Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. What's Wrong with Cheria?

Setelah kejadian yang menegangkan, Aldrich dan Waldo bersantai di rumah pohon yang cukup hangat. Aldrich berbaring dengan nyaman. Sebenarnya ia mempertanyakan keberadaan tempat singgah barunya.

"Sejak kapan kau membuat rumah pohon ini?" tanya Aldrich.

"Aku tidak membuatnya, tapi menemukannya," jawab Waldo.

"Apa?"

"Menurut beberapa guru, rumah pohon ini sudah ada sejak angkatan dua tahun di atas kita. Dibangun oleh sebuah geng untuk melepas lelah setelah seharian belajar," jelas Waldo, "dari pada tempat ini tidak digunakan lagi, aku memperbaikinya sedikit dan kita bisa menggunakannya untuk beristirahat."

"Kerja bagus, Waldo!" puji Aldrich, "ini tempat singgah yang nyaman."

"Tapi jangan lupakan pohon oak kita! Dia sudah menemani kita sejak pertama kali menginjakkan kaki di akademi," ujar Waldo.

Aldrich berusaha memejamkan mata. Rasa sakit di tubuh yang diakibatkan serangan Tuan Vernold membuatnya kesulitan melakukan itu. Ketika hampir terpejam, suara percakapan dari luar rumah terdengar. Ia langsung beranjak dan melihat ke luar jendela. Dua orang murid sedang berjalan menuju rumah pohon. Mata cokelatnya dipincingkan dan kenal dengan wajah kedua murid itu.
Mereka berdiri dekat rumah pohon sembari berbincang. Aldrich menangkap bahwa mereka ingin berteduh di bawah pohon, namun ia tidak suka.

"Aku rasa kita bisa berteduh di sini. Kau suka?" tanya salah seorang kepada temannya.

"Boleh, tapi ada rumah pohon di atas sana. Apakah itu tidak mengganggu penghuninya?"

"Tidak, selama kita tidak mengganggunya."

Aldrich menjulurkan kepala sedikit ke luar. "Hai kalian! Pergi dari sini!" serunya.

Salah seorang murid mendongak. "Hey, Aldrich! Aku tidak tahu jika itu rumah pohonmu," sapanya.

"Glen, apa yang kau lakukan di sini? Pergilah, dan bawa orang aneh itu sejauh mungkin!" seru Aldrich mengusir.

"Apa!? Berani sekali kau mengatakan adikku aneh! Turun kau!" Glen tak mau kalah. Adiknya –seorang gadis– mencoba menarik sang kakak pergi.

"Kakak, lebih baik kita mengalah dan pergi dari sini! Aku tidak ingin menambah masalah," ucap gadis itu.

"Luna, dia mengatakanmu aneh! Apa kau tidak marah sedikitpun?" tanya Glen kesal, "tenang saja, setelah aku membereskan Aldrich, tidak ada yang akan mengejekmu!"

"Dengarkan adikmu itu, Glen! Sebaiknya pergi sebelum kau menyesal!" sahut Aldrich.

Luna menarik kakaknya sekuat tenaga. "Kakak, masih banyak pohon di hutan ini yang bisa kita jadikan tempat teduh."

Glen pun menyerah. "Baiklah. Kita pergi dari sini." Luna pun menarik Glen menjauh. Keadaan kembali sunyi. Aldrich berbaring lagi.

"Kenapa kau begitu benci dengan Luna? Apa kau punya masalah dengannya?" tanya Waldo curiga.

"Tidak, dan sebaiknya jangan. Aku hanya tidak suka dengannya," jawab Aldrich.

Waldo bersandar pada dinding dan tertawa kecil. "Aku akui, kau satu-satunya orang yang tidak menyukai Luna. Padahal hampir semua murid laki-laki di akademi sangat mengaguminya. Aku tidak tahu aura apa yang ia pancarkan tapi kurasa itu sangat kuat."

"Aku tidak peduli," ujar Aldrich, "di mana Cheria dan Elisia?"

"Tidak tahu," jawab Waldo singkat.

$

Sementara itu, Cheria sedang berjalan di pinggir lapangan Grassness. Ia memasuki pepohonan dan sedang menuju sungai. Tubuhnya berkeringat dengan napas yang tersengal-sengal. Sesekali ia mengusap cairan itu dengan lengan.
Tanpa ia sadari, sebuah batu melayang ke arah sang gadis. Cheria menghindar dengan cepat. Batu tersebut pecah menjadi butiran putih halus. Gadis itu memeriksa, itu adalah salju. Ia langsung mengenali siapa yang melakukannya.

Seorang wanita dengan sabit di atas kepalanya keluar dan siap menghabisi Cheria. Gadis manis itu menghindar dan menjaga jarak. Wanita itu pasti ingin mengakhiri hidupnya. Ia menarik sabit besar dan mengacungkannya.

"Kau lagi!" ujar Cheria, "aku sudah bilang jika aku tidak menyiksa adikmu!"

"Bohong!" balas wanita itu. "Aku tidak pernah percaya kata-kata iblis!" Ia mengacungkan sabit es miliknya. "Hidupmu akan berakhir di sini!"

Cheria langsung bergerak maju dan mengayunkan sabitnya. Namun ia kalah cepat. Wanita itu menendangnya cukup keras hingga menghantam pohon. Cheria meringis kesakitan, lalu ia melepas energi gelap. Serangan itu dengan mudah dipatahkan, lalu dibalas dengan tembakan bola es. Semua mengenai tubuh gadis itu dan membuat tubuhnya menggigil. Wanita itu bukan saingan Cheria.

"Aku ... sudah mengatakannya, a-aku ti-tidak menyiksa a-adikmu .... Me-mengapa kau tidak per-percaya p-padaku...?" Cheria berusaha membela diri.

"Aku tidak pernah percaya dengan kata-kata iblis sepertimu," ucap wanita itu, "aku tidak ragu jika harus menghabisi nyawamu di sini. Akan aku pertimbangan sebagai bayaran atas penyiksaan terhadap adikku." Wanita itu siap menghunjam sabitnya.

"Ariela, hentikan!" Suara sang pria terdengar cukup keras. Wanita itu menoleh, ternyata Tuan Ravenot dan Obliterax.

"Hentikan, Ariela! Tidak ada gunanya kau membunuh iblis sepertinya!" ujar Obliterax.

"Dia benar! Kita hanya fokus pada Ronen, bukan dia!" timpa Tuan Ravenot.

"Aku tidak peduli!" Nona Quesnel tetap teguh. "Dia telah menyiksa adikku! Aku harus membuatnya membayar semua perbuatannya!"

"Bu-bukan aku yang me-melakukannya ..., Pengawal ke-kerajaan yang melakukannya...," ungkap Cheria, "atas ... perintah Raja Asheton."

"Bohong!!!" ujar Nona Quesnel naik pitam, lalu menarik rambut Cheria sangat kuat, "aku tidak percaya omong kosong itu. Sebaiknya mengakulah dan akan kubiarkan satu tanganmu tetap utuh."

Cheria merintih kesakitan. Air mata mulai mengalir. Kedua tangannya berusaha melepaskan rambut yang dijambak oleh Nona Quesnel. "Aku bersungguh-sungguh! Aku tidak melakukannya!" seru Cheria yang semakin kesakitan.

"Ariela, hentikan itu! Dia tidak bersalah!" ujar Tuan Ravenot membela diri, "memang kau punya bukti untuk menghukum gadis ini?"

Nona Quesnel terpaku, lalu melepas rambut Cheria. Ia menatap wajah mangsanya cukup serius. Melihat kesempatan itu, Cheria pun pergi dengan asap ungu. Nona Quesnel terkejut dan murka. Sabit pun diayunkan ke sana ke mari dengan brutal. Dedaunan mulai terpotong satu persatu. Obliterax berinisiatif untuk menghentikan wanita berusia kepala tiga itu sebelum terjadi hal yang lebih buruk.

Nona Quesnel berhenti. Butiran bening mulai keluar dari mata merahnya. Teriak pun lepas dari mulut, membuat burung-burung berterbangan. Obliterax memeluk tubuh wanita itu dengan lembut. Sesekali rambut putihnya dielus. Nona Quesnel mulai tenang. Aura kemarahan telah sirna.

"Aku yakin adikmu baik-baik saja. Kami akan membantumu mencarinya," hibur Obliterax.

Nona Quesnel tersenyum dan melepas pelukan sahabat arwahnya. "Aku percaya padamu," ucapnya.

...

Setelah berhasil melarikan diri, Cheria tiba di sebuah kolam di pinggir sungai. Ia melepas pakaian yang melekat di tubuh dan langsung berendam. Luka yang masih terukir padanya menghilangkan rasa nyaman. Luka itu membuat dirinya perih ketika bersentuhan dengan air. Huh, seharusnya aku mengobatinya dulu sebelum berendam, pikirnya.

Namun karena terlanjur masuk ke kolam, ia tak punya pilihan selain merasakan dinginnya air kolam yang ia bendung dari sungai bercampur dengan rasa perih pada setiap luka. Gadis itu merasa ini pasti hari sial baginya. Seharusnya bisa merasakan ketenangan dan relaksasi, tapi harus bertarung dan menciptakan rasa nyeri di tubuh. Ia teringat kembali dengan kata-kata Nona Quesnel, yang menuduhnya menyiksa adiknya. Cheria bingung harus mengatakan apa.

"Aku tidak menyiksa adiknya. Menyentuhnya saja bahkan tidak pernah. Kenapa dia begitu yakin jika aku yang menyiksanya?" gumamnya.

Ia membasuh seluruh anggota tubuh, termasuk kepala dan rambut. Gadis itu kembali merasakan nyeri pada kepala. Sepertinya rasa sakit akibat jambakan rambut Nona Quesnel belum pulih. Cheria pun memijat kepala perlahan. Argh, sakit! Jadi begini rasa sakit ketika dijambak, pikirnya dengan gigi menggertak.

$

Aldrich dan Waldo meninggalkan rumah pohon. Istirahat telah selesai dan waktunya meneruskan aktivitas. Baru saja mereka keluar dari pepohonan, Elisia datang menghampiri mereka.

"Kalian telah selesai bersantai? Aku baru saja mau menghampiri kalian," ujar Elisia.

"Iya, istirahat telah cukup. Badan kami segar kembali," jawab Waldo sembari meregangkan tubuh.

"Di mana Cheria?" tanya Aldrich.

"Dia tadi pergi karena ada urusan. Dia pergi ke pepohonan yang mengarah ke sungai," jawab Elisia.

"Aku rasa dia sedang lapar dan mencari makan siang di sana," sindir Waldo. Aldrich menyikut lengan Waldo.

Elisia tersenyum tipis. "Aldrich, bisakah kau cari dia? Aku ingin bertemu dengannya," pintanya.

"Kenapa tidak kau saja? Kau yang punya urusan dengannya."

"Setelah ini aku harus ke lapangan panah. Tidak ada waktu untuk mencarinya," jelas Elisia, "tolonglah, ada yang ingin kusampaikan!"

Aldrich menghela napas. "Baiklah."

Elisia membungkukkan badan. "Esclakode," ucapnya.

"Sepertinya ini akan menjadi perburuan yang menyenangkan, kawan!" ujar Waldo, "tapi sayang aku tidak bisa ikut. Sebentar lagi ada bimbingan penyihir akademi. Kabari aku jika sudah menemukan Cheria!"

Aldrich membuang pandangan. Lalu ia mulai berjalan ke arah pepohonan yang dimaksud. Jalan setapak pun terlihat. Ditelusuri jalan itu melintasi pepohonan. Semoga saja tidak ada makhluk aneh. Ia tidak membawa Sirius saat ini. Tiba-tiba, Sirius muncul di punggun Aldrich.

"Kau mencariku?"

Aldrich terkejut. "Sirius? Bisakah kau tidak muncul tiba-tiba? Kau tidak lihat aku sedang berada di hutan!?" ujar Aldrich kesal.

"Maaf, tapi kurasa kau membutuhkanku," balas Sirius.

"Mungkin sebaiknya kau selalu ada bersamaku. Bahaya bisa datang kapan saja," ucap Aldrich.

"Aku selalu ada bersamamu. Cukup pikirkan aku dan aku akan datang," hibur Sirius.

Setelah berjalan cukup dalam, suara aliran sungai terdengar. Ia sudah dekat. Aldrich menggunakan Sirius untuk memotong semak-semak yang menghalangi jalan. Tibalah ia di pinggir sungai. Aliran airnya cukup deras siang ini. Aldrich menengok ke kanan dan kiri. Tidak ada seorang pun di sepanjang sungai. Hingga ia menemukan sebuah kolam dengan rambut merah gelap di dalamnya.
Sepertinya itu Cheria. Apa yang ia lakukan di sana? Aldrich menghampiri secara perlahan. Langkah kaki dipelankan. Ia ingin mengejutkan sahabat perempuannya. Tanpa disadari, ia menginjak ranting kecil. Suara patah dari ranting mengejutkan Cheria. Kepalanya menoleh perlahan ke belakang. Aldrich pun akhirnya menemukan Cheria, dalam keadaan telanjang. Wajah Cheria memerah dan Aldrich agak gemetaran.

"AAAAHHHH...!!!"

"Maaf, Cheria! Aku tidak tahu jika kau sedang telanjang!" Aldrich memalingkan wajah.

"Beraninya kau mengintip aku berendam!!!" Cheria mulai geram.

"Maaf, benar-benar minta maaf!!!" ujar Aldrich, "aku hanya ingin menyampaikan bahwa Elisia ingin bertemu denganmu. Dia ingin kau pergi ke lapangan panah siang ini. Ada yang ingin dia sampaikan!" Aldrich mengatakannya dengan cepat.

Cheria masih menahan malu. Wajahnya semakin merah dan takut keluar dari kolam. "Aldrich, berdiri menghadap pohon yang ada di sana!!!"

"Yang mana?!" Aldrich menengok ke arah Cheria dengan mata yang telah dibuka.

"Jangan mengintip!!!" seru Cheria. Aldrich sontak menutup matanya kembali, "pohon yang ada di depanmu!" lanjutnya.

Aldrich berjalan cepat dan langsung menempelkan tubuh ke pohon. Kesempatan bagi Cheria untuk segera mengenakan pakaian. Meski masih basah, ia tak peduli. Asalkan tubuh rampingnya tidak menjadi pusat perhatian laki-laki.

"Kau bisa berhenti memeluk pohon itu. Aku telah selesai memakai baju," ucap Cheria.

Aldrich berbalik dan matanya terbelalak. Memang Cheria sudah memakai baju, tapi justru pakaiannya mengikuti bentuk tubuhnya. Semua lekutnya pun terlihat. Jika ia tahu, seharusnya ia tidak mengejutkan gadis itu.

$

Aldrich dan Cheria berjalan kembali ke akademi. Aldrich bisa melihat sahabat perempuannya agak menggigil karena basah kuyup. Rasa bersalah mulai muncul di pikiran. Remaja itu sontak melepas jaket yang biasa ia kenakan, lalu dipasangkan pada punggung Cheria. Gadis itu terkejut dengan rona merah di pipi. Ia langsung merapatkan jaket itu.

Tiba-tiba, Cheria berbalik badan dan memeluk Aldrich. Gadis itu menempelkan tubuh bagian depan sangat dekat. Aldrich bahkan bisa merasakan sesuatu yang lembut dan empuk. Remaja itu terkejut dan tidak sanggup berkata apapun.

"Aku masih kedinginan. Bolehkah aku memelukmu sepanjang perjalanan?" tanya Cheria pelan.

Aldrich agak gemetar. Ini pertama kali seorang gadis menempel erat pada tubuhnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

"Ji-jika kau memelukku terus, ki-kita tidak bisa berjalan," jawab Aldrich gugup, "ba-bagaimana jika kita berhenti se-sebentar untuk menghangatkan diri?"

Cheria berdehem dan mengangguk. Mereka lalu mencari tempat terbuka yang cukup sinar matahari. Mereka menemukan satu dengan cahaya yang cukup. Cheria tak ingin melepas pelukan pada tubuh sahabatnya meski itu membuat mereka sulit berjalan. Tiba di sana, Cheria memilih bersandar dan merengkuh tangan kanan Aldrich.

"Cheria, bi-bisakah kau melepaskan tanganku? Aku merasa risih," tanya Aldrich.

"Aku masih kedinginan," jawab Cheria, "memelukmu membuat tubuhku hangat."

Aldrich bungkam. Ia benar-benar merasa risih. Cheria justru memejamkan mata, semakin memperburuk keadaan. Aldrich tidak ingin membangunkan si sahabat, tapi kegelisahan semakin memuncak. Remaja itu mendengar suara desah dari Cheria. Tubuhnya pun juga bergerak-gerak, membuat dada si gadis menggesek kulit tangan Aldrich. Meski ia memakai baju, bagian tubuh itu terasa sangat nyata.

Aldrich tidak tahan. Ia sontak menarik tangan kanan dan membangunkan Cheria. Kelopak mata si gadis pun terbuka. Ia kemudian memegang daerah kemaluannya. Apa yang ingin dia lakukan?!

"Aldrich...," panggil Cheria sembari menatap wajah Aldrich.

Wajah si sahabat membuat Aldrich semakin risih. Bibir yang dibuka sedikit, mata yang disipitkan, persis seperti orang yang mabuk. Ya ampun, kenapa ia memasang ekspresi seperti itu?! batin Aldrich.

"Aku ... ingin pipis...," lanjut Cheria.
Aldrich menghela napas, tapi bingung. Di sekitar mereka tidak ada toilet. Sungai sudah cukup jauh dan malas untuk kembali lagi. Cheria berdiri dan berjalan ke balik pohon.

"Kau ingin pergi ke mana?" tanya Aldrich.

"Pipis. Aku tidak tahan lagi," jawab Cheria dengan nada lemas.

Apa!? Pipis di belakang pohon!? Apakah gadis itu sudah gila!? Aldrich memilih berpaling hingga Cheria selesai. Sebenarnya ia ingin bilang jika pipis sembarangan itu sangat jorok, tapi tidak sempat.

Setelah selesai, Cheria langsung menghampiri Aldrich. Gadis itu terlihat segar dan ceria. Aldrich menaikkan alis kanan dan nanap ketika melihat sebuah goresan luka di pipi kanan si sahabat.

"Cheria, apa itu... sebuah luka?" Aldrich memastikan sembari menunjuk ke pipi kanannya.

Cheria memegang pipi kanan, ia langsung merintih. Sepertinya itu sakit. "Ini... bukan apa-apa. Kau tidak perlu khawatir," jawabnya dengan memalingkan mata ke kanan. Hal itu justru memancing rasa curiga Aldrich.

Tak henti-hentinya remaja itu memandang goresan luka yang panjang di pipi sang sahabat. "Apa kau yakin?" ucapnya sembari menyentuh luka itu.

Cheria berteriak pelan dan langsung memegang pipi. "Sakit!"

"Kita harus segera kembali! Luka itu harus diobati," ujar Aldrich yang kemudian berjalan. Cheria berdehem dan menunduk sembari mengikuti ke mana sang sahabat pergi.

$

Cheria pun langsung menuju ruang kesehatan. Pintu pun terbuka, tampak sunyi. Cheria memanggil siapapun yang ada di dalam. Tidak ada respons. Tak lama kemudian, keluar seorang pria tinggi dari bagian gelap. Cheria bernapas lega, namun berubah jadi terbelalak.

"Karcer?"

"Maaf jika aku tidak memberi kabar terlebih dahulu," ucap pria yang dipanggil Karcer itu, "apa kau sudah menemukan anak itu?"

"Kau membuatku terkejut! Jika kita ketahuan, tamatlah aku!" ujar Cheria kesal, "anak siapa?"

"Kau lupa? Anak yang disebut dalam ramalan! Aku akan menghabisinya!" Karcer pun ikut berseru.

"Bersikaplah lebih sopan di hadapanku! Aku menyelamatkanmu  dan ini balasan darimu!?" bentak Cheria, "aku masih dalam pencarian. Aku akan menemukannya. Sekarang enyahlah dari hadapanku sebelum orang lain melihatnya!"

Karcer berbalik badan dan masuk kembali ke bagian gelap. "Gadis yang kasar," gumamnya.

Sekarang Cheria sendirian. Terpaksa ia harus mengobati lukanya sendiri. Hanya perlu memasang perban, luka pun tertutup. Ia harus menunggu beberapa hari hingga luka itu benar-benar sembuh. Gadis itu duduk di pinggir ranjang yang paling dalam. Ia kembali mengingat semua yang dirasakan saat bersama Aldrich.

"Apa yang terjadi padaku? Aku merasa hangat sekali ketika memeluk Aldrich. Ini... seperti bukan diriku. Pasti ada yang salah dengan tubuhku. Iya, pasti ada yang salah!" Cheria bergumam sendirian.

Seketika tubuh Cheria hangat. Ia terkejut dan justru malah menikmatinya. Ia memasukkan jari telunjuk ke mulut dan menggosok-gosok lidahnya. Apa... yang terjadi? Hanya memikirkan Aldrich sudah membuatku hangat lagi. Aku harus menahannya! Aku masih punya misi! batin Cheria bergejolak. Suara desah tiba-tiba keluar. Ia terus mencoba menahan sebelum lepas.

...

Cheria pun keluar dari ruang kesehatan dengan rona merah di pipi dan kepala yang ditundukkan. Semua murid yang melihatnya mulai sedikit menjauh, seakan seperti merasakan aura menakutkan yang dipancarkan tubuh gadis berusia enam belas tahun itu. Ia memutuskan untuk kembali kamar asrama dan beristirahat sejenak.

Tiba di pintu asrama, ia berpapasan dengan Elisia yang baru saja melangkah keluar. Cheria terlihat tidak menyapa sahabat satu kamar. Elisia merasa curiga dan menepuk pundak kiri Cheria. Gadis itu terkejut.

"Dari mana saja kau? Aku mencarimu ke mana-mana! Kenapa kau tidak menyapaku?" Elisia tampak cemas, "apa ada sesuatu yang terjadi?"

Cheria menatap wajah Elisia dengan rona merah yang masih tampak. Elisia sontak meraba dahi si sahabat. Rasa hangat terasa di telapak tangan gadis itu.

"Cheria, kau sakit?"

Cheria hanya menggeleng dan langsung berlari masuk. Elisia ingin mengejarnya, namun ia teringat untuk segera mengembalikan buku ke perpustakaan sebelum tengah hari, lalu menemui Aldrich dan Waldo di pohon oak.

$

Setelah urusan selesai, Elisia langsung menuju pohon oak. Aldrich dan Waldo sudah berada di sana, berbaring dan menikmati hari yang dingin. Aldrich yang melihat gadis itu langsung menyapa. Elisia membalas dengan lambaian tangan, kemudian duduk di samping Aldrich.

"Sepertinya hari yang sibuk untukmu," ucap Aldrich membuka perbincangan.

"Kau bisa katakan itu sekali lagi," balas Elisia yang kemudian menghirup napas dalam, "benar-benar hari yang berat."

"Kau beruntung karena ada pohon ini. Kau bisa bersantai dan beristirahat," sahut Waldo yang sedang berbaring.

"Kau sudah menemui Cheria?" tanya Aldrich.

"Sudah, tapi sepertinya dia tidak terlihat sehat. Badannya panas," jawab Elisia cemas, "sebenarnya tadi aku ingin menemaninya, namun dia langsung lari dan aku teringat untuk mengembalikan buku."

"Mungkin karena dia berendam di air sungai tadi. Tubuhnya masih basah," ungkap Aldrich.

"Berendam!?" Waldo langsung bangun, menoleh ke arah Aldrich. "Kau mengintip orang yang sedang berendam!?"

"Tidak, aku tidak tahu jika dia sedang telanjang. Itulah yang membuatnya langsung memakai baju tanpa mengeringkan tubuh terlebih dahulu," jelas Aldrich.

"Dia pasti demam. Aku akan menghampirinya di kamar setelah ini," ucap Elisia.

"Nanti aku dan Waldo akan ikut," ujar Aldrich, "tapi tadi Cheria bertingkah aneh saat perjalanan pulang."

"Aneh bagaimana?" Waldo menjadi penasaran.

"Dia tiba-tiba memelukku dan bilang dia kedinginan. Aku tahu jika dia masih basah kuyup. Lalu aku membawanya untuk berjemur sebentar di bawah sinar matahari. Dia justru tertidur sembari memeluk tangan kananku sangat erat. Aku bisa merasakan panas tubuhnya. Setelah bangun, dia kebelet ingin pipis dan pipis di belakang pohon." Aldrich menjelaskan apa yang ia rasakan.

"Dia pipis sembarangan!?" ujar Waldo yang terkejut lagi, "benar-benar gadis yang jorok."

"Dia memang seperti itu. Keadaan mendesak sering membuatnya melakukan hal-hal yang menjijikan. Aku sudah terbiasa dengan itu," ujar Elisia.

Tanpa mereka sadari, sepasang mata merah mengawasi mereka dari atas pohon. Ketika hendak bergerak, ia terpeleset dari dahan pohon dan jatuh tepat di samping Waldo. Remaja laki-laki itu sontak berdiri dan menjaga jarak, diikuti Aldrich dan Cheria. Sosok itu bangkit dan menampakkan wajah. Mereka menghela napas lega.

"Cheria?" ujar Elisia yang langsung menolong si sahabat, "apa yang kau lakukan di atas pohon sana?" Aku baru saja mau menghampirimu ke kamar."

"Cheria, kau membuatku terkejut!" ujar Waldo, "jika kau hantu, aku akan lari sejauh mungkin!"

Cheria menatap semua sahabatnya dengan rona merah di wajah. Elisia memeriksa dengan menempelkan telapak tangan ke dahi gadis itu. Masih panas seperti sebelumnya.

"Cheria, jika kau panas sebaiknya jangan keluar dari kamar! Dahimu masih panas dan kau perlu istirahat," nasehatnya.

"Tapi...."

"Tidak ada alasan lagi! Ayo kita ke kamar sekarang!" Elisia menarik tangan Cheria. "Jika panasmu bertambah akan sangat berbahaya."

Cheria tidak punya pilihan selain menuruti perkataan teman sekamarnya itu. Sebenarnya ada yang ingin ia katakan ke Aldrich. Ia rasa mungkin nanti saja ia mengatakannya. Aldrich dan Waldo hanya bisa memandang dengan heran.

"Nanti kami akan menyusul!" seru Waldo dari kejauhan, lalu ia meneruskan kegiatannya tadi, berbaring dengan santai.

$

Senin, 6 Mei 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro