahwa dia akan pulang kepada senyum-senyum hangat di wajah dua dari tiga perempuan yang paling dicintainya dalam hidup. Yang satu lagi, tentu, adalah ibunya sendiri.

Imaji yang tepat bagi keluarga mereka adalah, yah, sebuah keluarga nuklear yang tradisional. Seorang pria yang menghasilkan mayoritas pemasukan keluarganya dan menjadi sumber keuangan stabil mereka melalui sebuah kerja kantoran di suatu korporasi; seorang wanita yang merupakan pasangan setia seumur hidupnya yang manis dan bersahaja, yang siap menyediakan makanan, membersihkan rumah, merapikan perlengkapan dan peralatan keluarga, menjaga dan merawat anak agar tumbuh dengan baik, dan mencintai suaminya dengan sepenuh hati; dan seorang anak yang murah senyum, inkuisitif dan penasaran, serta tidak bisa diam dan menikmati masa kecilnya dengan tanpa hambatan karena harmonisnya hidupnya di rumah.

Karena inilah, ketika mereka sedang keluar berbelanja, atau ketika sang Ibu sedang melakukan tur kecil ke perumahan mereka, tidak jarang mereka bertegur sapa kecil dengan tetangga mereka, dan sang Putri sering berinteraksi dengan teman-teman ibunya. Mereka semua menyukainya, dan ia belum punya alasan untuk tidak menyukai mereka kembali. Sang Ayah dan sang Ibu tahu ini, dan setiap mengingat interaksi lucu anak mereka dengan tetangga-tetangga mereka yang baik hati, atau terkadang dengan orang asing ramah di supermarket tempat sang Ibu rutin berbelanja, mereka pasti tersenyum kecil dan merasakan kehangatan yang baru dan nyaman di dalam dada mereka.

Hari-hari mereka berlangsung kurang-lebih seperti itu. Dengan beberapa pengecualian yang tidak signifikan, seperti terlambatnya pencairan gaji sang Ayah atau terganggunya mood sang Ibu ketika sedang mendekati periode-periode tertentu yang cukup eksklusif dialami oleh kaum Hawa, mereka tidak pernah mengalami apa pun yang serius.

Keluarga mereka kecil, erat, dan bahagia.

Karena itulah, pada suatu malam, ketika sang Ayah sedang beruntung karena berhasil mendapatkan kesempatan untuk pulang cepat dan menikmati makan malam masakan istrinya bersama dengan putri tunggal mereka, ucapan yang keluar dari mulut sang Putri benar-benar membuat sang Ayah berhenti bernapas selama setidaknya tiga detik.

Mereka berjalan di antara kita, Yah.

Siapa, Putriku?

Mereka. Itu. Manusia-manusia yang punya mulut tetapi tidak punya telinga.

Sang Ayah perlu berhenti sebentar untuk mencerna kata-kata yang keluar dari mulut anaknya sendiri. Tiga detik persis, seperti disebutkan, tidak lebih dan tidak kurang.

Sang Ayah cukup yakin bahwa dia dan istrinya tidak pernah menonton televisi selama itu hingga sang Putri pernah mendengar istilah yang baru saja disebutkannya itu. Itu satu hal. Kedua, sang Ayah cukup yakin bahwa jika sang Ibu pernah mendengar salah satu teman atau kenalannya mengatakan ungkapan itu di depan putri mereka, maka sang Ibu tidak akan tampak seterkejut dirinya seperti sekarang. Itu dua hal. Ketiga, sang Putri belum lancar membaca, apalagi sampai menyentuh material yang bisa mengandung ungkapan serumit yang baru saja dikatakannya. Keempat, itu bukan ungkapan yang biasa diucapkan di meja makan saat makan malam keluarga yang manis seperti ini, yang artinya sang Putri juga belum tahu apa artinya ungkapan itu.

Sang Ayah berdehem untuk meredakan ketegangannya sendiri, sebelum akhirnya memutuskan untuk bertanya pada putrinya mengenai dari mana ia mendengar istilah itu dan kenapa. Pertanyaan pertama penting, karena bisa jadi ada orang-orang yang perlu mereka potong dari hidup sang Putri untuk sementara hingga sang Putri nanti tumbuh cukup dewasa untuk mengatakan apa saja yang baru dia katakan. Pertanyaan kedua penting karena sang Ayah melihat bahwa sang Putri mengatakan kalimat itu dengan serius, dan jika benar sang Putri belum tahu apa artinya ungkapan tersebut, maka tidak akan ada ekspresi sesedih di wajahnya itu saat ini.

Sang Putri mengambil sejumput sayuran dari piring makannya dengan garpunya, memasukkannya ke dalam mulutnya, dan mulai mengunyah dengan berisik. Sang Ibu meraih kain lap di dekat tangan kanannya untuk mengusap mulut sang Putri yang sekarang belepotan dengan saus mayonais dan thousand islands dengan hangat. Sang Putri tersenyum manis kepada ibunya untuk berterima kasih—karena mulutnya penuh dengan salad yang belum habis dikunyah, tentunya, pikir sang Ayah—sebelum mengalihkan lagi perhatiannya pada pertanyaan sang Ayah yang masih menggantung di udara.

Aku tidak tahu namanya, kata sang Putri.

Sang Ayah bertanya apakah itu artinya orang itu tidak memperkenalkan diri. Sang Putri menggeleng dengan bersemangat.

Sang Ayah salah paham, kalau menurut sang Putri. Ia cuma tidak tahu nama orang itu, tetapi ia tahu cara memanggil orang itu jika ia suatu hari nanti bertemu dengannya di suatu tempat yang penuh dengan orang asing. Mungkin panggilan itu bukan nama asli orang itu, tetapi sang Putri tidak merasa bahwa itu masalah, karena yang penting, baginya, memiliki label panggilan itu sudah cukup praktis untuk menggantikan apa yang orang dewasa sebut sebagai nama.

Sang Ayah mengulangi pertanyaannya dengan sedikit perubahan—jika bukan namanya, setidaknya pertanyaan 'siapa' masih bisa dijawab, karena artinya sang Putri masih punya suatu bentuk identitas dari orang yang ditanyakan oleh sang Ayah tersebut. Sang Putri tersenyum cerah, seperti mengingat sebuah memori yang manis.

Orang itu menyebut diri Manusia Cermin, katanya.

***

Hal seperti itu terjadi lagi selama beberapa minggu berikutnya.

Sang Ayah akan berhasil pulang cepat selama beberapa kali, kemudian di tengah pembicaraan mereka yang sangat bersemangat dan penuh kasih di meja makan, sang Putri akan mengucapkan sesuatu yang tak terduga. Awalnya, sang Putri cuma mengucapkan hal mengejutkan seperti ekspresi pertama yang ditumpahkannya mengenai manusia-manusia yang bermulut tetapi tidak bertelinga. Ungkapan-ungkapan sejenis ini bermunculan setidaknya sekali setiap sang Ayah berhasil makan malam bersama dengan keluarganya. Minggu itu, sang Putri hanya mengucapkannya sekali. Minggu berikutnya, dengan jumlah pulang cepat yang meningkat sampai dua kali lipat, sang Putri punya kesempatan untuk menumpahkan ungkapan semacam itu sampai dua kali, sekali untuk setiap kesempatan makan bersama.

Setiap kali, sang Ayah akan terkejut, dan setiap kali dia berusaha bertanya lebih jauh tentang sang Manusia Cermin, sang Putri akan tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Sang Putri hanya pernah menjawab pertanyaan mengenai nama panggilan si orang misterius itu, Manusia Cermin, dan tidak pernah lebih jauh. Entah karena alasan apa, sang Ayah menyadari bahwa setiap kali sang Putri menjawab pertanyaan mengenai nama sang Manusia Cermin, sang Putri selalu memiliki senyum manis di wajahnya, seakan sang Putri menyukai orang itu.

Minggu berganti bulan, sang Ayah mulai mengganti strateginya. Jika sang Putri menolak menjawab lebih jauh tentang sang Manusia Cermin, mungkin sang Putri bisa menjadi medium bagi kedua orang tuanya untuk kesempatan berikutnya mereka saling bertemu.

Karena itulah, malam ini, sang Ayah mengerjakan seluruh beban tugasnya dengan kecepatan yang belum pernah dia capai sebelumnya, dengan efektivitas yang akan membuat para karyawan lain menjadi malu dan efisiensi yang akan membuat semua bos di muka Bumi jatuh hati pada kerjanya. Urusan rumah dan kerja harus tetap terpisah, putusnya dulu ketika baru saja menikah dengan istrinya, dan dia berniat agar komitmen itu tetap dipertahankan. Namun, tentu saja, urusan dengan anaknya ini adalah sebuah darurat yang membutuhkan komitmen. Hal terbaik yang bisa dilakukannya sekarang adalah mencegah kedua komitmen ini bertabrakan, dan cara yang paling tepat adalah menggunakan seluruh sumber dayanya untuk membuat kerja selesai lebih cepat agar tidak ada beban yang memaksanya tinggal di kantor lebih lama dari seharusnya.

Malam itu juga, sang Ayah berhasil tiba persis setelah makan malam mereka masak di oven, dan tanpa berganti baju, dia segera menyerbu ruang makan dan mengecup istri dan anaknya dengan kangen. Sang Ayah sadar akan pola yang telah ada—setiap kali sang Putri hanya makan bersama dengan sang Ibu, entah kenapa, tidak pernah ada ungkapan baru dari sang Manusia Cermin. Begitu pula ketika sang Ayah hanya makan bersama dengan sang Putri, seperti suatu malam ketika sang Ibu sedang sakit dan harus segera tidur. Sang Ayah harus ada di lokasi, bersama dengan sang Ibu, dan mereka harus makan bersama sebagai sebuah keluarga. Sang Ayah tidak yakin apakah hanya itu saja kondisinya, tetapi dia cukup yakin bahwa jika dia berhasil menciptakan kondisi yang seperti biasa, pasti sang Putri akan mengatakan sesuatu lagi mengenai sang Manusia Cermin.

Karena itu, dengan sang Ibu dalam keadaan sehat malam ini dan masih memasak dengan rasa cinta yang membuncah dari dadanya, dengan sang Ayah berhasil pulang dengan segera untuk menikmati makan malam bersama dengan keluarganya, sang Ayah yakin bahwa sang Putri akan mengatakan sesuatu nanti di meja makan.

Dia sendiri tidak yakin mengenai apakah istrinya sudah menangkap pola ini, dan dia belum mengatakan pertimbangannya ini pada istrinya, tetapi jika ini berhasil, dia akan mengutarakan temuannya ini nanti di ranjang sebelum mereka berdua tidur.

Sang Ayah berupaya sekuat tenaga agar suasana di meja makan menjadi seperti biasa—mereka semua bertukar curahan hati mengenai hari ini, bertukar berita dan gosip, membahas perkembangan, saling bercanda dengan satu sama lain, sesekali membahas hal yang menakutkan seperti masa depan ... sang Ayah yakin bahwa dia harus ikut larut dalam mood yang tepat, dan dia juga tidak mau membiarkan eksperimen ini menghalangi jalannya menikmati makan malam bersama keluarganya.

Dan mukjizat yang dinantikannya akhirnya muncul juga.

Di tengah pembicaraan mereka, sang Putri akhirnya mulai bicara tentang sang Manusia Cermin. Di luar dugaan sang Ayah, sang Putri tidak mengutarakan ungkapan misterius lagi. Kali ini, sang Putri memutuskan untuk mengungkapkan sebuah trivia kecil tentang tubuh manusia.

Katanya, kalau manusia terkena luka tusuk di perut dan tidak ada usaha pencegahan atau penyembuhan sama sekali, bakal perlu waktu di antara dua hingga tiga puluh menit sebelum orang itu akan mati karena satu atau lain alasan.

Sunyi yang menerkam meja mereka jauh lebih berat daripada seekor macan Siberia, dan taringnya telah berhasil menancap dalam di jantung sang Ayah yang tak terlindungi.

Sang Putri mengambil seporsi potongan piza lagi, tidak melanjutkan dengan ungkapan ataupun fakta berdarah lainnya, melanjutkan makan malamnya tanpa terhambat, tetap mengunyah daging sapi dan babi di topping pizanya seakan ia tidak ingat bahwa ia baru saja membunuh seseorang secara hipotetis dan menyebutkan konsekuensi tindakannya.

Dan ia berhenti.

Sang Manusia Cermin juga punya pesan, katanya.

Sang Ayah menelan ludah sebelum menanyakan pesan apa dan untuk siapa yang diserahkan oleh sang Manusia Cermin ini lewat sang Putri. Lagi, seperti biasa, sebuah senyum manis menghiasi wajah sang Putri.

Sang Manusia Cermin bilang bahwa Ayah dan Ibu sudah boleh bertanya pertanyaan lain, katanya.

Sang Ayah menelan pesan itu selama sedetik, menelan pizanya selama sedetik kemudian, dan membiarkan otaknya berpikir selama sedetik lagi.

Dengan alamiah, tentunya, ada satu pertanyaan yang mengganjalnya selama sebulan lebih terakhir ini, sejak sang Putri pertama menyebutkan tentang sang Manusia Cermin: di mana sang Putri bahkan bertemu dan berkenalan dengan sang Manusia Cermin? Tentu, ada pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak kalah pentingnya, tetapi jika mereka ingin tahu identitas sang Manusia Cermin dahulu, ini salah satu pertanyaan yang patut diprioritaskan. Setidaknya, begitulah menurut sang Ayah.

Sang Putri kembali tersenyum lebar mendengar pertanyaan itu, menunjukkan gigi-gigi susunya yang rapi dan belum sepenuhnya tumbuh, dan akhirnya menjawab bahwa ia pertama kali, dan selalu setelah itu, bertemu dengan sang Manusia Cermin di kamarnya sendiri, di lantai atas rumah ini.

***

Sang Ayah tidak mau kecolongan setelah itu, dan akhirnya memutuskan untuk langsung menyerang ke hulu permasalahannya. Dia tidak tahu bagaimana sang Manusia Cermin bisa membobol rumahnya dan bahkan berkontak langsung dengan putrinya, terutama saat sang Ibu sedang di rumah (karena mereka sangat sayang pada sang Putri hingga tidak pernah meninggalkannya di rumah sendirian), yang artinya harapannya untuk tahu jawaban dari pertanyaan itu adalah apabila ada mata yang mengawasi kamar putrinya selama tidak ada orang di sana. Mungkin ada kegagalan keamanan di rumahnya, mungkin ada jalan rahasia atau semacamnya yang tidak dia tahu dari agen yang menjual rumah ini kepadanya dulu, mungkin ada yang terlewat dari penjaga malam di wilayah ini—ada banyak kemungkinan bagi bocornya keamanan putrinya, yang artinya dia harus menyaksikan dulu masalahnya terjadi agar dia bisa tahu apa yang salah.

Dengan hal ini sebagai motif utamanya, sang Ayah akhirnya memasang mata tersebut: sebuah kamera keamanan elektronik yang murah dan efektif, yang dibelinya di waktu senggang saat sedang istirahat kerja. Dia sempat berseluncur singkat di internet untuk mencari tahu satu-dua hal tentang kamera keamanan, tentang kualitas gambar yang mungkin dibutuhkannya, tentang penyimpanan memori dan pembukaannya nanti, dan sebagainya. Sang Ayah memutuskan untuk membeli kamera keamanan dengan perekam suara untuk mendapatkan pengalaman penuh putrinya—maksudnya, ayolah, berapa banyak orang yang bisa dengan natural mengajak bicara seorang anak kecil dengan melibatkan ungkapan-ungkapan dan trivia brutal seperti itu? Sang Ayah yakin bahwa sesama anak kecil pun akan kesulitan, apalagi orang dewasa.

Dia memasang kamera itu di malam yang sama dengan pembeliannya, membaca instruksinya dengan cepat sebelum pulang dari kantornya dan mempraktikannya dengan segera begitu sudah mencapai rumah, dan dia sadar bahwa hal berikutnya yang perlu dia lakukan adalah membuat sang Manusia Cermin muncul. Entah bagaimana.

Sejauh ini, ucapan dari sang Manusia Cermin yang diucapkan lewat mulut sang Putri sudah punya pola. Jika dia dan istrinya makan malam bersama dengan sang Putri, maka sang Putri pasti punya sesuatu dari sang Manusia Cermin. Artinya, agar ia bisa selalu melakukan itu, sang Manusia Cermin harus tahu bahwa sang Ayah dan sang Ibu akan makan bersama dengan anak mereka pada suatu malam agar bisa mengobrol dulu dengan sang Putri sebelumnya, memastikan bahwa sang Putri akan mengatakan sesuatu di makan malam itu. Tentunya, ini dengan mengasumsikan bahwa sang Putri memiliki kontak rutin dengan sang Manusia Cermin, dan bahwa setiap ucapan yang dikatakan oleh sang Putri di meja makan selalu suatu ucapan yanng baru diperkenalkan oleh sang Manusia Cermin dari pembicaraan terakhir mereka, bukan dari potongan suatu pembicaraan yang sudah lama lalu. Kalau sampai kontak sang Putri dengan sang Manusia Cermin ternyata tidak terjadi dengan interval yang masuk akal, luluh-lantaklah rencana sang Ayah.

Jadi, logikanya, apabila sang Ayah menciptakan kondisi yang memaksa sang Putri untuk mengucapkan sesuatu dari sang Manusia Cermin, maka sang Manusia Cermin akan muncul. Setidaknya, secara hipotetis.

Tentunya, sang Ayah berniat menguji coba hipotesis ini.

Untuk memberi sang Manusia Cermin waktu untuk muncul, dan dengan tetap memerhatikan ruang memori yang mungkin dibutuhkan oleh kameranya, serta mempertimbangkan juga kemampuan sang Ayah untuk melakukan review terhadap hasil rekamannya nanti, sang Ayah memutuskan untuk memberi jangka waktu tiga hari dari sejak instalasi kamera keamanan hingga ke hari di mana dia memutuskan untuk pulang cepat dan makan malam bersama dengan keluarganya. Sang Ibu belum tahu kapan sang Ayah akan melakukan ini, omong-omong, tetapi ia sudah tahu bahwa sang Ayah berhasil menangkap pola kemunculan ucapan sang Manusia Cermin di meja makan. Sesuai dengan janji sang Ayah pada dirinya sendiri, dia melaporkan mengenai pola itu pada istrinya. Sesuai dugaan kecil sang Ayah, ia memikirkan hal yang sama, walaupun tidak yakin bahwa itu benar-benar suatu pola sejernih hipotesis sang Ayah.

Karena itu, sang Ibu juga tahu bahwa seperti malam kelam di meja makan tempo hari itu, sang Ayah akan kembali bereksperimen demi mengetahui siapa orang berengsek yang cukup berani mengotori kepala anak semata wayangnya.

Rencana eksperimennya sudah sempurna. Sekarang, hanya masalah eksekusi. Sang Ayah tinggal menanti tiga hari, lalu pulang cepat lagi. Tidak ada yang sulit di rencana itu.

Ponsel sang Ayah, yang selama ini hanya digunakan untuk bekerja atau untuk melakukan aktivitas sampingan, berdering pada hari kedua penantian.

Telepon itu dari sang Ibu.

Ketika sang Ayah menjawabnya, nada istrinya—tidak salah lagi—terdengar panik.

Sang Ibu berusaha sekuat tenaga, di antara engahan napasnya yang sepertinya berasal dari jantung yang berdegup kelewat kencang dan darah yang mengalir terlalu cepat, untuk menjelaskan mengenai apa yang baru saja terjadi di makan malam kali ini. Awalnya semua berlangsung dengan normal: sang Ibu bertanya pada sang Putri mengenai menu yang ia inginkan untuk makan malam kali ini, lalu mulai memasak dan menyiapkan hidangan pencuci mulut dan camilan sebagai hadiah karena sang Putri sudah berperilaku sangat baik hari ini. Lalu, di tengah menunggu masakannya matang, sang Ibu mengobrol sedikit dengan sang Putri. Tentunya, salah satu topik obrolannya adalah pengalaman sang Putri sepanjang hari ini.

Sang Putri menceritakan dengan bersemangat mengenai teman-temannya, mengenai buku cerita bergambar yang baru saja ia baca sampai habis, dan mengenai bagaimana umat manusia pertama kali menciptakan yang namanya kutukan dengan cara menempelkan label yang tidak mengenakkan pada suatu bentuk bayang-bayang kenyataan untuk membuat ketidakenakan tersebut menjadi nyata.

Jantung sang Ayah mencelus, karena pengetahuan seperti itu tidak ada di buku mana pun yang ditujukan bagi seorang anak perempuan manis di usia sang Putri. Yang, artinya, untuk pertama kalinya sejauh ini, sang Putri membeberkan ucapan dari sang Manusia Cermin di meja makan tanpa kehadiran sang Ayah.

Sang Ayah tidak perlu diberi tahu sebanyak itu—kepalanya segera menyusun sebuah bangunan lengkap yang bisa mengakomodasi seluruh data yang baru saja diterimanya dan menghasilkan kesimpulan, dan kesimpulan yang dia terima adalah dia harus pulang. Dan segera.

Semakin cepat dia memeriksa rekaman dari kamera keamanan sang Putri, semakin bagus.

Sang Ayah menelan kegagalannya menjaga kesempurnaan rekor kehadiran kerjanya selama ini, dan akhirnya—untuk kali pertama—meminta izin pulang lebih cepat. Hanya kali ini saja. Anaknya bisa jadi dalam bahaya, dan ini adalah kesempatannya untuk menyelesaikan masalah itu.

Kantornya, tentu, tidak mengerti. Untungnya, performanya selama ini selalu jauh di atas standar, dan mereka memutuskan untuk memaklumi absensi sang Ayah. Sekali ini saja.

Sang Ayah tidak yakin dia pernah mencapai rumah lebih cepat daripada perjalanan kali ini, dan setibanya di rumah, dia hanya menemukan istrinya di meja makan, masih menyandarkan kepalanya pada tangan dengan waswas, seakan memikirkan suatu hal yang jelas tidak akan ada solusinya. Mereka hanya bertukar anggukan sebelum sang Ayah bergegas ke kamar sang Putri untuk mengambil stik memori rekaman dari kamera keamanan di kamarnya. Sang Putri menyambut sang Ayah dengan antusias, memanggilnya Papa dan memeluknya seakan mereka lama tidak bertemu, dan hati sang Ayah semakin terasa getir: siapa bajingan tengik yang berani berusaha mengotori anaknya, hah?

Masih tanpa mengganti bajunya, sang Ayah menghubungkan stik memori itu dengan komputer pribadinya dan mulai membongkar. Rekaman kamera ini berbentuk kontinyu dan disimpan dalam interval harian, dengan dua proses yang berlangsung bersamaan secara paralel untuk memastikan bahwa selama rekaman suatu hari disimpan, kamera tersebut bisa langsung memulai rekaman hari berikutnya tanpa jeda.

Sesuai dugaannya, baru ada dua file di stik tersebut: satu file rekaman selama dua puluh empat jam, dan satu file rekaman yang baru selama setengah hari karena sang Ayah pulang dan mencabut stik memori itu sebelum genap sehari lagi terlewat.

Dengan tangan gemetaran, sang Ayah memutar rekaman hari pertama dengan menyalakan peningkatan kecepatan playback. Dia berniat untuk melambatkan playback hanya ketika sesuatu terjadi di kamar sang Putri, dan ternyata, selama mayoritas waktunya, tidak ada apa-apa. Sesekali, sang Putri akan masuk ke kamarnya sendiri dan mulai bermain, dan selama periode ini terjadi, sang Ayah akan mengembalikan playback ke kecepatan normal untuk memastikan tidak ada yang terlewatkan. Rekaman suara tidak menandakan ada keanehan apa pun. Rekaman video sama konsistennya. Rekaman hari pertama berakhir dengan sang Putri pergi tidur, dan sisa rekamannya hanyalah sang Putri bergerak-gerak sendiri selama ia terlelap.

Tidak terjadi apa-apa selama sang Putri tidur, dan pernyataan ini tetap sama benarnya hingga ke rekaman hari kedua.

Awal rekaman hari kedua tidak jauh berbeda: pemandangan pertama yang muncul di layar adalah lanjutan dari rekaman lalu mengenai sang Putri yang bergerak-gerak berpindah posisi selama tidur. Tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada bayang-bayang aneh di dinding, suara rekaman yang tidak semestinya, atau yang sejenis itu.

Sang Putri bangun. Menguap. Turun dari kasur, lalu keluar. Tidak ada yang aneh.

Rekaman selama sekian jam berikutnya berlalu tanpa ada aktivitas sedikit pun di kamar sang Putri, berhubung pemilik kamarnya sedang sibuk menikmati hidup di luar sana. Masih tidak ada yang aneh.

Kalau begitu, kenapa bisa...?

Sang Putri baru kembali ketika hari hendak menginjak sore—dan saat itu jugalah penantian dan intuisi sang Ayah kembali benar lagi: sang Putri masuk ke dalam kamarnya, menebar pandangan, lalu tersenyum simpul.

Psst.

Mendadak, static.

Video rekaman yang sedang berlangsung tiba-tiba mengalami malafungsi. Hanya ada titik-titik hitam, abu-abu, dan putih di seluruh layar, seakan-akan layar itu tengah dikerubuti oleh semut-semut kelaparan.

Tidak ada visual sama sekali. Sang Ayah hanya bisa melotot pada layarnya dengan tidak percaya.

Kameranya masih baru, sangat baru dibeli. Mustinya, kamera itu belum butuh servis atau semacamnya. Kegagalan merekam tentu bisa dihitung sebagai kegagalan produk, 'kan? Apakah jaminan dari pembelian kamera ini bisa menutup—

Suara.

Sang Ayah melompat dari kursinya sendiri.

Suara.

Tidak salah lagi.

Ada suara.

Ada suara yang terekam oleh kamera keamanan di kamar sang Putri, bahkan walaupun tidak ada gambar yang ditunjukkan di layar entah kenapa.

Suara itu bukan suara yang macam-macam—hanya sebuah obrolan ringan antara sang Putri dengan ... dengan suatu figur misterius, yang entah datangnya dari mana, yang suaranya terdengar sangat lembut dan baik hati.

Lembut, baik hati, dan mencekam.

Sang Ayah terus mendengarkan pembicaraan yang terjadi, dan hanya dengan tiga detik mendengarkan, dia bisa merasakan sensasi dingin di punggungnya.

Pembicaraan mereka sangat tidak berdosa: sang figur misterius hanya menanyakan sang Putri tentang pengalamannya hari itu, disambut dengan jawaban yang sangat antusias dari sang Putri. Kemudian mengatakan bahwa sang Putri sudah boleh berbicara walaupun sedang tidak ada Papa, dan akhirnya menutup dengan memberikan trivia yang dikatakan oleh sang Ibu lewat telepon tadi.

Psst.

Static di layar komputer sang Ayah hilang, dan sekarang sang Ayah kembali menatap rekaman kamar putrinya: tidak ada yang berubah dari sebelum videonya rusak tadi, kecuali sekarang sang Putri sedang duduk di tengah ruangan, memegang boneka kesayangannya di kedua tangannya, tersenyum-senyum kepada udara kosong.

Sendirian.

***

Rekaman ini lebih dari cukup bagi sang Ayah untuk bisa tahu bahwa ada ancaman serius pada keamanan putrinya, dan dia harus segera minta tolong. Tentunya, hanya ada satu hal yang bisa dilakukannya untuk sekarang: dengan modal keuangan yang ada, menyewa keamanan praktis mustahil, sehingga sang Ayah memutuskan untuk melakukan pendekatan dua arah. Pertama, sang Putri tidak akan pernah lagi ditinggalkan sendirian di kamarnya. Sang Ibu harus terus menemani sang Putri, apa pun yang terjadi. Kedua, sang Ayah pergi untuk melaporkan kasus ini kepada polisi, dengan membawa rekaman misterius tadi sebagai barang bukti.

Ada seseorang yang menyelundup ke rumah saya dan menceritakan hal-hal yang tidak senonoh kepada anak saya, katanya nanti saat di kantor polisi, dan saya memerlukan bantuan untuk membawa orang ini kepada pedang tajam keadilan.

Sejujurnya, sang Ayah sendiri tidak yakin mengenai apakah kepolisian bahkan akan mau membantunya, karena kasusnya terdengar sangat obskur dan absurd. Oke, ada yang bicara mengenai hal yang mengganggu pada anaknya, lalu? Mungkin sang Ayah akan bisa membuat posisinya sedikit lebih kuat jika laporannya nanti dikategorikan sebagai laporan dari tindak pidana berupa pembobolan rumah atau intrusi tanpa izin, tetapi dengan itu sekalipun, sang Ayah sendiri tidak yakin ada banyak yang bisa dia lakukan. Mengurus rekaman kamera keamanan yang menangkap pembobolan saja sudah lumayan merepotkan—apalagi jika rekamannya rusak di saat yang krusial seperti ini?

Bagaimanapun juga, sang Ayah yakin bahwa, setidaknya, berusaha dulu tidak akan menyakiti siapa pun. Dia hanya ingin putrinya aman, selamat, dan sedikit kesulitan dengan polisi bukan apa-apa bagi sang Ayah jika hal itu bisa memenuhi keinginannya terhadap sang Putri.

Sang Ayah sudah mulai memasang sistem keamanan lain di sekitar kamar anaknya: sensor gerak, kamera berburu yang diaktifkan oleh pergerakan di sekitar kameranya, tripwire kecil yang tidak akan menyandung siapa pun tetapi akan mengaktifkan sebuah alarm dan sebuah kamera tersembunyi jika terinjak, dan beberapa hal lain untuk memastikan bahwa sang Ayah tahu dari arah mana dan ke mana sang Manusia Cermin datang dan pergi.

Jika ternyata ada rute rahasia, seperti dugaan awalnya, maka setidaknya harusnya kameranya bisa menangkap momen datang dan kabur tersebut dengan sensor geraknya di sisa tempat yang lain.

Dengan itu, sang Ayah akhirnya membawa seluruh rekaman lengkap kamera keamanan kamar putrinya, dengan catatan (dan beberapa salinan catatan untuk jaga-jaga) mengenai file mana dan dari durasi berapa hingga berapa terjadi anomali—durasi datangnya sang Manusia Cermin di kamar putrinya. Sang Ayah tidak lupa untuk mencatat juga perilaku putrinya di detik-detik sebelum sang Manusia Cermin datang dan videonya menjadi static, sebagai penguat bukti bahwa memang ada seseorang yang baru saja hadir di kamar putrinya dan praktis membobol ke dalam rumahnya tanpa suara. Toh, senyum putrinya jelas menunjukkan bahwa ia melihat seseorang yang ia kenal.

Seperti biasa, kantor polisi tampak sibuk, dengan petugas berseliweran dari ujung ke ujung membawa bertumpuk-tumpuk kertas, dengan orang-orang berseragam dan berjas yang saling mengobrol dengan wajah serius, dan banyak sekali orang di balik meja di beberapa ruangan yang tampak, semuanya antara tengah menjawab telepon atau mengetik di komputer meja mereka masing-masing. Sang Ayah perlu berupaya sejenak untuk mencari bagian pelaporan, lalu mengantri dulu di belakang sekitar empat orang lain untuk membuat laporannya. Yang sedang membuat laporan sekarang adalah seorang ibu muda yang mengadukan mengenai kehilangan anak di taman pusat. Menyusulnya, seorang anak muda melaporkan bahwa ada anak-anak berandalan yang melakukan vandalisme pada mobil yang baru saja dibelikan oleh ayahnya. Sang Ayah mendengar merk mobil yang tidak terlalu mahal disebutkan di laporan itu, yang artinya mungkin kasus ini lebih personal daripada sekadar kecemburuan sosial. Pelapor selanjutnya mengadukan kasus kecurian perhiasan di brankas rumahnya, sementara pengantri terakhir melaporkan bahwa sahabatnya sepertinya terlibat dalam transaksi obat-obatan terlarang. Sang Ayah tidak yakin mengenai apakah temannya yang dilaporkan itu akan mengapresiasi tindakan si pelapor, tetapi tetap memujinya dalam hati karena melakukan hal yang benar. Sepertinya. Andaikan ternyata si pengguna narkoba berasal dari ras tertentu, sang Ayah tidak berani membayangkan apa yang bakal dilakukan oleh kepolisian padanya.

Akhirnya, giliran sang Ayah tiba, dan dia memastikan bahwa aduannya dibuat dengan sedetail mungkin. Sang Ayah juga melampirkan barang bukti yang dibawanya, walaupun petugas yang menerima laporan tersebut mengatakan bahwa itu belum diperlukan. Sang Ayah menceritakan sebanyak mungkin hal yang dia tahu tentang kasus ini: bahwa putrinya mengatakan hal-hal yang kian hari semakin mengganggu, bahwa ada seseorang yang memengaruhi putrinya untuk mengatakan hal-hal itu, dan bahwa putrinya bertemu dengan orang tersebut secara ilegal di lantai atas rumahnya. Sang Ayah tidak menceritakan mengenai pola kemunculan kata-kata sang Manusia Cermin karena itu akan terdengar terlalu aneh dan dibuat-buat, tetapi memastikan untuk bercerita tentang anomali di videonya, hanya untuk jaga-jaga karena dia takut bahwa ternyata sang Manusia Cermin punya pengetahuan tertentu tentang membobol teknologi keamanan seperti kebanyakan anak-anak muda di zaman sekarang.

Sang Ayah mengadukan kasus itu sebagai sebuah kasus invasi rumah, yang disetujui oleh petugas yang menyambutnya. Lalu, persis ketika sang Ayah tengah bersiap untuk berangkat kembali ke tempat kerjanya, tiba-tiba seorang petugas lapangan menepuk bahunya.

Petugas tersebut berkulit gelap, dan tatapannya tajam. Sangat serius. Sang Ayah tidak yakin kenapa, tetapi dia tahu bahwa petugas ini telah melalui sesuatu yang sangat berat.

Petugas itu cuma berkata singkat, dengan suara yang sangat berat dan serak, bahwa dia mendengar laporan sang Ayah. Petugas itu mengambil napas sejenak, seperti mempersiapkan diri sebelum terjun ke lapangan menangani kasus apa pun yang sekarang sebenarnya sedang menyita perhatiannya, sebelum melanjutkan lagi pada sang Ayah dengan sebuah peringatan: keluarga sang Ayah dalam bahaya.

Begitu saja, sang petugas pergi. Sang Ayah hanya sempat mengintip label nama di dada petugas itu sebelum dia menghilang dijemput tugas, dan sementara sang Ayah berdiri di sana dengan kebingungan, mau tidak mau, dia mulai terpikir mengenai apakah benar kepolisian bisa membantu dengan kasusnya kali ini.

***

Sang Ayah beberapa kali lagi mengunjungi kantor polisi setelah itu untuk berbicara dengan petugas misterius yang memberinya peringatan itu, tetapi berhubung petugas itu ternyata terlibat dalam sebuah satuan tugas yang mengatasi suatu kriminalitas yang spesifik, petugas tersebut tidak punya cukup banyak waktu luang untuk bisa bertemu dengan sang Ayah sama sekali. Tentunya, sang Ayah memahami itu. Namun, dia juga tidak bisa memungkiri bahwa bertemu dengan sang Petugas akan membantunya menyelesaikan beberapa hal.

Satu pertanyaan terutama mengganjal di hati sang Ayah: apa maksud sang Petugas dengan dalam bahaya?

Sang Ayah memastikan untuk memasang lagi beberapa sistem keamanan untuk menjaga keluarganya, dan dengan enggan, dia mengakui bahwa dia mulai terdengar terlalu paranoid. Kata-kata dari sang Manusia Cermin juga jadi semakin sering muncul di meja makan—awalnya, seperti persis sebelum sang Ayah melapor ke polisi, kata-kata itu hanya muncul di saat makan malam, bahkan walaupun sang Ayah sedang tidak hadir. Perlahan, kata-kata itu mulai menyesap masuk dalam pembicaraan sang Putri dengan orang tuanya di luar meja makan, dan tidak lagi terbatas pada kehadiran kedua orang tuanya sama sekali. Siapa pun orang tua yang sedang ada untuk bicara dengan sang Putri saat itu, maka dialah yang akan mendengar kata-kata sang Manusia Cermin pada sang Putri.

Kinerja sang Ayah mulai terpengaruh. Semakin sering sang Putri berbicara tentang sang Manusia Cermin dengan begitu kasualnya, semakin dalam kata-kata itu menembus kepalanya, dan semakin sulit mereka dibendung saat tengah kerja. Sang Ayah jatuh sakit sekali, yang berarti dia diberi waktu izin istirahat selama satu hari dari kerja, dan juga berarti dia akan sering berkontak dengan putrinya ... yang artinya semakin sering mendengar kata-kata dari sang Manusia Cermin, yang hanya memperparah stres yang sudah dialaminya. Bahkan, sang Ayah pernah tanpa sadar meneruskan salah satu fakta trivial dari sang Manusia Cermin dalam pembicaraannya: ketika mereka sedang membahas salah satu kasus pembunuhan seorang politisi baru-baru ini yang tewas ditikam oleh seorang pembenci dari kelas bawah, sang Ayah teringat trivia tentang penusukan yang dikatakan oleh putrinya dulu, dan setelah sang Ayah mengatakan fakta itulah baru dia sadar bahwa dia mendapat tatapan yang agak aneh dari kolega-kolega kerjanya.

Semuanya hanya semakin parah ketika suatu hari sang Ayah menyempatkan diri pulang untuk makan siang bersama dengan istrinya, ketika dia melangkah masuk ke dalam rumah dan menemukan bahwa anaknya berlumuran darah di sepanjang lengan kirinya dengan sebuah luka menganga yang sangat lebar dari lengan atas hingga pergelangan. Di genggaman kuat tangan kanannya, bertengger dengan tenang, adalah sebilah pisau dapur, satu dari tiga pisau yang dibeli oleh sang Ibu dulu saat ia sedang mempelajari berbagai teknik memasak.

Sang Putri cuma bilang bahwa sang Manusia Cermin memintanya untuk melakukan hal itu.

Sang Ayah dan sang Ibu segera melarikan sang Putri ke rumah sakit, menuju unit gawat darurat, dengan vonis tindak darurat bahwa lengan kiri sang Putri harus segera dijahit sebelum darahnya habis terlalu banyak. Ketika ditanya mengenai apakah lukanya terasa sakit, sang Putri menjawab bahwa rasanya tidak sakit sama sekali—bahwa sang Manusia Cermin-lah yang bilang bahwa garis sepanjang potongannya itu tidak akan terasa sakit jika dipotong dengan dalam dan tepat.

Sang Ayah benci pada fakta bahwa bahaya yang dihadapinya semakin nyata, semakin dekat, dan tidak ada yang bisa dia lakukan sama sekali.

Selama seminggu berikutnya, setelah seluruh lengan sang Putri telah berhasil dijahit dan harus diberi check-up rutin ke rumah sakit untuk kontrol jahitan lukanya, hal serupa dengan ini terjadi lagi beberapa kali. Tidak ada yang sebesar atau seberdarah ini, untungnya, tetapi sang Ayah tetap tidak bisa memungkiri fakta bahwa dia harus melakukan sesuatu.

Yang pertama, sang Putri sekarang praktis hanya berbicara tentang sang Manusia Cermin di meja makan. Ketika mereka sedang tidak makan bersama, sang Putri tidak membicarakan sang Manusia Cermin sama sekali, tetapi sekarang dia memilih untuk diam. Dia bermain dengan bonekanya, terkadang, tetapi tetap dengan tanpa suara, seakan seluruh pembicaraan dengan bonekanya terjadi di dalam kepalanya. Sang Ayah baru sadar bahwa sudah lebih dari dua setengah minggu dia tidak mendengar putrinya tertawa sama sekali.

Yang kedua, suatu hari, sang Putri menunjukkan hasil gambarnya dengan krayon. Binar matanya sangat bangga, seakan ia baru saja menyelesaikan sebuah magnum opus, karya agung terakhir sebelum seseorang meninggal dunia, dan sang Ayah tentu tidak bisa menahan diri untuk melihat gambar itu. Gambarnya adalah sebuah lukisan anak kecil yang simpel: sebuah rumah, sebuah pohon, dan keluarganya berdiri berjajaran di depan. Sang Ayah, menggandeng tangan sang Putri, yang menggandeng tangan sang Ibu. Sebuah keluarga yang sangat harmonis.

Kecuali, di atas mereka bertiga, digambar dengan krayon berwarna hitam untuk tubuhnya, merah untuk matanya, dan putih untuk senyumnya, adalah sebuah figur yang menaungi seluruh lukisan itu, dari pohon hingga ke keluarganya, dengan label 'Manusia Cermin'.

Sang Ayah harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memuji gambar itu, hanya demi menjaga senyum manis dan binar bangga di mata putri semata wayangnya.

Sekarang, setiap dia di tempat kerja, sang Ayah selalu menghabiskan waktu istirahat siangnya sendirian, tanpa menyadari apa yang dia makan atau minum, hanya memikirkan tentang apa yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan keluarganya. Sang Putri telah mengiris seluruh lengannya sendiri, entah bagaimana ia bisa melakukan itu, dan nyaris mati kehabisan darah. Fakta bahwa tidak ada lagi perilaku sesignifikan itu sejauh ini malah justru membuat sang Ayah merasa semakin terusik, seakan-akan siapa pun sang Manusia Cermin ini, dia sedang menggoda sang Ayah.

Kau tidak akan bisa menolong mereka, tulis pesan tak kasatmata itu, dan aku akan bermain denganmu lagi sedikit.

Sang Ayah berusaha mencari pertolongan lagi dengan cara lain. Kepolisian masih belum menghubunginya lagi, yang berarti dia harus bertindak dengan lebih mandiri. Dengan berdoa terlebih dahulu—entah kepada Tuhan yang mana, karena sang Ayah sendiri tidak pernah rajin mempraktikkan agama yang diajarkan oleh keluarganya—sang Ayah mulai berselancar lagi di internet, mencari-cari mengenai perubahan perilaku yang drastis, tentang ketertarikan pada fakta-fakta mengerikan, tentang Manusia Cermin itu sendiri—apa pun, apa pun juga yang bisa memberinya senter untuk menerangi gua tanpa akhir yang dia masuki tanpa sadar ini. Apa pun. Dia tidak peduli dalam bentuk apa, atau dari sumber mana, apa pun juga.

Nihil.

Pencariannya berlangsung terus selama beberapa hari berturut-turut, dari halaman pertama mesin pencari hingga ke halaman yang diindeks dengan digit berjumlah ratusan, dari situs-situs sains kepada forum-forum mistis tanpa dasar, dari satu cerita misteri ke cerita horor lainnya, dari satu gosip ke legenda urban yang lain, apa pun yang berhubungan dengan apa yang dialaminya.

Tidak ada informasi sedikit pun yang bisa memuaskannya. Sang Ayah ingat melepas tangis keras setelah akhirnya memutuskan untuk menyerah dalam pencariannya di internet.

Akhirnya, setelah penantian yang entah berapa lama lagi, setelah siksaan yang tak kunjung habisnya dari anak gadis yang paling dicintainya di seluruh dunia ini, sang Ayah mendapatkan telepon dari kepolisian—dan yang menghubunginya adalah sang Petugas. Mereka sepakat untuk bertemu sesegera mungkin hari itu juga, di sebuah kafe yang tidak terlalu jauh dari rumah sang Ayah, untuk membahas apa yang terjadi.

Sang Ayah hanya bisa berharap bahwa semuanya akan jadi lebih jelas setelah ini, karena di atas apa pun juga, dia merasa sangat benci ditinggal di kegelapan penuh kebingungan seperti ini.

***

Sang Petugas menggunakan pakaian kasual ketika mereka bertemu, karena ternyata dia memang meminta untuk cuti hari itu. Toh, dia baru saja terlibat dalam sebuah sting operation untuk suatu sindikat kriminalitas lokal, dan operasi itu memakan waktu beberapa hari: dari persiapan basis, koordinasi tenaga kerja, pembaruan informasi, ekstraksi informan dan mata-mata sebelum peluncuran tenaga satuan tugas—pokoknya, semuanya rumit dan menguras tenaga. Ini juga alasannya tidak bisa langsung menghubungi sang Ayah atau menjawab panggilan sang Ayah selama ini.

Mereka masing-masing hanya membeli secangkir kecil espresso hangat, dan sang Petugas meminta sang Ayah untuk menceritakan semuanya. Segalanya, kalau menggunakan istilah yang digunakan oleh sang Petugas sendiri. Jadi, persis itulah yang dilakukan oleh sang Ayah: dia menceritakan segalanya. Dia menceritakan singkat tentang keluarganya, tentang bagaimana dia pertama bertemu dengan bakal istrinya, tentang bagaimana mereka justru mulai berpacaran karena sang Mahasiswi tertarik pada satu-satunya pria yang tidak tertarik mendekatinya sama sekali, tentang bagaimana mereka menikah di kantor administrasi wilayah mereka dan tanpa resepsi sama sekali, tentang kehadiran sang Putri di hidup mereka ... dan tentang bagaimana sang Putri akhirnya mulai menyebut sang Manusia Cermin.

Sang Ayah meneruskan ceritanya: tentang pola yang disadarinya dan istrinya, tentang eksperimennya, tentang dia memasang kamera keamanan dan berbagai jebakan gerak dan alat rekam, tentang putrinya merusak pola kemunculan kata-kata sang Manusia Cermin segera setelah itu, tentang bagaimana sang Manusia Cermin akhirnya memengaruhi sang Putri tidak hanya pada tingkt kata-kata, tetapi juga perilaku, dan tentang bagaimana sang Ayah tidak menemukan informasi apa pun sama sekali ketika dia mencari solusi lewat internet selama berhari-hari. Sang Ayah tidak menahan lagi segalanya. Semua yang dia tahu, segala yang dia alami, semua yang dia rasa bisa jadi petunjuk signifikan, segera dibukanya seperti kartu-kartu di akhir sebuah permainan poker. Sekarang dia tidak lagi punya rahasia untuk dijaga.

Sang Petugas hanya mengangguk dengan penuh pemahaman selama sang Ayah bercerita. Dia tidak menginterupsi, tidak meminta detail lebih jauh, dan hanya mendengarkan. Ketika sang Ayah selesai bercerita, espresso sang Petugas tinggal separuh, dan sang Petugas tengah mengetuk meja dengan gelisah.

Setelah sunyi selama dua menit, sang Petugas akhirnya membuka mulut.

Alih-alih menjawab, sang Petugas ternyata memulai ceritanya sendiri: dia dulu menjadi petugas kepolisian melawan keinginan keluarganya, yang merasa bahwa dia akan lebih sukses jika menjadi seorang pengusaha. Sang Petugas dulu ingat melawan ayahnya dengan sebuah baku hantam, dan dalam keadaan memar di mana-mana, babak belur seperti habis dikeroyok warga satu desa penuh, sang Petugas tetap mengajukan surat pendaftaran ke akademi kepolisian. Sang Petugas mengerjakan seluruh tesnya, melakukan semua ujian fisiknya, dan motivasinya malah menjadi berlipat-lipat ganda setelah dia dipukuli oleh ayahnya: dia memang ingin menertibkan wilayahnya, tetapi sekarang dia juga terdorong untuk menunjukkan jari tengah pada ayahnya ketika dia diterima menjadi seorang polisi aktif nanti.

Di akademi itulah sang Petugas bertemu dengan seorang gadis, seorang calon polisi wanita, yang nanti akan menjadi istrinya. Mereka bekerja di distrik yang berbeda, bertanggung jawab untuk kasus-kasus yang berbeda, tetapi mereka tetap menjalin hubungan rutin tanpa mengganggu tugas mereka masing-masing. Lalu, seperti air yang hanya selalu mengalir dari hulu ke hilir, mereka akhirnya menikah.

Mereka dikaruniai dengan seorang anak putra yang sangat cerdas, yang berbakat seperti kedua orang tuanya, dan begitu baik hati pada setiap makhluk hidup yang ditemuinya. Malah, sang Putra memilih untuk menjadi seorang vegetarian dari usia yang sangat muda, karena dia melihat mengenai bagaimana binatang saling memangsa di televisi dan merasa kasihan pada mangsa-mangsanya.

Keluarga mereka persis dengan keluarga sang Ayah—sebuah keluarga kecil, beranggotakan tiga orang, dengan kehidupan sehari-hari yang sangat bahagia, terang, dan tanpa gangguan. Masa depan tampak cerah dan tidak terlalu jauh berbeda dari masa kini.

Dan, persis seperti keluarga sang Ayah juga, sang Putra mulai mengatakan hal-hal aneh.

Persis seperti keluarga sang Ayah, sang Putra pertama mengatakan hal-hal ini di meja makan saat sedang makan malam keluarga. Persis seperti keluarga sang Ayah, hal ini berlanjut di setiap makan malam keluarga dan tidak muncul di saat-saat lain.

Bedanya, ketika suatu hari sang Putra mengatakan sesuatu mengenai korban pembunuhan—sang Petugas juga tidak ingat apa persisnya, karena hal itu terlalu menyakitkan untuk diingat, katanya—sang Petugas menghukum putranya.

Lalu, dari sana, lanjutan peristiwanya adalah versi mengerikan dari versi keluarga sang Ayah: segala hal yang terjadi di keluarga sang Ayah segera terpenuhi, tetapi dengan frekuensi yang lebih sering, intensitas yang lebih tinggi, dan dalam jangka waktu yang jauh lebih singkat. Untuk sekarang, keluarga sang Ayah telah mengalami gangguan dari sang Manusia Cermin selama sekitar tiga hingga empat bulan.

Keluarga sang Petugas mengalami itu semua dalam waktu dua minggu.

Sang Petugas menekankan bahwa identitas yang disebutkan oleh sang Putra berbeda dengan sang Putri: alih-alih Manusia Cermin, sang Putra berkata bahwa segala yang dia katakan dan lakukan didikte oleh seseorang yang menyebut diri Manusia Hoodoo. Sang Petugas, tentunya, tahu mengenai hoodoo, agama yang merupakan perubahan dari agama asli yang dibawa oleh para budak berkulit hitam, dengan perubahan sesuai dengan budaya tempat mereka semua disimpan dalam usaha keras mereka untuk menjaga budaya mereka dengan mensinkretiskan semuanya dengan elemen-elemen budaya baru tempat mereka hidup. Tidak jauh berbeda juga dengan sejarah agama voodoo.

Sang Petugas juga tahu bahwa hoodoo tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang dilakukan oleh putranya.

Suatu hari, sang Putra akhirnya melakukannya—puncak dari seluruh pengaruh sang Manusia Hoodoo, garis batas dari segalanya. Sang Putra membunuh tetangganya.

Sang Petugas segera diluncurkan ke tempat kejadian perkara begitu ada panggilan telepon aduan dari tempat itu, yang dilakukan oleh sang Putra sendiri. Sang Petugas ingat mengacungkan pistol pada anaknya sendiri, dengan tangan yang gemetar luar biasa, dengan air mata membasahi matanya sendiri selama dia berteriak pada putranya untuk menjatuhkan senjata yang dia bawa, atau dia akan terpaksa menembak.

Sang Putra tidak mengindahkan peringatan itu dan menerjang para polisi yang hadir di lokasi.

Sang Petugas tidak ingat siapa di antara skuadronnya yang pertama menarik pelatuk, tetapi beberapa butir peluru lepas dari beberapa pistol mereka, dan salah satu butir tembaga panas itu menembus kepala sang Putra. Pelaku tewas di tempat. Tamat.

Istri sang Petugas tidak bisa menahan rasa sakitnya ketika mendengar berita ini, dan ditambah oleh seluruh stres yang dialaminya dari munculnya sang Manusia Hoodoo di hidup sang Putra, akhirnya merenggut nyawanya sendiri di malam berikutnya lewat gantung diri.

Sang Ayah terhenyak ke kursinya sendiri begitu sang Petugas menyelesaikan ceritanya.

Tidak masalah siapa namanya. Identitasnya tidak pernah penting dari awal. Sang Ayah salah menangani hal ini.

Tidak masalah siapa yang mendatangi putrinya—apakah itu Manusia Cermin, Manusia Hoodoo, atau siapa pun namanya sesungguhnya.

Yang penting, dia telah merenggut nyawa satu keluarga sebelumnya.

Tatapan sang Petugas adalah segala alasan yang sang Ayah butuhkan untuk beranjak pulang saat itu juga.

Sang Petugas benar. Keluarganya sedang dalam bahaya besar.

***

Sang Manusia Cermin sudah pernah mengubah polanya beberapa kali, dan hal itu selalu terjadi ketika sang Ayah mengira dia tahu sesuatu mengenai sang Manusia Cermin. Pertama kali, misalnya, ketika sang Ayah mulai memutuskan untuk menggunakan anaknya sebagai medium bicara dengan sang Manusia Cermin karena ia selalu menghindari topik tersebut, tiba-tiba sang Manusia Cermin memberi sang Putri pesan langsung untuk orang tuanya. Lalu, ketika sang Ayah mengira bahwa dia akan bisa menangkap basah sang Manusia Cermin berbicara dengan putrinya, sang Manusia Cermin memutuskan untuk muncul duluan. Ketika sang Ayah beroperasi atas dasar asumsi bahwa sang Manusia Cermin cuma akan membuat sang Putri mengatakan sesuatu setiap mereka sedang makan malam keluarga, tiba-tiba sang Manusia Cermin mengizinkan sang Putri mengatakan sesuatu soalnya bahkan ketika salah satu orang tuanya tidak hadir.

Dan, ketika sang Ayah mengira bahwa pengaruh sang Manusia Cermin hanya akan terbatas pada kata-kata, tiba-tiba sang Putri memotong sepanjang lengannya sendiri.

Sang Ayah sadar bahwa sang Manusia Cermin selalu beraksi setiap sang Ayah mengira dia tahu sesuatu tentangnya—yang, artinya, pembicaraannya dengan sang Petugas barusan adalah berita yang sangat buruk.

Sang Ayah berusaha menyetir secepat yang dia bisa dalam keadaan hari itu yang mulai gelap, di saat kendaraan-kendaraan pribadi mulai kembali memenuhi jalan karena semua orang tengah memutuskan untuk mencari makan malam lebih cepat, atau mungkin mempersiapkan makan malam instan yang akan mereka makan nanti. Untungnya, jalan dari kafe ke rumah sang Ayah tidak jauh. Toh, mereka sengaja memilih tempat itu karena tempat itu memang dekat dengan rumah sang Ayah. Mau tidak mau, sang Ayah jadi terpikir mengenai apakah sang Petugas sengaja memilih lokasi itu. Sejauh apa yang sang Petugas tahu tentang sang Manusia Hoodoo?

Apabila sang Petugas tahu lebih banyak, dan memberi tahu lebih banyak, dan ternyata sang Manusia Cermin memang bekerja berdasarkan tingkat pengetahuan korbannya tentang dirinya, apakah semuanya justru akan jadi semakin parah bagi sang Ayah?

Bukankah semuanya justru akan jadi semakin parah bagi sang Ayah?

Pada titik ini, sang Ayah tidak bisa lagi berpikir mengenai hal itu. Dia hanya dapat berfokus pada fakta yang jelas bahwa mobilnya tiba-tiba sudah sampai di carport rumahnya, dan bahwa dia harus segera melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya sebelum terlambat.

Dalam sebuah gerakan yang efisien dan sangat tidak elegan, sang Ayah mematikan mesin mobilnya, keluar, menutup pintunya, mengunci mobilnya, dan segera berlari menuju pintu rumah. Sang Ayah tidak ingat apakah mobilnya mengeluarkan bunyi bip-bip yang biasanya memberinya notifikasi bahwa pintu sudah sukses dikunci dari luar dengan remote. Dia hanya ingat berusaha membuka pintu depan, dan menyadari bahwa pintu itu dikunci.

Sang Ayah bahkan tidak berpikir lagi. Keringat dingin mulai muncul di dahi dan pelipisnya, mengalir perlahan ke arah pipinya bahkan di tengah embusan angin yang mulai dingin karena mendekatnya musim gugur. Tangannya sudah merogoh saku, mencari kunci rumah cadangannya, dan dengan gemetar yang luar biasa, dengan koordinasi motorik yang lebih kacau daripada saat dia mabuk, sang Ayah berusaha membuka pintu rumahnya.

Klik.

Klik.

Dua kali kunci. Seperti biasa. Bagaimana dia bisa lupa bahwa dia sendiri yang meminta istrinya mengamankan diri dengan cara ini?

Sang Ayah segera mendorong pintunya dan berlari masuk, tidak memedulikan pintu yang terbanting ke arah dinding, tidak memedulikan ruang tamu yang berlalu begitu saja bagai angin semilir. Dia menebar pandangan sesaat untuk memastikan situasinya masih menguntungkan—istrinya sedang duduk, meminum teh hangat di ruang makan.

Sang Ayah segera memanggilnya untuk menanyakan keberadaan putri mereka.

Sang Ibu mengangkat alisnya dengan heran.

Katanya, sang Ayah sendiri yang menyuruh sang Ibu menunggu di ruang makan sementara dia membawa sang Putri ke loteng.

Jantung sang Ayah mencelus.

Bagaimana bisa itu terjadi jika dia bahkan tidak di rumah sedari tadi?

Sang Ayah tidak punya lagi tenaga atau cukup konsentrasi untuk menjelaskan apa pun pada istrinya, atau untuk menjawab panggilan kepadanya, atau bahkan untuk diam. Sang Ayah cuma terpaku pada kata loteng dan sadar bahwa, siapa pun yang disebut oleh sang Ibu sebagai suaminya, dia bukan sang Ayah.

Namun, jika bahkan istrinya saja bisa salah kira, tidak ada jaminan bahwa putri mereka lebih baik lagi dari itu.

Dan ia sedang dibawa ke loteng.

Untuk apa?

Saat ini, berbagai hal sekaligus lewat di kepala sang Ayah. Tidak, dia tidak mampu untuk mendengarkan setiap hal itu satu-satu. Sang Ayah cuma tahu bahwa ada sebuah pusaran emosi yang mengerikan di dalam dirinya saat ini, menyedot dirinya semakin dalam, menelannya utuh-utuh. Sang Ayah bahkan tidak bisa mengenali satu per satu emosi yang melandanya—marah? Sedih? Berang? Bingung? Panik? Mual? Semuanya seperti berbaur menjadi satu, dan di muara sana, di fokus dari segalanya, hanya ada satu hal: keselamatan putrinya.

Akhirnya, setelah berlari lebih cepat daripada saat dia dulu mencetak home run yang gemilang, dengan bersimbah keringat yang tak kunjung berhenti keluar, dengan napas yang terengah-engah, sang Ayah tiba di loteng.

Loteng rumahnya praktis terletak di atas lantai kedua, dan biasanya tempat ini tidak disentuh oleh siapa-siapa. Sang Ayah sesekali meletakkan barang bekas di sini, mungkin hal-hal yang dia kira akan berguna suatu hari nanti, mungkin barang antik dari masa sebelum rumah ini dijual yang tidak bisa dia lelang dengan harga tinggi untuk pemasukan tambahan. Di luar itu, loteng mereka tidak benar-benar dipakai.

Namun, di ujung jauh sana, persis di jendela loteng mereka, tempat yang harusnya menjadi sumber pencahayaan alami dan ventilasi udara di tempat pengap dan berdebu ini, sang Putri berdiri dengan berpegangan pada kisi-kisi di dinding.

Sang Putri tidak menghadap luar. Ia berdiri dengan menghadap dalam loteng, menatap langsung pada sang Ayah, seakan-akan ia memang menantinya tiba.

Sang Ayah berusaha mengatur napasnya lagi. Sang Putri masih ada. Ia masih ada di sini. Ia masih belum kenapa-kenapa. Sang Manusia Cermin mungkin berhasil menipu istrinya, mungkin berhasil menipu anaknya, mungkin berhasil mencelakakan lengan anaknya dan membawa anaknya naik ke loteng di lantai teratas rumah mereka untuk suatu alasan, tetapi ia masih di sini.

Sang Ayah akhirnya tersenyum sedikit. Hanya sedikit, tetapi ada.

Dia hanya perlu memeluk anaknya lagi, dan semua akan baik-baik saja.

Mengikuti ayahnya, sang Putri tersenyum manis. Sangat manis. Sang Ayah tidak yakin dia pernah melihat putrinya tersenyum secantik itu.

Lalu, sang Putri membuka mulut.

Katanya, sang Manusia Cermin menyuruhnya untuk memberi satu pesan terakhir untuk ayahnya.

Katanya, pesannya adalah selamat tinggal.

Dengan itu, pegangan sang Putri lepas.

Senyum lega sang Ayah masih belum memudar ketika tiba-tiba sang Putri hilang dari jangkauan pandangnya, menjauh ke arah punggungnya sana, lepas dari jendela loteng.

Senyum lega sang Ayah masih belum memudar ketika tiba-tiba sang Putri pergi begitu saja.

Senyum lega sang Ayah masih belum memudar ketika muncul suara keras dari bawah sana, di luar, di tempat sang Putri harusnya mendarat, yang menandakan bahwa sesuatu seberat putrinya membentur tanah keras.

Hancur.

***

Segalanya terjadi dengan sangat tidak berarti setelah itu.

Sang Ibu, yang kaget dengan suara di luar, mengitari rumahnya dan menemukan jasad putrinya yang tak bernyawa dan tak berkepala.

Yah, secara teknis, ia masih berkepala, tetapi sang Ibu tidak punya cukup nyali untuk menyebut bahwa apa pun yang tersisa di tempat kejadian perkara adalah sesuatu yang menyerupai apa yang biasanya dia panggil 'kepala'.

Polisi dipanggil. Sang Ayah adalah satu-satunya orang di tempat kejadian perkara, dan tentunya, karena tidak ada penjelasan lain yang lebih logis, borgol menggapai lengannya sebelum dia bahkan sempat memprotes apa yang terjadi.

Toh, dia juga tidak punya cukup tenaga untuk protes.

Senyumnya masih belum pudar saat para petugas membawanya ke balik jeruji.

Kasus ini sempat menjadi sensasi kecil di lokal sempit mereka. Tempat-tempat yang kecil dan sederhana, yang lebih guyub, biasanya memang memiliki kebutuhan lebih tinggi atas hiburan dan gosip, dan seorang ayah dari sebuah keluarga bahagia yang tiba-tiba mendorong putri tunggalnya dari loteng rumah hingga sang putri jatuh menyambut ajal sepertinya adalah gosip yang sangat hangat.

Tentunya, ini tidak berlangsung lama. Senyum sang Ayah segera pudar, dan dengan itu, segala hal yang mendefinisikan dirinya ikut pudar. Ketika para narapidana mendengar bahwa sang Ayah membunuh putrinya sendiri, mereka tidak sekadar berkelakar: mereka menjatuhkan berbagai macam neraka yang bisa mereka bayangkan pada sang Ayah. Mereka boleh saja kriminal, katanya, tetapi setidaknya mereka masih punya hati.

Sang Ayah, awalnya, masih menjerit di dalam kepalanya sendiri: ini bukan salahku! Aku tidak bersalah! Lepaskan aku!

Jeritan-jeritan itu berhenti dalam tiga hari, setelah berbagai macam hal yang dikatakan dan dilakukan oleh para narapidana maupun para polisi penjaga selnya. Pada satu titik, sang Ayah bahkan mulai mempertimbangkan mengenai apakah, jangan-jangan, dia memang membunuh putrinya sendiri. Mungkin dia mulai kelelahan bekerja, kelelahan menghidupi anak dan istrinya, dan mengarang cerita tentang wujud misterius bernama Manusia Cermin. Mungkin sang Petugas tidak benar-benar ada, dan begitu juga Manusia Hoodoo.

Ataukah Manusia Cermin memang benar ada, dan memang mengganggu keluarga-keluarga bahagia dengan kemampuan bicara dan keahlian teknologisnya?

Ataukah jangan-jangan Manusia Cermin bahkan bukan manusia sama sekali?

Sang Ayah merasa bahwa terlalu banyak asumsi yang harus dia buat untuk menjawab kedua pertanyaan itu, dan akhirnya menyerah. Ya, dia membunuh putrinya sendiri. Menjawab seperti itu jauh lebih mudah daripada mengatakan bahwa ada entitas misterius yang membuat sang Putri merenggut nyawanya sendiri.

Sang Ayah sudah berhenti menangis setiap teringat sang Putri, dan suatu hari, ketika sang Ibu datang menjenguk suaminya, sang Ibu-lah yang pecah menangis histeris. Katanya, sang Ibu sangat mencintai suami dan anaknya, dan seonggok daging tak bernyawa yang ada di dalam sel itu bukanlah lagi pria yang dikenalnya: dia sekarang hanya butiran-butiran partikel organik berbentuk manusia, tidak lagi lapar dan haus, tidak lagi membuang air atau bereproduksi. Dia hanya tinggal bernapas, bernapas, dan bernapas, karena hanya satu hal itu yang tidak bisa disingkirkannya dari tubuhnya sendiri.

Hari itu, sang Ibu akhirnya kehilangan segalanya. Dia kehilangan hidupnya yang indah, kehilangan putrinya yang cantik, dan kehilangan suaminya yang penuh kasih. Beberapa tetangga mereka mengintervensi secara langsung ketika sang Ibu berusaha membunuh diri dengan overdosis obat. Mereka menjelek-jelekkan suaminya. Sang Ibu malah menjadi semakin murka pada mereka. Suaminya bukan orang jahat, serunya, dan pria manis yang baik hati itu tidak mungkin membunuh putri mereka.

Para tetangga hanya bisa menggelengkan kepala dengan kasihan.

Akhirnya, suatu hari, sang Petugas sendiri menjenguk sang Ayah. Sang Ayah, seperti biasa, tidak merespons setiap perkataannya sama sekali, yang sangat disayangkan oleh sang Petugas, karena dia datang membawa berita bagus: sepertinya, masih ada kesempatan bagi sang Ayah untuk bisa dibebaskan.

Sang Ayah masih tidak merespon. Sang Petugas mengela napas.

Dia baru saja membantu tim forensik yang menangani kasus sang Ayah, katanya. Sang Ayah tidak merespons. Sang Petugas melanjutkan.

Katanya, akhirnya mereka berhasil mengumpulkan bukti dari pakaian sang Putri.

Sang Ayah masih tidak merespons.

Katanya, akhirnya tim forensik berhasil mendapatkan sidik jari yang mungkin berhubungan langsung dengan tewasnya sang Putri.

Sang Ayah masih tidak merespons.

Sang Petugas menatap sang Ayah secara langsung. Tim forensik akhirnya mendapatkan sidik jari yang mungkin berhubugan langsung dengan tewasnya sang Putri, dan sidik jari itu tidak cocok dengan sidik jari siapa pun di basis data yang ada. Tidak di basis data lokal, tidak di basis data negara bagian, dan bahkan tidak di basis data nasional.

Nil.

Sang Ayah masih tidak merespons.

Sang Petugas mengakhiri dengan berkata bahwa, jika sang Ayah nanti berhasil dibebaskan dengan bukti baru ini, dia berharap bahwa sang Ayah bisa kembali kepada hidupnya lagi. Bekerja, mencintai istrinya, dan lain sebagainya. Mungkin semuanya sudah terlambat bagi putri mereka, tetapi setidaknya mereka masih bisa melanjutkan hidup.

Setidaknya, keluarganya masih belum hilang sepenuhnya.

Dengan itu, sang Petugas pergi.

Sang Ayah akhirnya memejamkan mata. Dia masih tidak bisa menangis.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro