Jarum jam berdetak terdengar saat Seth, Simon, dan Teressa memasuki dorm penginapan mereka. Asrama dengan tiga buah kasur di setiap kamarnya dan disain simpel dengan semua barang terbuat dari kayu.
Cahaya mentari pagi terlihat mulai memasuki jendela kamar mereka yang terbuka. Kicauan burung dan riuh siswa lainnya juga sudah terdengar, karena hari itu mereka kembali melanjutkan pembelajaran seperti biasa.
Berbeda dengan Seth, Simon, dan Teressa. Mereka diberikan waktu satu hari untuk beristirahat, karena mereka baru saja sampai di asrama dengan kondisi acak-acakan dan lelah.
Teressa memilih mengikuti keduanya, ingin membahas sesuatu yang penting. Tentang tim mereka, kerja sama dan permasalahan.
Simon segera merebahkan tubuhnya ke atas kasur yang empuk. Semalaman mereka menaiki kereta dan tidur di sana selama enam jam lebih. Bangku kereta terbuat dari besi keras, tanpa bantalan yang membuat nyaman. Ingin rasanya Simon protes saat itu juga masalah bangkunya, tapi apa boleh buat. Semua bangku kereta seperti itu, apalagi lorong kelas ekonomi.
"Hah, tak pernah aku selelah ini," keluh Simon mengembuskan napasnya panjang.
Seth ikut berbaring, menatap langit-langit kamar yang terdapat sedikit jaring laba-laba. "Maafkan aku tak terlalu bisa membantumu. Ah, tapi aku tak bisa membantu juga karena kau, bukan?" canda Seth.
Laki-laki berbadan besar itu melenguh, mengabaikan perkataan Seth dan malah mengambil sekantong cemilan yang berada di atas meja dekat kasurnya.
"Aku tak masalah di sini, 'kan?" tanya Teressa ragu, karena sekarang dia berada di salam kamar asrama anak laki-laki.
"Tak apa, ada satu tempat tidur kosong, kau bisa tidur di sana," ucap Seth. "Mau kubantu?"
Teressa menggeleng. "Tak usah, aku bisa menggunakan kemampuanku di sini," lanjutnya.
Seth hanya berdehem ringan, menatap Teressa yang berjalan pelan ke arah satu tempat tidur yang kosong. Dia pun terlihat lelah, walaupun di sana tak bisa menggunakan kemampuannya sedikit pun. Tapi, Seth san Simon bisa memahami.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu. Pintu kamar mereka diketuk dari luar, membuat Seth spontan berdiri sambil berkata, "Biar aku saja."
Dia membukakan pintu, memperlihatkan Domdom yang tubuhnya setinggi pintu menatap Seth sedikit kagum. Tangannya memegang sebuah surat kabar, lantas memberikannya pada Seth.
"Ini surat kabar dari pemerintah, Mrs. Ave memintaku untuk mengantarkan satu surat kabar pada kalian," ujarnya.
Seth menunduk singkat, lalu mengangguk. "Terima kasih," balasnya sopan.
Domdom mengangguk, lalu mengangkat tangannya dan memberi hormat. "Kalian sudah melakukan yang terbaik!" tambahnya.
Setelah itu, Domdom pergi, meninggalkan Seth yang masih berdiri di depan pintu. Selang beberapa detik kemudian, Seth masuk, ia telah mendapatkan halaman surat kabar yang menjelaskan tentang kejadian kemaren.
"Tragedi desa Hollow. Wow, apakah nama kita bertiga akan masuk berita? Mau kubacakan?" tawar Seth pada kedua temannya.
"Boleh." Simon dan Teressa menyaut bersamaan.
"Desa Hollow, yang dijuluki sebagai desa kegelapan mengalami tragedi baru. Setelah kejadian beberapa bulan lalu, saat beberapa masyarakat desa Hollow melakukan bunuh diri, tragedi itu kembali terulang dan tidak menyisakan satu nyawa pun.
Menurut kesaksian petugas keamaan pemerintah pusat dari kota Brian City yang menangani kejadian ini. Semua masyarakat ditemukan tewas gantung diri dan menusuk diri mereka sendiri. Ini akan menjadi kasus bunuh diri terbesar sepanjang se--tunggu!"
"Apa kau merasakan ada yang ganjal juga, Seth?" tanya Teressa.
"Kenapa berita menyatakan mereka semua bunuh diri?" Simon duduk dan menatap fokus ke arah Seth.
"Aku juga mempertanyakan hal yang sama. Kenapa surat kabar ini terasa begitu bohong dan ... ini palsu! Ini berita palsu!" Seth tak terima dengan kepalsuan berita yang ia baca.
"Tunggu, coba lanjutkan lagi," pinta Teressa.
"Kepala pemerintahan ikut berkomentar tentang masalah ini, Mr. Garret mengatakan, "Berdasarkan hasil survey, desa Hollow memang mengalami masalah perekonomian yang semakin buruk tiap tahunnya. Ini bisa saja menjadi faktor semua masyarakat memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Pemerintah akan lebih berusaha untuk meningkatkan taraf perekonomian kota lainnya agar tragedi ini tidak terjadi lagi."
Alasan ini juga diperkuat oleh kepala desa Hollow yang saat itu mendapatkan tugas untuk ke kota pusat menyelesaikan pengurusan surat penurunan dana untuk bantuan--hei ... kenapa? Bukankah yang kita temui itu kepala desa?" tanya Seth sedikit tak percaya.
"Media memperbodoh manusia!" kesal Teressa.
Simon mendekati Seth, lalu merebut surat kabar yang ada di tangan Seth. Dia membaca ulang, seolah tidak percaya jika berita di sana sudah dipenuhi rekayasa. Dia melihat dan membaca setiap kata, tentu juga memperhatikan foto desa Hollow yang terlihat sepi.
"Semua darah di sana juga sudah bersih." Mata Simon menatap Seth. "Aku penasaran kenapa hal ini bisa terjadi," lanjutnya.
Mereka hening sejenak, ketiganya tenggelam dalam pikiran dan argumen masing-masing. Berusaha untuk memikirkan apa alasan surat kabar memberikan berita palsu.
Tarikan napas Teressa terdengar. "Istirahatlah dulu, mandi, kalian benar-benar bau. Setelah itu, kita akan menanyakan pada Mrs. Ave."
Simon sedikit tersinggung dengan kata 'bau' yang diucapkan Teressa. "Sebentar, kau merasa begitu wangi? Sampai mengatakan kami bau?" ujarnya.
Teressa hanya terkekeh ringan. "Aku wangi karena aku tidak terlalu menggunakan kekuatanku," balas Teressa cerdik.
"Terserah kau saja," ketus Simon lantas melangkah ke dalam toilet dengan sebuah handuk si bahunya.
Di sisi lain, Seth masih sibuk membaca surat kabar itu. Berusaha mencerna satu per satu kata yang sedikit mengganjal dan bisa menjadi klu mereka untuk mencari tahu.
"Teressa, apakah hanya aku yang merasakan jika ada hubungan antara Garret dan kakek tua itu?"
-oOo-
Teressa berjalan santai di lorong akademi, menuju satu tempat yang ia yakini sebagai jawaban beberapa pertanyaannya. Karena saat pertana kali dia sampai di GT akademi, dia lebih tertarik menuju satu tempat, walaupun indra-nya tidak mendukung untuk berada di sana.
Benar, Teressa melangkah ke perpustakaan. Saat masa pendaftaran dan tes kemampuan berlangsung, Teressa sudah mendapatkan banyak kisah dari Fuji Rin, termasuk tips agar dia bisa menyelesaikan semua tantangan dan terus mengasah kemampuannya.
Gadis itu membuka pintu perlahan, dia bisa mencium bau buku yang menusuk hidungnya. Dulu, dia begitu menyukai buku-buku sejarah untuk dia baca. Tapi, sekarang dia sudah tak dapat lagi untuk membaca buku-buku itu, setelah kejadian di masa lalunya.
"Teressa!" sambut Fuji Rin dari tempat ia duduk.
Teressa tersenyum, mulai menggerakkan benangnya agar mengetahui di mana Fuji Rin berada.
"Aku datang, apa kabar?" tanya Teressa hangat.
Dia duduk di sebelah Fuji Rin tanpa ragu. "Aku baik, bagaimana denganmu?"
"Aku juga baik, Kek," jawab Teressa.
"Ke sini untuk bertanya sesuatu? Katakan, aku siap mendengarkan dan menjawab."
Mendengar hal itu Teressa tersenyum. Hal inilah yang membuat dia begitu menyukai perpustakaan. Fuji Rin siap menceritakan apa pun padanya, dan siap menjawab apa pun pertanyaannya.
"Menurutmu, apa penyebab seseorang kehilangan beberapa kepingan ingatannya?" Teressa memulai dengan yakin.
Fuji Rin yang sedang memperbaiki susunan buku menoleh cepat. Dia meninggalkan pekerjaannya dan kembali duduk di sebelah Teressa. "Kenapa bertanya begitu?"
Teressa mengangkat bahunya. "Ada temanku yang mengalaminya."
Tarikan napas Fuji Rin terdengar. "Hm ... setahuku itu bisa terjadi karena dua faktor. Pertama, dia kehilangan ingatan karena benturan, atau mungkin faktor fisik yang telah terjadi padanya yang berpengaruh pada memori," pungkas Fuji Rin, lalu perlahan membuka sebuah buku.
Gadis itu menunggu lanjutan, dia masih diam. Akan tetapi, Fuji Rin sama sekali tak melanjutkan ceritanya, membuat Teressa kembali berulang bertanya. "Bagaimana dengan yang kedua?"
"Ada yang sengaja mengambil ingatannya pada kejadian tertentu dan tujuan tertentu."
Tangan Teressa terlihat bergetar. "Ada yang bisa begitu?"
"Ada. Dari beberapa High Sense dari kalangan pemerintah."
-oOo-
Gimana ya kelanjutan kisah mereka? Ada yang penasaran?
Komen, yuk!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro