Bab 7 : Aku dan sesuatu yang ingin meledak di hatiku
Ersad berjalan ke arahku saat aku baru tiba di lokasi. Aku celingukan mencari Hana, namun tidak tampak batang hidungnya.
"Hana tadi ada urusan sebentar di luar, dia titip pesan kamu handle shoot malam ini."
Aku langsung menelan ludah, antara ingin memaki Hana yang sama sekali tidak menghubungi atau karena mendengar suara bass di hadapanku.
"Bisa, kan?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk. "O-oke."
Ersad berbalik dan kembali sibuk menyiapkan kameranya untuk shoot. Aku bergegas lari ke ruang ganti. Handle semua berarti termasuk model-model yang tingkahnya naujubilah. Ada yang asyik main gadget terus padahal belum memakai kostum. Waktu shoot kurang setengah jam lagi.
"Tolong semua dengerin saya, ya. Saya Minori, menggantikan Hana untuk sementara sampai dia kembali. Kita harus mulai shoot 30 menit lagi. Bisa ready semua, kan?" Suasana di sekitarku terdengar seperti dengungan lebah. Tidak ada yang berhenti sejenak untuk mendengarku. Bahkan mereka terlihat tidak tertarik dengan kata-kata yang keluar dari mulutku.
"Halo ... semua bisa ready, ya?" Kuulang kembali kalimatku. Dan masih tidak ada tanggapan.
Terdengar suara seseorang memukul meja, aku menoleh dan melihat Emir tersenyum. Beberapa model dan penata rias langsung tertarik begitu melihat wajah Emir.
"Saya Emir, dan dia Minori. Untuk sementara, Minori akan handle kalian. Mohon bantuan dan kerja samanya. Bisa?" Suaranya terdengar sangat persuasif.
"Bisaaa, Mas." Seperti koor paduan suara, pasukan di depanku menjawab dengan kompak dan nada tinggi menggoda. Luar biasa. Aku melirik ke Emir dengan tatapan terima kasih dan dibalas dengan kedipan mata.
Duh, tante bisa tergoda kalau begini terus....
***
Photoshoot malam ini berjalan lancar dan selesai tepat pada waktunya. Hana datang tepat saat baru saja dimulai sehingga aku dan Emir bisa santai dan menonton prosesnya. Kurasa aku harus membuat Ersad menjadi fotografer tetap di perusahaan kami. Hasil photoshoot siang saja sudah membuatku berdecak kagum, berani taruhan yang malam pasti jauh lebih bagus.
Kakiku melangkah mendekati Ersad, dia sedang menenggak air mineral. Jujur saja, meskipun dia penuh keringat dan dalam keadaan tidak fresh, Ersad benar-benar membuatku menelan ludah berkali-kali.
"Ersad," suaraku terdengar ragu. Dia menoleh. Kalau dengan majas hiperbola, akan keluar kalimat, aku tenggelam dalam gelora hasrat saat menatap bola matamu.
"Ya?" Dia menaruh kameranya di tas kemudian berjalan mendekat. "Ada apa?"
Dingin bener, Mas. Perlu saya hangatkan?
"Terima kasih sudah mengingatkan saya tentang konsep saat itu. Sebagai tim kreatif, saya jadi merasa tidak kreatif. Tapi terima kasih, karena sudah menyelamatkan iklan ini," ujarku tulus.
"Nggak masalah. Hal seperti itu bisa terjadi pada siapa saja," sahutnya. Masih tetap sedingin kulkas.
"Bagaimana kalau saya traktir makan? Atau ngopi?" Doa kuucapkan keras-keras dalam hati. Hari ini adalah hari terakhir aku bertemu dan bekerja dengan Ersad. Kalau sampai tidak berhasil mengajaknya jalan, maka tidak akan ada kesempatan lain.
Dia menoleh sambil memicingkan matanya.
Aku langsung menggelengkan kepala. "Nggak ada maksud apa-apa. Hanya ucapan terima kasih."
Ersad berpikir sejenak kemudian mengangguk. "Oke. Saya beresin peralatan dulu."
Aku berteriak dalam hati. Lihat, kan? Pejuang cinta yang tidak pernah menyerah pasti berhasil pada saatnya. Aku memilih tidak mendengarkan Hana soal Ersad yang anti dengan kehidupan pernikahan. Biarlah nanti waktu yang menjawabnya. Malam ini aku hanya ingin mengenalnya lebih dekat.
"Ramlan, pulang, yuk." Emir duduk di sampingku. Wajahnya terlihat lelah. Bukan lelah bekerja, dia lelah menanggapi ajakan ngobrol dari model-model. Sudah kubilang, dia tidak cocok ikut di situs kencan buta. Dia benar-benar memiliki penampilan yang menawan. Kalau saja dia tidak berbeda begitu jauh denganku.
"Lo duluan aja, Mir. Gue ada janji mau ngopi dulu ama fotografernya." Dalam hati aku merasa bangga.
"Aku ikut, ya? Tadi belum sempat ketemu fotografernya, hanya lihat dari jauh." Dia menawarkan diri.
"No, no, no. Ini acara orang dewasa." Kugerakkan telunjukku di depan wajahnya sambil tertawa.
"Saya sudah beres." Tanpa kusadari Ersad sudah berdiri di hadapanku. Pemilik suara gurih itu sudah berganti pakaian dengan kaos putih dan jaket bomber hitam.
"Mas Ersad?" Suara Emir terdengar heran. "Jadi Mas Ersad fotografernya?"
Ersad menoleh dan terlihat terkejut. "Emir?"
Apa lagi ini? Mereka saling kenal?
Tatapan Ersad masih penuh tanda tanya. "Kamu kerja bareng Minori?"
Emir tersenyum sinis dan memilih bertanya balik daripada menjawab pertanyaan Ersad. "Mas Ersad masih ingat Mbak Emi?"
***
Siapa itu Emi?
Apa hubungannya dengan Ersad dan Emir?
Lalu apa yang kulakukan di sini? Duduk di antara dua pria yang siap saling memukul satu sama lain sejak tadi. Ersad menatap tajam Emir. Emir balik menatap dengan penuh emosi. Sementara aku sebagai wasit sudah menghabiskan dua gelas iced chocolate akibat kecanggungan yang sepertinya tidak ada obatnya ini.
Saat aku bilang bahwa aku akan pergi dengan Ersad, Emir bersikeras ikut. Bahkan jika aku tidak mengizinkannya dia akan mengikutiku dari belakang. Memang berbahaya mencari jodoh sembarangan, baru kenal saja sudah ada bau-bau penguntit dan cemburuan. Namun Ersad sama sekali tidak keberatan, dengan tatapan setajam silet dia membiarkan Emir ikut. Dan di sinilah aku. Terdampar di coffee shop dengan badan superlelah.
"Mir, kalau lo capek, lo boleh balik duluan kok," bujukku. Barangkali dia menjawab iya.
"Terus aku ngebiarin kamu berdua doang sama Mas Ersad?" Tatapannya tidak lepas dari Ersad.
"Ya kan, nggak apa-apa, lagi pula tadi gue yang ajakin dia ngopi. Sebagai ucapan terima kasih sudah bekerja keras untuk iklan ini."
"Ramlan, aku nggak akan ngebiarin kamu dekat-dekat sama dia." Kali ini tatapannya berpindah ke aku.
Eh buset, nih bocah salah makan kali, ya....
"Kenapa kalau saya mau mendekati Minori?" Kali ini suara Ersad yang terdengar dan membuatku tersedak saat sedang minum.
"Dan Mas akan jadikan dia seperti Mbak Emi?" Emir terdengar geram.
"Saya tidak melakukan apa-apa terhadap Emi, dia melakukan itu pada dirinya sendiri," jawab Ersad dingin.
Emir bangkit dan terlihat marah, aku ikut bangkit berusaha menenangkannya agar kami bertiga tidak seperti sedang syuting 'katakan putus'. "Duduk, Mir. Kalau lo mau ribut, gue pulang dan nggak akan mau kenal lo lagi." Emir menuruti kata-kataku.
"Ini sebenarnya ada masalah apa, sih?" Akhirnya aku angkat bicara. Kupikir akan sangat membahagiakan jika duduk di antara pria-pria penuh pesona seperti mereka, namun ini kenapa rasanya seperti ada bisul yang mau pecah.
"Tanya saja sama dia." Ersad menunjuk Emir. "Dari tadi kelihatan kan, siapa yang ngajak ribut."
Emir memajukan tubuhnya. "Saya bukan anak kecil lagi, Mas."
"Sejak kapan saya anggap kamu anak kecil," jawab Ersad sambil tertawa. "Masalah itu sudah lama sekali berlalu. Kalau kamu bukan anak kecil, kenapa kamu ungkit sekarang?"
"Karena saya nggak mau kamu lakukan itu ke dia," Emir menunjukku. "Dulu saya nggak sanggup melindungi Mbak Emi, tapi sekarang saya akan melindungi dia."
"Saya dan Minori hanya sebatas hubungan profesional, apa yang ingin kamu lindungi?"
Kata-kata Ersad terdengar nyelekit tapi benar adanya. Si Emir benar-benar minta dicukur bulu kakinya.
Emir tersenyum sinis. "Kita sama-sama laki-laki, Mas. Cara kamu melihat dia, sama seperti saya."
Tuhan ... ada apa di sini sebenarnya??
"Halo ... saya pulang aja ya, jadi silakan kalian lanjut bicara berdua sampai pagi sambil saling melotot gitu." Kali ini aku benar-benar kesal. Kuselempangkan tas dan berdiri.
Tangan Emir menahanku. Aku menepisnya, bocah ini benar-benar membuatku malu. Harusnya ini jadi jamuan terima kasih atas bantuan Ersad. Kenapa jadi seperti ini? Seandainya dia memang memiliki permasalahan dengan Ersad, seharusnya dia bisa menahannya dan tidak menyerang Ersad di depanku. Bahkan mereka berdua sama menyebalkannya, menyebut nama Emi tanpa memberitahuku siapa Emi sebenarnya.
Aku melangkah keluar, namun baru dua langkah giliran tangan Ersad menangkap pergelangan tanganku. "Saya antar kamu."
Emir bangkit dan melepaskan tangan Ersad dari pergelangan tanganku. "Saya yang antar, tadi dia pergi dengan saya," ujarnya sambil menarik tanganku pergi. Aku masih terkejut saat tadi Ersad menangkap pergelangan tanganku sehingga tidak bereaksi saat Emir menarik tanganku. Namun mataku bertatapan dengan mata Ersad saat aku menoleh padanya. Dia tersenyum, namun kali ini bukan senyuman yang kaku. Dia tersenyum hangat padaku dan seketika sesuatu dalam hatiku berdetak kencang seperti ingin meledak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro