Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian - 11

Mey duduk di ujung tempat tidur Eben sementara pria itu sedang bersiap-siap untuk ke bandara. Mey menimbang-nimbang perkataan Rega di pikirannya. Rega memang usil tapi yang dikatakannya ada benarnya juga. Eben itu tampan dan mapan secara finansial, pasti banyak yang suka pada pria itu.

"Ben?" serunya setelah berdebat dengan hatinya yang tak keruan. Ia tidak dapat berbohong bahwa apa yang dikatakan Rega memengaruhinya.

"Hhmm," Eben menyisir rambutnya dengan tangan. Pria itu sudah rapi dengan kaos dan celana jeansnya. Eben mendekati gadis itu, perasaannya berat meninggalkan Mey. Mey bersikeras membantunya berkemas, Eben dengan senang hati menerima bantuannya. Mey dengan teliti menyiapkan semua yang dia butuhkan, Mey persis seorang istri yang akan memberangkatkan suaminya pergi kerja.

"Kamu nggak mau bermesraan dulu sebelum kamu pergi? Maksudku," Mey terdiam satu detik. "Kita kan baru---"

Eben meletakkan telunjuknya di bibir Mey. "Rega bicara denganmu?" Eben langsung tahu ini rencana Rega, adiknya itu sepertinya tidak ada kerjaan selain mencampuri hubungannya.

Mey mengangguk pelan. "Tapi---"

"Apa yang dia katakan?" Potong Eben.

"Bukan seperti itu, Ben. Aku---"

"Apa Yang dia bilang, Mey? Rega menyuruhmu mengajakku bermesraan?"

"Iya."

"Supaya apa?" Demi apapun, Eben tidak tahan dengan tingkah adiknya itu.

"Supaya kalau ada gadis lain yang merayumu kamu nggak termakan rayuannya."

"Itu ide paling konyol yang pernah kudengar. Dan kau melakukan ide itu."

"Aku hanya---"

"Tidak percaya padaku."

"Aku percaya, tapi---''

''Kamu tidak percaya, Mey."

"Berhentilah memotongku, aku juga perlu bicara."

"Cukup," Eben memegang tengkuk Mey. "Kamu tidak sadar Rega sengaja memberimu ide-ide konyol? Kopi tadi pun bukan aku yang minta, Rega berbohong."

"Tapi untuk apa?"

"Hanya dia yang tahu," seru Eben. "Oleh sebab itu jangan dengarkan dia!" diciumnya gadis itu lama dan dalam. "Aku akan membelikanmu ponsel, mungkin besok pagi baru sampai. Pakai itu untuk meneleponku, dan ingat jangan ikut-ikut dengan Rega."

Mey membuka mulutnya tapi tidak mengatakan apapun, Eben sudah berbalik dan mengambil tasnya. Mey menghembuskan napas, memang tidak seharusnya dirinya menaruh curiga pada Eben. Apalagi hanya karena hasutan Rega.

Mey mengantar Eben sampai ke pintu, ketiga penghuni lain rumah itu tidak ada yang berani keluar. Apalagi Rega.

Eben mengecup kening Mey. "Aku pergi, ingat apa yang kukatakan."

Mey mengangguk, sedikit tidak rela berpisah dengan Eben walau hanya sementara. "Berapa lama kamu di Kalimantan?"

"Tergantung kapan pekerjaanku selesai, kuusahakan pulang secepatnya."

Mey melambaikan tangannya ke arah mobil Eben yang menjauh. Setelah Mobil Eben tidak terlihat lagi ia masuk ke rumah. Di balik pintu sudah berkumpul tiga lelaki muda itu.

"Kalian ngapain di sini?" tanya Mey terkejut.

"Tadi kami akan keluar tapi nggak jadi karena takut mengganggu kalian," kata Rega.

"Bohong," timpal Irfan. "Kami sedang mengintip kalian aaww.'' Ia meringis karena kepalanya dipukul Arfan.

''Kenapa mulutmu bocor sekali? Bocor halus tapi keliling."

"Kau pikir mulutku ban?"

"Nggak ada bedanya."



****

"Akhirnya selesai juga," Robin menghempaskan dirinya ke sofa panjang di ruangan Eben. "Kita harus merayakannya, Ben. Aku tahu kelab yang bagus di sini."

Eben membuka kulkas, mengambil 2 kaleng minuman soda. Dia melempar satu pada Robin lalu membuka untuk dirinya sendiri. "Kenapa harus kelab?" Eben ikut duduk.

"Pertanyaan apa itu? Yah karena di sana banyak cewek-cewek cantik, apalagi? Kita juga bisa minum satu. Dua gelas alkohol. Kelab adalah tempat hiburan paling menyenangkan."

Eben meneguk minumannya. "Kita ajak yang lain," katanya. "Proyek ini bisa berjalan cepat berkat karyawan-karyawan yang berdikasi untuk perusahaan. Tapi sebagian besar dari mereka sudah menikah, aku tidak yakin mereka mau ikut." Eben senang mendengar pembangunan hotelnya bisa segera dilakukan, segala persyaratan dan ijin sudah diatur. Eben tidak mengira prosesnya bisa secepat itu.

"Lihat saja nanti," ujar Robin. "Pasti ada yang tidak mau ikut tapi akan lebih banyak yang ikut. Kau pikir status pernikahan ada pengaruhnya? Apalagi istri mereka rata-rata di luar kota."

"Terserah kau saja," Eben berdiri, membuang kaleng kosongnya ke keranjang sampah. "Hubungi aku kalau sudah waktunya pergi." Eben keluar dari kantornya, pria itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Eben menunggu panggilan dari seseorang. Sekarang sudah hampir malam, seharusnya ponsel yang dipesankannya untuk Mey sudah sampai. Tapi kenapa gadis itu belum menghubinginya?

*****

Robin benar, ternyata lumayan banyak yang mau ikut, ada sekitar sepuluh orang belum dihitung Robin dan Eben. Semua orang itu sedang menari di lantai dansa, bergerak tak terarah karena mabuk. Sudah hampir tiga jam mereka di sana.

Eben memperhatikan bawahan-bawahannya itu, hanya dia yang tidak turun. Eben menyesap whiskey-nya seraya memperhatikan apa yang bisa dia lihat. Mey masih belum meneleponnya, Eben jadi kesal.

"Boleh aku duduk di sini?" Seorang gadis berpakaian terbuka berdiri di sampingnya.

Eben meliriknya sekilas sebelum kemudian begumam. "Silahkan."

Gadis itu menyebutkan minumannya ke bartender lalu duduk menyamping menghadap Eben, gaunnya yang super ketat dan pendek naik memperlihatkan pahanya. "Sendirian?" tanyanya ringan.

Amanda sudah memperhatikan Eben sejak pria itu memasuki kelab. Tubuhnya yang tinggi dan dada yang bidang membuatnya terlihat mencolok. Apalagi setelan kemejanya yang rapi, bukan pakaian favorite pria yang sering ke kelab. Wajah Eben maskulin, rahangnya tegas dan terlihat jantan, namun mata pria itulah yang menarik perhatian Amanda. Perpaduan antara malaikat dan iblis. Tipe pria yang memuaskan di ranjang dan lembut di luar ranjang.

"Ada bedanya?" Eben mengenali ketertarikan seorang wanita, dan saat ini wanita di sampingnya tampak begitu.

"Tentu saja ada," wanita itu terkekeh, ia mengulurkan tangan. "Amanda."

Eben melirik tangan langsingnya, namun yang ia ingat adalah tangan Mey. "Eben," ujarnya tanpa membalas uluran tangan Amanda.

Amanda mendengus, melambaikan tangannya yang diabaikan. Ia menyembunyikan rasa kesalnya. "Nggak mau diganggu, eh?" Amanda mencari cincin di jari manis Eben, lalu tersenyum saat tidak menemukannya. Eben mungkin saja sudah punya kekasih namun Amanda tidak keberatan sedikit bersaing. Pria seperti Eben sangat layak diperjuangkan. "Punya pacar?" tanya Amanda saat Eben tidak bicara, benar-benar pria yang irit suara.

"Istri." Eben mengisi gelasnya lagi.

Amanda tampak syok. "Kenapa dia nggak ikut?"

"Istriku sedang hamil," Eben tersenyum kecil, senyuman itu timbul karena bayangan tubuh mungil Mey yang membesar di bagian depan dan gadis itu berjalan-jalan di rumahnya. Eben mengerang dalam hati. "Lagipula aku bersama karyawanku."

"Seorang bos rupanya," semangat Amanda naik kembali. "Mereka yang berkemeja itu? Yang sedang berjoget?"

"Hhhmm," Eben mengangguk saja. Ponselnya bergetar, nomor yang tertera di layarnya tidak punya nama.

"Kau---"

"Sebentar," Eben menaikkan tangan memotong kalimat Amanda. "Halo?"

"Eben, ini aku."

Eben tersenyum mendengar suara yang dirindukannya itu. "Istriku menelepon." Katanya pada Amanda yang terus memandangnya. Eben turun dari kursinya. Menabrak bahu orang lain tak terhindarkan ketika ia keluar ke tempat yang lebih tenang. "Kenapa kau baru menghubungiku sekarang?" Eben berada di lorong antara ruangan yang terlihat seperti gudang dan kamar mandi, ia bersandar di dinding, kepalanya mulai berdenyut karena alkohol.

"Maaf, aku baru bisa meneleponmu sekarang?" Mey merasa bersalah. "Ponselnya sampai tadi siang tapi kartunya nggak ada, jadi aku nggak bisa pakai."

Eben mengumpat, ia mengingatkan dirinya untuk bicara pada sekretarisnya yang tolol. "Kenapa kau tidak menyuruh Rega membelinya?"

"Rega pergi dari pagi. Aku nggak tahu membelinya di mana jadi aku menunggu mereka pulang. Kamu nggak marah, kan?"

Eben kesal tapi dia tidak akan mengatakannya pada Mey. Nada suara gadis itu yang lembut membuat Eben tak sanggup memarahinya. "Aku tidak marah, aku senang kau tetap meneleponku."

"Kamu di mana?" Tadi Mey sempat mendengar suara berisik, sebelumnya Mey mengira ia telah mengganggu istirahat Eben tapi ternyata tidak. Tampaknya pria itu sedang keluar.

Eben tidak langsung menjawab. "Kelab."

Gantian Mey yang lama diam. "Oh," serunya kemudian. "Tapi kamu nggak mabuk, kan?"

Eben tertawa. "Sedikit."

"Ben?"

"Hhmm?"

"Aku...aku sayang sama kamu.''

Kening Eben mengernyit. "Rega yang menyuruhmu mengatakannya?"

"Nggak. Nggak," Mey menggeleng. "Rega nggak ada bilang apa-apa, sumpah." Mey menggoyang-goyang kakinya yang menggantung di tempat tidur. "Tadi malam aku mimpiin kamu, aku cuma pengin bilang sayang. Nggak ada hubungannya sama Rega."

"Mey," Eben mendongak, matanya terpejam. "Aku belum bisa pulang, kumohon jangan membuatku tergoda memesan tiket pesawat sekarang juga."

Di Medan Mey tersenyum senang, ia menggigit bibir bawahnya lantas menjatuhkan punggungnya ke tempat tidur.






Tbc...

Aku senang votmennya banyak, makanya aku usahakan cepat up date...

Jangan lupa votmen yang banyak ya, biar aku cepat up date😘😘😘





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro