Bagian - 7
Castnya Eben sama Mey di kolam renang!!!😗😗😗
Aku kalau lihat lama2 ke castnya jadi senyum2 gitu, apa cuma aku yang baperrrr yakk😂😂😂
Mey tidak bergerak, dia hanya memperhatikan Eben membuka satu persatu pakaiannya. Mey sudah melihat Rega dan kedua temannya bertelanjang dada, tapi yang satu ini berbeda. Sangat berbeda. Rega dan si kembar tidak memiliki dada lebar kecoklatan yang sangat seksi. Bulu-bulu halus yang memenuhi dada Eben menimbulkan gelenyar hangat di sepanjang pembuluh darah Mey. Mey merasakan perasaan aneh yang terasa asing, belum pernah dia merasa seperti ini sebelumnya. Hari sudah sore, tidak seharusnya dia kepanasan, apalagi dengan keadaan baru berada di dalam air sebelumnya. Tapi nyatanya dia kepanasan.
Eben melompat ke air, berenang sekali putaran. Pria itu mengusap wajahnya yang basah lantas menatap Mey. "Masuklah." Serunya. Eben berada di air yang dangkal, dia menunggu Mey, gadis itu terlihat ragu.
Eben menyuruhnya masuk ke dalam kolam, tapi entah kenapa dari nada pria itu seolah Mey akan masuk ke tempat lain. Mey basah dari atas sampai bawah, setiap lekukan tubuhnya terlihat jelas. Sebelumnya Mey tidak terlalu gugup dengan keadaannya namun saat ini, di tengah tatapan intens Eben dia seperti telanjang.
"Kamu nggak harus mengajariku berenang," ucap Mey, dia telah sampai di pinggir kolam.
"Masuk, Mey."
Mey jongkok, memasukkan kaki kanannya lebih dulu, kemudian kaki kiri, benar-benar cara turun ke air yang feminin.
"Tidak ada yang akan menggigitmu di sini," Eben tersenyum geli. Jika seperti itu cara Mey menyentuh air, ia ragu pelajaran ini akan mudah.
Mey mengabaikan ejekan Eben. "Sekarang apa?"
"Aku ingin melihat bagaimana caramu berenang?"
"Maksudmu aku berenang sendiri?" Mey jadi takut, dia masih belum bisa berenang sendirian. Dari tadi Irfan selalu berada di sisinya.
"Jangan seperti mau pingsan seperti itu. Aku tidak mungkin membiarkanmu tenggelam. Sekarang tunjukkan apa yang diajari Irfan padamu tadi."
Mey berusaha tidak terpengaruh dengan betapa dekatnya Eben. Dada telanjang pria itu membuatnya resah. Dan cara pria itu menatapnya terasa menggelisahkan.
Tidak mau berlama-lama dipandangi Eben, Mey mulai berenang. Semua yang dikatakan Irfan diusahakannya sebaik mungkin. Mey adalah murid yang mudah belajar, pelan-pelan dia bisa melayang di air. Mey memerintahkan dirinya agar tidak gugup, perasaan gugup tidak baik untuk konsentrasinya. Tapi sial, Eben mampu memecah belah setiap fokus yang coba diabangun.
Mey tengah berada di kedalaman dua meter lebih ketika kakinya kram. Dia panik, kakinya tidak bisa digerakkannya.
"Eben." Mey belum pernah tenggelam, karena dia memang tidak pernah berenang. Tapi saat ini Mey yakin dia pasti akan tenggelam. Mey berputar-putar, menendang-nendang, dia mencari Eben. Langit sore terlihat seram di tengah-tengah rasa takut yang mencekamnya. "Eben!!!" Mey tersedak, dia menangis.
Eben memegang pinggangnya. "Tenanglah, kau tidak akan tenggelam." Eben hanya mengalihkan pandangan sejenak dari Mey, ia merasakan ada seseorang yang mengintip dari pintu belakang. Jika itu Rega, Eben mengingatkan dirinya untuk menegur adiknya itu nanti. Saat kemudian matanya mencari Mey, gadis itu nyaris tenggelam.
Rasa takut mencekram jantungnya, Eben segera berenang menuju gadis itu dan menariknya.
"Kakiku kram," Mey terisak, dia telah menelan air kolam dalam upaya menyelamatkan dirinya sendiri.
"Maafkan aku," Eben membawa Mey ke pinggir. ''Seharusnya aku terus melihatmu."
Masih diterpa syok, Mey menyandarkan kepalanya di dada Eben, dia berpegangan pada pria itu. Tubuh Eben berbau harum, besar dan maskulin. Mey mendapati dirinya tidak mau menjauh, persis seperti yang terjadi di dapur tempo hari.
"Kau tidak apa-apa," Eben menyandarkan punggug Mey di dinding kolam, tangannya tetap memegang pinggangnya. Kaki Mey menggantung di air, dia menjadikan bahu Eben sebagai pegangannya, bahu yang keras dan kuat.
Mey mengangguk, napasnya yang memburu perlahan menjadi tenang. Saat rasa takutnya hilang, kini digantikan perasaan aneh yang timbul beberapa saat lalu. Mey melihat tangannya sendiri di tubuh Eben, wajah Eben tepat di bawah dadanya, dan Eben tengah memandangnya.
"Ada apa?" Mey mencicit, gugup kembali.
Jakun Eben naik-turun, tatapannya berubah panas. Eben memegang tengkuk gadis itu. "Aku...ingin menciummu, boleh?"
Eben dan Mey di tengah cahaya matahari yang nyaris tenggelam, di pinggir kolam yang tenang. Rega menyikut kedua temannya. "Sudah saatnya kita pergi." Ketika Eben menyuruh mereka pergi, ketiga lelaki itu hanya berlalu namun tak sepenuhnya meninggalkan kedua insan di kolam itu. Ketiganya mengintip dari celah pintu yang dibuka sedikit.
"Bentar lagi lah," tolak Irfan.
"Bang Eben akan marah kalau tahu kita mengintip," seru Arfan.
"Tapi dia kan nggak tahu." Timpal Irfan.
"Nggak peduli dia tahu atau nggak, kita harus pergi. Sudah cukup kita mengintip dari tadi."
"Tapi tanggung, Ga." Rengek Irfan.
"Tanggung kepalamu. Ayo kita pergi." Arfan menarik paksa adiknya, Irfan menggerutu belum rela melewatkan adegan romantis yang sudah pasti akan terjadi.
Mey mengerjap. "Di...mana?"
Eben dilanda gelombang gairah, ketika Mey bertanya seperti itu hanya semakin membuatnya gila. Di mana? Pertanyaan itu sangat menarik. Di mana Eben ingin menciumnya??
"Tentu saja di sini, di kolam ini." Bibir Eben tersenyum, tapi tidak matanya. Matanya terlalu gelap dipenuhi hasrat untuk menyentuh gadis itu.
"Bukan..." Mey merasa bodoh dan senang sekaligus. Eben ingin menciumnya, Eben menginginkannya. Eben sangat tampan, Mey belum pernah didekati pria setampan dia. "Maksudku---"
"Di bagian mana aku ingin menciummu?" Nada suara Eben mencerminkan kegelian pria itu. Apakah Mey salah bertanya, ataukah kepolosannya membuat Eben gembira?
Mey memalingkan wajahnya, terlalu malu melihat Eben. Eben tengah menertawakannya.
Eben mencium lehernya. "Di sini." Mey memejam merasakan bibir Eben di kulit lehernya. Eben kemudian mencium pipinya. "Aku juga ingin menciummu di sini." Berikutnya hidung Mey, matanya, alisnya yang dicium Eben. "Tapi yang paling ingin kucium adalah bibirmu."
Mey membuka mata, ia melirik bibir Eben, bibir yang sudah menciumnya. Sebelum Mey mengucapkan kata-kata Eben menyatukan bibirnya di bibir Mey. Mata Mey melebar, itu adalah ciuman pertamanya. Mey tidak tahu harus melakukan apa.
Eben tersenyum di bibir Mey. "Ini ciuman pertamamu?" Wajah Mey bertambah merah, ia mencoba menarik diri namun Eben menahannya. "Jangan." Eben semakin merekatkan tubuh Mey di tubuhnya, dada Eben menekan payudara Mey. Mey mengerang, Eben semakin bergairah.
Eben kembali mencium bibir gadis itu, Mey tidak menolak namun tidak juga membalas. Dia takut salah bergerak, Mey tidak mau Eben menganggapnya bodoh. Eben menjilati bibir Mey, menghisapnya lembut.
"Ben..." Mey terengah, ada sesuatu yang ingin meledak dalam dirinya.
''Buka mulutmu," perintah Eben. Mey terlalu larut dalam irama sentuhan pria itu. Mey membuka mulutnya, terkejut ketika merasakan lidah Eben memasuki mulutnya.
"Ben...engghh.'' Mey ingin merosot, dia tidak punya tenaga lagi. Yang terjadi sekarang adalah surga, seluruh tubuhnya dipenuhi gelenyar nikmat.
Eben menyukai bagaimana Mey terengah dan menyebut namanya. Bibir Mey sangat lembut dan manis seperti madu. Sambutan polos lidahnya membuat Eben sekeras kayu. Kenyataan Mey belum pernah dicium sebelumnya menimbulkan perasaan hangat di dalam dirinya. Eben melepas pagutannya saat Mey hampir kehabisan napas, Mey begitu cantik saat terengah-engah. Eben ingin menggendongnya, menghempaskannya ke ranjang lalu bercinta dengannya.
Bibir Mey bengkak seperti tersengat lebah. "Sial!" Eben mengumpat pelan. "Aku ingin menciummu lagi." Seperti sebelumnya, Eben tidak membiarkan Mey menolak. Dia memagut daging lembut itu dengan penuh nafsu, tidak lembut seperti beberapa saat lalu. Mey kewolahan, semakin memegang erat Eben. Eben menghisap lidah Mey yang keluar dengan malu-malu, Mey meledak penuh kenikmatan. Dia bergetar, menggeliat menginginkan lebih namun tidak tahu akan apa.
"Biarkan lidahmu keluar," Eben memiringkan kepala Mey agar bisa memperdalam ciuman. Eben memegang lantai pinggir kolam agar tidak tenggelam, saat ini dia ragu memiliki kekuatan untuk berenang.
Mey menurut, Eben langsung meraihnya. Lidah mereka menyatu, Eben menghisap, menjilat, menggigit apa yang ditawarkan Mey. ''Lingkarkan kakimu padaku," bisik Eben di bibir Mey.
Mey melingkarkan kedua kakinya, lalu terkesiap.
"Ada apa?" Eben mengeraskan rahang, baru saja Mey menyentuh milikknya yang keras.
"Ada yang menyucukku," bola mata Mey membesar. "Kamu nggak memelihara ikan di sini, kan?"
Eben tertawa pelan. Mata Mey semakin besar saat mengerti apa yang keras itu. "Ya Tuhan," serunya. "Tapi kita tidak bisa---"
"Aku tidak akan bercinta denganmu...belum." Eben menahan makian, Mey menyentuhnya lagi. "Jangan bergerak seperti itu."
''Guru agamaku bilang---"
"Aku tidak akan melakukannya, Mey." Eben menahan napas.
"Tapi teman sekolahku bilang rasanya enak."
"Rasanya memang enak," Eben tersenyum setengah hati. "Bahkan lebih dari enak."
Mey memperhatikan Eben yang mengernyit dan meringis. "Apakah rasanya sakit?"
"Aku sangat kesakitan sekarang."
"Ada yang bisa kubantu?" Mey menyentuh pipi Eben. Mey ikut meringis dibuatnya.
"Tidak ada," Eben menggeleng, pria itu meyurukkan kepalanya di leher Mey, bernapas di sana. "Selain membiarkanku memasukimu, tidak ada yang bisa kau lakukan untuk membantuku."
*****
Eben membantu Mey keluar dari kolam. "Kembalilah ke rumah."
Mey menatap sekilas ke pusat gairah Eben. "Cepat masuk sebelum aku berubah pikiran dan bercinta denganmu di sini." Tegas Eben. Mey berlari ke rumah, dia masuk ke kamar dan bersandar di dinding pintunya. Tadi itu hampir saja. Ia menyentuh pipinya yang panas, Eben terangsang. Eben terlihat lebih tampan ketika bergairah. Mey merutuk pikiran mesumnya, dia berjalan cepat ke kamar mandi lalu mengguyur kepalanya dengan air.
Eben kembali ke air demi meredakan gairahnya. Setelah berenang beberapa putaran baru dia masuk ke rumah. Dia melirik kamar Mey yang tertutup, Eben menggeleng, yakin dirinya sudah tidak tertolong.
Setelah Eben membersihkan diri dan mengganti pakaian, dia memanggil Rega dan kedua temannya. Di dalam ruang kerjanya Eben membuat tiga pria muda itu terdiam dan menunduk. Rega tidak membantah satupun kata-kata abangnya. Irfan dan Arfan mengangguk-angguk sepanjang Eben bicara. Mereka mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
"Semua ini karena kau!!" Arfan menatap tajam kembarannya. "Kau yang punya ide mengintip bang Eben dan Mey." Mereka sudah diusir dari ruang kerja Eben, saat ini mereka tengah berjalan menjauh dari ruangan itu.
Irfan berdecih. ''Kenapa kau mau ikut? Aku nggak ingat kau menolak. Bilang saja kau juga penasaran."
"Tetap saja ini salahmu." Arfan berkeras.
"Kalian nggak bisa diam?" Rega membentak. "Tadi di dalam kalian macam ayam potong kurang vaksin, sekarang banyak bacot macam inang-inang penjual beha. Kalian mau tahu ini salah siapa?" Irfan dan Arfan mengangguk. "Ini salah kita bertiga. Jadi jangan saling menyalahkan. Oke???" Irfan dan Arfan mengangguk lagi.
Tbc...
Siapa yang lagi nungguin bang Eben???😍😍😍
Semoga suka ya...
Jangan lupa votmennya😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro