02 - "Apa terjadi sesuatu di Yokohama?"
(Name) menatap dua adiknya, Jiro dan Saburo, yang kini sedang duduk berseberangan dengannya. Ekspresi mereka tampak datar, membuat (Name) tidak bisa menebak apa yang sedang mereka pikirkan.
'Ada apa, ya?' pikir (Name) menyesap teh yang dia siapkan untuk mereka bertiga.
"Nee-san."
"Mhm?"
"Nee-san tidak sungguh pacaran dengan Aohitsugi Samatoki, kan?"
(Name) langsung menyemburkan minumannya, dan tersedak.
Lalu mati.
...
...
...
...
...
Itu terlalu berlebihan, maaf.
"Tentu saja tidak!" bantah (Name) meletakkan cangkir minumannya ke atas meja dengan sedikit keras.
"Bodoh! Bukan itu yang akan kita tanyakan!" sahut Saburo memukul kepala Jiro.
"Aduh! Tidak perlu dipukul kenapa!?"
"Siapa tahu otakmu jadi bekerja kalo dipukul," ejek Saburo menjulurkan lidahnya.
"HAAH!? NGAJAK BERANTEM YA!?"
(Name) berdehem keras, cukup untuk menarik perhatian kedua adiknya. Mereka tersentak kaget saat (Name) menatap mereka dengan tatapan mengancam.
Kini mereka tahu kenapa Ichiro langsung menurut saat melihat tatapan (Name).
"Jadi? Kalian bilang ingin berbicara denganku, apa yang ingin kalian bicarakan?"
Mereka berdua mengangguk dengan serempak.
"Nee-san," panggil Saburo, "apa terjadi sesuatu di Yokohama saat Nee-san sakit?"
"Bukannya aku sudah bilang kalau aku dirawat MTC?" sahut (Name) balik bertanya.
"Ah, memang benar. Tapi ...," gumam Jiro menggaruk kepalanya.
(Name) mengangkat kedua alis saat melihat reaksi kedua adiknya, kepala menunduk dan pundak yang turun.
Seperti binatang peliharaan yang ditolak tuannya.
"Oh!" ucap (Name) seolah teringat sesuatu.
Jiro dan Saburo spontan mengangkat kepala mereka, ekspresi penuh antisipasi. (Name) langsung mendengus geli dan menutup mulutnya—menyembunyikan senyum lebar yang terukir di wajahnya, seolah-olah sedang mengingat sesuatu.
'Mereka imut sekali.'
"Aku ingat sesuatu."
Mereka berdua mengangguk, menunggu lanjutan cerita (Name). Sementara sang perempuan hanya menatap mereka dengan sebelah alis terangkat.
"Penasaran?"
"Ya!" jawab Jiro dengan semangat, sementara Saburo kembali mengangguk tapi lebih bersemangat dari sebelumnya.
"Tapi kalian harus membuat satu janji denganku. Masih mau mencari tahu?" tanya (Name).
Mereka mengangguk mantap.
'Aku bisa menebak reaksi mereka setelah ini.'
"Sebagai 'bayaran' karena sudah merawatku, aku pergi date dengan Samatoki."
Ekspresi mereka spontan berubah menjadi horor, dengan mulut terbuka.
"DATE!?" pekik mereka langsung berdiri.
(Name) mengangguk, dengan mulut masih tertutup tangannya.
'Kau tidak boleh tertawa, (Name). Selucu apa pun reaksi mereka, tidak sopan jika kau tertawa di depan mereka,' pikir (Name) menutup matanya sejenak, 'ah, mungkin itu sebabnya Samatoki memanggilku wanitanya?'
"Dia tidak melakukan sesuatu pada Nee-san, kan!?" tanya Jiro kembali duduk.
"Dia membelikan baju date untukku," jawab (Name).
"Ayo bakar baju itu," sahut Jiro dan Saburo serempak.
"Hei baju tidak ada salah dalam urusan ini," balas (Name).
(Name) menggelengkan kepalanya, lalu kembali meminum minumannya.
"Sebenarnya aku tidak berencana menceritakan ini pada kalian," jelas (Name), "tapi karena kalian sampai menanyakan ini padaku dan memenuhi syarat dariku, maka aku ceritakan. Sekarang berjanji satu hal padaku."
"Um, janji apa yang harus kami lakukan, Nee-san?" tanya Jiro.
"Berjanjilah kalian tidak akan memberitahu Ichiro."
"Eh? Kenapa?" tanya mereka serempak.
'Karena aku tidak tahu apa yang akan Ichiro lakukan jika dia mendengar ini,' pikir (Name).
"Karena aku ingin kita bertiga punya rahasia," jawab (Name) dengan mantapnya berbohong.
"Tapi, Ichi-nii kan adik Nee-san juga," sahut Saburo, disusul anggukan kepala Jiro.
"Aku akan membakar baju pemberian Samatoki jika kalian berjanji," sahut (Name).
"Baiklah," balas mereka berdua langsung.
'Sepertinya aku harus mengembalikan baju pemberian Samatoki,' pikir (Name), 'setidaknya dia bisa menyumbangkannya dan itu lebih baik dari membakarnya, kan?'
"Aku pulang."
Suara Ichiro menggema di rumah, menarik perhatian mereka bertiga. (Name) yang menoleh ke arah pintu ruang TV kembali menoleh ke arah Jiro dan Saburo, lalu meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya.
"Ingat janji kita, oke?" bisik (Name).
Iris dwi warna Jiro dan Saburo melebar, lalu mereka mengangguk dengan semangat.
"Hm, ada apa ini?" tanya Ichiro memasuki ruang TV.
Mereka bertiga menatap Ichiro, lalu melihat satu sama lain, sebelum akhirnya tersenyum.
"Rahasia!"'
[][][]
(Name) menatap tangannya yang sedang memegang pisau, memotong sayur yang akan dia masak untuk makan malam. Tidak perlu waktu lama bagi (Name) untuk selesai memotong semua sayurnya.
"...."
(Name) menutup matanya, lalu meletakkan pisau tersebut di atas konter.
"Ichiro, aku tidak bisa memasak jika kau begini."
"Tapi, Nee-saaaaan~"
Kini Ichiro sedang memeluk (Name) dari belakang, dengan kepala bersandar di bahu (Name).
"Apa?" tanya (Name) menghela napas.
"Rahasia apa yang kalian bicarakan waktu itu?"
'Dia masih kukuh bertanya,' pikir (Name) tertawa datar, 'sudah tiga hari sejak hari itu, dan tiga hari berturut-turut dia bertanya padaku, saat Jiro dan Saburo tidak ada.'
"Bukan rahasia lagi kalau kujawab, Ichiro," jawab (Name), "sekarang bisakah kau minggir? Kita tidak akan makan malam jika aku tidak memasak sekarang."
"Tidak mau~" sahut Ichiro kali ini menggelengkan kepalanya, merengek seperti anak kecil.
"Ichiro, apa kau tidak malu merengek seperti ini?" tanya (Name).
"Habisnya," Ichiro berhenti sejenak, "Nee-san, aku ini adikmu juga kan?"
"Tentu saja," jawab (Name).
"Lalu kenapa kau tidak memberitahuku?"
(Name) terdiam, lalu tertawa datar.
"Karenaberbahayajikakaumengetahuinya—oh, bagaimana kalau diganti dengan hal lain?"
"Huh, apa yang Nee-san ucapkan sebelumnya?"
"Bagaimana kalau diganti dengan hal lain, maksudmu?" tanya (Name)
"Bukan-bukan, sebelum itu. Nee-san mengucapkannya terlalu cepat—"
"Haha, apa yang kau bicarakan, Ichiro? Aku tidak mengatakan hal lain selain itu," potong (Name) tersenyum.
Ichiro terdiam, lalu tertawa canggung.
"Y-ya juga."
"Bagaimana?" tanya (Name) menawarkan kembali pertanyaan sebelumnya.
"Hm," Ichiro bergumam panjang, "diganti apa, ya—"
Namun ucapan Ichiro terpotong oleh suara dering ponsel (Name). Mengenali suara deringnya, dengan cepat (Name) menampar kedua tangan Ichiro—cukup kuat sampai membuat sang laki-laki tersentak kaget hingga melepaskan pelukannya—lalu mencuci tangannya, dan mengangkat panggilan tersebut.
"Dengan (Name) Yamada, ada apa, Mr. Harrison?"
"Maaf meneleponmu saat sedang libur, (Nickname)."
"Tidak apa-apa, Mr. Harrison, Anda menelepon pasti ada urusan penting."
"Ya, sebenarnya baru saja aku mendapat panggilan dari salah satu perusahaan partner. Kau tahu hari ini aku kembali ke Inggris untuk pertemuan penting, benar?"
(Name) mengangguk.
"Benar, oleh karena itu Anda memberi saya libur," sahut (Name).
"Sebenarnya, perusahaan partner dan perusahaan kita baru saja menerima surat workshop."
"Ah, workshop," gumam (Name), "jadi Anda tidak bisa menghadirinya ya?"
"Benar, jadi aku ingin kau menghadiri workshop itu bersama perwakilan perusahaan partner."
"Baiklah, seminggu ya?" sahut (Name) mengangguk, "di mana pelaksanaannya, Mr. Harrison?"
"Yokohama."
"Yokohama!?" kaget (Name).
(Name) tersadar mengucapkannya dengan keras, kemudian menoleh ke belakangnya, dan kembali tersentak kaget saat melihat Ichiro sedang menatapnya dengan intens, dengan jarak mereka yang sangat dekat.
"Kenapa dengan Yokohama?" tanya Ichiro mendekatkan wajahnya ke wajah (Name)—berencana mendengar pembicaraan (Name) dengan bosnya.
"Kenapa kau kaget, (Nickname)? Apa terjadi sesuatu di Yokohama?"
"Ah, tidak ada, Mr. Harrison, maaf membuatmu terkejut," sahut (Name) mendorong wajah Ichiro menjauh.
"Jadi kau bisa menghadirinya, kan?"
"Tentu saja, Mr. Harrison," jawab (Name) mengangguk.
"Bagus—oh, kau bisa membawa ketiga adikmu, karena akomodasi untuk perusahaan kita adalah 4 kamar hotel."
(Name) terdiam, lalu tersenyum lebar.
"Tenang saja Mr. Harrison, aku tidak akan membawa mereka."
"Begitu ya? Ah, aku harus pergi, sebentar lagi jadwal penerbanganku, info detailnya akan aku kirimkan saat sudah sampai di Inggris lewat email, oke?"
"Siap, Mr. Harrison."
Setelah itu panggilan diputuskan dari sana, (Name) terdiam sejenak.
"Tidak, kau tidak akan ikut, Ichiro."
"Tidak apa-apa kalau aku tidak tahu rahasia kalian!" sahut Ichiro, "tapi gantinya aku harus ikut!"
(Name) memandang lama Ichiro.
"Kalau begitu aku akan memberitahu rahasia kami—"
"AKU LEBIH MEMILIH IKUT, NEE-SAN!"
"Astaga ...."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro