Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 - [An Echoing Voice]


Beberapa menit lalu, sebelum Seth pingsan, dia mendengar terus menerus suara yang menganggunya saat berada di desa Hollow. Lain halnya dengan saat sekarang, suara itu menghilang begitu saja setelah ia pingsan.

Tanpa pikir panjang, Seth berlari, disusul Simon dengan Teressa di atas pundaknya. Gadis itu benar-benar terlihat lemah sekarang, tak bisa melihat apa-apa dan tak bisa menggunakan kemampuan yang ia punya. Situasi dan cuaca membuat Teressa merasa jatuh dan semakin tak berguna.

Setelah dihibur Simon tadi, dia sedikit merasa tenang. Berbeda dengan hatinya--hatinya terus saja menyesali dirinya sendiri dan kekurangan yang dia miliki.

"Teressa, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri!" bentak Seth dari arah depan.

Teressa tersentak, dia hanya bisa menunduk. Seth membaca pikirannya tanpa permisi.

Tak lama mereka berlari, akhirnya mereka sampai di depan selah satu rumah. Seth berhenti, merasakan hawa yang tak enak. Begitu pula dengan Teressa yang sekarang malah mencoba menghirup udaranya.

"Bau apa ini?" tanyanya.

Simon menurunkan Teressa, lantas berusaha mendobrak pintu rumah itu. Matanya membulat sempurna, karena melihat dua orang yang tergeletak berlumuran darah di atas lantai. Mata kedua mayat itu terbelalak, dengan satu sabit menusuk perut mereka.

Seth melihat ke dalam, dan melihat itu membuat emosinya naik. Empat Skizoa tadi hanya sebagai pengalihan untuk membunuh semua orang-orang di desa Hallow. Jika mereka sudah sibuk menghabisi Skizoa tadi, maka orang-orang di sini akan habis.

Dia sama sekali tidak berpikir hal seperti itu akan terjadi. Simon terduduk, bersamaan dengan Seth yang memeriksa satu per satu rumah lainnya.

Kejadian yang sama, bahkan ada yang tergeletak di depan pintu rumah dengan darah yang mengalir dari tubuhnya. Semua rumah, tak ada satu nyawa pun yang tersisa.

Ini adalah alasan kenapa Seth tidak lagi mendengar teriakan frustasi dan meminta tolong orang-orang. Mereka telah dibunuh Skizoa yang mungkin saja sudah berada bersama mereka di dalam rumah sejak lama.

"Ka-kalian kenapa diam? Kenapa bau darah begitu menyengat di sini?" tanya Teressa yang belum mendapatkan kejelasan apa-apa.

Seth mendekat, dan menarik Teressa agar berada di tengah-tengah rumah itu. "Bau apa yang kau cium?" Suara Seth sedikit bergetar.

"Darah?" pungkas Teressa cepat dengan nada yang pelan.

Tangan Seth menyentuh bahu Teressa. "Semua orang di sini sudah dibantai Skizoa, Teressa. Kita harus segera melapor ke pusat Gold Taksa Academy."

Teressa menutup mulutnya sendiri--tidak percaya sama sekali. Tapi, bau yang menyengat itu dirasa sudah cukup membuktikan jikalau apa yang dikatakan Seth itu benar. Semuanya dibunuh Skizoa.

-oOo-

Bunyi kereta terdengar nyaring, bersautan dengan suara serigala yang mengaum tanda tengah malam. Cahaya lampu kereta mengedip, kecepatan kereta itu membuat lampunya selalu saja mmberkedip setiap detik. Kepulan asap kereta mengepul di udara, disorot cahaya bulan yang samakin lama semakin berada di atas.

Rel kereta terdengar berdenyit, pada setiap pengelokan rel. Sampai akhirnya kereta itu melaju di dalam lorong panjang dan gelap. Satu per satu burung dan kalelawar yang menghuni terowongan beterbangan ke luar, mengira bunyi kereta itu adalah pertanda bahaya untuk mereka segera pergi.

Seth menatap keluar dari balik jendela kaca kereta. Dia menyentuh kaca itu, merasakan hawa dingin di sana. Air hujan juga masih saja terlihat mengalir di kaca jendela, membuat pemandangan di luar menjadi buram.

"Huft ...." Seth merapatkan jaketnya, berusaha menahan dingin yang sudah ia rasakan beberapa jam lalu.

Dia masih terbangun, berbeda dengan Simon yang sudah terkapar di bangku belakangnya dengan mulut menganga dan suara mengorok yang terdengar begitu jelas. Simon kelelahan, karena di pertarungan dalam misi, tenaganya terlaku banyak terpakai dan dia berhasil melampaui batas dirinya sendiri.

Seth menoleh ke sebelahnya, mendapati Teressa mendengarkan sebuah pemutar musik yang dia hubungkan dengan kabel kecil ke telinganya. Teressa menikmati setiap lantunan musik itu, matanya terpejam, sementara kepalanya terus mengikuti ketukan musik uang ia dengar.

"Kau tak bosan?" tanya Seth berusaha sepelan mungkin agar tidak menganggu orang-orang di sekitarnya.

Gadis itu tak mendengarnya, dia masih saja menikmati musik tanpa sadar Seth mengajaknya mengobrol. Alhasil, Seth menarik penyumbat telingannya itu dan mendekatkan wajahnya ke depan Teressa.

"Kau tak bosan?" ulangnya.

Teressa yang merasa barangnya ditarik dan pertanyaan dari Seth langsung mematikan musiknya. "Maaf, aku tak mendengarnya. Ya ... kalau bosan inilah yang kulakukan," pungkasnya.

Seth ber-oh ria. Dia kemudian menoleh ke arah Simon. "Kenapa tak duduk bersama Simon?"

"Hem, dia orang yang ribut. Dan kurasa dua kursi pas untuk dirinya sendiri. Kalau bersamanya, mungkin aku akan merasa sangat sempit," kekeh Teressa di akhir kalimatnya. "Dan lagi, kalau bersamamu aku rasanya lebih tenang."

Laki-laki itu ikut tertawa ringan. Jujur saja, sudah lama dia tak tertawa, dan rasanya bersama ketiga temannya ini, dia merasa lebih nyaman dan tenang. Menikmati beberapa hari pertama bersama mereka, jauh lebih bahagia dari pada apa yang sudah ia hadapi selama 16 tahun.

"Seth? Kenapa napasmu terdengar berat?" tanya Teressa merasakan beban pikiran Seth.

Seth menoleh sejenak, lalu kembali menatap ke arah depan. "Kau tahu? Dari kecil aku selalu menjadi bahan keusilan anak-anak kaya. Diminta melalukan hal-hal di luar nalar. Cukup bodoh, aku dari usia kelas satu sampai kelas enam, menjadi bahan bully mereka."

"Seth," panggil Teressa memegang bahunya pelan.

"Tak apa. Aku sudah terbiasa, tapi ya ... terkadang ingin melawan juga. Dan satu kali aku melakukan perlawanan, si tukang buli itu seperti seorang gila yang menganiaya dirinya sendiri. Alhasil, aku pindah sekolah, dan ... aku hanya ingat di sekolah baru itu aku menjadi murid yang baik. Entahlah, hanya sedikit yang kuingat sekarang. Sementara ayahku, aku hanya melihat wajahnya di foto."

"Menganiaya diri sendiri? Hem, dan kau tak ingat, bagaimana kegiatanmu di sekolah baru?"

"Iya, benar."

"Siapa yang membawamu menuju GT akademi? Kau mendaftar sendiri?"

"Tidak. Hari itu, setelah aku belajar di sekolah, aku pulang dan sudah mendapati Johnson dan anak buahnya di dalam rumah. Mereka mengatakan ... kalau ibuku menyusul ayahku ke pusat kota. Ah, maaf, aku jadi bercerita terlalu banyak," potong Seth.

Teressa dengan cepat menggeleng. Dia menurunkan tangannya pada jemari Seth dan menganggamnya. "Tenanglah, sebagai teman tim aku mau kita semua menceritakan permasalahan kita. Biar kutebak, kau masuk ke sini, hanya untuk menjemput ibumu lagi?"

Senyuman tipis terukir di wajah Seth. Dia merasa bahagia karena Teressa memahami apa yang ada di hati dan pikirannya. "Benar, terima kasih sudah paham. Bagaimana denganmu?"

Seth menyandarkan kepalanya ke bahu Teressa, sementara tangan Teressa masih terus menggenggam tangan Seth. Senyuman masih ada di bibir Seth, dia merasa lebih tenang menceritakan kisahnya.

"Seth, kau tahu? Waktu kecil, saat serangan besar-besaran Skizoa yang membabi-buta. Aku kehilangan kedua orang yang sayang, dan satu saudara laki-lakiku. Dan ... mataku."

Tangan Seth menggenggam semakin erat jemari Teressa. Dia bisa merasakan dan membaca pikiran Teressa akan kelamnya masa lalunya. Dia merasakan semuanya, sampai ia juga merasakan tubuh Teressa bergetar karena menahan tangis.

"Tenanglah, Teressa. Aku di sini," bisiknya.

-oOo-

Hem, ternyata masa lalu membuat motivasi dan menjadi alasan, ya.

Gimana, kepo gak gimana kelanjutannya? Stay toon, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro