Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Teman Kamu Mulai Sekarang

-

-

Bungkus kemasan bekas roti tergeletak pada permukaan meja di dalam minimarket. Begitupun, satu plastik makanan ringan terbuka dengan isi mengintip dari dalam plastik. Sementara, lagu pop bertema jatuh hati mengalun sayup-sayup dari speaker minimarket. Seakan ingin ikut menemani dua manusia yang duduk sambil memandangi jalanan malam hari dari balik jendela besar minimarket

"Jadi, apa yang buat kamu sampai lupa makan hari ini?" tanya Shia menghabiskan teh botolan dingin yang diberikan Atma. Sementara, keduanya duduk menikmati makanan milik Atma di depan kaca besar minimarket. "Anak-anak itu bikin ulah lagi? Atau orang tua mereka protes dan ganggu kalian?"

Segera, Atma menggeleng sembari menelan roti di dalam mulut. "Enggak. Justru sebaliknya. Jeki bawa teman-temannya yang lain hari ini, dan Rumah Beta mendadak pasar rame. Makanya kelas baru selesai sore tadi."

"Kenapa enggak kabari saya? Saya kan bisa bantu."

"Saya sebenarnya sempet kepikiran buat telepon kamu. Tapi saya inget kalau kamu udah kerja di tempat Leon dan enggak mungkin saya culik kamu dari sana," kelakar Atma menenggak isi kaleng soda miliknya hingga tandas dan memandangi suasana di luar minimarket.

"Sori, saya jadi enggak bisa bantu banyak," gumam Shia merasa bersalah.

Atma menggeleng. Dia kemudian mengerling iseng kepada Shia. "Jadi, sekarang kamu udah semangat lagi buat bantu-bantu di Rumah Beta? Enggak lagi ngerasa Rumah Beta itu percuma?"

Shia mengulum senyum keki. Tatapannya turun ke bawah. Perlahan, kedua sudut bibirnya terangkat naik. "Saya mau anak-anak itu juga punya pilihan lain. Meskipun kesempatannya kecil, seenggaknya mereka tahu rasanya punya harapan. Lewat Rumah Beta."

Diam-diam Atma tersenyum tipis sambil memandangi Shia. Air mukanya terlihat bangga kala menemukan ada yang berbeda di wajah Shia. Sebaris senyuman. "Kayaknya... akhir-akhir ini ada yang berubah dari kamu."

Shia mendongak dengan wajah bingung. "Oh iya? Apa?"

"Kamu... jadi lebih sering senyum sekarang," jawab Atma kemudian membawa tatapannya menghindari Shia. "Kelihatan lebih baik."

Shia melipat bibirnya agar tidak ikut tersenyum mendengar ucapan Atma. Kemudian, dengan salah tingkah dia menyibukan diri mencari cemilan lain di plastik Atma. Namun, bukannya cemilan yang Shia dapat, tatapannya terpaku pada dokumen terjilid rapi yang menyembul dari tas selempang Atma.

"Itu apa?" tunjuk Shia pada tas Atma di permukaan meja.

"Oh itu... Itu proposal buat cari donatur, punya Rumah Beta. Sekaligus dokumen buat bangun yayasan atas nama Rumah Beta. Semakin banyak anak-anak yang belajar di sana, semakin banyak biaya yang dibutuhin," terang Atma mengeluarkan proposal dari dalam tas dan menyerahkannya kepada Shia. Segera, Shia sambut dan baca perlahan isi proposal itu. "Saya udah ngobrol dengan Pak Hilman dan Laras soal ini. Pak Hilman setuju saya bantu buat cari donatur dan bikin yayasan. Bertahun-tahun Pak Hilman pakai uang personal buat kebutuhan Rumah Beta, saya rasa udah waktunya Rumah Beta berkembang dengan bantuan dari donatur luar."

Semringah di wajah Shia kembali redup. "Tapi, apa mungkin ada yang mau jadi donatur? Saya rasa Pak Hilman udah coba selama beberapa tahun ini buat cari pendanaan. Dan kamu lihat kondisi Rumah Beta sekarang, rasanya sulit. Apalagi enggak semua orang juga tahu apa itu Rumah Beta."

Atma mengedipkan matanya kepada Shia, lantas beralih memandangi parkiran sepi minimarket. "Enggak ada yang tidak mungkin, Shia. Mungkin enggak semua orang tahu soal Rumah Beta, tapi enggak semua orang nolak bantu kita kalau mereka udah tahu tempat ini. Ya kan? Apalagi kalau Rumah Beta udah berubah jadi yayasan. Meskipun lama dan ribet, enggak ada salahnya kita coba."

Shia mengangguk. Kemudian kembali sibuk membaca proposal itu sembari menyantap sisa cemilan. Takjub diam-diam merayapi Shia ketika membaca proposal dan dokumen lain dari dalam tas Atma.

"Kamu tahu dari mana cara buat yayasan kayak gini?" tanya Shia menunjuk hasil pekerjaan Atma.

"Belajar," jawab Atma singkat.

Sontak, Shia menyipitkan matanya dengan mimik sebal. "Kamu pikir saya anak TK yang percaya dengan jawaban kayak gitu."

Atma tertawa pelan. "Enggak ada yang enggak bisa dipelajari kalau kamu mau, Shia."

"Tapi enggak semua orang punya akses buat belajar hal-hal kayak gini," celetuk Shia terdengar penuh curiga. Selagi matanya menyipit ke arah Atma.

Gelak tawa Atma menghilang. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah kasir seakan kabur dari tatapan Shia. Suasana di sekitar mereka mendadak senyap. Hanya ada suara pegawai minimarket yang sedang merapikan rak makanan dan musik lembut dari speaker.

"Teman Leon."

Suara bariton Atma, membuat rahang Shia hampir jatuh. Sementara matanya tidak pernah lepas dari sosok lelaki itu.

"Serius. Saya belajar dari teman sekaligus klien Leon. Dia pemilik salah satu yayasan, sedikit banyak saya belajar soal bangun yayasan dari dia," terang Atma. Mimiknya berubah kesal ketika Shia masih betah memasang muka skeptis. "Kamu enggak percaya? Kamu lihat sendiri kan selama kamu kerja di sana, klien Leon dari semua kalangan."

Shia termenung. Mulutnya hampir membuka dan mengucapkan pertanyaan lagi, tetapi urung dia lakukan. Dia malah mengambil camilan dan menyantapnya dalam diam.

"Oke, saya percaya."

Atma diam-diam mengamati Shia dari ujung mata. Kemudian tatapannya berpindah kembali ke arah kasir yang kosong malam ini. Sebuah ide tiba-tiba muncul.

"Shia, saya rasa... kamu juga bisa bantu Rumah Beta."

Bola mata Shia kembali kepada Atma. Dia memandangi Atma dengan wajah bingung. Rasa curiga akan sosok Atma di benak Shia pun terlupakan. "Maksud kamu? Saya juga bantu cari donatur? Enggak. Saya enggak mau kasih harapan palsu buat Pak Hilman. Lagian saya enggak punya kenalan orang berduit yang bisa kasih dana buat Rumah Beta."

Atma berdecak sembari memutar tubuh Shia menghadap kasir. "Saya juga tahu, dan saya enggak mungkin minta kamu buat keliling cari donatur. Tapi itu. Kamu lihat poster bencana alam itu, kan?"

Kepala Shia mengangguk lambat, ketika poster besar bergambar sekelompok anak-anak dengan tulisan donasi bencana alam tertangkap matanya di dinding samping kasir. Shia kembali memandangi Atma dengan tatapan sangsi.

"Ingat tugas exhibition kamu? Kenapa enggak jadiin Rumah Beta proyek kamu?" usul Atma dengan tatapan mengerling iseng. "Toh, kamu tetap bisa bantu Rumah Beta sekaligus ngerjain tugas kamu, kan? Apalagi kalau kamu lanjutin proyek kamu jadi kegiatan real buat ngenalin Rumah Beta ke orang banyak."

Alis Shia menyatu. Bola matanya memandangi Atma dan poster itu bergantian. Ragu membayangi.

"Kamu bilang, kamu mau jadi pilihan lain buat mereka...," sindir Atma menatap Shia lekat. "Lagian tugas kamu jadi lebih mudah kan kalau obyeknya nyata? Saya dan Laras juga pasti bantu kamu."

Shia tercenung ketika untuk beberapa saat pandangan mereka saling bertemu. Ragu di benak Shia perlahan memudar, kala bola mata pekat milik Atma berhasil menghangatkan dadanya. "Oke, saya coba dikusiin dengan kelompok."

"Good," ucap Atma tersenyum lebar lantas memandangi jalanan dari balik jendela minimarket. Senyum yang diam-diam mulai memunculkan gejolak aneh di dalam dada Shia. Bahkan bibirnya tanpa sadar ikut melengkung naik.

Akan tetapi, semua tidak bertahan lama ketika Shia melihat bayangan ayah tirinya keluar dari dalam gang dan berjalan mendekati minimarket.

"Gawat!"

Tanpa pikir panjang, Shia buru-buru menutupi wajahnya dengan tas. Sementara dia berdoa dalam hati agar sang ayah tidak menyadari keberadaannya di dalam minimarket.

Atma yang sadar akan perubahan sikap Shia, memandangi dia keheranan. Setelah mengikuti arah pandang Shia, Atma pun paham. Dia kemudian mengambil dokumen proposal dan meletakannya di depan wajah Shia. Tanpa permisi, Atma bahkan memosisikan tubuhnya semakin dekat dengan Shia.

"Pakai ini. Kamu justru makin kelihatan mencurigakan kalau tutupin pakai tas," bisik Atma saat tubuhnya sudah menempel dengan Shia. "Dan enggak usah panik, kamu malah makin ketahuan kalau panik. Tatap saya, kita pura-pura diskusi."

Ragu-ragu, Shia mengangguk. Pasalnya, dengan jarak sedekat ini Shia dapat mencium aroma tubuh dan deru napas Atma. Rasanya aneh tetapi juga menyenangkan.

"Fokus," bisik Atma lagi. Shia pun melakukan skenario Atma dengan berpura-pura diskusi, sampai ayahnya melintas dan menghilang di ujung jalan. Tanpa sadar, Shia menarik napas lega bukan main.

"Kamu masih ada masalah dengan ayah kamu?" tanya Atma sembari kembali membuat jarak dengan Shia.

"Ralat. Ayah tiri," sahut Shia terdengar tidak suka. "Dan bukan lagi ada masalah, tapi tiap hari kayaknya saya masalah buat dia. Makanya saya enggak mau dia tahu saya ada di sini, berdua dengan kamu malam-malam kayak gini. Dia pasti bakal berpikiran macam-macam. Saya takut kamu kenapa-kenapa."

Mulut Shia spontan mengatup rapat. Dia melirik Atma. Lelaki itu juga ikut terdiam karena ucapan Shia.

"Ma--maksud saya, saya cuma malas kalau dia buat ulah lagi dan buat orang lain kena imbas juga," koreksi Shia.

Atma mengangguk paham. "Saya tebak, dia juga pasti enggak tahu kalau sekarang kamu kerja di tempat Leon."

Shia mengangguk. "Saya enggak mau dia makin seenaknya sama saya dan ibu, kalau tahu saya dapat kerjaan baru lagi. Makanya kamu jangan kasih tahu siapa-siapa kalau saya kerja sekarang. Oke!"

"Jadi, itu alasan kamu buat keluar dari kerjaan yang lama?" tebak Atma merapikan proposal miliknya ke dalam tas.

Shia mengangguk. "Saat itu saya udah beneran capek sama tingkah dia."

Shia kembali mengenang hari itu. Dia ingat betul saat semua uang tabungan yang susah payah dia kumpulkan untuk biaya kuliah mendadak raib. Kemudian, sang ayah dengan angkuh mengakui semua itu perbuatannya. Bahkan pria gila itu tanpa malu mendatangi tempat kerja Shia dan meminjam uang atas namanya. Shia pun dipecat tidak lama setelah itu. Shia tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis saat itu, apalagi ibu hanya dapat menghibur Shia tanpa bisa membelanya di depan ayah.

"Kadang rasanya saya mau kabur dari rumah. Tapi kalau ingat ibu, saya takut ayah bakal ngelukain ibu kalau saya pergi," cerita Shia terdengar getir. "Jadi, satu-satunya cara, saat ini cuma bertahan."

"Enggak ada salahnya dengan bertahan, Shia," kata Atma lantas mengambil bungkus biskuit dan membukanya untuk mereka. "Kadang kala saat kita enggak tahu harus melakukan apa, bertahan adalah pilihan terbaik. Sampai suatu saat ada pilihan lain. Kamu jangan ragu buat ambil keputusan lain itu."

Sambil mengambil biskuit dari tangan Atma, Shia mengangguk. "Thanks."

"Yang penting sekarang, jangan malu buat cerita ke saya kalau kamu ada masalah. Anggap aja saya teman kamu mulai sekarang."

Sambil menahan diri agar tidak tersenyum lebar, Shia mengangguk. Keduanya lantas melanjutkan obrolan mereka tentang Rumah Beta dan tugas exhibition Shia di dalam minimarket. Sampai malam semakin larut dan telepon Shia berbunyi, mengingatkan perempuan itu bila ada tugas yang harus dia lakukan malam ini sebelum pulang

--Membeli kecap titipan Sarinah.

***

"Namanya Rumah Beta," kata Shia membuka diskusi sore itu dengan Patra dan Tiar di kantin fakultas. Kedua lelaki itu membisu selagi Shia melanjutkan penjelasannya mengenai Rumah Beta. Tidak peduli suara berisik mahasiswa di sekitar mereka.

Setelah pertemuan dengan Atma kemarin malam, Shia merasakan kepalanya dipenuhi ide terkait tugas exhibition mata kuliah Produksi Media Kreatif. Bahkan bak sulap, kertas sebanyak 15 halaman berhasil dia isi penuh dengan rencana exhibition untuk mengenalkan Rumah Beta.

"Lo yakin tempat ini cocok buat kita jadiin proyek exhibition kita?" tanya Patra sangsi sambil membaca tulisan Shia.

Shia mengangguk. "Selama ini jarang mahasiswa di kampus yang buat tugas exhibition tentang gerakan sosial. Kebanyakan dari mereka lebih pilih promosi produk. Lagipula gue kenal dekat dengan yang punya tempat. Kita bisa langsung tanya-tanya ke sana kalau mau. Hari Sabtu gimana? Biar kita bisa tahu apa aja yang mau kita tunjukin buat exhibition."

"Gue sih setuju aja," sahut Tiar mengedikan bahunya. "Lagian udah dikerjain juga kan plan-nya sama Shia. Lebih gampang dikerjain."

"Sabtu ini gue enggak bisa, kalau besok gimana?" tanya Patra.

"Besok gue kerja pulang kuliah. Gue cuma bisa di weekend, itu pun enggak bisa sampai sore karena harus kerja. Ya udah putusin aja dulu kalian bisa di hari apa," kata Shia sembari merapikan dokumen miliknya.

Tatapan Patra yang semula sibuk dengan minumannya, seketika berpindah kepada Shia. Tanda tanya kental terasa saat dia memandangi Shia.

"Lo kerja?" tanya Tiar kaget bercampur takjub. "Di antara tugas sebanyak itu? Masih sempet? Wah... keren banget lo, Shia. Padahal kan lo udah dapat beasiswa buat kuliah di sini."

"Uang beasiswa kan enggak seratus persen bisa nutup kebutuhan gue. Lagian selama masih bisa bagi waktu, kenapa enggak?" jawab Shia tanpa ekspresi.

"Lo kerja sore? Sampai malam?" Pertanyaan Patra dijawab anggukan oleh Shia. 

"Kenapa? Ada yang aneh?"

Segera, Patra menggeleng. "Enggak. Enggak apa-apa."

"Gue balik duluan. Dah," pamit Shia singkat.

Sepeninggalan Shia, Tiar mendekati Patra. Selagi pandangannya mengamati punggung Shia dengan mimik sinis. "Gue jadi makin curiga kalau yang kita lihat malam itu dia."

"Tapi gue masih enggak yakin Shia kerja kayak gitu," gumam Patra masih sangsi.

"Siapa tahu? Keluarganya kan bukan orang mampu. Gue yakin kampus pasti bakal heboh kalau tahu ada mahasiswanya yang kerja jadi--"

"Jangan macam-macam!" potong Patra tajam. "Biar gimanapun, kita belum tahu yang sebenarnya. Dia juga teman kelompok kita, apa lo enggak lihat dia udah kerjain semuanya buat kita?"

Tiar mengangguk dengan ekspresi takut-takut. "Iya, gue bercanda doang kali."

Diam-diam Patra ikut memandangi bayangan Shia yang semakin jauh di lorong kampus.

***

TBC

Acuy's Note:

Waduh... ada yang mulai baper nih. Tapi kira-kira Atma juga nyimpen rasa juga enggak ya... hiks.

Yuk, komen di sini kira-kira Atma bakalan sama Shia enggak ya???? Kalau aku sih yes-yes aja....

Sampai ketemu di part selanjutnya!!

Luv u all~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro