Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34. Permintaan Kelima

Penyesalahan itu datangnya di belakang, kalau di depan namanya pendahuluan.

Semua orang pernah berbuat salah, dan setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Mungkin itulah yang dipikirkan oleh Ardo saat ini. Ia masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan maaf dari Icha. Ardo hanya ingin Icha tahu jika dirinya benar-benar menyesal dengan apa yang sudah ia lakukan.

Terserah Icha mau memaafkan dirinya atau tidak, setidaknya Ardo sudah berusaha.

Ardo langsung berdiri dari duduknya saat melihat Erlang datang dengan membawa laptop. Meta yang ada di samping Ardo juga ikut berdiri dengan tidak sabar. Sejak tadi Ardo bersikeras tidak akan memberitahukan rencananya pada Meta sebelum Erlang datang. Alasannya, karena Ardo tidak mau menjelaskan rencananya itu dua kali.

"Kenapa lo nyuruh gue bawa laptop segala? Gue sibuk, Do. Mau apa lo?" Kata-kata yang keluar dari mulut Erlang masih tidak bersahabat saat berbicara dengan Ardo. Bagaimanapun juga, Ardo tetap musuh dan saingan Erlang.

"Gue perlu bantuan lo, Lang. Nyalain laptop lo," perintah Ardo pada Erlang.

"Terus rencana lo apaan, sih, Kak?" tanya Meta tidak sabaran. Menurutnya sejak tadi Ardo hanya berkelit-kelit tidak jelas. Ia juga bingung kenapa mereka bertiga harus ketemuan di sebuah gudang di dekat kantin sekolah? Ardo tidak tahu jika Meta orangnya sangat penakut.

"Bentar, Met. Sabar dikit. Semuanya ada di dalam flashdisk ini. Semoga aja masih ada," jawab Ardo dengan mata fokus di layar laptop milik Erlang. Ardo tidak sabar menunggu proses booting laptop Erlang yang lumayan lama. "Sialan! Laptop lo buang aja, deh, Lang. Lama banget dari nyala sampai masuk ke Windows."

"Gampang banget lo bilang, Do. Udah baik gue pinjemin, nyolot lagi lo." Emosi Erlang mulai tersulut saat mendengar omongan Ardo yang seenaknya sendiri.

"Iya, maaf." Ardo berdecak pelan kemudian menyolokkan flashdisk miliknya ke laptop Erlang. Cowok itu fokus mencari file yang pernah ia ambil dari laptop Icha secara diam-diam.

"Nah, ini dia. Lihat, Lang, Met. Gue minta maaf. Sebenernya gue nggak hapus file cerita milik Icha, gue cuma meng-cut file itu terus gue simpan di flashdisk gue. Dan gue baru inget hari ini, kalau gue masih nyimpen file itu." Ardo mulai meneliti isi cerita milik Icha dan memastikan jika isinya masih utuh.

"Gue mau lo kirim naskah Icha ini ke penerbit yang ngadain lomba waktu itu, Lang. Lo mau, kan, bantu gue? Meski statusnya gue tetep nggak suka sama lo, setidaknya ini demi Icha. Lo juga sayang, kan, sama Icha? Lo nggak mau Icha kehilangan kesempatannya, kan? Gue juga. Makanya, please, bantu gue kirim naskah ini," jelas Ardo panjang lebar.

"Kenapa lo nggak kirim sendiri tuh naskah Icha? Kan, lo yang buat Icha nangis. Lo juga yang nyari masalah. Ngapain gue bantuin lo segala. Nggak!" Erlang merebut laptopnya lagi.

"Dih, nih anak. Kalau gue bisa, gue nggak akan minta bantuan lo. Naskah ini perlu dipermak dikit biar layak diikutkan lomba. Dan yang bisa cuma lo. Gue mana ngerti soal ginian."

Meta menatap jengah ke arah dua cowok yang sedang berseteru itu. "Terus gue gunanya ngapain di sini?" tanya Meta jengkel.

"Lo bantuin Erlang, Met. Dan lo pastiin Icha nggak bakalan curiga dengan rencana kita."

Meta menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Kak Ardo yakin kalau cara ini bakal berhasil buat dapetin maaf dari Icha?" Ardo terdiam beberapa menit hingga ia menggeleng pelan.

"Gue nggak tahu. Gue cuma berusaha. Siapa tahu, kan? Tiba-tiba Icha mau maafin gue."

"Semoga aja Icha nggak mau maafin lo," sungut Erlang pada Ardo. Ardo terlihat ingin menghajar Erlang seperti waktu itu, tapi niat buruknya itu ia urungkan demi kesejahteraan bersama. Dan demi kelancaran rencananya.

"Jadi gimana? Lo setuju atau nggak?" tanya Ardo sekali lagi memastikan pada Erlang.

"Oke. Akan gue bantu. Tapi kita tetep musuh dan saingan, Do. Jangan anggap kita sudah berteman baik," jawab Erlang dengan emosi yang tergambar jelas di matanya.

Ardo mengumpat dalam hati. Jika saja ada orang lain yang bisa membantunya selain Erlang, Ardo dengan senang hati akan merekrut orang itu. Sayangnya, hanya Erlang yang bisa membantunya dalam hal ini.

"Oke, deal! Semua setuju ya? Nanti tiap hari, kita akan berkumpul di sini buat meneliti naskah Icha. Terus kalu udah cukup layak buat diikutkan lomba, langsung kita kirim ke email penerbit itu. Setuju?"

Erlang dan Meta mengangguk bersamaan.

"Tapi, Kak Ardo. Apa nggak ada tempat lain ya selain di sini ketemuannya? Di sini horor sumpah," kata Meta dengan mengusap tengkuknya.

"Nggak usah takut, Met. Setannya bakal takut sama gue. Tenang aja." Ardo menepuk bahu Meta tiga kali. "Kalau gitu, pertemuan kita kali ini cukup sampai di sini. Sekian dan terima kasih. Bubar, grak!"

Ardo berbalik dan langsung menyampirkan tasnya di bahu kanan. Meta mengekor di belakang Ardo, sedangkan Erlang sudah pergi lebih dulu.

"Kak Ardo!" panggil Meta mengimbangi langkah Ardo. "Semoga berhasi, ya. Ada satu rahasia Icha yang mungkin Kak Ardo belum tahu."

Ardo berhenti dan menatap Meta dengan curiga. "Rahasia apaan?"

"Ada deh ..." Meta tertawa mengejek. Semakin membuat Ardo penasaran. "Nanti Kak Ardo juga tahu sendiri. Oke, gue duluan ya. Bye. Sampai ketemu besok."

"Tuh, kan. Lagi-lagi ada aja yang bikin gue kepo setengah mati," gumam Ardo sendiri. Dalam hati, cowok itu berdoa agar rencana baiknya kali ini berjalan dengan lancar.

--**--

Beberapa hari ini Icha merasa tingkah Meta mendadak aneh. Meta selalu melipir pergi ketika Icha mengajaknya ke kantin atau sekedar nongkrong di kafe. Sahabatnya itu menjadi sibuk sendiri. Begitu juga Nadi. Nadi malah lebih sering menginterogasi Icha tentang perasaan Icha ke Ardo.

Sejak Nadi tahu Icha mempunyai perasaan dengan Ardo, Nadi tidak pernah berhenti untuk menggoda Icha. Setiap obrolan mereka, Nadi selalu memancing reaksi Icha ketika ia menyebutkan nama Ardo. Atau membahas semua kelakuan absurd Ardo.

Icha jadi sering uring-uringan saat dirinya terjebak di perangkap Nadi. Ia benar-benar tidak bisa mengelak lagi. Sedangkan semakin hari, tingkah Ardo semakin membuat Icha kesal. Ardo tidak pernah absen menyapa dirinya di depan kelas tiap pagi. Sama seperti yang pernah Icha lakukan dulu pada Ardo.

Ardo bahkan membelikan banyak keripik kentang dan teh kotak dingin pada Icha saat jam istirahat. Jujur, Icha merasa sedikit terganggu dengan sikap Ardo yang terlalu berlebihan seperti itu.

Baru saja Icha memikirkannya, cowok itu sudah berjalan masuk ke kelas Icha dengan senyum lebar. Kalau saja ada pintu Doraemon, Icha akan kabur sekarang juga.

"Hallo, cantik ..." sapa Ardo dengan suara mendayu-dayu.

"Najis!" seru Icha galak.

"Yee ... harusnya lo bilang makasih dong gue katain cantik. Jarang-jarang lho, gue muji cewek cantik. Kecuali sama nyokap, tante, dan adik gue."

"Itu namanya sering." Nada bicara Icha ke Ardo masih saja ketus meski dalam hati ia tidak tega memperlakukan Ardo seperti itu. Bahkan rasanya jantung Icha mulai tidak normal ketika Ardo duduk terlalu dekat dengannya.

Icha berdiri dari duduknya hendak meninggalkan Ardo, tetapi Ardo dengan cepat menyambar tangan Icha dan menariknya untuk duduk kembali. "Lo mau ke mana, sih, Cha? Ini gue bawain keripik kentang sama es teh kemasan kotak, khusus buat lo. Gue sengaja bawa dua-dua biar kita bisa makan dan minum bareng."

"Nggak usah sok perhatian, deh. Gue laper. Makan keripik kentang doang sama es teh lo kira bakalan kenyang?" Icha menghempaskan tangan Ardo dan berjalan keluar kelas.

Ardo hanya tersenyum kecut melihat sosok Icha yang mulai menjauh. Terpaksa Ardo membawa lagi dua bungkus keripik kentang dan teh kotaknya itu. Siapa tahu Umar dan Roni sedang membutuhkan asupan snack. Dengan langkah gontai, Ardo kembali ke kelasnya.

--**--

Icha langsung bernapas lega ketika Bu Susi—guru Matematika itu mengakhiri pelajarannya bersamaan dengan bunyi bel pulang sekolah. Meski sekarang Icha tidak begitu benci dengan pelajaran Matematika, tapi dirinya tetap merasa susah bernapas saat pelajaran itu masih berlangsung.

Meta terlihat cepat-cepat memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Icha masih saja curiga dengan sikap aneh Meta. Dalam hati ia ingin menanyakannya langsung pada Meta, tetapi Icha merasa tidak enak.

"Eh ... Met? Akhir-akhir ini lo sibuk ngapain, sih? Kok gue lihat tiap pulang sekolah lo selalu pulang lebih cepet?" tanya Icha akhirnya.

Meta terlihat kaget. Cewek itu berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk menjelaskannya pada Icha. "Emm ... gue lagi ikut ini ... kepanitiaan buat pensi. Kenapa?" Meta berdoa dalam hati semoga aktingnya tidak mencurigakan.

"Oh ... Tapi masa lo nggak ada waktu luang dikit, sih, Met? Gue mau minta lo temenin gue ke toko buku besok."

Meta semakin merasa tidak enak dengan Icha. Demi kelancaran rencana Ardo, Meta harus mengabaikan Icha beberapa hari. "Kalau besok gue bisa kok, Cha. Hari Sabtu, kan, sekolah libur juga. Kita bisa jalan-jalan ntar sepuasnya. Kita ajak Nadi juga. Biar makin rame. Gimana?"

"Setuju, Met. Terus nanti gue mau nonton juga minggu ini, kan, ada film bagus yang ..."

Belum juga Icha menyelesaikan kalimatnya, Meta langsung memotongnya. "Sorry, Cha. Gue pergi dulu, ya. Udah ditungguin. Nanti gue chat lo. See you!"

Wajah Icha terlihat kecewa saat Meta sudah pergi meninggalkannya sendirian di dalam kelas.

"Gue masih curiga sama Meta. Apa gue ikutin aja, ya?"

--**--

Ardo, Meta, dan Erlang fokus menatap layar laptop. Sedangkan di sisi yang lain, Umar dan Roni sudah berdiri siap siaga menjaga wilayah tetap aman. Mereka semua takut jika Icha tiba-tiba datang dan memergoki mereka. Makanya Ardo menugaskan Umar dan Roni sebagai penjaga.

"Mar, Ron! Aman?" teriak Ardo pada dua sahabatnya itu.

"Aman, Do!" Umar mengacungkan jempolnya. Padahal kenyataannya, Umar dan Roni tidak benar-benar fokus berjaga. Mereka berdua sedang asyik bermain game yang sedang hits saat ini.

"Woi, lo tengah, Mar. Tengah!" Roni sudah mulai berisik.

"Bentar, Ron. Sialan! Ini jaringan wifi sekolah jelek amat, sih," gumam Umar uring-uringan sendiri.

Berbeda dengan dua cowok penjaga gadungan itu, tiga orang sedang serius mengerjakan sesuatu.

"Udah, itu tinggal kirim aja, Lang," seru Ardo tidak sabaran.

"Berisik lo! Ini juga mau gue kirim." Erlang sudah mulai sewot dengan tingkah Ardo yang menurutnya sangat menyebalkan sejak dulu. Itulah alasan kenapa Erlang tidak menyukai Ardo.

"Kalian nggak perlu ribut bisa, kan?" Meta yang duduk di belakang dua orang cowok itu ingin sekali memukul kepala mereka bersamaan. Untungnya Meta masih punya rasa sopan dan kasihan.

"Tuh, udah gue kirim. Beres. Moga aja naskah Icha ini lolos." Erlang meluruskan punggungnya. Ardo dan Meta mengaminkan bersama. Tetapi ada satu hal yang tidak mereka sadari.

Icha sudah berdiri tidak jauh dari mereka. Sedangkan Umar dan Roni masih saja fokus dengan game mereka, tidak menyadari kedatangan Icha yang sudah berada di wilayah yang harusnya terlarang buat Icha. Erlang yang melihat Icha lebih dulu, cowok berkacamata itu memukul kepala Ardo dengan keras.

"Sialan! Kenapa lo mukul kepala gue?" teriak Ardo tidak terima. Tetapi emosinya tertahan ketika pandangannya menangkap sosok Icha yang sudah berjalan cepat ke arahnya.

"Meta, ngapain lo di sini sama dua orang cowok ini? Lo ngerancanain apa lagi, sih, Do? Nggak cukup apa lo nyakitin gue?" Tatapan Icha beralih ke Erlang. "Kak Erlang, jelasin apa yang kalian lakukan di sini? Kenapa kalian sembunyi-sembunyi dari gue?"

Mereka semua diam. Tidak ada yang berani menjelaskan pada Icha. Bahkan Umar dan Roni sudah kabur lebih dulu sebelum mereka terkena omelan Ardo karena melalaikan tugas. Erlang sudah membuka mulutnya ingin menjelaskan pada Icha, namun disela oleh Ardo.

"Gue yang rencanain ini semua. Kita ... udah ngirim naskah lo ke penerbit yang ngadain lomba waktu itu. Dan ..."

"Hah? Lo dapet naskah gue dari mana?" suara Icha mulai meninggi.

"Gue masih simpan naskah lo."

Icha tidak bisa berkata-kata lagi. Ardo benar-benar sudah mempermainkannya. "Lo keterlaluan banget ya, Do? Gue pikir waktu itu naskah gue bener-bener udah hilang, dan ... harapan gue ... udah lenyap. Tapi ternyata lo ..." Bibir Icha sudah bergetar. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Harusnya Icha tidak perlu tahu kenyataan ini. Tangan Icha mengepal erat hingga buku-buku jarinya terlihat memutih.

"Gue nggak butuh bantuan lo, Do! Gue nggak butuh lo jadi pahlawan gue!" Icha menatap Erlang dan Meta bergantian. "Kalian nggak perlu melakukan ini demi gue. Kalian nggak perlu ngikutin cowok gila ini."

"Cha, maafin gue. Gue cuma ingin lo nggak kehilangan impian lo. Gue ngikutin Ardo karena menurut gue ... hal ini nggak ada salahnya untuk dicoba. Karena kesempatan itu masih ada," ucap Meta dengan nada rendah untuk menahan emosi Icha yang meledak-ledak.

"Tapi lo nggak perlu sembunyi-sembunyi dan bohongin gue, Met." Suara Icha bergetar. Ada nada kecewa disetiap ucapannya. "Gue percaya sama lo, tapi kenapa lo tega bohongin gue?"

Erlang maju selangkah. Menatap lurus ke arah Icha. "Karena kita sama-sama ingin melihat semangat lo lagi, Cha."

Satu bulir air mata Icha berhasil lolos dan jatuh di pipinya.

"Jangan marah sama Erlang dan Meta, Cha. Gue yang minta mereka bantuin gue. Gue minta maaf kalau lagi-lagi gue bikin lo marah dan kecewa. Gue cuma ingin membuktikan ke lo, kalau gue serius minta maaf sama lo." Ardo mengulurkan tangannya ke arah Icha.

"Cha, sekali lagi gue minta maaf. Mungkin ini permintaan kelima gue ke lo. Nggak apa-apa kalau lo nggak mau maafin gue. Seenggaknya gue udah berusaha. Gue janji, gue nggak akan ganggu lo lagi. Gue nggak akan muncul lagi di hidup lo. Dan ..." Tangan Ardo masih menggantung di udara hingga suara serak Icha membuat hati Ardo terasa sakit.

"Pergi! Gue benci sama lo," ucap Icha lirih tapi kata-kata itulah yang membuat hati Ardo terluka saat itu juga.

Tangan Ardo turun perlahan, mengepal erat di samping tubuhnya. Rahang Ardo mengeras. Cowok itu berusaha sebisa mungkin tidak terpancing emosi. Ingin rasanya ia memeluk Icha saat ini dan mengatakan jika dirinya sangat menyayangi Icha. Tetapi yang keluar dari mulut Ardo hanya kata maaf sekali lagi.

"Maaf." Perlahan kaki Ardo melangkah meninggalkan Icha yang masih mematung ditempatnya dengan pandangan kosong dan mata berkaca-kaca.

Maafin gue, Do. Mungkin ini yang terbaik buat lo dan gue.


---


Jangan protes! Kok Icha sama Ardo pisah? :D

Are u ready for final chapter?

Hai, hai ... Woah ternyata sebentar lagi ... wait. Tunggu bab terakhir yang akan aku update segera.Dan satu bab ucapan terima kasih, jadi nanti kalian bisa ungkapin unek-unek kalian di bagian itu. Dan bisa curhat-curhat juga sama aku. Hahahaha...


Love, love,


AprilCahaya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro