"Setiap orang bisa berubah. Tidak ada orang jahat yang sangat jahat atau orang baik yang sangat baik. Keduanya harus seimbang."
- Aldrich Zimmermann
$$$
Siang hari di sebuah rawa, seorang pemuda bertubuh tinggi sedang melangkah menuju gubuk tua di pinggir danau. Masuk dan mengucap salam. Sang penghuni langsung menoleh dari buku yang dibacanya.
"Ada apa lagi, Edward?! Aku sudah bilang akan mencari jawaban secepatnya!" bentak sang penghuni.
"Ada sesuatu yang harus kusampaikan," ucap pemuda itu sembari melangkah pelan, "aku rasa aku telah menemukan jawaban dari ramalan itu."
"Jangan bercanda! Tidak mudah memecahkan sebuah ramalan. Jangan berpikir saat kau melihat kejadian janggal, kau akan menganggap itu bagian dari ramalan," ujar sang penghuni.
"Tapi ini serius, Penyihir Tua! Aku benar-benar melihatnya." Pemuda itu gigih dengan pendiriannya.
"Baiklah, apa yang kau lihat?"
"Aku telah menemukan anak laki-laki yang disebut dalam ramalan," jawab pemuda itu.
Sang penyihir tua tercengang dan matanya terbelalak. "Apakah kau serius? Kali ini kau tidak minum terlalu banyak, 'kan?"
"Tentu tidak. Ia membawa pedang keadilan dan aku sudah melihat kemampuannya," terang sang pemuda.
"Apakah kau yakin jika itu pedang keadilan? Menurut kitab kuno suku Morka, pedang itu tersembunyi di dalam sebuah kuil gaib, yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu." Penyihir tua itu masih tidak percaya.
"Jika memang benar itu pedang keadilan, berarti anak itu adalah sang juru selamat," timpa sang pemuda.
"Kalau begitu, kau harus memeriksa anak itu dan pedangnya! Jangan kembali hingga kau menemukan jawabannya," perintah penyihir tua, "dan aku sangat berharap jika itu memang pedang yang disebut dalam ramalan. Kau mengerti maksudku, Edward Vernold?"
"Sangat mengerti, akan kulakukan!" Pemuda tinggi itu pun pergi.
$
Aldrich pun menghampiri Ibu Fitzhugh di kolam ikan. Seperti biasa, guru muda itu sedang memberi makan ikan. Pemuda itu mendekati dengan pelan.
"Ibu Fitzhugh!" panggilnya.
Wanita itu menoleh. "Aldrich! Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"
Aldrich merogoh kantung celana panjang dan mengeluarkan semua lembar nickel. Lalu ia memberikannya kepada Ibu Fitzhugh.
"Aku ingin mengembalikan uang-uang ini. Terima kasih telah memberikannya. Saya hanya menggunakannya sedikit untuk membeli lilin," jelasnya.
"Ibu sudah mengatakannya kemarin. Kamu tidak perlu mengembalikannya," tolak Ibu Fitzhugh. Mata cokelat kuningnya melirik ke arah pedang yang dibawa pemuda itu, "kamu sudah membeli pedang? Tampak bagus dan sesuai denganmu."
"Terima kasih. Ini pedang yang benar-benar indah dengan ukiran khas," ucap Aldrich.
"Jika begitu, nickel itu untuk kebutuhanmu. Jangan berpikir untuk mengembalikannya!" ujar Ibu Fitzhugh bersikeras.
Aldrich menarik napas dalam dan tersenyum tipis. "Terima kasih, tapi saya hanya tidak biasa memegang uang sebanyak ini."
"Mungkin kamu bisa membaginya bersama teman sekamarmu jika terlalu banyak." Wanita itu kembali memberi makan ikan. "Itu semua untukmu, dan tolong jangan terlalu formal pada ibu. Usiaku masih muda."
Aldrich mengangguk, lalu memandang kolam ikan. Ikan-ikan langsung mengerumuni makanan yang ditebar guru muda itu. Wanita itu terlihat senang dengan senyuman manis di wajahnya. Pemuda kurus itu merasa Ibu Fitzhugh memang bersungguh-sungguh menjadi ibu tiri. Jumlah nickel yang banyak pasti langkah awal untuk memulai semua.
"Wanita itu benar-benar manis!" puji Sirius.
Aldrich terkejut. "Kau boleh berkata lagi jika mau."
$
Aldrich memutuskan untuk pergi ke asrama setelah melalui hari yang melelahkan. Ia melintas di lorong depan kelas kesatria yang terlihat ramai. Entah apa yang sedang terjadi, tapi sepertinya ada sesuatu yang menjadi daya tarik bagi mereka.
Aldrich sama sekali tidak tertarik dan memilih menerobos kerumunan. Pemuda ini tidak sengaja melihat sebuah kertas tulisan yang terpajang di jendela kelas. Kertas itu membuat ia penasaran, tapi saat ini ia malas untuk mendekat.
Setelah lepas dari kerumunan, Aldrich tiba-tiba dikejutkan oleh Waldo. Apa lagi ini?
"Waldo, kau mengagetkanku!" ujar Aldrich kesal.
"Maaf, kawan!" balas Waldo, "kau sudah melihat pengumuman di sana?" tanyanya sembari menunjuk ke keramaian.
"Belum, dan tidak peduli," jawab Aldrich.
Waldo menyikut Aldrich cukup keras, membuat sahabatnya kesakitan. "Siang nanti, kelas kesatria akan mengadakan pertandingan duel. Semua orang harus ikut."
Aldrich sadar, ia tidak bisa menggunakan pedang. Apa yang harus ia lakukan? Apa ia harus pura-pura sakit agar tidak ikut? Tapi Waldo tidak bisa menjaga rahasia.
"Apa lagi yang kau ragukan? Ayo ikut pertandingan itu! Ini kesempatan bagimu untuk unjuk gigi," ujar Sirius menghasut.
"Tapi aku tidak bisa menggunakan pedang. Kau tahu itu, 'kan?" sahut Aldrich.
"Apa kau masih meragukan keberadaanku, apalagi setelah pertarungan tadi?" tanya Sirius optimis, "kau tidak perlu khawatir. Selama ada aku di sini, semua bisa!"
Aldrich menghela napas. "Baiklah."
"Selama kau membuat ini seolah nyata, kau akan baik-baik saja," sambung Sirius.
"Jadi bagaimana, kawan? Kau ikut 'kan?" tanya Waldo yang tiba-tiba mengganggu obrolan.
Aldrich agak terkejut. "Oh, aku ikut! Kau akan menyaksikan diriku beraksi!"
"Sayang sekali padahal aku ingin menonton, tapi kelas penyihir juga mengadakan uji kemampuan pada waktu yang bersamaan. Mungkin Cheria atau Elisia yang akan menontonmu," ungkap Waldo.
"Baiklah."
$
Matahari pun mulai beranjak ke tengah langit. Orang-orang berkumpul di lapangan Grassness dan mulai menempati tempat duduk yang disediakan. Murid-murid kesatria mulai berlatih dengan giat dan keras. Guru mereka memanggil untuk berkumpul. Aldrich sepertinya datang agak terlambat dan langsung berlari.
"Pertandingan hari ini hanya untuk menunjukkan seberapa siap kalian menghadapi ujian-ujian berikutnya. Jadi lakukan yang terbaik!" ujarnya, "saya punya kotak berisi nomor-nomor. Ini akan menentukan dengan siapa dan sesi keberapakah kalian bertarung." Guru itu menyediakan kotak dan murid-murid mulai mengambilnya satu persatu. Setelahnya, kertas-kertas dikumpulkan kembali beserta nama peserta. Sang guru mengambil kertas nomor satu.
"Baik, untuk pertarungan pertama, Aldrich Zimmermann!"
Aldrich maju dengan percaya diri. Semua murid tampak berbisik-bisik dan beberapa menatapnya dengan sinis.
"Lawanmu pada sesi pertama ini adalah ...." Sang guru mengambil satu kertas. "Glen Scholz!"
Murid yang dipanggil Glen Scholz maju. Remaja dengan postur tubuh tinggi dan berambut biru tua ini membungkuk. Mata birunya menatap sinis ke wajah tirus Aldrich.
"Jadi kau lawanku? Kau tidak perlu takut. Aku tidak akan menyerangmu dengan brutal," ucapnya.
"Jangan mengasihaniku! Aku akan mempermalukanmu nanti!" seru Aldrich yang naik pitam.
Glen terkekeh dan pergi meninggalkan remaja yatim piatu itu. Giginya menggertak kesal. Ini adalah saat yang tepat untuk menunjukkan bahwa ia sama hebatnya dengan semua orang.
Setelah pembacaan kertas terakhir, sang guru langsung mengarahkan mereka untuk segera menempati kursi peserta. Acara dibuka dengan pidato singkat dari guru pembimbing kelas kesatria.
"Pertandingan kali ini hanya untuk menunjukkan seberapa siap murid-murid menghadapi ujian akhir tahun. Tak lupa, kegiatan ini dihadiri oleh Tuan Dalton Bainard, sang Elder! Beliau akan memantau perkembangan setiap murid."
Terompet pun dibunyikan. Pertandingan siap dimulai. Seorang juri berjalan ke area pertarungan. Di bangku penonton, Tuan Vernold tiba-tiba datang bersama Nona Fitzhugh. Guru di dekatnya agak terkejut.
"Tuan Vernold!" ucapnya sembari membungkuk, "saya tidak tahu jika anda datang menonton."
"Aku bosan berada di ruangan. Sediakan kursi untukku dan Nona Fitzhugh!" pinta Tuan Vernold.
Tiba-tiba, seorang guru wanita datang menghampiri Nona Fitzhugh. "Apa yang kau lakukan? Kau seharusnya membimbing murid penyihir di aula!"
"Aku...."
"Aku sudah menugaskan Nona Stern untuk menggantikan Nona Fitzhugh. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan padanya," jawab Tuan Vernold.
"Ouh, baiklah! Saya akan segera pergi!" guru wanita itu pun pergi.
Nona Fitzhugh pun menengok ke wajah tirus Tuan Vernold. "Bolehkah saya pergi? Saya harus membimbing murid-murid!"
"Tidak boleh, kau harus menemaniku!" balas Tuan Vernold, "bukankah kau ingin menyaksikan anak asuhanmu bertanding?"
Nona Fitzhugh pun bungkam. Tidak ada pilihan selain menuruti kepala akademi itu, mengikutinya ke tempat duduk paling depan.
"Kita akan mulai pertarungan pertama!" serunya, "peserta pertama, seorang murid yang biasa saja, tapi menyimpan kemampuan yang luar biasa, Aldrich Zimmermann!!!"
Aldrich pun maju dan menyiapkan diri.
"Buatlah seolah ini nyata!" perintah Sirius.
"Dia akan bertarung dengan murid kesatria yang cukup hebat dengan latar belakang keluarga petani, Glen Scholz!"
Glen pun maju ke arena dan langsung menghunus pedang. "Waktunya menghadap ke penciptamu, Aldrich!"
Aldrich pun mengacungkan Sirius. Pedang itu pun langsung mengambil alih tubuh Aldrich. "Kata-katamu sama sekali tidak membuatku takut," balas Aldrich.
Lonceng pun dibunyikan. Pertarungan telah dimulai. Glen berlari cukup cepat dan siap menusuk lawannya. Aldrich pun melompat ke depan dan mendarat di belakang Glen. Kemudian ia mengayunkan Sirius dari kanan. Serangan itu dapat ditangkis oleh Glen dengan cepat. Aldrich pun mendorong Sirius hingga membuat Glen terdorong cukup jauh. Aku tidak menyangka dia cukup kuat, batin Glen.
Aldrich berlari secara berkelok-kelok. Glen menengok ke kanan dan ke kiri, lalu memasang posisi siap menangkis. Gerakannya benar-benar cepat hingga Glen kesulitan memprediksi serangan. Penonton tampak takjub. Posisi Aldrich semakin dekat, Glen mempererat genggaman pedang. Ketika Aldrich telah di hadapan, Glen langsung menusukkan pedang. Namun tidak kena, Aldrich langsung bergeser ke kiri dan mengayun pedang. Serangan itu tidak terprediksi sebelumnya dan akhirnya melukai lengan kanan Glen.
Glen melompat sejauh mungkin untuk mengatur taktik. Ini pertama kalinya ia bertemu dengan lawan yang sangat kuat dan lincah.
Aldrich bersiap untuk lari, dengan posisi mengacungkan pedang. Lengan kanan Glen mulai mengucurkan banyak darah. Rasa sakit mulai dirasakan. Aldrich mulai berlari dengan pedang di atas kepala. Glen mencoba untuk berdiri dan mengangkat pedang. Aldrich semakin dekat, pedang pun mulai diayunkan dari atas. Tiba-tiba, Glen menghindar dan melompat sejauh mungkin.
Aldrich melihat Glen mengeluarkan sebuah botol kecil. Ia membuka dan meminum isinya.
"Apa yang dia minum itu?" gumam Aldrich.
"Aku rasa itu ramuan penyembuh," jawab Sirius.
Glen membuang botol itu dan tiba-tiba berlari. Ia melayangkan serangan tiba-tiba berupa ayunan dari samping kiri. Beruntung Aldrich dapat menahannya. Glen melayangkan serangan lagi terus menerus, lalu melompat ke belakang Aldrich. Sirius menggerakkan kaki Aldrich untuk menendang perut Glen. Aldrich penasaran apa yang diminum sang lawan.
"Apa yang dia minum itu? Kenapa ia menjadi sangat cepat?" gumam Aldrich.
"Itu adalah efek sampingnya, kelebihan stamina. Aku tidak tahu apa yang dia minum, tapi itu memberinya stamina lebih, sekaligus menyembuhkan luka," jelas Sirius.
Aldrich pun berlari cukup cepat dan mengayunkan pedang dari kanan. Glen menghindarinya dan memberi serangan balasan. Pedang mereka pun mulai beradu. Jilatan api mulai terbentuk saat kedua pedang saling bergesekan. Aldrich berhasil menggores kaki kanan Glen. Namun luka itu mendadak sembuh. Glen melakukan serangan memutar dan menghantamkan pedang berkali-kali. Aldrich terlempar karena serangan itu.
Aldrich berusaha bangkit kembali. "Apa yang harus kita lakukan? Dia sangat hebat."
"Aku telah menemukan kelemahannya. Kita harus menyerangnya tanpa senjata," ucap Sirius.
"Baiklah." Aldrich mulai menurunkan pedang. Ketika hendak dijatuhkan, Sirius menahan perbuatan tuannya.
"Apa yang kau lakukan? Kau ingin menyerah sekarang?!" ujar Sirius.
"Aku ingin melempar kau, agar aku bisa bertarung tanpa senjata," jawab Aldrich.
"Menjatuhkan pedang artinya menyerah. Adab kesatria," ucap Sirius, "maksudku adalah kita tidak menyerangnya dengan pedang. Hanya dengan tangan atau kaki."
"Baiklah, ini adalah pertarunganmu!" ujar Aldrich.
Glen mulai berlari dan melancarkan serangan. Pedang pun diayun, dan Aldrich menghindar dengan menekuk punggungnya ke depan. Ia tegap dan menendang Glen cukup keras. Lawannya jatuh tersungkur ke atas rumput. Glen menggetuk tanah, dan bangkit lalu berlari lagi. Lagi-lagi, Aldrich menendang punggung Glen hingga membuatnya jatuh tersungkur lagi. Rencana Sirius berjalan lancar.
"Kita hampir berhasil, Tuan! Ayo kita akhiri pertarungan ini!" ujar Sirius dengan semangat yang menggebu-gebu.
Aldrich berlari ke arah Glen yang tidak sempat untuk bangkit. Dengan gerakan layaknya seekor serigala, pedang pun diayun cukup kuat. Tiba-tiba, seorang pria menahan serangan yang kuat itu. Aldrich mendongak dan betapa terkejutnya ia. "Tuan Bainard?!"
Pria itu mendorong Aldrich sejauh mungkin. Tubuh remaja itu terhempas ke tanah berumput. Aldrich langsung bangkit, memandang Tuan Bainard, termasuk melihat tangan kirinya yang buntung. Tuan Bainard tersenyum dan menurunkan pedang. Mata cokelatnya menatap Aldrich cukup serius.
"Kemampuanmu cukup hebat, Nak! Aku terkesan!" puji Tuan Bainard, "aku akan mengingat wajahmu." Tuan Bainard memasukkan pedang ke tempatnya dan mengulurkan tangan kanan. "Ulurkan tangan kirimu, Nak!"
Aldrich agak ragu untuk melakukannya. Ia mengulurkan perlahan tangan kiri. Tuan Bainard langsung menyambar dan mengangkatnya ke atas. Juri yang melihatnya terkejut.
"Pemenang duel pertama ini, Aldrich Zimmermann!!!"
Semua penonton pun bersorak. Tepuk tangan bergemuruh di lapangan Grassness. Nona Fitzhugh berdiri dan memberi tepukan yang keras. Aldrich merasa gembira. Belum pernah ia merasakan hal seperti ini dalam hidupnya. Benar-benar tidak dapat digambarkan dengan kata-kata.
$
Setelah mendapat izin untuk kembali ke asrama, Aldrich pun berjalan melintasi lorong akademi. Hari ini benar-benar melelahkan. Bertarung dengan Glen sungguh menguras tenaga. Ia memperhatikan tubuh mengkilap Sirius sembari bercermin padanya.
"Kau benar-benar membantuku hari ini. Aku tidak tahu bagaimana membalas semua itu," ucap Aldrich.
"Kau tidak perlu membalas. Aku adalah pelayanmu. Katakan apa yang kau inginkan dan aku akan melakukannya," sahut Sirius yang menghibur tuannya.
"Baik, aku rasa waktunya kita untuk bersantai di kamar. Hari yang cukup berat."
Tiba-tiba, sekelompok remaja datang menghadang langkah Aldrich. Mereka terlihat marah dengan tatapan membunuh. Aldrich memandang satu-persatu wajah mereka dan menghela napas.
"Kenapa kalian masih menggangguku lagi? Bukankah aku sudah bilang?" tanya Aldrich heran sembari memandang orang yang paling tengah, "dan kau, aku sarankan untuk beristirahat. Sepertinya luka di lengan itu belum sepenuhnya pulih."
"Urusan kita belum selesai, bocah miskin!" bentak remaja itu, "aku tidak akan pernah istirahat sampai semua ini berakhir!"
"Kenapa kau begitu menyiksa dirimu dengan melakukan sesuatu yang tidak berujung, Ludwig? Jika aku jadi kau, aku akan akhiri semua ini dan takkan pernah mengulanginya lagi," balas Aldrich.
"Ini yang akan aku lakukan saat ini!" seru Ludwig, "tadi hanya aku yang bertarung. Sekarang, teman-temanku akan menghabisimu!"
Salah satu temannya terkejut dan langsung menoleh. "Apa kau serius? Dia adalah pemenang duel melawan Glen tadi. Kemampuannya sangat hebat."
"Aku masih meragukannya," jawab Ludwig.
Sirius tampak bergerak sendiri. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. "Aldrich, sepertinya dia tidak ingin cara yang mudah. Kita gunakan cara yang sulit untuk mengakhiri semua ini."
"Apa maksudmu?"
"Bertarung!"
Aldrich merasa tidak yakin. Ia sungguh tidak ingin bertarung. Meskipun Sirius mengendalikan tubuhnya, tetapi rasa lelah akibat banyak bergerak dapat dirasakan. Namun tidak ada pilihan selain menanggapi Ludwig dan teman-temannya. Aldrich pun mengacungkan Sirius.
Ludwig kembali merasa tertantang. "Apa kalian tidak melihat itu?! Dia menantang kalian! Ayo habisi dia!" serunya kepada kedua temannya.
Mereka mengangguk dan berlari dengan mengangkat pedang. Sirius kembali mengendalikan tubuh Aldrich ke dalam posisi menangkis. Kedua murid kesatria itu semakin mendekat, lalu mengayunkan pedang ke bawah secara bersamaan. Sirius pun menahan serangan itu dan menebas kedua pedang, menyebabkan mereka hampir goyah.
Salah seorang mulai berlari dan mulai mengayun pedang dari bawah. Aldrich menghindar dan menendangnya. Melihat temannya diserang, sang kesatria –yang satunya– mulai bergerak ke arah Aldrich. Aldrich memasang posisi menangkis setinggi kepala. Sang kesatria muda melihat gerakan lawannya dan tersenyum. Setelah dekat, ia mengayunkan pedang ke arah kaki Aldrich. Namun, serangan itu dapat diantisipasi. Kesatria itu terkejut. Aldrich menendang wajah kesatria itu hingga lebam dan terdorong cukup jauh.
Melihat kedua temannya tumbang, Ludwig murka. "Kalian benar-benar payah!!! Masa harus aku juga yang melakukannya!?" Remaja itu menghunus pedang dam siap melawan. "Sepertinya hanya kau dan aku lagi."
"Ludwig, aku tidak ingin melawanmu! Lenganmu belum pulih dan aku tidak mau bertarung dengan kesatria yang terluka!" ujar Aldrich berusaha menenangkan Ludwig.
"Jadi kau takut melawanku? Akuilah!" Ludwig semakin menjadi-jadi.
Aldrich bungkam. Sirius kembali bergerak sendiri. "Lawan saja dia! Beri pelajaran yang takkan pernah dia lupakan!" ujar Sirius menghasut.
Aldrich merasa dilema; jika ia melanjutkan pertarungan ini, Ludwig akan tamat. Dia tidak ingin membunuh seseorang hari ini. Tetapi jika ia berhenti, harga dirinya akan dipermainkan oleh Ludwig. Dengan keputusan yang berat dari hati, Aldrich pun mengacungkan Sirius.
Ludwig pun tersenyum. "Bersiaplah menghadapi ketakutan terbesarmu!!!" Ludwig mulai berlari dan siap menyerang.
Sirius kembali mengendalikan tubuh tuannya ke posisi menangkis. Serangan pun melayang, dan mampu ditangkis. Ludwig mengayunkan pedang terus menerus. Suara adu pedang terdengar sangat keras. Aldrich mulai goyah. Sirius mengambil tindakan dengan menyingkir cukup jauh. Ludwig berhenti, mengatur napasnya dan memandang ke arah Aldrich.
Aldrich benar-benar bingung apa yang harus dilakukan. Meski tubuhnya diambil alih, otaknya harus tetap bekerja. Di saat seperti ini, pikirannya sedang lelah. Ia memandang Sirius.
"Apa yang harus kita lakukan? Aku benar-benar lelah," ucap Aldrich lirih.
"Dia benar-benar hebat. Dengan keadaan luka di lengan kiri, dia masih sanggup bertarung dengan baik," ungkap Sirius, "tapi aku menemukan celah sempit darinya."
Aldrich pun menyerahkan semuanya pada Sirius. Biarkan pedang yang bisa bicara itu memutuskan untuk bertindak seperti apa. Ludwig pun kembali bergerak cepat. Pedangnya terlihat bercahaya. Sirius merasakan energi yang cukup besar. Ludwig pun bersiap mengayun pedang ke bawah.
"Terima ini!!!" Pedang pun diayun, melepaskan sebuah energi yang besar. Serangan itu bahkan merekahkan tanah dan bergerak ke arah Aldrich. Sirius memasang posisi menusuk. Energi itu semakin dekat, Sirius pun menusuknya. Ledakan terjadi, terdengar ke lapangan Grassness.
Ludwig memincingkan mata. Tidak ada tanda-tanda Aldrich. Ia tersenyum, masalah telah selesai. Remaja itu memasukkan pedangnya dan berbalik badan. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki. Ludwig menoleh kembali dan terkejutnya ia. Aldrich berjalan ke arah Ludwig dengan menyeret Sirius.
Ludwig pun melangkah mundur dan tersandung batu. Ia masih berusaha merayap untuk menjauhi Aldrich.
"Aku sudah mengatakannya padamu. Kau tidak mau dengar dan bahkan tidak menanggapi. Setiap perbuatan selalu ada balasannya." Aldrich mengacungkan Sirius. "Aku katakan sekali lagi, jangan pernah ganggu aku dan orang-orang yang terlihat payah di matamu! Tanggung sendiri risikonya jika kau tidak mau dengar lagi."
Beberapa guru pun datang menghampiri Aldrich dan Ludwig. Mereka terkejut dengan rekahnya lantai lorong. Seorang guru menatap Aldrich dan Ludwig.
"Di antara kalian, siapa yang melakukan ini?" tanyanya.
Tidak ada yang menjawab. Keduanya bungkam. Guru itu menanyakan hal yang sama. Aldrich pun menghadapkan badan ke arah guru itu.
"Saya yang melakukannya!" jawabnya.
"Apakah kalian baru saja bertarung? Siapa yang memulainya lebih dulu?!" tanya guru itu agak tegas.
"Saya yang memulainya!" jawab Aldrich lagi.
Semua guru agak terkejut. Baru kali ini mereka melihat Aldrich melakukan hal seperti itu. Ludwig merasa tersentuh. Orang yang selama ini ia ejek dan hina ternyata membelanya.
"Ini bukan seperti dirimu, Aldrich! Tidak mungkin jika kau akan melakukan hal seperti ini. Kamu hampir membunuh Ludwig yang baru saja pulih dari insiden," terang guru itu heran.
"Maafkan saya. Saya tidak akan mengulanginya lagi!" sahut Aldrich sembari menundukkan badan.
Semua guru terdiam sembari menatap murid kesatria itu. Guru tadi menepuk bahu kanan Aldrich dan menyuruhnya untuk tegak. "Aku tidak tahu harus memberimu hukuman apa, tapi bagaimana jika kamu membersihkan kekacauan yang kau buat?"
"Saya sanggup, tapi saya tidak bisa memperbaiki lantai yang rekah ini," jawab Aldrich.
"Itu adalah urusan kami. Kamu hanya perlu membersihkannya sedikit," hibur guru itu.
Aldrich membungkuk, dibalas oleh semua guru. Tubuh Ludwig pun ditopang kedua temannya pergi. Aldrich pun meletakkan Sirius di lantai lalu mulai menyapu batu dan pasir yang mengotori lantai lorong.
"Kau melakukan hal yang baik, bahkan kepada musuhmu," puji Sirius.
"Setiap orang bisa berubah. Tidak ada orang jahat yang sangat jahat atau orang baik yang sangat baik. Keduanya harus seimbang," balas Aldrich.
Hari pun semakin gelap. Setelah urusannya selesai, Aldrich pun pergi ke asrama. Hari ini benar-benar berat baginya. Tubuhnya terasa sakit di tangan dan kaki.
Ia membuka pintu kamar perlahan. Waldo sepertinya kelelahan dan tertidur pulas. Aldrich menarik selimut untuk menutupi tubuh atas Waldo. Kemudian, remaja itu memanjat ke kasur atas dan langsung berbaring. Sirius pun diletakkan di sisi kanan tubuhnya.
"Selamat malam, Sirius!" ucap Aldric lirih.
"Selamat malam, Tuan! Semoga bermimpi indah!" balas Sirius.
$
Jumat, 22 Maret 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro