14. Siapa Ardo?
"Apa tujuan lo sebenernya?" tanya Erlang tanpa ragu-ragu.
Alis Ardo terangkat satu. "Maksud, lo?"
"Kenapa lo nahan liontinnya Icha?"
Ardo menatap Erlang tajam, lebih tajam dari silet, pisau, bahkan samurai. Cowok yang bernama Erlang itu tidak bisa Ardo anggap remeh lagi. Pertama, Erlang sudah berani mendekati Icha. Kedua, kini Erlang mencampuri urusannya.
"Berapa kali gue bilang kalau ini bukan urusan lo? Jadi, lo nggak perlu kepo nanya ini itu tentang tujuan gue nahan liontinnya Icha. Ngerti?"
Erlang tersenyum sinis. Ia membenahi letak kacamatanya. "Nggak, gue nggak ngerti. Dan ini bakal jadi urusan gue. Ardo Effendi."
"Sialan, lo ..."
"Lo mau balas dendam, kan? Atau lo punya maksud lain?" Lagi-lagi Erlang menampilkan senyuman miring yang menyebalkan.
Ardo mengepalkan tangannya begitu kuat. Kalau saat ini dirinya tidak berada di lingkungan sekolah, mungkin Ardo sudah mendaratkan pukulan di wajah tampan Erlang. Tetapi Ardo masih berpikir ratusan kali untuk melakukan hal itu.
Erlang adalah pemeran pendukung yang tidak pernah diharapkan oleh Ardo. Cowok itu merupakan pengganggu utama dalam rencananya. Bagaimana jika semua rencananya akan hancur hanya gara-gara satu orang? Tidak, Ardo tidak bisa membiarkan Erlang seenaknya sok jadi pahlawan kesorean.
"Gue kasih tahu sekali lagi, jangan pernah lo ikut campur urusan gue sama Icha," ucap Ardo penuh penekanan.
"Gue tahu siapa lo sebenarnya, Do. Apa perlu gue kasih tahu Icha?"
"Apa mau lo, hah?" Ardo mendekat dan mencengkeram kerah seragam Erlang. Tapi dengan cepat Erlang menepis tangan Ardo.
"Kalem, bro. Gue cuma mau lo menjauh dari Icha. Jangan ganggu hidup Icha." Setelah mengucapkan hal itu, Erlang pergi dengan menepuk pundak Ardo dua kali. Saat ini tangan Ardo benar-benar sudah gatal ingin memukul Erlang.
--**--
Icha membuka pintu toko Dan's Bakery milik ayahnya dengan terburu-buru. Keadaan toko saat itu lumayan ramai dengan ibu-ibu yang sedang memilih beraneka macam roti dan kue.
"Mbak Ika, Papa ada nggak?" tanya Icha pada salah satu karyawan ayahnya.
"Ada, Cha. Di belakang," jawab karyawan yang bernama Lita itu. Icha mengangguk dan segera menerobos masuk ke dapur utama.
Saat Icha sampai di dapur, ia melihat ayahnya sedang sibuk mengaduk beberapa adonan roti. Meski karyawan Dan's Bakery sudah lumayan banyak, tetapi terkadang Dani masih sering ikut andil dalam membuat adonan roti.
"Papa," panggil Icha pelan pada ayahnya yang sedang serius mengaduk adonan. "Papaaa," kali ini panggilan Icha dibuat seperti suara penyanyi seriosa.
Beberapa karyawan yang berada di dapur itu tersenyum geli mendengar suara Icha yang fals.
"Papa! Sekali lagi nggak noleh aku lemparin granat, nih." Ancam Icha pada Dani yang tak kunjung menoleh saat ia memanggil ayahnya itu.
"Sabar, Cha. Nggak lihat Papa lagi ngapain?" sahut Dani tanpa menoleh sedikitpun ke Icha.
"Iya, tahu. Tapi noleh ke Icha bentar kenapa? Berasa dicuekin banget sih anaknya yang cantik sendiri ini." Icha mulai bergumam tidak jelas.
"Iya, Papa tahu, kalau kamu anak Papa yang paling cantik. Karena anak Papa yang dua kan cowok."
"Ih, nggak lucu," Icha mendengkus kesal dengan candaan garing ayahnya.
"Emang," jawab Dani terkekeh pelan. "Emang ada apa, Cha? Curhat soal Oma lagi?"
"Bukan," jawab Icha cepat. "Ini tuh, soal ... Ehm, Pa, buatin Icha onde-onde dong. Tapi nggak pake biji wijen. Bisa?"
Seketika semua karyawan yang ada di dapur itu menoleh kompak ke arah Icha. Termasuk Dani yang lupa cara berkedip saat menatap putrinya itu.
--**--
Icha mencoba melupakan berbagai masalahnya sejenak. Pagi ini ia membawa laptopnya ke sekolah. Icha juga berangkat lebih awal dari biasanya. Tadi malam Icha tiba-tiba mendapatkan ide cerita dongeng yang menarik. Bahkan lebih unik dari biasanya.
Jari-jari Icha mengetik dengan lancarnya di atas keyboard. Seolah kesepuluh jari Icha itu mempunyai mata. Bahkan Icha bisa tetap fokus menatap layar, tanpa melirik keyboard. Berbeda dengan Meta yang terbiasa mengetik dengan 11 jari, alias mengetik menggunakan dua jari telunjuknya.
"Eh, lo berangkat pagi banget, Cha?" tanya Meta begitu dirinya baru saja masuk kelas dan melihat Icha sudah serius di depan laptopnya.
Tidak ada jawaban dari mulut Icha. Bahkan sepertinya Icha tidak sadar kalau Meta sudah duduk di sampingnya.
"Icha?" teriak Meta di dekat telinga Icha.
"Pahit lo!" Icha kaget hingga laptopnya hampir tersenggol. "Nggak usah pakai teriak-teriak kan bisa, Met. Gue nggak budek."
"Apaan? Kenyataannya lo budek, Cha. Gue panggil ribuan kali juga nggak denger tadi."
"Lebay lo."
Meta menarik laptop milik Icha hingga lebih dekat dengannya. "Lo lagi nulis apaan?"
"Biasa, cerita dongeng. Tiba-tiba tadi malem gue dapet ide luar biasa. Kali ini gue mau nyoba ngirim ke penerbit, Met. Doain lancar."
"Amin. Semoga lo jadi penulis bestseller nantinya."
Icha tersenyum bahagia. Terlihat dari sorot matanya yang seolah bersinar seperti matahari pagi yang tidak tertutup mendung. Kali ini Icha tidak mau mimpinya dihancurkan oleh siapapun termasuk Oma Ambar. Memang, tidak semua rencana dan cita-cita itu bisa terwujud dengan mudah. Tetapi setidaknya, biarkan Icha berusaha dan berjuang hingga akhir. Bukan dipaksa berhenti sebelum mendapatkan hasilnya.
"Judul lo unik, deh, Cha. Princess Tree and The Caterpillar?"
Icha tersenyum. Kemudian ia menceritakan ide ceritanya itu dengan menggebu-gebu pada Meta. Tidak ada yang lebih membahagiakan ketika ada seseorang yang sangat menghargai karyamu. Begitupun dengan Icha, ia sangat bahagia ketika sahabatnya menjadi orang pertama yang selalu bersemangat membaca karya-karyanya meski sebenarnya Meta itu bukan termasuk orang yang gemar membaca buku.
--**--
Kaki Icha tanpa sadar berjalan menuju lapangan basket indoor di sebuah gedung olahraga di SMA Tunas Bangsa. Icha duduk di salah satu bangku penonton, pandangannya menyisir ke seluruh area lapangan. Membayangkan jika saat ini ia sedang menyaksikan sebuah pertandingan basket yang sangat sengit.
Tiba-tiba ia merindukan momen bermain basket dengan timnya. Saat tangannya memegang bola basket, melakukan dribbling, lay up, rebound dan sebagainya yang kembali membuka kenangan pahit dan manis saat Icha masih bermain basket. Tetapi itu dulu, ketika Icha masih bercita-cita ingin menjadi pemain basket profesional.
"Kenapa lo natap lapangan basket sambil nangis?"
Seketika Icha tersentak kaget mendengar suara yang sudah tidak asing lagi baginya. Suara milik cowok super tengil dan menyebalkan bagi Icha. Entah dari mana Ardo tiba-tiba muncul, dan tahu-tahu sudah duduk di samping Icha.
Nih, cowok beneran jelmaan jin kali ya?
Icha cepat-cepat mengusap air mata yang menetes keluar tanpa Icha sadari. "Siapa yang nangis coba? Gue cuma kelilipan, kok," elak Icha. Tidak mungkin ia mengaku begitu saja pada Ardo.
"Kelilipan apaan sampai segitunya?" Ardo menatap Icha terlalu dekat, hingga membuat Icha otomatis mendorong wajah Ardo menjauh.
"Kelilipan bola basket. Puas lo? Sana pergi, ah. Lo di mana-mana gangguin gue mulu." Icha bergeser dua bangku dari tempat duduknya semula. Ternyata jika dari dekat, aroma Ardo seperti citrus yang menyegarkan tetapi tidak baik buat jantung.
Ardo tersenyum manis, dengan lesung pipit yang kurang ajarnya makin menambah manis cowok itu. Icha cepat-cepat mengalihkan tatapannya.
Ardo berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah lapangan basket. "Tanding basket sama gue ayo, Cha. Mau nggak? Kalau lo menang, lo nggak perlu beliin gue onde-onde itu. Tapi kalau gue yang menang, ada permintaan tambahan dari gue. Gimana?"
"Oke, siapa takut. Gue pasti menang."
Tanpa pikir panjang Icha langsung menerima tantangan dari Ardo. Icha tidak pernah memikirkan jika keputusan spontannya kali ini adalah sebuah petaka.
----
Maaf banget, aku updatenya malem-malem kayak gini. Hari ini aku lagi sibuk karena mau ngurus wisuda, jadi nggak sempet update pagi. Malah tadi terlintas pengen apa berhenti nulis aja ya?? Hehehe nggak ah, aku masih sayang kalian.
Happy reading guys, love u...
Sorry, kalau banyak typo dan sebagainya.
Xoxo,
AprilCahaya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro