Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAP. 1

Alam tak pernah bisa beristirahat karena selalu diganggu oleh manusia.

Ketika bulan bersinar dengan terang di langit malam yang bersih, ditemani miliaran bintang-bintang yang berkerlap-kerlip penuh warna, dan kota hampir setengah senyap lantaran para penghuninya tengah terlelap. Jauh di bawah tanah, ratusan orang justru masih terjebak dengan rutinitas melelahkan.

Mereka yang harusnya tertidur pulas di atas kasur empuk, ditutupi oleh selimut tebal menghangatkan, atau memeluk istri (atau anak) untuk berbagi kehangatan, tetapi malah masih berjibaku dengan mesin-mesin dan debu.

"Cepatlah! Ini bukan saatnya untuk tidur, Bung! Kau baru menjalani sif malam sekitar empat jam. Target kita masih jauh!"

Seorang pria gembrot berteriak, membuat suaranya yang serak hampir merobek telinga rekan-rekannya. Dia lantas kembali berjalan, mengecek para pekerja yang lain, dan mengomel jika mereka terlihat lalai di matanya.

Di tim pengebor, kesibukan tengah terjadi. Lima orang yang memegang alat berat untuk mengikis permukaan tanah, terlihat tengah adu argumen. Wajah mereka penuh oleh kebingungan bercampur penat.

"Kita coba ulang. Permukaan tanah yang ini terasa lebih keras, bahkan alat canggih ini pun hampir kesulitan dan kita butuh tenaga ekstra." Pria berkumis tebal dengan setelan kuning—temasuk helmnya—menyeka keringat yang menghiasi wajahnya.

Alat yang mereka pegang berupa pengebor raksasa berkekuatan mesin canggih. Meski begitu, tetap membutuhkan tenaga manusia untuk mengontrolnya. Apalagi beberapa hari belakangan alat itu sering "ngambek" dan membuat para pekerja repot dua kali lipat.

Beberapa saat mencoba, terdengar bunyi keras yang membuat ngilu. Ternyata gigi alat pengebor itu beradu dengan batu besar yang keras. Regu hampir menyerah, tetapi mereka memilih kembali mencoba daripada dapat "ceramah" dari sang mandor.

"Sial!"

Alat pengebor (yang katanya canggih itu) berhenti beroperasi.

"Mogok lagi. Tolong panggilkan teknisi!"

Dengan segera, seorang pria yang bertubuh paling pendek berlari meninggalkan regu. Melalui lorong dengan diameter tinggi sekitar dua meter dan lebar satu setengah meter. Permukaannya jelas tidak rata, tanah becek pun masih belum sepenuhnya dibersihkan.

Mereka diperintah membuat galian baru karena cadangan bijih emas yang ditemukan di lubang sebelumnya hampir habis. Sementara para peneliti meyakini di lokasi tersebut masih tersedia banyak bijih emas, bahkan mungkin mineral berharga lainnya.

Dia kembali dengan tim teknisi yang terdiri dari tiga orang. Alat itu pun langsung diperbaiki. Satu jam dimaksimalkan untuk memperbaiki kerusakan. Setelah berhasil, regu pengebor tampak menghela napas lega.

Bukannya apa, bos mereka itu rewelnya minta ampun. Tidak menerima keluhan atau aduan, yang utama adalah kerjaan beres sesuai target dan waktu.

Pekerjaan kembali dilanjutkan.

Segala upaya dicoba, akhirnya usaha mereka membuahkan hasil. Perlahan tanah di sisi batu besar itu dikikis, lantas batu sedikit melonggar. Mereka memilih jalur menyamping karena dinilai lebih aman.

Saat tengah fokus bekerja, tiba-tiba ada mesin mengeluarkan bunyi yang sedikit berbeda, lantas keluar asap. Di saat bersamaan, terasa getaran lembut yang membuat kewaspadaan mereka meningkat. Namun, bunyi pada jam tangan sang pemimpin regu mengambil alih perhatian. Waktu istirahat hampir tiba, sementara pekerjaan mereka molor.

"Cepat! Kita kehabisan waktu dan tertinggal dari regu lain." Sang pemimpin berbicara dengan panik.

Jelas, mereka tahu apa konsekuensi dari pekerjaan yang molor: pemotongan gaji hampir 50%.

Mesin kembali berbunyi. Kali ini lebih intens dan terdapat tanda bahaya berupa layar merah di setiap kontrol. Mereka saling pandang dengan cemas.

Namun sayang, sebelum sempat bereaksi, ledakan besar terjadi, menyebarkan api ke sekitar, menerpa secara langsung seluruh regu pengebor. Bencana tidak sampai sana, ledakan dari mesin pengebor itu memicu permukaan tanah di sisi batu besar sehingga amblas.

Mereka terjun bebas bersama alat pengebor yang sudah terbakar, bersama bongkahan batu yang tinggal setengah dengan permukaan depan rompang itu.

Bunyi ledakan memenuhi lorong, merambat ke lorong-lorong yang lain. Lantas, para pekerja berhenti sesaat untuk memastikan. Setelah terdengar teriakan yang sedikit samar, mereka kompak berlari menuju sumber suara untuk mengecek.

Alangkah terkejut mereka saat menemukan lokasi pengeboran telah gelap. Hanya tersisa lampu-lampu yang tidak ikut tercabut yang masih menyala. Beruntung beberapa dari mereka membawa penerangan sehingga terlihatlah keadaan gawat itu.

"Segera tolong mereka!"

Ada yang berteriak, tetapi yang lain justru terdiam. Mereka memastikan kondisi sekitar dulu, siapa tahu tanah di sana berbahaya sehingga menimbulkan kecelakaan susulan.

Beberapa jam berikutnya, ketika pagi yang cerah menyambut Milana City, lokasi penambangan negara yang berada di pinggir kota itu menjadi lebih ramai dengan datangnya para petugas tambahan. Beberapa ambulans disiapkan, mobil-mobil kapsul polisi pun berjajar rapi, bercampur dengan kendaraan lain.

Lokasi kejadian yang berada di dalam perut bumi sedikit menyulitkan proses evakuasi. Terlebih ada alat berat dan batu besar yang ikut amblas. Selain petugas penyelamat, seluruh pekerja tambang diberhentikan sementara. Beberapa dari mereka justru dijadikan saksi dan jadi buruan wartawan atau polisi.

Ya, peristiwa itu menyedot perhatian para wartawan. Lantas, tempat kejadian pun makin ramai sampai-sampai para polisi kewalahan mengamankan mereka.

"Sebenarnya berapa jumlah korban yang sesungguhnya?"

Pria gembrot terlihat sedikit kesulitan menjawab. Mukanya masih cemong-cemong karena dia pun baru berhasil diselamatkan—setelah membuat drama.

"Aku ikut terjebak," dia menjawab di luar konteks, "keadaan di dalam sana sangat menakutkan. Seluruh rekan kerjaku masih terjebak di lokasi kejadian. Sungguh pagi yang menyedihkan."

Kesedihan tampak di wajah tuanya, menarik simpati para wartawan sehingga berhenti sejenak untuk memberondongnya dengan pertanyaan.

"Kejadiannya beberapa jam lalu, sekitar pukul satu dini hari. Aku tengah mengecek regu lain untuk memastikan keadaan mereka ketika ledakan yang mendadak itu mengejutkanku," sambung si pria gembrot.

"Sungguh menyedihkan ketika teman-temanku terjebak di sana. Mereka ada tiga orang dan semuanya teman dekatku." Dia berhenti bicara untuk menghapus air mata buayanya. "Aku sangat bersedih atas kecelakaan tragis yang menimpa mereka. Aku berharap mereka semua selamat. Biarlah kerusakan alat dan kerugian aku yang menanggung sebagai pemimpin mereka."

Lantas, perhatian para wartawan teralih, bersamaan dengan arah kamera yang langsung menyorot pada seseorang di sana. Dia berjalan penuh wibawa. Sepasang matanya yang setajam elang, menatap penuh pada pria gembrot yang menunduk takut.

Carolos Petrou, orang yang diberi mandat oleh gubernur untuk memimpin proyek penambangan negara, telah tiba di lokasi dan menjadi pusat perhatian.

"Selamat pagi, Pak Carolos, apa Bapak bisa memberi penjelasan terkait kecelakaan fatal ini?"

Seorang wartawan wanita menyodorkan pertanyaan yang cukup berat.

Dengan wajah kerasnya, Carolos mengangkat dagu dan menjawab, "Aku baru tiba di lokasi dan kau memberi pertanyaan seberat itu." Dia tertawa singkat, tawa yang meremehkan. "Maaf, aku belum bisa memberi jawaban karena harus melihat lokasi dahulu."

Dia berbalik pada para ajudannya. "Tolong antarkan aku ke sana!"

Lima pria yang bersetelan hitam itu mengangguk kompak.

"Sebentar, Pak Carolos, mohon maaf membuat Anda harus menunda agenda kunjungan Anda."

Carolos berbalik, mengenali suara itu.

"Saya mendapat informasi bahwa telah terjadi ledakan besar di tambang sesaat sebelum para pekerja menemukan lokasi amblasnya lorong. Serta ada laporan bahwa beberapa saat sebelumnya, tim teknisi sempat dipanggil untuk memperbaiki mesin pengebor yang mati."

Sepasang mata Carolos menyipit sampai keningnya berkerut.

"Bukankah seharusnya setiap mesin yang digunakan masih dalam keadaan baru dan terawat, seperti yang Anda jelaskan kepada media beberapa waktu lalu. Anda mengatakan setiap mesin mendapat perawatan rutin oleh tim teknisi terbaik, serta dibeli langsung dari pabrik terbaik di dunia."

Antheia Erianthe, hampir seluruh kota tahu nama wartawan cantik itu. Terlebih bagi mereka yang menduduki kursi pemerintahan.

"Apalagi proyek penambangan negara ini sampai memakan dana tak sedikit. Apakah Anda bisa memberi tanggapan terkait hal ini, Pak Carolos yang saya hormati?"

Antheia Erianthe, seorang wartawan merepotkan yang memiliki mata setajam elang. Pergerakannya selalu menarik perhatian—dan jelas merepotkan—karena dia selalu tiga langkah lebih depan dari yang lain.

Carolos tidak menyukai wartawan bertipe seperti ini. Bahkan, kalau bisa dia ingin melenyapkan nama itu dari dunia. Terlalu merepotkan, terlalu banyak ingin tahu, terlalu cerdik dan licin, terlalu berbahaya.

Sial!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro