BAB 6 : Jodoh itu abstrak.
Sejak kecil, aku bukanlah anak yang terpandai atau tercantik. Aku si biasa. Manusia normal yang terkadang dilupakan eksistensinya. Tidak pernah sekali pun aku merasa bangga atas diriku sendiri. Namun seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa beginilah caraku hidup. Aku adalah tipe yang mengikuti arus. Ke mana hidup membawaku, ke sanalah aku pergi. Aku enggan melawan apalagi menentang.
Begitupun ketika aku lulus kuliah dan akhirnya bisa bekerja. Si aku yang bernama Minori Ramlan ini tidak punya harapan tingggi kepada cita-citanya, kecuali satu. Jodoh. Untuk urusan satu ini aku pantang menyerah. Tidak peduli jika aku dihempaskan cinta berkali-kali, toh aku percaya setiap yang hidup pasti memiliki jodoh masing-masing.
"Udah lihat?"
Aku hampir terlonjak dari kursi saat mendengar suara berat dari belakangku. Ersad tadi menyuruhku membuka laptopnya sebelum dia kembali ke kamar mandi. Namun bagaimana aku bisa lihat kalau dia tidak memberikan passwordnya?
"Password-nya?" tanyaku.
"Monyet lu," jawabnya sambil mengambil kameranya.
Mataku mendelik. "Sorry ya, kamu bisa sopan sedikit nggak?"
"Itu password-nya. Monyet lu. Disambung semua." Ada senyum mengejek di suaranya. Sialan.
"Oh, saya pikir kamu ngatain saya." Aku mengetikkan password dan masuk ke desktop.
"Permisi." Suaranya hampir tidak terdengar. Namun dia sudah membungkuk di sampingku. Wajah kami sejajar. Dia yang segar baru mandi dan aku yang lecek kucel tiada pesona ini hanya berjarak sekitar sepuluh sentimeter.
Mau tidak mau, aku menikmati pemandangan beraroma surga ini.
"Lihatnya ke laptop bukan ke saya." Suaranya terdengar santai tapi menancap langsung ke dadaku. Dalem.
Aku memundurkan kursi dan bangkit. Mencoba mengatasi situasi canggung yang aku alami sendiri, karena Ersad seratus persen tidak terganggu meskipun aku menatapnya seharian.
"Nah, ini!" Dia membuka beberapa hasil fotonya. Aku kembali duduk dan mengamati hasil karya Ersad.
"Ini belum saya edit. Hasilnya nanti lebih baik," ujarnya. Aku menggerakkan mouse, melihat beberapa foto yang lain. Aku tidak bisa mengakui apa pun kecuali hasil karyanya memang mengagumkan.
"Kamu mau edit sekarang?"
Dia mengangguk. "Nanti malem udah beres."
Aku langsung bangkit dan mengambil tas. "Kalau begitu saya pamit dulu. Sampai ketemu nanti malam."
"Nggak minum dulu?" Dia bertanya saat aku sudah dekat dengan pintu.
Aku menoleh sambil tersenyum. "Nggak usah. Kamu pasti terganggu kalau ada saya di sini." Kemudian aku melangkahkan kaki keluar kamar tanpa menunggu kata-kata darinya.
***
"Siang, Pak." Security yang kusapa menganggukkan kepala.
"Mbak Minori tumben udah balik ke kantor?"
"Nanti sore ke sana lagi, Pak. Ada file yang ketinggalan." Aku beralasan mengambil file yang tertinggal. Padahal tujuanku ke kantor adalah ngadem alias leyeh-leyeh sebentar. Entah mengapa aku merasa suasana yang menyesakkan saat berada di kamar bersama Ersad. Ada hal yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Suasananya terlalu canggung dan Ersad adalah manusia yang sulit ditebak. Aku tidak tahu apa yang akan diucapkannya, tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Sehingga aku langsung mengambil langkah seribu dan pergi dari kamar itu.
Nah, sampai sini ada yang gagal paham? Iblis dan malaikat dalam diriku berperang setiap kali melihat Ersad. Sisi iblis mengatakan, aku harus duduk di pangkuannya, merayunya dengan berbagai cara agar pria itu bisa jadi milikku. Sisi malaikatku, berpegang teguh pada kenyataan bahwa aku juga harus tahu malu. Aku harus menempatkan diri selayaknya wanita baik-baik.
"Mbak, kok udah balik?" Bagus melambaikan tangan dari balik kubikel.
"Pusing. Panas banget di sana. Gue mau istirahat di sini bentar," sahutku. Kertas-kertas berserakan di atas meja, dan aku sudah terlalu lelah untuk membereskan.
"Mbak, ada anak baru di divisi kita!" Faras mendekatkan kursinya ke mejaku. Matanya terlihat berbinar. "Ganteng, Mbak."
"Faras, sejak kapan ada anak baru nggak lapor ke gue dulu?"
"Itu juga yang kita bingung, Mbak. Gosipnya sih, Ibu Erinda itu kakaknya doi." Faras menyebut orang nomor dua di perusahaan kami.
"Duh, masuk karena nepotisme, nggak banget. Bawa deh, tuh bocah kemari." Faras mengangguk cepat dan menghilang dari hadapanku.
Sambil menunggu, aku memberi tahu Hana bahwa aku kembali ke kantor. Nanti sore, rencananya akan kembali ke lokasi setelah kepalaku dingin.
"Mbak Minori, ini anak barunya." Suara Faras terdengar lebih ringan dari biasanya.
"Hai, Ramlan...." Aku menoleh dan tertegun. Dunia pasti sedang bercanda, kan? Bagaimana mungkin sebuah kebetulan yang hanya terjadi di drama Korea bisa terjadi dalam kehidupanku? Dan apa ceritanya Emirsyah Safiq yang baru kutolak eksistensinya kemarin, sekarang berstatus anak buahku. Dunia sungguh panggung sandiwara.
***
Begitu Faras berlalu, terjadi keheningan sebelum tawa Emir meledak, aku langsung menariknya ke tangga darurat. Tempat aman yang sepi. Zaman gini siapa sih, yang mau naik tangga ke lantai 13.
"Kenapa lo bisa ada di sini?" Aku melotot padanya.
"Lamar kerja, terus diterima. Nggak nyangka ternyata aku jadi anak buah kamu." Senyumnya membuatku ingin mencakar mukanya.
"Gini ya, Mir. Gimana kalau kita anggap aja kejadian kemarin nggak pernah terjadi. Gue nggak kenal lo, dan lo nggak boleh bilang ama rekan kerja yang lain kalau kita pernah ketemu." Aku bicara dengan sekali napas. Jujur saja, aku merasa gamang dengan kenyataan manusia ini harus bekerja satu tim denganku.
"Kenapa? Kamu malu?"
Aku menarik napas berat. "Gue nggak malu, Emir. Gue cuma nggak mau kita jadi bahan gosip satu kantor."
Dia maju selangkah, merapatkan jarak di antara kami. Mata kelabunya menatapku tanpa ragu. Kalau saja aku khilaf, kemungkinan besar aku akan mempertimbangkannya dan melupakan jarak usia delapan tahun di antara kami. "Ramlan, sebenarnya apa sih, masalah kamu?"
Kesunyian di tangga darurat membuatku salah tingkah. Pertanyaannya barusan seketika menyadarkan bahwa aku sudah bertindak berlebihan. Emir bahkan tidak mengatakan apa pun ke rekan kerja yang lain.
Aku langsung mundur teratur. "Sorry, Mir. Gue kaget ternyata kita bakalan kerja bareng."
Dia mengangkat bahu. "Bagus, kan? Awalnya aku hampir menolak kerja di sini. Aku mempertimbangkan keputusan itu setelah ketemu kamu kemarin."
Tuhan ... kenapa dia tidak lahir lebih dulu dari aku? Atau maksimal dua tahun di bawahku.
"Oke. Selamat bergabung dengan tim kreatif. Semoga lo betah kerja di sini. Enjoy...." Aku berbasa-basi dan langsung pergi meninggalkan Emir.
Hari ini judulnya melarikan diri. Tadi dari Ersad. Sekarang dari Emir. Pasti kalian sedang menertawaiku yang bermimpi lekas dinikahi, namun hobi melarikan diri.
***
"Gue balik ke lokasi, ya." Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima sore. Jalanan pasti sangat macet, dan aku memutuskan untuk memesan ojek online supaya tidak tua di jalan.
"Mbak, si Emir diajak aja. Biar dia tahu lokasinya." Faras menyahut dari balik kubikelnya.
Mataku menyipit. Apa gunanya kalau dia tahu tentang lokasi itu? Namun mulutku kututup rapat-rapat karena saat ini, Emir sudah berdiri di depanku dengan senyum lebar.
"Ngapain lo?"
"Ayo. Aku anter."
Faras dan Bagus seketika langsung berdehem mengejekku. Sial.
"Nggak usah, gue pesen ojek online aja," sahutku sambil membuka aplikasi di ponsel.
Tangan Emir menahanku. "Kalau memang kita nggak ada apa-apa, nggak perlu menghindar seperti itu." Dia menarik pergelangan tanganku. Menyisakan rekan kantor yang mengintip penuh rasa ingin tahu.
Lima menit kemudian, aku sudah duduk manis di motor matic berwarna hitam. Membelah jalanan Jakarta yang ruwet karena macet. Sementara matahari bersiap menyudahi tugasnya hari ini, membuatku terpukau dengan jingga yang hanya muncul beberapa saat.
"Ramlan...." Suara Emir memanggilku.
"Ya?"
"Aku nggak keberatan kalau kamu mau sambil peluk aku. Itu kan, kencan impian kamu di data cocokcocokan.com. Menatap senja sambil berpelukan." Kemudian dia terkikik geli.
Asyem!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro