Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Pengakuan

Untung saja hari ini Ardo tidak telat masuk sekolah karena harus mengantar Tante Mela terlebih dahulu ke tempat kerja. Ardo tiba di sekolah jam tujuh kurang lima menit. Ia langsung bergegas menuju kelasnya yang terletak lumayan jauh dari area parkir.

Sudah tiga hari sejak kejadian itu. Ardo memang sengaja menghindar dari Icha. Ia tidak mau bertemu dengan cewek itu lagi. Terlebih, misinya sudah selesai. Mungkin Ardo bisa dibilang mempunyai pikiran yang sedikit aneh karena dirinya merasa puas dan menyesal secara bersamaan.

Ardo menggeleng cepat, mencoba mengusir pikiran-pikiran aneh yang menggelayuti kepalanya.

“Ardo!” suara Umar menggelegar di belakang Ardo. Cowok berambut keriting yang sering mengaku-ngaku sebagai Nicholas Saputra itu tersenyum lebar menghampiri Ardo.
Ardo hanya tersenyum tipis.

“Lo sengaja jadi dingin gini biar digilai cewek-cewek ya, Do? Kan, sekarang lagi nge-hits, tuh, cowok  dingin lebih banyak dicari para cewek-cewek jaman now.”

Ardo mendengkus geli mendengar ocehan Umar. “Mar, gue saranin ya. Baiknya lo nggak kebanyakan micin. Nggak baik buat kepala lo.”

“Oh, gue salah. Ternyata Ardo bukan cowok dingin yang gue kira kayak di novel-novel.” Umar menepuk punggung Ardo dengan kencang hingga cowok itu meringis kesatikan.

“Gila lo, Mar. Pakai tenaga badak ya?”

“Bukan! Gue pake tenaga cap kaki tiga.”

“Asem banget, nih, si kriting,” umpat Ardo pada Umar.

Baru saja Ardo duduk di bangkunya, tiba-tiba saja Erlang masuk ke kelas Ardo dan berjalan cepat ke arahnya. Tanpa aba-aba, petir atau badai sebagai peringatan tanda bahaya, Erlang langsung memukul wajah Ardo dengan keras.

Buk!!!

“Sialan lo, Ardo!” teriak Erlang. Ardo langsung tersungkur di lantai dengan wajah yang terasa berdenyut menyakitkan.

“Woi, woles dong, Bro! Woles!” Umar langsung mengadang tubuh Erlang yang merangsek maju. Wajah Erlang sudah penuh emosi dan amarah.

“Woi! Ngapain lo tiba-tiba mukul Ardo, hah?”

Roni yang baru saja datang langsung membantu Ardo berdiri. Erlang memberontak dan menepis Umar kasar. Umar mengumpat kesal ketika kakinya menabrak kursi.

Erlang maju lagi dengan menyambar kerah seragam Ardo. “Gue tahu, lo kan yang menghapus file cerita milik Icha di perpustakaan waktu itu? Ngaku aja lo! Jangan senyam-senyum kayak psikopat gila!”

Roni berusaha melepas cengkeraman tangan Erlang tapi cengkeraman itu terlalu kuat. Ardo tidak melakukan perlawanan sedikit pun. Justru sebaliknya, Ardo berani tersenyum di depan wajah Erlang yang sudah merah padam.

“Kenapa kalau gue yang lakuin itu? Lo nggak terima?”

Erlang mengumpat kesal dan meninju wajah Ardo sekali lagi. Kali ini tepat di rahang Ardo. Ardo terhuyung mundur hingga tubuhnya menabrak meja dengan keras. Ardo menyeringai dengan mengusap sudut bibirnya yang mulai berdarah.

Roni kewalahan menahan Erlang, sedangkan Umar masih bingung dia harus berbuat apa. Ketika Umar mendengar nama Icha disebut, cowok itu langsung melesat keluar kelas. Ia berpikir mungkin hanya Icha yang bisa menyelesaikan permasalahan ini. Atau mungkin Pak Tri yang akan lebih dulu sampai sebelum Umar tiba bersama Icha nantinya.

Ardo bangkit berdiri kemudian balik mencengkeram kerah seragam Erlang. Tanpa kata-kata, Ardo langsung membalas pukulan Erlang hingga kacamata milik Erlang terlempar mengenaskan di lantai.

Tak berapa lama terdengar langkah yang menyeramkan dan sosok itu muncul di ambang pintu dengan tatapan garang. “KALIAN PIKIR INI RING TINJU, HAH?” suara Pak Tri menggelegar seluruh antero sekolah. Seketika semua siswa-siswi yang di sana mendadak terdiam, tak terkecuali Ardo dan Erlang.

“Kalian berdua, ikut saya ke ruang BP!” Suara Pak Tri terdengar tegas dan keras. Baik Erlang maupun Ardo masih terdiam, tidak ada yang beranjak dari tempatnya. Pak Tri berbalik dengan tatapan menyeramkan. “Telinga kalian masih bergungsi dengan baik, kan?”

“I ... iya, Pak,” sahut Erlang terbata-bata. Sedangkan Ardo hanya mendengkus kesal dan berjalan malas mengikuti Pak Tri.

--**--

Sesampainya Icha di kelas XII IPA 2, kerumunan di sana sudah bubar. Bel sekolah sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Untung saja jam pertama ini kelas Icha kosong, karena Bu Susi sedang ijin sakit. Meski ada tugas mengerjakan soal latihan, Icha dan Meta terpaksa bolos dan ijin pada Joko—sang Ketua Kelas. Ini keadaan darurat dan genting. Jika saja masalah ini tidak ada sangkut pautnya dengan Icha, Icha tidak akan mau repot lari-lari dari kantin menuju kelas 12.

“Lho, pada ke mana ini?” tanya Umar pada Gina yang kebetulan baru masuk kelas.

“Diciduk sama Pak Tri. Tenang aja, temen lo masih hidup kok tadi.” Gina menoleh menatap Icha dari atas sampai bawah. “Lo adik kelas yang dulu sering ke sini itu, kan?”

“Eh ...” Icha bingung mau menjawab apa. Ia malu mengakui jika itu memang dirinya. Tapi meski ia bohong pun tidak ada yang percaya karena wajahnya sudah terdeteksi dengan jelas.

“Oke, nggak usah jawab. Gue udah tahu.” Gina masuk ke dalam kelas tapi mundur lagi. “Mar, kayaknya Roni perlu bantuan lo, deh, di sana. Buat jadi saksi hidup.”

Meta tertawa pelan mendengar Gina yang malah mengucapkan kata ‘saksi hidup’ bukan ‘saksi mata’.

“Ayo, Cha!” ajak Umar yang berjalan lebih dulu di depan.

“Ngapain?” Icha menggeram kesal karena merasa dirinya tidak perlu ikut campur urusan Erlang dan Ardo meski ia ada sangkut pautnya.

“Ketemu dua pangeran lo yang sok jagoan itu. Ayo!” Meta menyeret Icha untuk mengikuti Umar.

--**--

Ardo dan Erlang keluar dari ruang BP dengan wajah yang babak belur. Meski tidak begitu bonyok, kedua cowok itu sama-sama mempunyai luka memar di pipi. Yang parah adalah Ardo karena hidung dan bibir Ardo sempat berdarah yang menimbulkan rasa nyeri di sudut bibir kiri Ardo.

“Kita ke UKS dulu.” Roni menyeret lengan Ardo yang akan kabur. “Lo juga, Lang,” ucap Roni pada Erlang yang sok membuang pandangannya ke arah lain.

Karena perbuatan mereka berdua, Erlang mendapatkan skors 3 hari sedangkan Ardo 2 hari. Para guru-guru menyayangkan perbuatan dua anak itu. Padahal mereka sudah kelas 12, harusnya mereka lebih mementingkan belajar, bukannya berantam dan sok jadi jagoan.
Selama di interogasi, keduanya menjawab dengan lancar meski sempat bersitegang lagi. Kali ini Ardo yang lebih sering memancing emosi Erlang.

Umar yang baru saja tiba bergabung dengan Ardo dan Roni yang berjalan menuju UKS. Icha dan Meta melihatnya dari kejauhan karena Icha enggan menghampiri cowok-cowok itu.

“Kita balik ke kelas, yuk, Met!” ajak Icha pada Meta. Tetapi Meta menahan lengan Icha.

“Lo nggak mau nanya ke mereka dulu? Kata Umar ini ada hubungannya sama lo. Pasti menyangkut soal Nadi juga. Lo nggak kepo gitu, Cha?” Meta memberi jeda sejenak untuk Icha berpikir. “Ayo, selesein masalah lo. Jangan menghindar lagi.”

“Oke. Fine!” jawab Icha singkat. Kakinya mulai melangkah menuju ruang UKS.

--**--

Icha membuka perlahan pintu ruang UKS. Di sebelah kanan ada Ardo yang sedang mengobati lukanya sendiri. Cowok itu menepis tangan Umar yang berusaha membantunya. Dan sebelah kiri ada Erlang yang dibantu oleh petugas UKS.

Erlang segera bangkit berdiri setelah lukanya selesai diobati. Cowok itu terlihat berbeda ketika tidak memakai kacamata. Mata cokelat gelapnya terlihat jelas sekarang. Ardo pura-pura tidak melihat Icha meski sebenarnya ia yang pertama kali melihat Icha masuk.

“Cha, cowok itu yang udah hapus file cerita lo,” ucap Erlang sambil menunjuk Ardo.

Icha mengangguk pelan. “Ya, gue tahu. Tapi lo nggak perlu berlebihan kayak gini, Kak.”

“Maksud lo, Cha?” tanya Erlang kurang paham dengan ucapan Icha.

“Kak Erlang nggak perlu menghajar Ardo. Ya biarin aja. Emang itu, kan, yang dia mau?” Icha melirik Ardo. Ardo menatap tajam ke arah Icha. Baru kali ini Icha tahu jika Ardo bisa memberikan tatapan sedingin itu.

Tiba-tiba saja Ardo tertawa. Roni dan Umar sempat heran karena mereka mengira Ardo kesurupan. Tidak ada angin, kentut, atau yang seseorang yang sedang melawak, tapi Ardo tertawa.

“Wah, wah! Kayaknya sebentar lagi bakal ada berita jadian, nih,” ucap Ardo sinis.

Erlang melangkah maju, seketika itu juga Roni dan Umar menjadi tameng buat Ardo.

“Woles, Bro! Lo nggak mau, kan, kalau hukuman lo tambah jadi seminggu?” ucapan Roni membuat Erlang mundur.

“Udah lah, Erlang. Lo akuin aja sama Icha, kalau lo udah lama suka sama dia. Dan gue juga ngaku kalau ... gue yang hapus file cerita lo, Cha.” Ardo tersenyum miring. “Dan soal gosip di sekolah kalau kakaknya Nadi pindah ke sekolah ini buat balas dendam sama lo, itu bener. Karena gue memang berniat ngancurin impian lo.”

Kata-kata tajam Ardo benar-benar menusuk hati Icha. Ia tidak pernah membayangkan jika Ardo berniat seperti ini dari awal. Tetapi sekarang Icha cukup kuat, jangan ada air mata lagi yang membuatnya terlihat lemah di depan Ardo.

“Kalau gitu ... selamat. Lo udah berhasil dengan misi lo. Makasih banget, Ardo!” Icha menekankan nada di kalimat terakhirnya.
Erlang berusaha mengajak Icha keluar dari UKS tapi Icha menolaknya. Meta yang masih berdiri di dekat pintu bingung dengan situasi saat ini. Erlang berjalan melewati Meta dan pergi begitu saja dari sana.

“Gue perlu ngomong sama lo,” kata Icha dengan tatapan tidak pernah lepas dari Ardo. “Soal, Nadi,” lanjut Icha.

Roni yang menangkap sinyal itu langsung menyeret Umar dan mengajaknya keluar dari UKS. Meta juga ikut keluar karena lengannya ditarik oleh Umar.

Kini di ruang UKS itu hanya ada Icha dan Ardo. Sang petugas baru saja keluar setelah menerima telepon. Ardo masih berusaha mengobati lukanya sendiri. Sejak awal masuk UKS ia menolak dibantu oleh siapapun. Cowok itu mendadak menjadi sangat keras kepala. Seolah ia benar-benar tidak membutuhkan bantuan orang lain.

Icha segera menyambar handuk kecil yang ada di meja samping Ardo. Icha duduk tepat di depan Ardo dan mengompres luka di wajah Ardo dengan pelan. Sesekali Icha menekan lukanya karena kesal dengan apa yang sudah dilakukan Ardo padanya. Lucunya, Icha tidak bisa benar-benar marah pada Ardo.

“Lo niat ngompres nggak, sih?” bentak Ardo galak pada Icha. Icha tidak berniat menjawabnya dan kembali mengompres bagian luka yang lain.

“Gimana kabar Nadi?” tanya Icha pelan. Ardo mendadak diam dan tubuhnya terasa kaku ketika hembusan napas Icha menyapu wajahnya.

Ardo berusaha merebut kompres itu dari tangan Icha. "Gue bisa sendiri," kata Ardo. Tetapi Icha dengan cepat merebut kompres itu lagi.

"Gimana kabar Nadi?"

“Baik,” jawab Ardo singkat. Bego! Kenapa gue cuma bisa jawab 'baik' doang?

Ardo sedikit mundur ketika Icha mulai mengambil plester. “Dia lumpuh sejak kecelakaan itu. Ke mana-mana dia pakai kursi roda. Sebenernya ...” Ardo menghentikan kalimatnya ketika Icha menempelkan plester di hidungnya yang terluka.

“Gue kangen sama Nadi. Dan gue pengen banget sekali aja, ketemu sama dia.” Icha tersenyum sekilas.

“Maaf. Gue tahu, gue salah. Sampein maaf gue ke Nadi.” Icha merapikan peralatan P3K dan berdiri dari hadapan Ardo.

Setelah kepergian Icha, Ardo menempelkan tangan di dadanya. “Gawat! Kayaknya gue punya penyakit jantung. Apaan-apaan tadi itu? Sial!”

--**--

Hai hai... Aku galau. Kenapa wattpad sering error sih ah. 😭😭 Semoga hari ini bisa double update atau triple gitu.

Bab kemarin masih bisa dibaca kan? Soalnya ada yg bilang kosong. 😭😭

See u,

Love,

AprilCahaya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro