Bab 10 : Kita seringkali berdarah untuk orang yang salah ...
Kupijit pelipisku yang mulai terasa sakit karena rapat yang tak kunjung selesai. Sudah lewat jam makan siang dan hebatnya, belum juga ada yang merasa kelaparan. Aku ingin mengangkat tangan dan pamit untuk lunch, tapi kuurungkan ketika melihat wajah anggota timku yang lebih sepet dari mangga muda.
Hari ini adalah rapat terakhir dengan pihak ONOOPO. Mereka akan melihat hasil iklan yang sudah kami buat. Tentu saja Ersad ikut hadir karena dia yang kami dapuk sebagai fotografer untuk project ini. Meskipun hasilnya sudah sempurna, ada saja detail kecil yang membuat pihak ONOOPO kurang puas.
Kulirik Ersad yang sejak tadi tidak banyak bicara. Sesekali dia menyampaikan pendapatnya, namun sejak satu jam terakhir, Ersad hanya bersandar di kursi dan mendengarkan jalannya rapat dengan wajah kurang antusias. Dia bahkan tidak melirikku sama sekali. Padahal tadi pagi, aku mengirim pesan singkat ucapan selamat pagi yang tentu saja dibaca tanpa dibalas olehnya.
Setelah menghela napas untuk yang ke ... entah berapa kalinya. Akhirnya rapat selesai juga. Wajah pasukan rapat sudah seperti orang puasa menjelang adzan Maghrib, pucat dan lemas. Karena rapat kali ini bertempat di gedung klien, maka aku memutuskan untuk izin pulang sekalian. Rasanya tenagaku tak cukup jika harus kembali ke kantor dan bekerja sampai jam lima nanti.
Ersad sudah turun lebih dulu, saat aku dan Hana masih bicara dengan klien. Meski banyak catatan kecil, namun mereka puas dengan hasilnya dan akan meminta kami bekerja sama untuk produk berikutnya. Tentu saja tidak langsung kami iyakan. Kurasa aku dan Hana bisa cepat tua jika berhubungan terus dengan klien super perfeksionis seperti ini.
Lift meluncur turun dan berhenti di lobi. "Gue antar balik ya?" tawar Hana.
Aku menggeleng sambil melangkah keluar lift. "Lo masih banyak kerjaan. Gue naik taksi aja." Kulambaikan tangan dan Hana pun meneruskan lift sampai ke parkiran basement.
Saat menuju teras lobi, aku melihat Ersad duduk di kursi panjang dekat pintu keluar. Perlahan aku mendekat, mencoba keberuntunganku untuk mengajaknya makan siang. Namun ada yang tidak biasa, Ersad yang penuh energi saat sedang bekerja, tidak terlihat hari ini. Sambil bersandar ke dinding, matanya terpejam dan wajahnya terlihat lelah. Tas kamera diletakkan di kursi sampingnya yang kosong. Kuletakkan tas kamera miliknya di pangkuanku dan duduk, kemudian memperhatikan wajah Ersad sambil bertanya-tanya, sengantuk apa dia sampai harus mampir di lobi untuk tidur?
Saat mataku menelisik, Ersad membuka mata. Sejenak kami bertatapan, namun kemudian dia menyipitkan mata. "Ngapain ngeliatin saya?"
Aku menegakkan badan. "Siapa yang ngeliatin? Geer amat."
Ersad memejamkan matanya lagi.
"Kalau ngantuk, pulang," seruku. Namun tidak ada tanggapan. Kulihat sekali lagi wajahnya dan baru kusadari, dia tampak pucat.
"Kamu sakit?"
Dia tidak menjawab. Membuatku khawatir, bagaimana jika tiba-tiba dia pingsan? Kuraba dahinya, "kamu demam!"
Ersad akhirnya membuka matanya perlahan. "Kepala saya sakit sekali." Dia mengerutkan keningnya. "bisa minta tolong panggilkan taksi?"
Spontan aku melompat dan menyelempangkan tas kamera miliknya. "Saya antar ke rumah sakit." Kupegang lengannya untuk membantu Ersad bangun.
Ersad menggeleng kemudian melepaskan peganganku. "Nggak usah ke rumah sakit. Saya nggak apa-apa. Hanya butuh istirahat."
Aku mengacuhkan perkataannya dan tetap membantunya berjalan menuju teras lobi. Terlihat beberapa taksi biru menunggu penumpang. Segera kulambaikan tangan untuk memanggil salah satu sopir yang langsung menyahut.
Jika kubiarkan dia naik taksi sendiri, Ersad pasti akan langsung pulang. Akhirnya kuputuskan untuk menemaninya ke rumah sakit. Aku menoleh padanya. "Saya antar kamu ke rumah sakit."
Diamnya kuanggap sebagai tanda setuju.
Aku berusaha tetap tenang sementara kondisi Ersad terlihat makin lemah. Saat di taksi kusandarkan kepalanya ke bahuku agar dia bisa tidur sejenak. Sakit kepalaku hilang total. Yang aku pertanyakan, bagaimana jika tadi aku tidak bertemu dengannya? Dan kenapa juga sudah kondisinya separah ini, dia masih ikut rapat?
Begitu tiba di rumah sakit terdekat, Ersad langsung kubawa menuju Instalasi Gawat Darurat karena kondisi tubuhnya tidak memungkinkan untuk duduk lama menunggu antrean dokter. Staf medis langsung memeriksa Ersad. Aku menyingkir sebentar untuk mengambil napas. Kucoba menghubungi Hana untuk memintanya menelepon keluarga Ersad, namun ponsel Hana tidak aktif.
"Keluarga Bapak Ersad?" Suara dokter jaga terdengar dari tempat Ersad sedang diperiksa.
Aku berjalan mendekat. "Keluarganya sedang coba saya hubungi, Dok. Saya temannya. Bagaimana keadaanya sekarang?"
Aku mengangguk mendengar penjelasan dokter. Setelah perawat memasang infus Ersad , aku duduk di sampingnya. Kurapatkan selimut di bagian tangannya kemudian hendak berjalan dan menunggu di luar namun tangan Ersad menahanku.
"Nggak perlu menelepon keluarga saya." Suaranya masih terdengar lemah.
"Kenapa? Kamu takut keluarga kamu tahu tentang saya?"
Dia menggeleng. "Percuma. Nggak akan ada yang datang."
Ersad sudah memejamkan mata. Aku mengingat cerita dari Hana tentang keluarganya. Dia benar, tidak ada yang akan datang. Kuurungkan niat untuk keluar dan memilih duduk di kursi yang berada di samping tempat tidurnya.
Dari kecil hingga saat ini, ketika demam pasti aku akan mencari Mami. Tanpa perlu mengeluh apa-apa, Mami akan sangat sibuk. Mengompres, menyuapi bubur, hingga menemani tidur. Namun lihatlah Ersad, sejak kecil dia dilatih untuk tidak bersandar kepada siapa pun. Sakitnya, dia telan sendiri dan tidak berharap ada yang datang memberi perhatian padanya.
Hal itu membuat hatiku ambyar dan air mataku mulai mengalir yang tentu saja buru-buru kuhapus, malu banget kalau dia sampai lihat.
"Kenapa kamu yang nangis?"
Aku terkejut sampai hampir melompat saat mendengar suaranya. "Siapa yang nangis?" sanggahku sambil terisak. Bahkan tangisku sendiri pun mengkhianatiku.
Dia menatapku. "Saya nggak apa-apa. Hanya kecapean."
"Kalau sudah tahu begitu, jangan keluyuran. Bagaimana kalau tadi pingsan di jalan?" Kekesalanku memuncak mendengar Ersad menanggapi sakitnya dengan santai, padahal aku sudah seperti orang gila saat membawanya ke sini.
"Tadi kan . rapat finale. Saya harus datang." Ersad mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menghubungi seseorang. Setelah mematikan sambungan telepon, dia mengalihkan pandangannya kepadaku. "Asisten saya sedang on the way ke sini. Kamu nggak perlu nungguin saya."
Wah, muke gile. Tiba-tiba kepalaku berdenyut lagi. Kesal karena dia menyuruhku pergi. Kenapa sih, dia begitu sulit menerima perhatian dari orang lain? Apa dengan aku melakukan hal ini, lalu memaksanya untuk menyukaiku juga? Tentu saja tidak. Lalu kenapa dia memperlakukanku seperti penyakit menular yang sebisa mungkin harus dihindari? Tanpa pamit, aku pun berbalik pergi sambil mengentakkan kaki, menunjukkan kekesalanku.
"Terima kasih." Kudengar suaranya lirih, namun aku memutuskan tidak menjawabnya.
***
"Ramlan, yang ini dibawa juga?" Emir menunjuk kardus berwarna putih.
"Iya, masukin di mobil Hana ya, Mir," sahutku.
Hubunganku dengan Emir berangsur membaik. Kami mulai mengobrol dan tertawa lagi. Bicara dengannya sangat menyenangkan, seperti menemukan teman kecil yang lama hilang. Dan kami tidak lagi mengungkit soal Ersad. Beberapa hal mungkin harus dimengerti tanpa mencoba mencari tahu apa alasannya.
Bicara soal Ersad, sepulangnya dari rumah sakit, aku merasa sedikit menyesal. Beberapa hari lalu sempat aku menanyakan kabarnya lewat Whatsapp, yang tentu saja hanya dibaca tanpa ada balasan. Keadaan saat itu, aku yang sedang kurang sehat, bertemu Ersad yang sakit. Khawatir dan panik terhadap keadaannya sampai-sampai melupakan bahwa aku juga sedang tidak enak badan. Namun si dingin bin kejam itu malah menyuruhku pulang begitu saja tanpa basa-basi. Bukannya aku pamrih, hanya berharap barangkali hubungan kami bisa sedikit lebih akrab. Namun ternyata nol besar. "Mending kamu makan dulu sebelum berangkat, ini biar saya urusin." Suara Emir terdengar dari belakang.
"Lo juga makan, Mir. Belum sarapan, kan?" Aku membukakan makanan dan menyuruhnya duduk untuk makan.
"Kamu ikut mobil saya, kan?"
Aku mengangguk. "Mobil Hana penuh barang, gue ikut mobil lo nanti."
Hari ini kami akan berangkat ke Ciwidey. Photoshoot untuk iklan Teh Cucuk sudah ditentukan akan dilakukan di objek wisata Kawah Putih. Segenap tim berangkat, karena selain photoshoot, kami menganggapnya sebagai bonus liburan. Seperti biasa, tim ondel-ondel selalu ramai dengan persiapan. Bukan seperti tim Hana yang membawa segala macam kostum dan properti, mobil kami penuh dengan jajanan. Mulai dari Chiki, minuman bersoda, kacang, Pop Mie, dan entah apa lagi yang ada di belantara bagasi.
Faras dan Jessi sudah siap dengan topi pantai mereka, padahal sudah berkali-kali kuberi tahu, kita ke kawah putih bukan ke pantai. Mereka tetap ngotot, alasannya topi itu baru seminggu dibawa Jessi dari Thailand, dan mereka ingin segera foto lalu posting di instagram. Bagus dan Fahri seperti anak kembar, mengenakan celana pendek dan jersey bola favorit masing-masing. Emir? Nggak usah ditanya, mau pakai baju gembel juga di badannya kelihatan keren.
Setelah hompimpa alaihim gambreng ditentukan aku dan Faras akan naik di mobil Emir, sementara Jessi harus puas semobil dengan Fahri dan Bagus. Dengan tergesa karena tim Hana sudah berangkat satu jam yang lalu, aku naik ke pajero putih milik Emir. Di sinilah surga makanan, semua cemilan sudah kuselipkan di mobil ini.
"Siap? Ada yang mau ke toilet lagi?" tanya Emir.
"Gue udah tadi. Mbak Minori?" Faras bertanya padaku.
"Gue juga udah tadi. Yuk, jalan. Hati-hati, Mir," sahutku sambil menoleh padanya dan dijawab dengan anggukan kecil.
***
Aku ingat bahwa tadi pagi aku sudah sarapan, lalu kenapa perutku terasa bergejolak. Beberapa kali aku menutupinya dengan makan permen atau jeruk yang dibawa Faras. Namun kali ini seperti tidak tertahankan.
"Mir, stop dulu di rest area, ya. Gue nggak enak badan nih." Isi perutku benar-benar tidak bisa ditahan lagi ingin segera keluar. Saat Emir masuk rest area dan berhenti, aku langsung turun dari mobil dan muntah di rerumputan.
Emir dan Faras turun dari mobil dengan wajah khawatir. "Gue beli teh hangat dulu, Mir. Jagain Mbak Minori, ya." Faras berlari menuju warung kecil tak jauh dari tempatku berdiri. Emir mengurut tengkuk dan mengelus punggungku.
"Kenapa nggak bilang sih, kalau lagi sakit?" Dia membantuku berdiri.
"Gue cuma masuk angin. Udah nggak apa-apa, kok." Aku memang merasa lebih baik setelah muntah.
Faras mengangsurkan segelas teh hangat manis. "Minum dulu, Mbak." Wajahnya menampakkan keprihatinan. "Emir sih, ngebut banget udah kayak supir AKAP."
"Ya, tadi bilangnya suruh buru-buru." Emir membela diri. "Maaf, ya...," lanjutnya sambil kembali mengusap punggungku.
"Udah, gue nggak apa-apa, kok. Yuk, berangkat. Sisa perjalanan gue tidur aja, deh." Aku naik ke mobil diikuti oleh Emir dan Faras. Emir mengeluarkan selimut abu-abu dari bagasinya dan memberikannya padaku. Baunya entah parfum apa namun sangat khas Emir.
"Memang lo sering tidur di mobil? Sampai ada selimut gitu," tanya Faras saat mobil mulai berjalan.
"Nggak. Itu gue siapin untuk kakak gue."
"Adek yang baik." Faras menepuk pundak Emir. Namun raut wajah Emir berubah, dia terlihat sendu. Aku mulai berpikir apakah Emi yang disebutnya dengan panggilan Mbak adalah kakaknya? Sebelum aku berpikir lebih lanjut, kelelahan menelanku dan aku tertidur lelap dengan selimut Emir membalut tubuhku.
***
"Mbak, kita sudah sampai di villa." Faras mengguncang tubuhku. Kepalaku terasa lebih ringan sekarang, mungkin benar aku hanya kelelahan dan butuh istirahat.
"Lo lama banget deh, sampainya." Hana membuka pintu mobilku. Ini cuma di Ciwidey tapi gayanya seperti di Norway saat musim dingin. Syal, mantel, topi bulu. Luar biasa sekali. Namun saat aku turun dari mobil barulah terasa embusan angin yang membuat tubuhku menggigil.
"Gue tadi nggak enak badan, di rest area gue muntah," ujarku dengan suara bergetar karena kedinginan. Emir menghampiriku dan tanpa bicara apa-apa dia melepas jaket tebalnya dan memberikan padaku, kemudian kembali menurunkan barang dari dalam mobil.
"Andaikan dia nggak lebih muda delapan tahun, atau andaikan sahabat gue nggak idealis. Beruntung banget tuh perempuan yang bisa dapat laki kayak Emir," gumam Hana.
Aku menatapnya dari kejauhan. Bisakah aku jatuh cinta padanya? Setiap aku mulai merasakan sesuatu padanya, langsung kutepis perasaan itu. Emir baik. Sangat baik. Kuakui seharusnya aku jatuh cinta padanya dan bukan Ersad. Ersad sering kali membuatku kecewa dengan sikap dinginnya. Namun bukankah ada yang bilang, kita sering kali berdarah untuk orang yang salah?
***
Bagi kami kaum urban, tempat yang dingin dan sepi adalah surga dunia. Meletakkan sejenak beban pekerjaan dan duduk menikmati udara dan pemandangan. Kawasan villa yang kami tempati memiliki luas sekitar tiga hektar, dan berisi beberapa villa. Perusahaan menyewa dua villa, untuk tim dan talent. Photoshoot sendiri rencana berlangsung selama tiga hari.
Hana dan timnya sudah berangkat menuju objek wisata Kawah Putih. Sementara aku dan tim, masih leyeh-leyeh sejenak. Kami berencana berangkat setengah jam lagi. Aku sudah mengganti bajuku dengan sweater biru, namun Emir menyuruhku tetap memakai jaketnya karena jaket yang kubawa terlalu tipis.
"Ramlan, minum dulu." Emir muncul dari belakangku, membawa segelas teh hangat.
Kan ... dia benar-benar manis. Sulit untuk mengacuhkan perhatiannya.
Aku menggumamkan terima kasih dan menyeruput teh yang diberikan Emir padaku. Kami berdua duduk dalam keheningan yang cukup lama. Aku dan Emir hanya menikmati pemandangan dan udara tanpa saling bicara.
"Mir, kenapa lo benci banget ama Ersad?" tanyaku setelah kesunyian panjang.
Dia menoleh, menatapku dengan cara yang membuatku bingung. Kemudian dia menghela napas. "Mbak Emi, kakak saya, pernah mempunyai hubungan dengan Mas Ersad. Bisa dibilang hubungan tanpa status. Pernah nonton Friends with Benefits?"
Aku mengangguk. "Justin Timberlake dan Mila Kunis?"
Emir tersenyum. "Ya, kurang lebih seperti itu hubungan mereka dulu. Kelihatan nggak ada yang salah dan semua baik-baik aja." ." Emir terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Sampai ketika Mbak Emi beneran jatuh cinta sama dia. Bukan sekadar cinta monyet tapi betul-betul tergila-gila dan berniat membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Obsesi kakak saya mulai tidak wajar dan dia yakin seratus persen, Ersad juga cinta sama dia dan setuju untuk menikah."
"Terus?" Aku menantikan ceritanya berlanjut.
Emir meringis. "Begitu Mas Ersad tahu perasaan dan niat Mbak Emi, saat itu juga dia langsung pergi dan menghilang tanpa jejak. Mas Ersad memutuskan semua kontak."
Sekejam itukah? Oke, aku mulai merinding membayangkan dinginnya Ersad.
Mata Emir menatap jauh ke depan, seperti berusaha mengingat kenangan yang ingin dia lupakan. "Suatu malam Mama teriak-teriak gedor kamar saya. Katanya Mbak Emi mau bunuh diri. Saat saya datangi, dia pingsan di kamarnya karena overdosis obat penenang."
Napasku tersekat. Dalam hati ikut mengutuk Ersad yang tidak punya niat nikahin anak orang tapi tetap memberinya harapan. Dasar kardus!
"Mas Ersad malam itu juga datang ke rumah sakit, bicara dengan orangtua saya. Mbak Emi memaksa menikahinya yang langsung ditolak. Mas Ersad bilang bahwa sejak awal dirinya dan Mbak Emi setuju, hubungan mereka hanya bisa sebatas itu, tidak akan pernah ada pernikahan dalam kamusnya. Sayangnya, kakak gue terobsesi berat sama dia. Masa-masa itu cukup berat bagi keluarga gue terutama Mbak Emi. Mas Ersad sekalipun nggak pernah muncul lagi setelah itu." Senyum sinis terukir di bibir Emir.
"Lalu keadaan Mbak Emi sekarang?" tanyaku ragu.
"Setelah beberapa psikiater akhirnya dia bisa move on. Sekarang dia sudah buka butik dengan baju rancangan dia sendiri. Tapi saya tahu, luka hatinya nggak bisa sembuh. Dia masih suka melamun di teras rumah, menunggu Mas Ersad datang. Tapi yang ditunggu, tidak pernah lagi menemuinya." Dia menyudahi penjelasannya.
"Jadi itu alasan lo nggak bolehin gue dekat-dekat dengan Ersad?" gumamku.
Dia menoleh dan menatapku. "Ramlan, lo boleh percaya atau nggak, tapi saat ini apa pun akan saya lakukan untuk melindungi kamu dari orang seperti Mas Ersad."
Mataku berkedip beberapa kali, pria di depanku ini nyata atau tidak, sih? Dia tahu aku menolaknya mentah-mentah di pertemuan pertama kami saat kencan buta. Dia juga tahu aku tidak suka dengan perbedaan usia kami yang terlampau jauh. Dia persis tahu aku punya hati dengan Ersad. Namun mengapa dia rela berdiri di depanku untuk melindungiku?
Ah, saat itu aku menyadari. Aku dan Emir sama. Aku rela terluka untuk Ersad, di saat yang sama Emir berdarah untuk menghapus lukaku. Sungguh ironis.
Mbak afri, bagian ini belum kuhapus. Tapi di atasnya aku bikin adegan baru (yang di highlight) yang membuat ersad ikut rapat bareng mereka. Jadi nggak ketemu secara gak sengaja gt. Karena adegan setelah ini, mereka ketemu lagi di bandung kan ya :D Kira-kira manakah yang minim drama? Nanti silakan langsung pilih salah satu adegan ya mbak.
Menurut aku kalau tekanan darah rendah dan demam saja kurang urgent, Mbak. Bagaimana kalau disertai muntah-muntah. Kan jadinya jijik-jijik gimana gitu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro