BAB 3 : Suaranya gurih, tapi pedas. Ibarat makan tahu satu, cabenya sepuluh
Pejuang yang baik adalah mereka yang tahu kapan waktu yang tepat untuk maju, dan kapan saatnya mereka harus mundur. Kalau melihat dari masalah yang sedang aku dan Hana hadapi, sebaiknya kami balik badan, ambil langkah seribu dan memilih fotografer lain. Meskipun karyanya tidak sehebat Ersad, tapi sikapnya pasti jauh lebih baik. Lihat saja, ini sudah jam sepuluh malam. Aku masih duduk di gerai kopi dan donat yang buka 24 jam. Hana sedang memimpin meeting dengan tim produksi, padahal dia baru saja bilang, dia sendiri tidak mengerti apa yang harus dirapatkan. Kalau Ersad bilang semua sudah salah dari ide, maka itu harus diperbaiki dari timku.
Ini sudah 15 kali aku mencoba meneleponnya. Namun tak ada jawaban.
"Lo datengin aja rumahnya." Suara Hana tiba-tiba bergema di pikiranku. Tadi dia memang memberikan ide seperti itu dan langsung memberi alamat lengkap sepupu jauhnya itu. Awalnya aku setuju, namun saat aku mengajaknya, Hana malah bergidik. Dia tidak mau berurusan dengan Ersad selain urusan pekerjaan. Bisa dipahami bagaimana perasaanku? Hana yang masih ada hubungan kerabat aja yuk dadah baybay ama Ersad, apalagi aku.
"Halo." Suara berat tiba-tiba terdengar di sambungan telepon. Akhirnya diangkat!
"Malam ... Pak Ersad. Ini saya yang tadi, Minori dari tim kreatif." Suaraku yang biasanya lantang kini terdengar lirih dan terbata-bata.
"Ada apa?" Dia terdengar terganggu dengan teleponku.
"Bisa kita bicara masalah tadi? Malam ini." Rasanya seperti sedang menghadap guru BP karena habis ketahuan kabur dari jam pelajaran.
"Kamu tahu ini jam berapa?"
Jam sepuluh lewat tujuh menit, Jenderal!
"Tapi saya nggak bisa meeting mengganti ide begitu saja tanpa tahu apa yang salah. Bagian mana yang menurut Anda harus diganti?"
"Kalau saya yang mikir, berarti kantor kamu harus bayar saya double. Sebagai fotografer dan tim kreatif." Kali ini ada nada mengejek dari suaranya.
Aku menarik napas. Butuh kesabaran sekelas Mamah Dedeh untuk menghadapi manusia begini. "Keberatan kalau saya ke rumah Anda?"
"Mau ngapain kamu ke rumah saya?"
Mau berjemur, berenang, sambil minum es jeruk!
"Pak Ersad, tolong ... saya harus bertemu Anda sebelum meeting dengan tim saya. Tim produksi juga sedang menunggu keputusannya."
"Saya nggak bisa malam ini."
"Sedang bekerja? Di mana? Saya susul." Aku benar-benar sudah kehilangan akal.
"Saya mau tidur." Dan dia langsung memutus sambungan telepon.
Aku menelepon kembali, namun tidak aktif. Aku menatap kosong ke cangkir kopi hitam yang belum kuminum. Andaikan cangkir ini sebesar baskom pasti sudah kucelupkan wajahku ke dalamnya karena frustrasi.
Sambil memijit pelipis, aku menelepon Hana. Suara sahabatku pun tidak kalah mengenaskan.
"Han, ganti fotografer aja, ya? Gue nyerah. Biasanya si Oding oke aja apa pun ide dari tim gue."
"Lo tahu? Pihak ONOOPO langsung antusias begitu gue bilang fotografernya si Ersad. Kalau sekarang kita ganti, nggak profesional banget," tukas Hana.
"Besok gue coba meeting dulu ama tim ya, setelah itu gue datengin tuh si Es balok." Aku menyudahi sambungan telepon dengan Hana. Dengan langkah gontai, aku menyetop taksi dan beranjak pulang. Hari ini sama seperti hari kemarin, hanya 24 jam. Tapi sepertinya hari ini jauh sangat melelahkan dan waktu berjalan sangat lambat. Ah, aku baru tahu kalau kesialan berbanding lurus dengan pergerakan waktu.
***
Sunyi. Saking sunyinya, aku sampai bisa mendengar suara jarum jam yang berdetak. Bahkan sebentar lagi mungkin bisa mendengar desahan cicak yang lagi kimpoi di sudut langit-langit. Tidak biasanya rapat tim kreatif sehening ini. Tim yang kupimpin selama dua tahun terakhir ini, selalu ramai dengan ide yang datang dari satu mulut dan disambut mulut lainnya. Namun pagi ini—jam tujuh pagi tepatnya—yang kulihat hanya wajah lesunya Faras, kening berkerutnya Jessi, mata terpejamnya Fahri, dan tatapan kosong dari Bagus. Semua bingung, karena menurut mereka ide kemarin sudah matang. Ibarat ubi direbus, sudah hampir benyek saking matangnya.
"Mbak, gimana kalau lo temuin fotografer itu lagi?" Jessi memecah keheningan. Tatapannya penuh harap padaku.
Aku menggaruk kepala sambil meringis. "Bukan gue nggak mau, Jes. Dia yang kagak mau ketemu gue. Dia mau semua ide diubah total."
"Datang secara profesional, Mbak," sambung Fahri.
Faras melirik Fahri. "Maksud lo gimana, sih? Memang kurang profesional apa Mbak Minori?"
Mata Fahri berbinar mengetahui seseorang tertarik dengan idenya. "Pakai baju kantoran, bawa berkas-berkas. Pokoknya yakinkan si fotografer kalau ide ini sudah sangat pas."
Suara riuh langsung terdengar. Bagus memukul kepala Fahri. "Ide! Kita butuh ide. Bukan nyamperin dia bawa pepesan kosong."
"Mbak, lo udah pernah lihat hasil-hasil fotonya dia?" tanya Faras.
Aku menggeleng. Kenapa itu tidak terpikirkan dari tadi?
"Kalau Mbak lihat hasil fotonya, mungkin kita bisa dapat ide, apa yang dia mau."
Kali ini aku langsung mengangguk dan pamit keluar ruang rapat. Hana pasti punya portofolio Ersad.
***
"Gue nggak bohong waktu bilang karyanya Ersad hebat. Lo lihat aja sendiri." Hana menyerahkan portfolio Ersad. "Di situ lo mungkin bisa dapat ide," sambungnya lagi.
Sambil duduk bersandar di sofa, aku membuka lembar demi lembar. Mengingat perusahaan kami cukup besar, aku sudah bekerja sama dengan beberapa fotografer terkenal. Meskipun biasanya Hana yang berhadapan langsung dengan mereka, sementara timku sibuk menggodok ide baru untuk project lainnya. Sebenarnya karya Ersad bisa dibilang setara dengan yang lainnya. Namun ketika aku menatap hasil karyanya seperti ada sesuatu yang magis, yang membuatku ingin berlama-lama menatap foto tersebut.
Aku bukanlah penikmat seni. Bukan tipe yang berlama-lama menatap sebuah foto atau lukisan. Itulah kenapa aku ada di tim kreatif, dan bukan produksi. Aku hebat dalam menghasilkan ide, namun nol besar dalam menilai sebuah karya. Tapi sepertinya aku mulai sedikit mengikuti cara kerja Hana, terbukti sudah hampir lima belas menit aku membolak-balik portfolio Ersad. Dan mataku cukup lama terpaku pada foto hamparan pasir yang luas, seperti tidak berujung.
"Udah ada idenya?" Hana kembali dengan secangkir kopi di tangannya.
Aku menggeleng lemah.
Hana duduk di sampingku. "Deadline-nya sepuluh hari lagi. Sudah termasuk editing dan lainnya."
"Gue harus ketemu dia hari ini. Paling lambat lusa, tim lo harus photoshoot. Kalau nggak, habis kita." Aku bangkit dari sofa dan mengembalikan portofolio Ersad.
"Selamat berjuang." Hana mengepalkan tangannya memberiku semangat. Sementara yang diberi semangat, hanya bisa melangkah gontai pergi ke medan perang.
***
Aku dan Faras sudah menghabiskan tiga teh botol dan gorengan lima ribu perak. Duduk menunggu tanpa tahu yang ditunggu kapan selesai. Dari kejauhan aku hanya bisa menatap pria dengan sweater abu-abu yang sedang sibuk memotret.
"Mbak, setengah jam lagi kita jadi peyek saking keringnya," keluh Faras.
Lokasi pemotretan itu berada di tempat antah-berantah yang sialnya, hampir tidak ada pohon di sini, sehingga aku dan Faras sembari menunggu pun bisa berjemur.
"Lo lihat, kan? Dia sama sekali nggak peduli kita ada di sini." Aku berbisik pada Faras.
"Dia profesional banget kalau lagi kerja, ya?" tanya Faras. Matanya tidak lepas menatap punggung Ersad dari tadi. Begitu pun aku. Es balok itu terlihat sialan seksi dari belakang. Tubuhnya tinggi, bahunya lebar. Kalau dari teori cocoklogi kemungkinan besar hobinya berenang.
Aku berbisik lagi. "Mending dia diam aja, kerja. Kelihatan gantengnya. Masalahnya kalau udah ngomong, rujak pengkolan aja kalah pedesnya."
Faras manggut-manggut kemudian cekikikan. Sebagai junior paling muda di tim, gadis manis ini sering kali kuajak ke lokasi. Tengah malam atau siang bolong, dia pasti ikut. Sementara yang lain lebih memilih ngadem di kantor.
Faras menepuk pahaku. "Mbak, Mbak ... udah beres tuh kayaknya."
Aku segera bangkit dan berlari kecil menuju Ersad. Ersad hanya melirik sekilas ketika aku berada di hadapannya. Dia sibuk membereskan kamera beserta lensa dan perlengkapannya.
"Kamu tahu dari mana saya di sini?" tanyanya tanpa melihatku.
"Tadi saya ke studio, katanya sedang ada photoshoot di sini. Jadi saya susul."
Dia memanggil anak buahnya dan berbicara dengan mereka kemudian melihat ke arahku. "Keberatan kalau diskusinya di studio saya? Saya harus mengedit hasil foto barusan."
Aku menggeleng kemudian mengikuti langkahnya. Faras menggamit lenganku, matanya terlihat sedikit khawatir. Mungkin dia merasa Ersad kurang bersahabat dan pembicaraan ini akan berlangsung alot.
Lima belas menit yang canggung berlalu begitu saja di dalam Range Rover hitam miliknya. Tadinya aku dan Faras berencana naik Busway, namun Ersad menyuruh kami ikut di mobilnya. Untungnya jarak gedung dan studionya tidak jauh. Ersad langsung meminta kami mengikutinya ke ruang kerja begitu sampai di studio.
"Minum?" tanyanya saat aku dan Faras baru saja mendaratkan bokong kami di sofa.
Serempak kami mengangguk. "Air putih saja," jawabku.
Ersad mengambil dua botol air mineral dari lemari es kemudian duduk di sofa single yang berhadapan denganku. Tangannya memegang map yang kurasa berisi konsep tentang iklan ponsel ONOOPO.
"Sudah tahu apa yang membuat ide ini tidak menarik?"
Jarak aku dan dia tidak sampai semeter sehingga aku bisa melihat bola matanya berwarna sedikit kecokelatan. Kulitnya pun cenderung cokelat, jelas karena dia sering kali melakukan photoshoot di bawah terik matahari.
Faras menyenggol lenganku. "Mbak ditanya tuh...."
Aku tergagap. "Oh iya. Belum ... kami belum menemukan apa yang tidak menarik. Ponsel ini kan, memang dibuat untuk kalangan menengah ke atas. Jadi konsep glamour menurut tim kami sudah paling tepat."
Ersad membuka map, tangannya mengusap janggut halus di sekitar rahangnya. Saat dia mengangkat kepala, mata kami bertemu. "Memang jika ditujukan untuk menengah ke atas konsepnya harus glamour? Apa semua orang kaya berpesta di rooftop? Apa mereka nggak boleh sekadar duduk-duduk santai di taman atau di foodcourt? Di sini letak kesalahan kamu. Mereka butuh diyakinkan bahwa ponsel ini, selain mewah juga menyenangkan. Cari lokasi yang pemandangannya bagus dan bisa menunjukkan bahwa ONOOPO terbaru ini, punya fitur kamera yang memuaskan."
"Hmm ... bener juga," gumam Faras. Tanpa menoleh pun aku tahu, Faras sedang terpesona dengan cara bicara Ersad. Sama seperti aku.
"Selain itu, rivalnya baru mengeluarkan iklan yang hampir serupa. Kalau ingin menarik bukankah harus terlihat berbeda? Buat sesuatu yang fresh, dengan warna-warna yang menarik. Meskipun ponsel ini ditujukan untuk kalangan tertentu, buatlah mereka yang sekadar hanya melihat iklannya pun ikut senang."
Tubuh tinggi, bahu lebar, kulit kecokelatan, wajah yang—kalau kata Hana—laki-laki banget, dan seorang fotografer profesional. Aku pasti sudah berjuang membela negara di kehidupan sebelumnya sampai bisa duduk berhadapan dengan manusia ini.
"Paham?" Dia menatap ke arahku. "Selain sibuk ngeliatin saya dari tadi, apa yang kamu dapat dari pembicaraan ini?" tanyanya sambil tersenyum sinis.
What the...!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro