Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17 - [The Corner of a City]

Kepulan asap rokok terlihat melayang di udara dari mulut dua orang pria yang terlihat duduk santai di sebuah sofa dalam ruangan. Suhu di sana sedikit dingin, karena AC yang dinyalakan mengeluarkan udara dingin yang rata-rata tidak disukai orang.

Tawa menggema, terlihat wajah yang sudah mulai berkeriput itu membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya menyipit, dan mulutnya menampakkan gigi-giginya yang masih utuh namun kekuningan karena pengaruh nikotin. Sesekali pria yang mengenakan jas itu memperbaiki dasinya, lalu kemudian kembali menjepit sebatang rokok di sela jari telunjuk dan tengahnya.

Matanya menatap tajam. "Jadi, di daerah sana sudah bisa dibangun hotelnya?" ucapnya mulai serius.

Pria yang lebih tua di depannya mengangguk. Lantas kembali mengembuskan kepulan asap ke udara. "Bisa kita mulai proyeknya minggu ini," tuturnya.

Pria berdasi itu membuka sebuah dokumen yang berada di atas meja. Dia melihat foto rumah-rumah tua dari kayu berderet di tengah pohon-pohon rindang. Rumah yang terlihat begitu kosong, dan sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Dia meletakkan rokoknya, kemudian mengangkat foto itu dan menatap dengan seksama. "Bagus, semuanya akan diratakan?" ujarnya.

"Benar, di sana bisa jadi tempat yang bagus untuk menjalankan rencana sesuai yang tuan inginkan. Karena memang tempat itu jauh sari kota, dan ... akan sulit dijangkau orang-orang merepotkan." Perkataan itu diakhiri kekehan kecil.

"Bagus, kita akan menjalankan misi ini secepatnya," pungkas pria berdasi. Dia kemudian berdiri. "Chris! Siapkan semua tim, dan sewa beberapa alat berat untuk meratakan tempat itu," ucapnya kembali mengambil rokoknya.

Seorang pria berpakaian jas hitam dan serba rapi segera menghadap. Dia menunduk sopan dan menyaut, "Siap, Tuan."

Setelah pria itu keluar, pria tua yang tadinya berbincang menatap heran. "Kau berhasil menjinakkan hewan itu?" tanyanya.

Anggukan ia lihat, lalu diiringi senyuman licik dari bibirnya. "Kedua orang itu sudah di sini, bawahanku memang bijak dan penuh perencanaan untuk menjebak satu keluarga."

"Baiklah ... semoga kau tidak melakukan hal yang sama padaku," kekeh pria tua menampakkan gigi-giginya yang kekuningan. "Ah, ya. Kita kehilangan empat bawahan di sana, karena utusan yang merepotkan. Haruskah kita membuat beberapa lagi untuk menjadi pasukan?"

Hening sejenak, hanya terdengar hembusan napas dan deru motor yang berlalu-lalang. "Benar, lakukan seperti di desa itu. Aku ingin 100 pasukan lagi," pungkasnya.

Pria tua itu mengangguk. "Tak masalah, manusia lebih cepat gila dari pada hewan," jelasnya.

Keduanya tertawa, menikmati kembali asap yang mereka hembuskan. Pembicaraan itu memang tak akan pernah menyenangkan jika mereka tidak menghisap dua sampai empat batang rokok. Karena barang itu sudah menjadi kebutuhan pokok untuk membahas perencanaan.

"Ah ya, aku ingat. Bagaimana dengan wanita-wanita yang kau jerat untuk ke sini? Apa yang mereka lakukan sekarang?" tanyanya.

"Seperti biasa. Bekerja di perusahaan bawah dan ... ya, menjadi berbeda dari diri mereka sendiri." Dia mengambil gelas di atas meja dan meneguk kopi hitam yang ada di dalamnya. "Ini akan menjadi langkah awal kita untuk membuat manusia di bawah kendali," lanjutnya.

Tak ada balasan lagi terdengar, selain suara tawa yang menggema di dalam ruangan itu. Keduanya kembali menikmati rasa nikotin dan asap yang mengepul.

"Aku pergi sekarang, atau ingin melihat apa kegiatan wanita-wanita itu sekarang."

Pria tua itu melangkah keluar, baju jubah hitamnya diterpa angin saat baru saja keluar dari pintu. Ia kembali memasang wajah dingin, lalu diikuti dua orang dengan jas pelayan di belakangnya.

Dia melangkah cepat menuruni tangga menuju tempat yang tadinya sempat ditunjukkan oleh pria maskulin di dalam ruangan. Diskusi mereka berdua hanya mengenai itu, lelaki pendatang baru yang belakangan ini muncul ke panggung dengan seragam pelayan, dan beberapa wanita yang berhasil terjerat menjadi pembuat roti di pabrik sebelah gedung tingginya.

"Huh, jika aku tidak penasaran dengan wanita itu, aku tak akan turun melewati tangga ini," gumamnya di sepanjang perjalanan.

Dia semakin mempercepat jalannya. Setelah keluar dari satu gedung, dia segera melangkah menuju gedung di sebelahnya, mengenakan jas putih dan kacamata, lalu menuju lantai tiga tempat yang dikatakan pria tadi.

Senyum mengembang di bibirnya, membuat kumis tebal di atas bibirnya bergerak naik-turun. Matanya kembali menyipit, tersenyum, saat melihat seorang wanita dengan pakaian yang sama dengan yang ia gunakan.

Tangannya melambai, namun sangat disayangkan karena wanita itu tidak melihatnya sama sekali.

"Bagaimana kabarmu, Alena?" tanya pria itu saat dia sampai di depan wanita yang dia panggil Alena.

Wanita itu menatap singkat. "Aku baik," ucapnya dingin.

Mendengar jawaban singkat itu, pria itu mengambil sebungkus roti yang ada di tangannya dan membuangnya ke sembarangan tempat. "Bisakah kau menjawab pertanyaanku lebih ramah?" kecamnya.

Alena terlihat terkejut. Dia menghentikan pekerjaannya dan menatap pria itu takut. "Ma-maafkan aku, tapi aku sama sekali tidak mengenalmu," ucapnya.

Pria itu menarik wajah Alena kasar, membuat wanita itu meringis menahan sakit karena rahangnya ditekan keras. "Aku suamimu!" bentak pria itu.

Tak ada jawaban berarti dari Alena selain air matanya yang mulai mengalir. Dia sendiri bahkan tak tahu kenapa dia bisa berada di sana dan bekerja di pabrik roti.

"Kau masih belum bisa menerimanya?" kejam pria itu, membuat beberapa karyawan lainnya mulai memperhatikan mereka.

Alena menggeleng singkat. "Bukannya tak bisa menerima, aku hanya tak ingat kau siapa."

Tanpa pikir panjang, pria tua itu melepaskan cengkramannya dari Alena. Kemudian menendang meja dan beberapa bungkus roti yang sudah selesai dikemas. Wajahnya terlihat begitu marah, matanya terbuka lebar menatap penuh amarah wanita di depannya.

"Kuberi kau waktu dua minggu lagi untuk kembali padaku, walaupun ingatanmu tidak kembali," marahnya.

Alena hanya bisa terdiam membeku. Dia menahan rasa malu karena beberapa karyawan lain menatapnya dengan pandangan yang begitu hina.

Sia sendiri diterima di sana karena pria tua yang ia tolak, memberinya pekerjaan karena dia kehilangan semua ingatannya. Dari awal pria itu mengakui jika dia adalah suaminya, namun entah kenapa Alena menolak itu, dia hanya ingin mengingat semuanya kembali. Agar semuanya tak berjalan dengan terpaksa.

Satu orang wanita dengan rambut panjang bergelombang menghampirinya. Lalu memberikan satu pelukan hangat padanya. Jemarinya berusaha menghapus air mata yang mengalir dari mata Alena. "Bersabarlah ... aku sendiri juga masih belum menemukan siapa sebenarnya keluargaku. Jika kau mau aman, terima sajalah dia sebagai suamimu, itu tak akan merugikanmu juga," bisiknya pelan.

Alena menggeleng cepat. "Aku akan mengambil kembali ingatanku yang hilang, dan sebelum itu akan tak akan menerimanya."

Dia begitu keras kepala, berapa kali pun hentakan diberikan, Alena tak akan pernah goyah akan keinginannya. Dia akan terus menjalani hidupnya dahulu seperti sekarang, sebelum semuanya jelas.

"Kau keras kepala sekali, Alena."

"Memang begitulah seharusnya. Bagaimana jika laki-laki itu hanya mengaku sebagai suamiku? Padahal nyatanya bukan. Aku tak mau itu terjadi." Alena menjawab tak mau kalah.

Wanita itu tak lagi berbicara. Mereka kembali fokus pada pekerjaan yang sekarang ada di depan mata. Selama ini dia hanya bekerja sebagai karyawan di pabrik roti terbesar di kota. Banyak sekali orang-orang kehilangan ingatan berada di sana untuk mencukupi kehidupan pribadi. Karena belum menemukan keluarga, atau tidak bisa menerima keluarga.

Pemerintah menyediakan tempat itu, dan mereka menjadi pekerja di sana. Pabrik itu dikhususkan untuk orang-orang yang lupa dengan siapa dia dan apa tujuannya sebenarnya.

Sesekali Alena termenung, menatap satu goresan luka di tangannya. Sudah mengering, namun itu membekas di tangannya begitu lama. Sudah hampir beberapa minggu semenjak dia kehilangan ingatan, luka itu tak kunjung hilang. Bekasnya masih tetap ada.

Alena mengelusnya lembut. Berharap jika luka itu adalah satu-satunya jalan agar dia menemukan siapa dirinya yang sebenarnya.

"Alena, berhenti melamun, dan lanjutkan pekerjaanmu!" Sebuah teriakan dari meja pengawas membuat Alena gelagapan.

"Maafkan aku."

Langsung saja ia kembali melaksanakan tugasnya. Untuk mendapatkan kebutuhan bagi dirinya sendiri.

-oOo-

How?
To be continued~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro