Bagian - 8
"Pelayan baru?" Robin bertanya pada Eben. Dia melirik gadis bertubuh mungil yang tengah mengepel teras rumah Eben. Terakhir kali Robin ke rumah temannya itu, wanita bertubuh gemuk lah yang terlihat membersihkan rumah. Itupun tidak pernah sampai sore seperti sekarang. Wajah Eben berubah kaku, itu mengartikan sesuatu. Robin tersenyum mengerti. Gadis itu sangat cantik. Tubuhnya memang mungil namun bagian-bagian yang sangat diinginkan laki-laki dimiliki gadis itu dengan porsi yang tepat.
Eben memarkir mobilnya di halaman. Melihat raut bertanya dan senyum tersungging di wajah Robin, Eben jadi menyesal mengajaknya.
"Sejak kapan aku harus laporan padamu tentang pekerjaku?" Eben mendelik ke Robin. Eben dan Robin hanya akan mampir sebentar. Sore ini mereka akan ke luar kota, lebih tepatnya ke Kalimantan. Eben berniat membangun penginapan di sana, dan sebelum memulai pembangunan dia ingin mengecek tanahnya lebih dulu. Seharusnya mereka sudah langsung ke bandara setelah makan siang namun ada berkas yang ketinggalan di ruang kerja Eben sehingga mereka harus mengambilnya dulu.
Eben melihat Mey berhenti membersihkan lantai, gadis itu memandang ke arah mobilnya. Kaca mobil Eben gelap, Mey takkan bisa melihatnya. Eben merasa seperti bajingan. Setelah ciuman di kolam renang beberapa hari yang lalu, Eben menjaga jarak dengan Mey.
Eben berusaha membuat ruang untuk dirinya sendiri. Segalanya tentang Mey berjalan begitu cepat. Belum pernah sebelumnya ia tergesa-gesa ingin segera menyentuh seorang gadis. Eben jadi takut akan perasaannya, serta lebih takut lagi menyakiti Mey.
Mey terlalu lugu, polos dan lembut. Eben tidak ingin menyakitinya. Mey bukan gadis yang bisa diajak sekedar bersenang-senang, lagipula Eben tak ingin memperlakukan Mey seperti wanita-wanita yang bersamanya sebelumnya. Bercinta satu malam kemudian saling melupakan. Selain akan menghancurkan Mey, Eben ragu dirinya bisa sama kembali jika melakukan hal itu.
Mey sudah seminggu tinggal di rumah Eben. Mey semakin terbiasa tinggal di sana tanpa merasa canggung lagi, gadis itu telah menganggap rumah Eben rumahnya. Mey sering tertawa karena tingkah si kembar, Rega juga baik padanya. Namun Eben seperti menjauh darinya. Memang sebelumnya Eben tidak terlalu menyukainya, apalagi di saat pertama kali mereka bertemu. Tapi Mey mengira ciuman itu berarti sesuatu. Mey belum pernah dicium, Eben memberinya sesuatu untuk dirasakan, dinikmati dan dikenang. Sepanjang malam setelah ciuman itu, Mey selalu membayangkan Eben. Memikirkan pria itu dalam benaknya hingga dia tertidur.
Mey bertanya-tanya apa yang salah sehingga Eben seakan menghindarinya. Mey, dengan malu mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia ingin merasakan bibir Eben di bibirnya lagi. Mengecupnya lembut hingga membuatnya melayang. Tapi sepertinya itu tidak mungkin kalau melihat sifat menjauh Eben.
Mey memegang erat kayu pengemelnya saat Eben keluar dari mobil. Pria itu tidak sendirian, ada temannya. Eben hanya mengangguk kemudian melangkah memasuki rumah. Temannya menyunggingkan senyuman ke Mey, Mey balas tersenyum. Eben bahkan tidak menyapanya.
Tidak mau larut dalam pertanyaan yang tak terjawab, Mey kembali mengepel lantai. Setelah selesai dia menyimpan alat pelnya di gudang peralatan. Mey mencuci tangannya dengan sabun, lalu dilapnya tangannya dengan handuk kecil.
Mey tidak menemukan Eben dan temannya di ruang tamu. Mey menyesal tidak ikut dengan Rega dan temannya. Sudah dari pagi rega dan si kembar pergi, Mey tidak tahu ke mana, dia tidak diberitahu. Mey tidak minta ikut karena ingin berada di rumah saat Eben pulang. Tapi Eben malah mengabaikannya.
Beberapa menit kemudian Mey melihat Eben keluar dari ruang kerjanya, pria itu terlihat buru-buru. Eben masuk ke kamar, temannya tidak terlihat. Mey menggigit bibir bawahnya, ia ingin menemui Eben. Tapi ragu. Dia bisa saja ikut masuk ke kamar itu, lalu apa? Apa yang akan dikatakannya pada Eben.
Menu makan malam.
Mey tersenyum senang karena menemukan ide, dia akan bertanya tentang makan malam yang diinginkan Eben. Mey mengetuk pintu, setelah Eben mempersilahkannya masuk Mey melangkah ke dalam.
Eben tengah memasukkan baju ke dalam tas berukuran sedang. Eben mau ke mana? Batin Mey bertanya.
Mey bersandar di pintu, menunggu Eben berbalik memandangnya. Rega pernah bilang Eben jarang di rumah, Eben sering ke luar kota karena tuntutan pekerjaan, apakah sekarang Eben akan pergi?
"Kenapa, Mey?" tanya Eben tanpa melihatnya.
Mey tidak menemukan pria yang sudah menciumnya dalam diri Eben saat ini, Eben kembali ke saat pertamakali mereka bertemu. "Aku cuma pengin nanya kamu mau makan malam apa? Soalnya aku bingung harus masak apa?"
Eben menutup tasnya, dia berbalik menatap Mey. "Terserahmu saja, Mey. Aku tidak makan malam di rumah, sore ini aku ke Kalimantan."
Mey membisu, Eben akan pergi. Hatinya tidak senang berpisah dengan Eben namun dia tidak punya hak mengatakannya.
"Oh," Mey mengangguk. "Ada yang bisa kubantu?" Mey melirik tas Eben yang penuh.
"Tidak perlu, aku sudah selesai berkemas. Hanya beberapa potong pakaian yang kubawa, sisanya akan dibereskan sekretarisku." Eben menghampiri Mey. "Kalau kau membutuhkan sesuatu katakan pada Rega. Rega belum akan kembali ke Jakarta sebelum aku pulang."
Lagi-lagi Eben menghindarinya. Mey memang polos dalam hal percintaan namun dia tahu Eben sedang menjauh darinya. Tapi kenapa?
Mey tidak bergerak dari pintu itu, ia mendengak menatap Eben. "Aku ada salah?"
Eben menaikkan alisnya. "Tidak ada, kenapa kau bertanya seperti itu?"
''Kamu...seperti nggak suka melihatku."
Eben memasukkan tangannya ke saku. "Aku suka melihatmu, Mey," akunya jujur. ''Bahkan terlalu suka hingga aku harus menjauh agar kau tidak terluka."
"Kenapa begitu?" Mey maju selangkah. "Aku nggak akan terluka kalau kamu menyukaiku, justru aku..." Mey tidak melanjutkan kata-katanya. Apa yang akan dia katakan selanjutnya adalah 'aku akan terluka kalau kamu menjauhiku'.
"Kau masih muda," ujar Eben, dia meraih dagu Mey, menaikkannya menatap padanya. "Kamu tidak akan mengerti."
"Kalau begitu buat aku mengerti. Kamu menciumku, memelukku, kemudian tidak mengacuhkanku." Mey melepas dagunya dari sentuhan Eben, mundur menjauh dari pria itu. Mey tidak tahu darimana dirinya mendapat keberanian yang dirasakannya sekarang. Sebelum nyalinya surut dia cepat-cepat menambahkan. "Kamu bahkan nyaris nggak bicara denganku. Karena ciumanmu aku nggak bisa berhenti memikirkanmu. Setiap malam aku terus membayangkanmu."
Eben takjub pada semangat Mey mengomelinya, dia tidak menyangka gadis itu punya sisi yang itu. Matanya bersinar cantik ketika marah, pipinya bertambah merah, Mey semakin cantik.
Eben tertawa. "Kau memikirkanku?" Hal itu juga terjadi padanya, Mey tidak sendirian.
Mey diam, sadar dirinya sudah terlalu banyak bicara. "Apa yang kau pikirkan?" Eben maju selangkah demi selangkah sementara Mey terus mundur hingga punggungnya kembali menyentuh pintu yang tertutup itu.
''Nggak ada."
"Tadi kau bilang kau memikirkanku, aku ingin tahu apa yang kau pikirkan." Inilah yang ditakuti Eben. Jika berada terlalu dekat dengan Mey, dia takkan bisa menjauh. Eben menunduk, perlahan menyatukan bibirnya di bibir Mey. Ia melumatnya lembut. Ciuman ringan dan singkat.
"Ke...kenapa kamu menciumku?" Mey terbata, ia menyentuh bibirnya sendiri.
''Karena aku ingin," Eben menegakkan tubuhnya. "Aku harus pergi, berhentilah memikirkanku selama aku tidak ada."
Mey jadi kesal dengan sikap egois Eben. "Kamu menyuruhku nggak memikirkanmu, lalu kenapa kamu menciumku lagi?"
Eben berbalik, mengambil tasnya dari tempat tidur. "Karena kalau aku tidak menciummu, aku yang tidak bisa berhenti memikirkanmu."
Hingga Eben meninggalkan rumah, Mey masih belum bisa mengartikan kata-kata Eben itu.
*****
"Ke Kalimantan?" Rega menuang ke gelas jus wortel yang dibuat Mey. Rega tidak tahu abangnya pergi.
Mey mengangguk. Mey sedang membuat sarang ketupat. Sore tadi, setibanya Irfan di rumah dia meminta Mey memasak ketupat. Irfan bahkan sudah membeli semua bahan-bahannya.
"Itu bagus," Irfan menyeringai. "Tandanya kita bisa bersenang-senang sedikit."
"Otakmu memang," Arfan mendengus. "Kotor."
"Otakmu lah yang kotor," Irfan tidak terima. "Asal ngomong aja kau."
Mey mengira saat yang diputar adalah jenis film pria, ketiga cowok itu bisa duduk tenang dengan mulut diam. Namun nyatanya tidak; masih saja ribut seperti petasan. Karena tidak menemukan kegiatan lain, mereka memutuskan menonton TV. Kali ini Rega yang memilih film-nya.
Rega melempar Irfan dan Arfan dengan kulit kacang. "Diamlah. Bagaimana otak kalian bisa kotor sedangkan kalian tidak punya otak.''
Mey meringis mendengar kata-kata kejam itu, tapi sepertinya si kembar tidak keberatan. Keduanya masih saling adu mulut. Rega menghela napas. "Besok malam ada pertandingan di ring. Bagaimana kalau kita ke sana?"
''Aku setuju," Irfan mengangkat jari telunjuknya. "Tapi Mey nggak usah ikut."
Mey merengut. "Aku mau memasakkanmu ketupat tapi ini balasanmu? Kenapa aku nggak boleh ikut?" Kali ini giliran Mey yang tidak rela. '"Aku ikut."
Irfan nyengir. "Bukan kayak gitu, Mey."
"Lebih aman kau tinggal di rumah." Kata Arfan. "Biar bang Eben nggak marah-marah
''Tapi aku mau ikut."
''Bang Eben---"
"Terserah dia saja," potong Rega.
"Asal jangan kau bilang ini ideku, ya?" Irfan masih mengingat ancaman Eben. "Aku masih ingin liburan di sini, Ga."
"Tenang saja," Rega tersenyum, kepada Mey dia mengerling. "Kan bang Eben nggak ada sini. Kalau kita semua tutup mulut bang Eben nggak akan tahu."
Tbc....
Segini dulu yesss!!😍😍😍
Makasih buat votmennya, karena dukungan kalian aku bisa cepat up date😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro