4. Harapan
-
-
Seperti hari-hari biasanya, pagi Shia selalu disambut dengan suasana berisik di dalam gang. Tangisan bayi, omelan para istri yang membangunkan anak dan suaminya, sampai gosipan ibu-ibu di pinggiran gang. Tidak ada yang spesial karena dirinya pun bukan siapa-siapa.
"Shia berangkat ya," pamit Shia kepada Sarinah yang sedang menjemur pakaian pagar depan.
Luas teras yang terbatas membuat sang Ibu terpaksa menjemur pakaian mereka di pagar halaman. Sebuah tanaman rambat yang tidak pernah berbuah menjadi satu-satunya pemanis di teras berukuran satu kali setengah meter itu.
"Iya, hati-hati, Nduk," sahut Sarinah . "Jangan lupa kabari Ibu kalau pulang malam lagi."
Sekilas Shia mengangguk sambil melirik sang ibu. Langkah kakinya kemudian bergerak melewati beberapa pedagang keliling yang tengah menyiapkan gerobaknya di sisi-sisi gang. Uap cilok dan bakso membumbung ke udara saat para pedagang itu membuka tutup pancinya. Panasnya bahkan sempat mengenai kulit pipi Shia.
Sejenak, Shia berhenti melangkah ketika seorang perempuan di akhir dua puluhan menyapanya dari bangunan semi permanen di dekat rumah Pak RT. Rumah Belajar Kita.
"Shia! Baru mau berangkat?" tanya perempuan itu. Shia mengangguk pelan.
Namanya Laras. Anak Pak RT sekaligus pengurus Rumah Belajar Kita atau yang anak-anak sering sebut dengan istilah Rumah Beta. Sebuah sekolah non-formal yang digagas oleh Pak RT sejak sepuluh tahun yang lalu. Sebab Hilman, Ketua RT Shia, menginginkan anak-anak jalanan di sekitar rumah mereka juga dapat mengenyam pendidikan, meskipun hanya sekadar membaca, menulis, dan berhitung. Syukur-syukur mereka kembali termotivasi untuk bersekolah secara formal.
"Kamu kapan mau main-main lagi ke sini? Kuliah banyak tugas ya jadi sulit bagi waktu?" tanya Laras. Senyumnya yang tulus membuat Shia iri, sebab sudah lama dia tidak tersenyum seperti itu.
Laras sendiri merupakan lulusan pendidikan guru dari salah satu universitas swasta, tetapi karena sulitnya mencari pekerjaan atau memang Laras memiliki jiwa sosial yang tinggi, sudah tiga tahun terakhir dia mengurus Rumah Beta membantu ayahnya. Dibantu beberapa relawan yang biasanya ramai di akhir pekan.
Lagi-lagi, Shia hanya mengangguk. Seorang bocah tiba-tiba memanggil Laras dari dalam ruang kelas.
"Kelas udah mau mulai, aku duluan ya. Semangat kuliahnya Shia," kata Laras kembali ke dalam ruang kelas.
Shia tersenyum kecut. Harusnya kata semangat itu justru ditujukan kepada Laras. Apalagi dengan sabar Laras mengajar tanpa lelah di depan anak-anak dengan jumlah yang bisa dihitung dengan lima jari itu. Miris.
"Pagi."
Pundak Shia melonjak kaget. Kepalanya mendongak secara spontan dan kembali menunduk saat menemukan Atma berdiri di sebelahnya. Bahkan tanpa menjawab, Shia melanjutkan langkah kakinya meninggalkan Atma.
"Kegiatan di sana udah lama?" tanya Atma berjalan mengekori Shia.
Shia mendengkus. Risi rasanya diikuti seperti ini apalagi oleh orang tua genit seperti Atma. "Rumah Beta?"
"Namanya Rumah Beta? Unik," gumam Atma memasukan kedua tangannya ke saku jaket. "Saya lihat kamu juga kenal dengan orang di sana."
Sambil masih melangkahkan kakinya, tatapan Shia berpindah ke arah Atma. Raut wajah Atma ternyata terlihat lebih normal dilihat saat matahari masih terik. Terlihat seperti lelaki baik-baik. Meskipun, kantung mata dan pipi tirusnya nampak dengan jelas.
"Dulu saya sempat ikut bantu ngajar di sana," jawab Shia menghindari Atma.
"Dulu? Sekarang?"
Shia menggeleng. "Percuma. Seperti yang udah-udah meskipun udah pada belajar, ngamen mah ngamen aja, ngasong juga tetap ngasong, enggak ada yang setelah dari situ bisa jadi pejabat. Lagian kalaupun saya peduli sama orang-orang, enggak semua orang peduli sama saya waktu saya butuh mereka, kan?"
Atma menyengir lebar. Apalagi ada kesan kesal dan kecewa dari suara Shia. Sementara itu, kaki Atma terus mengikuti Shia sampai ke ujung gang. Jalanan padat menunggu mereka. Begitupun terik mentari pagi dan asap kendaraan bermotor.
"Pada akhirnya manusia harus berusaha sendiri, kan? Hidup, itu realitanya," kata Shia berdiri di halte menunggu bus.
Atma tersenyum masam, sedangkan kedua matanya dia pindahkan ke arah jalanan. "Kamu tahu Shia, sebenarnya ada yang lebih menyenangkan dalam hidup selain realita."
"Apa?"
"Harapan."
Shia terkekeh miris. "Harapan cuma buat orang yang punya priviledge, Pak. Salah tempat cari harapan di sini."
"Kamu? Saya lihat kamu bukan bagian dari orang yang punya previledge, tetapi tetap bisa belajar kan? Punya harapan," kata Atma mengeluarkan sesuatu di kantung denimnya. Buku catatan Shia, yang sepertinya tertinggal di minimarket semalam. "Sori maksud saya pernah punya harapan."
Kekehan Shia menghilang. Atma rupanya kembali mengungkit kejadian malam itu. Tanpa ucapan terima kasih, tangan kanan Shia menyambut buku miliknya dari tangan Atma. "Justru saya contoh orang yang enggak sadar tempat."
Atma menggeleng. "Tapi buat beberapa hal saya suka orang yang enggak sadar tempat dan mau adaptasi. Kayak ikan yang mau melompat tinggi buat pindah dari sungai berair dangkal ke lautan yang lebih luas."
Tatapan Shia beralih kepada Atma, wajahnya tampak tidak suka.
"Setahu saya sungai dan laut punya jenis air yang beda. Cuma ikan bodoh yang tetap nekat renang dari air payau ke lautan," terang Shia sinis.
"Bodoh sama berani kadang beda tipis, lho. Enggak percaya?" tanya Atma lagi tersenyum pongah.
Alis Shia menyatu rapat. Sementara matanya menatap Atma tidak suka. Seakan-akan hanya dengan sorot tajamnya, Shia mengusir Atma dari sisinya. Keduanya pun saling pandang sampai tawa Atma menggema.
"Oke, saya pergi. Tapi saya tunggu di minimarket biasa nanti malam," kata Atma dengan senyum lebih lebar. "Itu pun kalau kamu penasaran. Dah Shia."
Shia terpaku di posisinya, sementara sosok Atma semakin menjauhi Shia. Pria itu berjalan kembali ke dalam gang. Tanda tanya besar bercokol di kepalanya. Mengenai sosok Atma dan kelakuan misteriusnya.
***
Semilir angin memainkan anak-anak rambut Shia sore itu di taman Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Sambil menyantap sepotong roti isi sarikaya dia duduk di salah satu bangku. Tatapannya lalu menjelajahi taman yang di kelilingi tiga buah pohon berukuran besar. Taman itu terlihat ramai dengan mahasiswa yang bergerombol di beberapa pojok area.
Tatapan Shia terlihat datar saat memperhatikan mahasiswa-mahasiswa itu. Ada iri yang diam-diam merebak dan menciptakan sesak di dadanya. Ingin rasanya dia ikut berkumpul bersama mereka, mendiskusikan mata kuliah ataupun sekadar menggosip sambil menikmati fast food. Namun, faktanya dia hanya mahasiswa beasiswa dengan uang saku pas-pasan.
"Terus judul skripsi lo udah di ACC?"
Kunyahan di mulut Shia berhenti mendengar suara dua orang mahasiswa yang lewat di belakangnya. Shia menghela napas berat. Dia bahkan belum tahu akan meneliti apa untuk skripsinya nanti. Padahal semester depan dia sudah harus menulis bila ingin tetap mendapatkan beasiswa.
"Dan tugas exhibition gue aja belum," gumam Shia pada dirinya sendiri.
"Hai, Shia."
Shia terlonjak dan terburu-buru kabur saat ada seorang lelaki yang menegurnya dari samping. Akan tetapi, dengan cekatan lelaki itu menghadang langkah Shia.
"Shia-shia. Lo mau ke mana?" tanya Patra, lelaki itu.
Shia menggeleng. "Minggir."
"Lo kenapa sih?" tanya Patra lagi mengejar Shia. "Gue cuma mau tanya tugas kita. Astaga."
"Nanti gue kabari bagian lo," kata Shia melangkah lebih cepat.
Masih pantang menyerah Patra berjalan di belakang Shia. "Serius enggak perlu diskusi?"
Shia menggeleng. "Gue udah dapat ide kasus di media. Nanti lo tinggal kasih tahu gue teorinya apa. Ada beberapa referensi yang udah gue catet. Lo tinggal cari di sana. Sisanya biar gue yang rapihin."
"Tapi, Shia."
Shia berhenti melangkah dan menatap Patra dengan berang.
"Oke," ucap Patra pasrah. "Tapi lo yakin bisa ngerjain itu semua sendiri?"
"Gue udah biasa sendiri."
Patra mengedik. "Oke. Kalau gitu gue tunggu kabar dari lo."
Tampang Shia masih sama bahkan setelah Patra menghilang di kerumunan. Patra adalah senior Shia yang terpaksa mengulang mata kuliah Media Massa dan Isu Sosial Budaya yang sial bagi lelaki itu karena harus satu kelompok dengannya. Padahal tidak ada seorang pun di kelas yang berniat membentuk kelompok dengan Shia.
Shia tercenung. Mata bulatnya mengamati orang-orang yang berseliweran di sekitarnya. Perlahan suara-suara bising itu membentuk gaung ketika obrolannya dengan Atma pagi tadi menusuk tepat ke jantungnya.
"Harapan?" gumam Shia sinis.
***
Senja sudah semakin tua ketika Shia membuka pagar rumahnya. Melihat jemuran Sarinah yang sudah kering hampir terjatuh akibat angin, Shia mendekat dan mengambil satu per satu pakaian di sana. Ibunya mungkin terlalu sibuk membersihkan rumah atau memasak sampai lupa mengangkat jemuran.
"Gue capek! Bisa enggak sih lo enggak ngebacot melulu! Lo pikir gampang cari duit?!"
Kaki Shia membeku. Dadanya bergemuruh mendengar suara pria itu dari dalam. Suara Gino, ayah tirinya. Kepala Shia menunduk semakin dalam ketika teriakan dengan paduan suara barang-barang jatuh terdengar kemudian.
Tangan Shia mengepal. Amarah, sedih, dan kecewa menggunung di benaknya membuat dada Shia sesak.
"Anak lo kan udah gede, lo suruh lah dia kerja. Kerjaannya pulang malem enggak pernah bawa duit. Mau sok jadi kayak anak gedongan yang cuma belajar sambil ongkang-ongkang kaki?! Jangan ngimpi!"
"Jangan bawa-bawa anak aku! Yang salah itu kamu Mas! Mana janji kamu buat ngehidupin aku sama Shia?! Yang ada aku tiap hari kerja banting tulang buat kasih makan kamu. Jangan asal ngomong kalau kamu aja enggak becus."
PLAK!
Shia menatap nanar pintu di depannya. Perlahan dia mundur satu langkah. Pakaian-pakaian di tangannya dia lemparkan asal di dekat pintu. Setetes bening terjatuh ke pipinya, apalagi dia mendengar adu mulut dan barang-barang yang berjatuhan semakin intens.
Segera, Shia berbalik. Tanpa memedulikan penghuni gang yang hampir dia tabrak, Shia berlari menjauh. Beragam perasaan berkecamuk membuat dunianya semakin abu-abu. Sementara itu langit jingga di atasnya sudah berganti pekat.
Tak ada lagi air mata di pipinya, Shia sudah lelah. Dunianya sudah hilang sejak ayahnya pergi. Harapannya juga hancur sejak pria asing itu datang. Dan, Shia yang dulu tahu rasanya tertawa sudah pergi. Sekarang, dia hanya ingin berlari, tidak hanya untuk saat ini tetapi juga hidupnya.
Tubuh Shia bergetar ketika dia berhenti sejenak untuk mengambil napas. Keringat membasahi tubuh Shia. Sementara tangannya menggenggam erat tali ransel sampai buku-buku jarinya memutih.
"Ngos-ngosan banget. Habis jogging di mana?"
Spontan, kepala Shia menoleh ke kiri. Alisnya menyatu saat sosok Atma yang duduk pada bangku di depan minimarket menyapanya. Terlalu fokus berlari membuat Shia hilang arah hingga tanpa sadar sudah berada di depan minimarket.
Alih-alih tenang, senyum di bibir Atma membuat Shia muak. Sambil melangkah lebar-lebar, Shia mendekati Atma. Deru napas memburu dan tatapan nanar yang menyimpan jutaan rasa sakit tampak saat gadis itu berdiri di samping Atma.
Sementara itu, Atma yang hendak menyeruput kopi hitamnya termenung. Dia pikir ada yang berbeda dengan Shia yang kini berdiri menatapnya. Air muka pria itu bahkan sekilas terlihat khawatir.
"Kamu bilang, kamu mau buktiin ke saya soal harapan. Bisa buktiin sekarang?" todong Shia tanpa basa-basi dengan kedua matanya yang berair menatap tajam.
Atma meletakan kopinya ke atas meja, lantas kedua sudut bibirnya melengkung tipis.
***
TBC
Acuy's Note :
Hola! Long time no see... Gimana masih pada betah kah sama cerita ini? Ada yang nungguin?
Jangan lupa Baca, Komen, dan Vote nya ya. Thank you~
Sampai ketemu di part selanjutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro