18 - [Observation]
Bunyi bel terdengar, semua siswa-siswi segera berlari keluar kelas, setelah guru yang mengajar mulai menjauh dari pintu kelas. Beberapa tawa mulai terdengar, karena lelucon saat belajar atau pun lelucon baru yang mereka bicarakan. Ada juga yang membahas tentang pelajaran yang baru saja mereka dapatkan tadi.
Sekian kalinya pembelajaran tentang, "Bagaimana berbaur dengan masyarakat biasa di lingkungan kota atau desa." Hal itu wajib mereka semua pelajari, agar tidak terlalu terlihat mencolok.
Teressa sekarang terlihat masih duduk di bangkunya, menimbang--apakah dia akan pergi makan ke kantin atau tidak. Sudah beberapa hari ini dia sama sekali tidak ke kantin, apalagi setelah peristiwa keusilan trio brandal padanya.
Seth dan Simon sudah mengajaknya untuk ke kantin dan makan bersama. Namun, di hati Teressa, ia merasa tidak enak jika harus berkumpul di meja laki-laki.
Tiba-tiba, dua orang gadis mengetuk pintu, membuat Teressa lepas dari lamunannya dan sedikit tersentak. Kedua perempuan itu mendekatinya. Satu berambut panjang sepinggang, satu lagi rambut coklat bergelombang. Mereka tersenyum, seolah ingin membawa Teressa ke suatu tempat.
"Kamu Teressa, bukan? Mau ikut bersama kami?" tanya seorang gadis.
Tak butuh waktu lama untuk mengajak Teressa. Karena dia sendiri memang sangat menginginkan bersama dengan teman-teman perempuan.
"Aku Lily, ini Valerie," ucap gadis bernama Lily ramah.
Teressa mengangguk dan senyum lebar. Dia tak menyangka jika dia akan diajak bergabung dengan teman yang lainnya. "Aku Teressa," balasnya.
"Kita mau makan ke kantin, kau mau, 'kan? Kebetulan di sana sudah ada Jennie yang menunggu," kata Valerie menawarkan.
Lagi-lagi Teressa mengangguk. Dia tak mau menghilangkan kesempatan bagus ini, bukan?
"Okey," sahut Valerie, bersamaan dengan mereka yang sudah sampai di kantin sekolah.
Sebuah kantin yang benar-benar luas dengan beragam jajanan dan makanan yang dijual di sana. Mejanya juga sangat banyak, hampir menyamai banyaknya murid di akademi ini. Teressa hanya bisa tersenyum bangga, apalagi saat dia mendengar suara Seth dan Simon memanggil namanya.
"Ah iya, Teressa, bolehkah jika kau saja yang mengambil makanan di sana? Kakiku sudah lelah untuk mengantri," ucap Lily memohon.
"Tak masalah, aku bisa menunggu," balas Teressa yakin.
Lily dan Valerie terlihat bahagia, lalu segera melangkah menuju tempat duduk, di mana seorang gadis dengan rambut pirang dan hiasan di wajahnya. Dia menggunakan lips stick berwarna merah jambu dan brush sedikit berwarna kemerahan. Sesampainya mereka berdua di meja Jennie, mereka semua tos, tertawa kecil dan kembali menatap Teressa yang masih berdiri di depan sana.
Teressa yang merasa sudah selesai antrian segera maju. Dia memesan empat makanan sesuai permintaan dua teman barunya. Lantas setelah membayar dia berjalan mendekat. Dengan benang-benang itu, dia bisa merasakan di mana keberadaan ketiga orang itu dari raut wajahnya.
Dia menemukan tempat duduk itu berada paling ujung ruangan kantin. Dia segera berjalan cepat, tidak melihat ada sebuah kaki menjulur begitu saja di langkahnya saat akan mendekati meja.
Tragedi terjadi, Teressa jatuh dan membuat semua makanan yang ia bawa berserakan.
Seth dan Simon yang melihat itu langsung berdiri dari tempatnya, menatap ketiga gadia yang tadinya mengajak Teressa malah tertawa terbahak-bahak. Mereka tega melakukan perundungan di depan umum, tanpa memikirkan bagaimana hati dan perasaan Teressa sendiri.
"Ada apa di sini?" Sebuah suara menggelegar membuat tawa itu terhenti.
Seorang guru melangkah ke arah mereka dengan tatapan tajamnya. Dia menatap Jennie, Valerie, dan Lily penuh intimidasi. "Apa yang salah dengan dia?" tanyanya.
"Mampus, Mr. Helix," bisik Simon pada Seth.
Seth yang tahu pun langsung membeku. Dia yang tadinya ingin membantu Teressa malah kembali mundur beberapa langkah, tak berani jika harus berhadapan dengan guru yang satu itu.
"Aku berani bersumpah, aku tak mau membeku jika berhadapan dengan Mr. Helix," tambah Simon lagi semakin gemetar.
Sementara Teressa, dia berusaha membersihkan seragam dan tubuhnya yang dipenuhi makanan-makanan. Sekali lagi, dia berusaha agar tidak menangis di saat seperti ini. Kaki Teressa berusaha kuat, dia berdiri tidak mempertanyakan kenapa suara tawa di seisi kantin berhenti.
"Seth, Teressa, Simon, kalian dipanggil menghadap Mrs. Ave."
"Lagi?" Simon merespon reflek.
"Cepat! Atau kalian mau kena hukuman?!" bentak Helix marah.
Seth dan Simon meninggalkan makanannya, menarik tangan Teressa dan segera meninggalkan Helix yang masih saja mencacau. Mulai dari memarahi ketiga gadis yang mengusili Teressa. Sampai memarahi seisi kantin karena tidak ada yang peduli.
Di sisi lain, Seth, Teressa, dan Simon sudah sampai di depan ruangan Ave. Siap menghadap untuk kesekian kalinya. Tak ada lagi rasa gugu seperti saat pertama kali bertemu dengannya.
Pintu terbuka dan mereka segera memasuki ruangan Ave. Menatap sekeliling yang masih sama dan Ave yang duduk di atas kurisnya dengan dandanan yang masih sama. Serba gelap, dan menyeramkan.
"Sudah siap dengan misi kali ini?" tanya Ave tiba-tiba.
Simon gelagapan. "Mi-misi lagi, Miss?" tanyanya.
Ave mengangguk, kemudian meraih sebuah remot dari atas mejanya. Dia menekan tombol merah ke arah televisi yang ada di samping ruangan. "Lihatlah itu."
Seth dan Simon menatap bersamaan, sementara dari Teressa hanya bisa terdengar helaan napas panjang. Dia tak bisa melihat siapa yang ada di televisi itu.
"Grechiella Samoson!" seru Simon dengan mata berbinar.
Dia bisa melihat Ella dengan manisnya memainkan sebuah peran di atas teater. Menangis, dan mendalami semua peran yang harus ia lakukan. Aksinya di atas panggung benar-benar membuat seisi ruangan menangis, tanpa terkecuali.
"Kau sudah tahu rupanya. Selidiki dia. Ella artis ternama tahun ini, dan sekarang menjalankan sebuah proyek film terbaru di Bryan City."
"Selidiki?" ulang Simon agak tidak suka dengan nada bicara Ave.
Ave mengangguk. "Ada sesuatu yang aneh dengan dirinya," ujarnya.
"Huh? Apa yang aneh dengan seorang gadis cantik bermata biru laut san rambut pirang itu? Dia memainkan perannya dengan baik," protes Simon tak terima.
Ave tersenyum tipis. Bibirnya yang merah maroon membuat senyum itu terlihat begitu seram. "Saat kau di sana, kau akan paham."
"Tapi--"
"Bailah, Miss. Kami akan melakukannya," potong Teressa, mengabaikan desahan kesal dari Simon.
Ekspresi wajah Simon terlihat tak suka karena Ella--yang merupakan salah satu selebriti kesukaannya harus menjadi sasaran dalam misinya kali ini.
"Adakah klu untuk misi ini?" tanya Seth.
"Ada. Tapi, kalian hanya akan memahami klu itu saat di sana. Karena aku tak bisa memberikan petunjuk jika petunjuknya sendiri ada di Bryan City."
Setiap kali Seth mendengar kata Bryan City, dia merasakan aliran darahnya melesat cepat. Berbeda dengan saat biasanya. Benar, dia akan mengingat ibunya sendiri yang pergi ke kota, meninggalkan dia sendirian di akademi yang sama sekali tidak ia sukai.
Berulang kali Seth mencoba melupakan, tapi ia tersadar. Jika tujuan dia masuk ke akademi ini adalah untuk membawa ibunya kembali. Bukan hal lain, dan jika dia sudah berada di Bryan City nanti, itu artinya kesempatan dia bertemu dengan ibunya akan semakin besar.
"Baiklah, perlengkapan akan diberikan besok saat kalian akan berangkat. Persiapkan beberapa pakaian, karena sepertinya misi kalian kali ini akan berlangsung lama."
Ketigannya mengangguk, termasuk Simon sekali pun. Walaupun dia kesal dengan kalimat Ave yang terkesan menyudutkan Ella--artis favoritnya, dia harus tetap melakukan hal uang profesional sebagai seorang High Sense.
Saat mereka sampai di depan pintu, seorang laki-laki muncul dengan sebuah ember san kain pel di tangannya.
"Kyle?" tanya Simon memastikan. "Croul, Gybran?" lanjutnya saat melihat dua orang lagi masuk dengan peralatan kebersihan.
"Ah, kalian sudah sampai," ujar Ave seolah sudah terbiasa.
"Kenapa mereka di sini?" tanya Teressa penasaran, sia sendiri merasakan ketiga laki-laki itu mambawa alat untuk bersih-bersih di tangan mereka.
"Mereka dua minggu lalu melaporkan diri mereka sendiri. Katanya ... mengintip rok seorang gadis di lorong sekolah. Mereka meminta hukuman walaupun aku sendiri tidak memberikan pada mereka." Ave berdiri. "Akhirnya, mereka berjanji akan menjadi petugas kebersihan toilet selama sebulan."
Seth, Simon, dan Teressa saling bertatapan. Bagaimana bisa laki-laki nakal dan tak mau patuh aturan bisa menjalankan hukuman yang sedikit mwnjijikkan itu. Mereka bertiga tahu bagaimana kondisi toilet sekolah yang harus dibersihkan.
"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Ave.
Seth menggeleng cepat, lalu melangkah lebih dulu keluar ruangan, disusul kedua temannya.
"Aneh," bisik Teressa.
"Mungkin kemaren karena aku mencengkeram mereka, 'kan? Lalu, Seth menyuruh mereka untuk menyerahkan diri sendiri ke pengadilan. Benar begitu?" ucap Simon percaya diri.
Teressa berpikir sejenak. Malah berpendapat jika apa yang dikatakan Simon itu benar. Akan tetapi, mereka yang melaporkan diri sendiri itu masih saja menjadi misteri.
-oOo-
To be continued
Stay toon sama kisah mereka!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro