Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4.

Uhuk. Warning. Lagi. Siap-siap. Seqyan.
-



Jungkook

"Mereka mengancam."

"Kelihatannya yang sekarang lebih serius."

"Kau harus berhati-hati, Kim Jungkook."

Begitu kalimat terakhir yang terdengar sebelum aku mematikan sambungan telepon. Ya, aku yang mematikannya. Karena aku muak. Dari laporannya itu berarti mereka benar-benar banyak minta sementara menutupi saku mereka yang sebentar lagi akan dibobol kemiskinan.

Atau memang sudah. Mereka hanya tidak ingin aku tahu.

Tapi tentu saja, aku tahu. Aku selalu tahu. Aku bukan pemilik panti asuhan yang membagikan daganganku secara cuma-cuma. Mereka pikir ini bisnis atau sumbangan?

Selagi aku meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya, aku melihat Emilia bersandar di dinding dekat kamar mandi, tangannya bersedekap sementara dia menatapku dengan tubuh yang berbalut bathrobe.

"Oh, Em. Kau di situ?" tanyaku. Aku tersenyum sementara melangkah mendekat. "Kau baru selesai mandi?"

"Um, ya." Emilia mengangguk sementara aku mengelus pipinya. Aroma sabun yang biasanya kugunakan sekarang menempel pada kulitnya.

"Aku tidak sadar kau menunggu di depan pintu kamar mandi."

"Baru beberapa detik sih," dia menjawab dengan ringan, "karena kau sibuk bertelepon makanya aku diam di sini. Kupikir akan lama."

"Tidak. Mereka membuatku muak." Kutautkan jemarinya dengan tanganku, mengangkatnya dan mengecup punggung tangannya. "Kalau aku tahu kau di sini, aku sudah mematikan teleponnya sejak tadi."

Emilia hanya diam. Dia menatapku sementara aku masih memberikan kecupan-kecupan lain di punggung tangannya, naik ke lengan, kemudian ke ceruk lehernya. Bisa kurasakan jemarinya menggenggam tanganku sedikit lebih kuat, namun lehernya sedikit memiring, memberiku akses lebih untuk mencecap permukaan kulitnya.

Sengaja kutinggalkan sedkit bekas di sana, memberi tanda, hingga bibirku naik untuk mencium rahang, hidung, lalu sampai pada bibirnya, destinasi terakhir tiap kali kami berciuman. Kecuali kalau di atas ranjang, aku selalu destinasi spesial.

Aku menciumnya, ringan, semakin berat, dan berakhir pada lumatan. Aku suka bagaimana lidah bagian bawah Emilia yang berisi, bagaimana lidahnya menyinggung lidahku ketika aku mencoba mencecapnya. Aku suka semua yang ada padanya.

Aku menyukai Emilia. Hanya aku yang bisa.

Aku menggigit bibir bagian bawahnya dan melepasnya dengan perlahan, kemudian membiarkan kening kami menempel.

"Mereka bodoh karena membuangmu, Em. Keluargamu itu bodoh karena mereka pikir kau bukan siapa-siapa," kataku. Kembali kukecup bibirnya. "Dan hanya aku yang peduli dan sadar bahwa kau itu emas, Em. Mereka terlalu buta untuk menyadarinya."

Aku serius dengan kata-kataku. Keluarga besar Emilia bodoh. Bagaimana bisa mereka justru memilih untuk membawa Emilia ke panti asuhan meninggal setelah ayah dan ibunya meninggal?

Tapi di sisi lain, aku senang mereka melakukan itu. Kebodohan mereka membawa Emilia ke sini, ke pelukanku. Memang begini inginku.

Sembari menjauhkan wajah, kugerakkan ibu jariku untuk mengusap bibir bawahnya, merasakan sensasi tebal dan berisi di sana. Bisa kurasakan bagaimana tangan Emilia kini mencengkeramkan otot lenganku, matanya menatap mataku. Mata birunya yang menarik menatapku.

"Kim, kau bilang kau mencintaiku. Tak bisakah kau—"

Aku tahu apa yang akan dia ucapkan, tapi dia tak perlu mengatakannya lagi. Selagi aku mengusap bibirnya dengan ibu jariku, memastikannya untuk tetap tertutup, aku berbisik, "Aku janji, Em. Aku sudah bilang. Hanya tidak bisa sekarang."

"Kenapa tidak sekarang?" Dia semakin meremas tanganku, kelihatan memaksa.

"Karena aku harus menghidupimu, Em. Menghidupi kita. Semuanya," kataku.

Pada titik ini, aku buram. Aku benci berdebat hal ini dengan Emilia. Seharusnya dia bisa realistis. Bagaimana bisa dia menyuruhku melepas apa yang kulakukan dan memintaku jadi pengangguran? Tidak.

Aku harus jadi orang yang mampu. Yang bisa menggerakan semua sesuai keinginanku. Aku harus mampu. Dan ini juga demi dirimu, Emilia-ku. Hidup ini tidak akan cukup jika aku hanya memberimu cinta, bukan?

"Aku janji, Em. Aku janji." Aku balik memegang lengannya dan kembali menciumnya, memulainya denan lumatan lembut. Cengkeramannya pada lenganku semakin melemah hingga tangannya kembali ke sisi tubuhnya.

Kami menghabiskan beberapa menit untu sesi ciuman. Di sisi lain aku merasa ciuman ini agak menyakitkan, ada sesuatu yang berbeda dari Emilia. Dia menahan diri.

Aku benci ini.

Kurapatkan tubuhku ke arahnya, tangan menarik tali bathrobe yang dia kenakan dan menyelipkan tanganku dari sela yang melonggar, mengelus pinggangnya, membiarkan tanganku menjelajah hingga ke pahanya.

Dan Emilia kembali. Emilia yang mendesah pelan, Emilia dengan matanya yang terpejam, Emilia dengan mulutnya yang sedikit terbuka, memanggilku. Dia menginginkanku. Dia membutuhkanku.

"Em," panggilku pelan. Dia menyahut dengan gumaman kecil, matanya terbuka perlahan. "Sore ini tak keberatan jika kau diam di atas?"

"Ada pesta lagi di sini?" tanyanya, dan aku mengangguk. Emilia mengangguk dan menyingkir dariku. "Oke."

Dia sudah siap untuk bergerak menaiki tangga, tapi aku buru-buru menaiki tangannya, membuatnya menoleh.

"Jangan terburu-buru, Em. Siang ini aku masih membutuhkanmu memakai kausku." Aku menariknya agar semakin mendekat sebelum menepuk bokongnya, menggigit daun telinganya sebelum berbisik. "Ke kamar sekarang, Em. Aku tahu sentuhan kecil tadi tidak akan memuaskanmu."

Karena aku juga sama tidak puasnya.

*

Emilia

Aku benci mengakuinya, tapi kemampuan Jungkook yang satu ini memang tidak pernah berubah. Dia terlalu mengenalku.

Ketika dia bilang begitu, aku tahu itu benar, dan itu menyeramkan. Semua yang ada pada diriku seolah sudah terekam dalam kepalanya, dan itu membuatku semakin sadar bahwa kemungkinanku untuk pergi dari neraka ini semakin menciut.

Bahkan mungkin sudah tidak ada. Lenyap. Satu-satunya yang terpikirkan ketika Jungkook berada di bawahku dan menghentak tubuhku di tengah penyatuan kami adalah bagaimana Jungkook tahu semua titik lemah yang membuatku tidak bisa melakukan apapun kecuali menikmatinya, merasakan betapa kuat cengkeramannya pada pinggulku.

Di posisi ini seharusnya aku yang mendominasi, tapi tidak. Semuanya selalu dikuasai Jungkook.

Entah sudah berapa kali gelombang gairah ini menyerangku, aku tidak tahu, namun tubuhku kembali mengejang ketika Jungkook dengan mudahnya membalikkan posisi kami, membuatnya kini di atasku. Kedua lengan kekarnya seakan menjadi pilar yang menyangga tubuhnya sementara rambutnya yang memanjang jatuh, nyaris menyentuh wajahku. Hanya dengan menoleh saja, aku sudah dihadapkan dengan tato yang naga yang melekat pada lengan kanannya.

Jungkook berkeringat. Dan sialnya, itu membuatnya kelihatan semakin seksi.

Oh, Tuhan. Aku pasti sudah gila. Aku payah. Aku selalu payah karena Jungkook begitu mudahnya membuatku menikmati neraka ini. Sial.

Satu senyum tipis terukir di wajah Jungkook sebelum bibir itu menciumku, begitu lembut. Perlahan kurasakan Jungkook kembali menghentakku, namun kali ini semuanya terasa lebih baik. Tidak ada paksaan.

"Kau lelah?" tanyanya di sela ciuman kami.

Aku hanya mengerang. Bohong kalau aku bilang tidak lelah, kami bahkan sudah membuat ranjang menandak hampir satu jam penuh, tapi aku juga akan jadi pembohong ulung kalau bilang aku ingin menghentikkan semua ini.

Sial, Jungkook. Sial. Kau membuatku berkontemplasi namun tak bisa memutuskan apapun.

Jungkook kembali mendesak, erangan kecil lolos dari bibirnya selagi dia menyebut namaku.

Aku selalu suka cara Jungkook menyebut namaku.

Emilia.

Dia orang pertama yang bilang padaku bahwa namaku bagus di pertemuan pertama kami. Dia yang kemudian bilang aku seperti Chamomile, menenangkan. Dia juga yang bilang aku layak untuk dijaga. Dia yang membuatku jatuh cinta dengan kata-kata juga tindakannya.

Tapi rasanya semua perasaan itu mati sekarang.

Jungkook bukan lagi laki-laki manis yang kukenal sepulang sekolah, yang sering mengantar dan menjemputku, yang sering datang ke rumahku dan membawa camilan-camilan kecil juga buah tangan untuk keluargaku.

Di sini hanya ada Kim Jungkook, orang yang mencintaiku sekaligus orang yang kuharapkan bisa memberikan kesempatan bagiku untuk pergi.

Tapi memangnya aku bisa lepas darinya? Apa aku mau melepaskan?

Semua pemikiran ini kembali berteriak dalam kepalaku, namun dengan mudahnya sirna, terganti dengan kenikmatan yang Jungkook berikan. Aku hanya bisa ikut mengerang, mengalungkan tangan ke lehernya dan sesekali menjambak rambutnya. Tapi Jungkook tidak pernah protes, dia justru tersenyum tiap kali aku begini.

Dia suka aku yang berantakan, dan dia tersenyum karena sadar dialah penyebabnya.

"Oh, astaga! Em!"

Kali ini Jungkook mengerang lebih keras, gerakannya semakin cepat. Dan dalam hitungan detik, dia meleleh. Aku meleleh. Kami meleleh. Letupan gairah ini betul-betul membuat dopamin dalam kepalaku berteriak, memberitahuku bahwa aku menikmati ini.

Aku menikmati apa yang Jungkook lakukan, sekalipun pada kenyataannya aku ingin menjauh darinya.

Kini Jungkook menatapku begitu lekat, manik cokelat terangnya itu begitu bersinar, menyerap semua atensiku. Ini sorot mata yang kusukai. Sorot mata yang membuatku berpikir bahwa aku mencintai laki-laki yang tepat.

Ini sorot mata yang menipuku.

"Aku menyayangimu, Em," kata Jungkook. Dia kembali menciumku sebelum menyingkir dari atasku dan duduk di pinggiran ranjang, tubuhnya memiring selagi tangannya mengelus rambutku, seakan menjadi bantuan tambahan bagiku untuk mengatur napasku yang tersenggal.

"Aku ingin menemanimu tidur, tapi aku harus bersiap," katanya.

Jungkook segera berdiri, namun aku berusaha meluruskan puunggung dan meraih tangannya, menahannya.

"Tak bisakah kau... di sini saja?" tanyaku pelan.

Jungkook bilang dia akan memberikan semua yang aku minta.

Aku memintanya untuk tetap di sini. Untuk menjadi laki-laki yang dulu aku cintai.

"Emilia Sayang, kau tahu jawabannya."

Sayangnya, dia tidak bisa memberikan itu.

"Aku janji sebelum malam tiba, aku akan menyuruh mereka pulang agar aku bisa menemanimu tidur. Sebelum jam 11 malam, oke?" Jungkook menciumku lagi, mengacak rambutku sebelum menjauh. "Aku ada di kamar mandi, jika kau mau mandi ulang. Jangan lupa pakai kausku, Em."

Kemudian, Jungkook pergi, meninggalkanku yang masih terduduk di atas ranjang dan sekali lagi menelan pil pahit kenyataan. Aku tahu akan selalu begini. Jawabannya akan terus begini.

Aku tidak butuh janji, Kim Jungkook. Aku membutuhkanmu untuk lepas dari semua ini. []

*

Nggak ada lubang anget lubang anget uh ah uh ah ya. Tapi semoga cara aku bawain ini nggak mengganggu kalian. The whole point of this isn't about how they had their intercourse session. Dari sini, nangkep nggak hubungan Em sama Kook gimana?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro