[Arc] : Ai
Diriku masih memikirkannya. Ramalan seminggu yang lalu tentang masa depan Sang Raja. Meskipun setiap harinya aku selalu tertawa namun di malam yang sepi sendiri, air mataku tidak henti-hentinya menetes.
Sudah 800 tahun berlalu namun perasaan di dalam hatiku masih sama terhadapnya. Katakanlah aku bodoh. Diriku memang tidak bisa mengakui kenyataan bahwa statusku dan dirinya sangat jauh berbeda. Terpisah jauh bagikan jarak bintang-bintang di langit malam sana.
Aku mencintainya.
Sosok Rajaku, emm tidak! Raja kami semua.
"Ana, eh tidak, maksudku Alyn!" panggilnya.
"A--ada apa, Yang Mulia?" timpalku tersenyum.
"Sudah kukatakan berkali-kali, bukan? Aku lebih suka jika kau memanggilku langsung dengan namaku," Sang Raja merengut.
"Iya juga, ya. Emm, setelah aku mendapatkan kembali ingatanku, entah kenapa aku jadi tidak enak jika langsung memanggilmu seperti itu," jelasku canggung sambil menggaruk tengkuk leherku yang sebenarnya tidak gatal.
Sang Raja terdiam sebentar sembari melipat lengannya di depan dada. Suasana hening pun menyelimuti jarak diantara kami, membuat rasa canggungku semakin meraja rela.
"Kalau begitu coba kau sebut namaku!" ujarnya dengan senyum jahil. Wajahnya ia dekatkan ke arah wajahku.
"Hah? Ee! I--I--" gumamku terbata. Kurasakan rasa panas mulai menjalari seluruh inci wajahku yang kini mulai memerah bagaikan udang rebus.
TUK!
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba Sang Raja memukul pelan kepalaku. Kemudian sambil melenggang pergi, ia berbisik, "Dasar bodoh,"
B--bodoh katanya?
🌸
Aula rapat istana yang biasanya selalu sepi, kini dipenuhi sesak oleh anggota kementerian sihir, para penyihir agung, para wakil dari berbagai ras, dan juga Sang Raja itu sendiri. Hari ini semua orang itu berkumpul untuk membahas mengenai ramalan Nina--sang gadis elf beberapa tempo lalu.
"Jadi kenapa kalian harus repot-repot merapatkan ini, huh?" tanya Sang Raja acuh tak acuh. Sejak rapat dimulai, ia sibuk memainkan kartu-kartu tarot yang ia susun menjadi bangunan bertingkat.
"Anda bagaimana, sih? Sebagai seorang Raja muda--ehh, tidak bisa dikatakan muda juga, sih, pasalnya Anda sudah berumur 819 tahun dan..," cerocos Nina yang langsung saja disela oleh Sang Raja.
"Iya iya! Aku sudah tua! Huh!" gerutu Sang Raja. Wajahnya agak cemberut. Bersamaan dengan itu, bangunan kartu tarot yang ia susun pun ambruk dan berjatuhan ke lantai.
"Baiklah, sebagai pengusul rapat ini, bisakah kalian mengajukan tujuan kalian?" Aku memulai diskusi yang mulai tidak kondusif ini.
Setelahnya seorang wakil dari kementrian sihir--Tuan Romero, berdiri dari kursinya. Kemudian ia membacakan tulisan-tulisan yang tertulis di atas secarik kertas berwarna kecoklatan yang ia bawa di tas selempang kulitnya.
Kertas kecoklatan itu melayang di depan wajahnya sementara ia kini sedang memasang kacamata minusnya di atas batang hidungnya yang mancung.
"Saya Romero Vexoza, berdiri disini sebagai perwakilan dari kementrian sihir yang juga mengikuti rapat rahasia para wakil ras dua hari lalu akan menyampaikan hasil dari rapat tersebut kepada Yang Mulia Raja Iru," ujarnya memulai.
"Menyingkapi ramalan Nona Nina Revalium, yang kita tahu sebagai elf paling berbakat di rasnya, kami semua setuju untuk segera mewujudkan ramalan tersebut dengan cara mengajukan proposal penjodohan Raja dengan para gadis bangsawan."
"HAH!?" Para penyihir agung termasuk aku langsung terpekik kaget.
"Lancang sekali! Memangnya kalian siapa, hah!? Bahkan kalian tidak memiliki hubungan apapun dengan Yang Mulia Raja dan Ratu yang sebelumnya!" Mizu membentak para peserta rapat. Kulihat aura emosi membara di matanya.
Tidak aneh, sih dia bertingkah begitu. Seingatku, Mizu yang dulunya bernama Ren merupakan salah satu anggota penyihir pengawal kerajaan yang sangat mengagumi Raja dan Ratu Ebetopia. Selain Raja Iru, ia adalah sosok yang juga sangat terpukul akan peristiwa kecelakaan yang menewaskan dua pemimpin Ebetopia tersebut.
"Mizu, kumohon tenang dulu. Kita semua juga kaget disini," ucap Kurumi hati-hati.
"Kurumi benar, ada baiknya kita mendengarkan dahulu apa yang ingin mereka sampaikan kepada Raja Iru sampai selesai," sambung Andrea dengan nada tenang. Tapi dari sorot matanya, kutahu bahwa Andrea sama emosinya seperti Mizu.
"Yah, jadi apa manfaatnya bagi Raja Iru dan juga pihak istana sampai harus melakukan usul kalian tersebut?" Ame menyambung kembali rapat itu.
"Baiklah, kami tidak akan mengulur-ulur pembicaraan kami lagi. Jadi intinya, kami menginginkan seorang Ratu untuk Ebetopia agar pemerintahan ini tidak berat sebelah," Tuan Romero kembali bersuara. Kali ini suaranya terdengar lebih tegas daripada yang sebelumnya.
"T--tapi!" sanggah Mizu. Namun kali ini nampaknya ia kehabisan kata-kata.
"Be--begitu, ya," gumam Iru. Kepalanya mengangguk kecil.
"Y--Yang Mulia, apakah Anda sepakat dengan usulan ini? Walau bagaimanpun pemerintahan Kerajaan ini, tidak akan seimbang tanpa adanya seorang Ratu. Ini semua demi kebaikan Ebetopia," ujar Romero lagi.
Iru nampak menghela nafas sesaat. Kemudian ia mengangguk dengan raut serius, pertanda ia setuju.
🌸
Kurang lebih begitulah ceritanya. Cerita dibalik air mataku yang terus mengalir deras setiap malam bekalangan ini. Pesta dansa akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Hari ini semua orang terutama kalangan bangsawan tengah dihebohkan tentang kabar pesta dansa tersebut.
Akhir-akhir ini kulihat salon di semua distrik selalu dipenuhi oleh para gadis bangsawan yang tengah mempercantik diri. Banyak dari mereka yang memperdebatkan tentang siapakah yang akan Raja Iru pilih untuk dijadikan permaisurinya.
Tes..
Itu tetesan kesedihan pertama malam ini.
PUK!
Seseorang menepuk pundakku. Aku yang sedari tadi asyik menatap langit malam lewat balkon kamar kini langsung berbalik ke arah si penepuk. Dan, mataku sukses terbelalak lebar setelahnya.
Hening. Kami berdua terdiam. Si penepuk ikut-ikutan terbelalak menatapku. Ekpresi wajahnya saat ini sulit kuprediksi. Memang, belakangan ini ia begitu misterius bagiku. Tidak mudah ditebak. Sementara itu, air mataku terus-terusan berjatuhan. Bahkan, kurasa air mataku semakin deras mengalir keluar.
"Alyn," gumamnya. Kini kepalanya tertunduk dalam.
"Jangan khawatirkan aku! Mataku sedang sakit akhir-akhir ini. Ya! Hahaha... hanya itu," ujarku gelagapan.
Si penepuk kemudian menggerakan kedua lengannya. Ia hendak memelukku. Namun dengan cepat aku menepisnya sambil berkata, "Aku tak apa. Sudah kubilang aku hanya butuh beberapa ramuan penyembuh. Haha."
Setelah itu, aku pun berlari keluar kamar. Meninggalkan si penepuk yang masih berdiri mematung sendirian di balkon kamarku.
Kenapa Yang Mulia harus datang dengan tiba-tiba seperti itu?
🌸
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro