Bab 3
Tim mana nih gaes?
Ini repost, kemarin ngaco nggak ada notif.
---
Emilia
Orang mungkin akan bertanya atas semua yang ada dalam pikiranku. Mereka juga yang jadi alasan kenapa aku memilih untuk merencanakannya sendiri.
Aku tidak pernah bilang seberapa besar keinginanku untuk mengakhiri semua ini, pergi sejauh mungkin dari Jungkook dan lingkungannya. Aku tidak pernah minta bantuan siapapun, karena satu-satunya yang kudapat hanyalah sebuah pertanyaan retoris seperti, "Kau ini bodoh atau apa?"
Menurut orang aku memang bodoh. Hanya orang bodoh yang mau meninggalkan Jungkook dan segala kesempurnaannya. Tapi bagiku hanya orang bodoh yang mengira Jungkook sempurna. Dan karena itu, aku ingin meninggalkannya.
Tapi tidak bisa.
Jika ingin pergi, aku butuh tujuan—sesuatu yang sayangnya tidak aku miliki. Dan sulit rasanya bertindak jika ada seseorang yang terpengaruh dengan tindakanmu. Tiap langkah yang kuambil seperti beriringan dengan tiap napas yang diambil kakakku.
Aku tidak bisa pergi. Aku tidak bisa menghilang dan membiarkan Jungkook berhenti mengalirkan uangnya untuk perawatan Seokjin. Aku ingin egois, tapi tidak bisa. Tak peduli seberapa kerasnya aku berusaha, aku jelas tidak akan sanggup membayar perawatan Seokjin.
Tapi Jungkook sanggup. Jungkook dan semua bisnis kotornya.
Aku mencintai Jungkook. Jujur, ya. Tapi itu sebelum aku tahu semua ini. Aku mungkin harus mempertanyakan ketulusan perasaanku, mengingat orang-orang bilang seharusnya kita menerima kekurangan pasangan masing-masing.
Kalau begitu coba katakan padaku bagaimana caranya menerima identitas tersembunyi pasanganmu yang ternyata tuan besar dari sebuah bisnis tak terduga? Haruskah aku menyambutnya dengan pelukan dan sebuah ucapan selamat?
Sayangnya bisnis Jungkook bukan bisnis properti, kendaraan, apalagi saham. Kau tahu, tidak selamanya menjadi tuan besar itu merupakan status yang bisa dibanggakan.
Aku memutuskan hubungan dengannya setahun yang lalu, dan tepat di saat yang sama keluargaku kecelakaan. Aku tidak punya tempat lain, dan yang kupikirkan hanya Jungkook. hanya dia yang menerimaku dengan tangan terbuka.
Dia bilang dia masih mencintaiku. Dia bilang dia menginginkanku kembali. Yang kutahu, dialah yang kubutuhkan, dan dia bilang dia juga membutuhkanku.
Namun seiring berjalannya waktu, semuanya perlahan terbuka. Kenyataannya, aku bahkan tak tahu barang seujung kuku pun soal Jungkook, soal hidupnya, soal betapa kotornya dia. Dan di sinilah aku, hidup dengan semua fakta dan dihidupi dengan uang kotornya.
Aku tidak bisa menganggap diriku bersih. Aku dihidupi dari semua kekotorannya itu. Mirisnya, aku tahu itu namun tak dapat mengubah apapun.
Jungkook yang dulu jelas berbeda dengan Jungkook yang tiap malam selalu berbaring di sampingku.
Dan aku, Emilia Jung yang mencintai Jungkook, tidak bisa terus memberikan cintaku untuknya.
Aku harus cari jalan.
Sesuatu.
Entah apa.
Kalau saja di kampus ada mata kuliah tentang metode penyelesaian kepusingan hidup, mungkin aku bisa membuat jalan keluar sebagai hasil dari belajar. Sayangnya, tidak ada mata kuliah soal menyelesaikan masalah kehidupan, dan itu ada buku panduan untuk melarikan diri dari pacar yang menjadi pengedar narkoba.
Pada akhirnya aku hanya bisa diam termenung di meja, memilih untuk tidur ketimbang memikirkan jalan keluar yang bahkan tidak mau menampakkan diri dan hanya membuat kepalaku makin sakit. Salahku karena datang dua jam lebih cepat sebelum jam kuliah pertama. Tapi ini lebih baik daripada menyibukkan diri di rumah dan pura-pura tak peduli dengan telepon pagi Jungkook.
Sejujurnya aku juga agak mengantuk. Aku butuh tidur. Hanya saja aku belum sempat meletakkan kepala karena suara ketukan pintu terdengar.
Buru-buru aku meluruskan punggung, menangkap sosok dengan jaket denim—yang entah kenapa terkesan familiar bagiku. Rasanya aku baru melihat ini dalam waktu dekat.
Aku memandanginya lebih dulu hingga dia mengeluarkan suara.
"Ini ruang kelas pendidikan kewarganegara—"
Dia diam, begitu juga denganku. Sesaat mata kami bertemu sampai akhirnya aku ingat siapa dia. Ah, betul juga. Aku ingat sekarang.
"Ah, kau si mesum yang kemarin!"
Antusiasmeku terlalu tinggi, aku sampai telat menyadari bahwa tubuhku sudah lebih dulu berdiri dengan telunjuk yang terarah. Kenapa aku malah senang hanya karena mengingat orang ini, ya? Lagi pula dia ini kan....
"Kau yang kemarin hampir mendapatkan pelayanan spesial dari pacarmu di dekat rak soju, bukan?"
Laki-laki itu memandangiku sambil tersenyum kecil. "Sebetulnya dia bukan pacarku. Tapi, kurasa sebelum menjelaskan itu akan lebih baik kalau aku memperkenalkan diri."
Dia kemudian berjalan mendekat, berdiri di hadapanku sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
Aku agak terkejut. Ini bukan semacam ancaman atau apa, kan?
Tapi kemudian dia tersenyum ramah dan melanjutkan, "Aku Han Taehyung, dan kuharap kau tidak mencapku mesum karena kejadian kemarin."
*
Taehyung
Berdasarkan informasi yang diberikan, tugasku hari ini mudah: Menghadiri kelas pendidikan kewarganegaraan dan penulisan karya ilmiah.
Aku hanya perlu duduk diam dan hadir layaknya apa yang biasanya orang lakukan di kampus—meski Yoongi bilang sebaiknya aku tidak langsung tidur di kelas pertamaku. Aku juga disarankan untuk datang lebih cepat ketimbang jadwal, karena katanya akan meminimalisir pertemuan dengan orang lain. Tapi kalau begini... jelas ini bukan sesuai rencana.
Seharusnya Yoongi bilang kalau ada orang di sini. Dan seharusnya Yoongi bilang kalau orang itu bisa kelihatan cantik sekali bahkan saat sedang melamun. Aku ingin protes, tapi mungkin Yoongi juga tidak akan tahu soal gadis ini, terlebih soal bagaimana pertemuan pertama kami yang kurang layak diingat—tapi aku mengingatnya dengan jelas, sekalipun memalukan.
Dan dia memanggilku dengan sebutan "Si Mesum". Tidak mengherankan, tapi aku berharap ada kesan yang lebih baik dibanding dua kata itu. Dia bahkan mengabaikan uluran tanganku. Bagus sekali.
Aku mengambil tempat duduk tepat di sampingnya. Matanya mengikutiku selagi dia masih berdiri. Telunjuk yang dia gunakan untuk menunjukku sudah jatuh dan berlabuh pada pahanya. Paha dengan balutan jins yang cukup ketat, jika butuh informasi tambahan.
"Chill," kataku kemudian duduk dengan posisi miring ke kiri agar bisa berhadapan dengannya. Dia memandangiku sesaat sebelum akhirnya duduk, ikut memiringkan posisi ke kanan.
"Kok kau bisa di sini?" tanyanya.
"Yang jelas sih bukan untuk beli soju." Aku menyeringai iseng. Tidak ada maksud untuk menggoda, hanya ingin membuat suasana jadi lebih cair. Tapi jelas aku tidak akan menolak bonus kalau dia tergoda dengan itu.
Hah. Otak.
"Mari kita mulai perkenalan yang lebih wajar, oke?" Aku menyodorkan tangan kanan lagi. "Han Taehyung."
Awalnya dia kelihatan ragu, tapi kemudian dia menjabat tanganku. "Emilia."
Emilia? Sesuatu yang terdengar menenangan semacam... Camomile? Mendadak aku ingat temanku.
Sebenarnya aku cukup suka bagaimana sensasi kulitnya—atau, oke, telapak tangannya—ketika bersentuhan dengan tanganku. Tipikal kulit orang dengan hidup yang bisa memanjakan diri sesuka hati, bahkan jadi jadwal rutin seperti sarapan, makan siang, dan makan malam. Tapi sekilas melihat tindakannya, rasanya dia bukan golongan orang yang suka memanjakan diri dan tubuh.
Tapi, siapa yang tahu? Aku bahkan berpikir bagaimana cara dia memanjakan diri. Apa ada sisi liar di sana?
Sial, Taehyung. Otakmu ini terlalu bagus.
Begitu jabatan tangan kami terlepas, Emilia membenarkan posisi duduknya. Dia membuka tas ransel di atas meja, mengeluarkan buku tulis dan pena.
"Rupanya kau masuk golongan anak rajin, ya?" Entah bagaimana aku tak sadar bahwa pikiranku keluar juga secara lisan, dan dia dapat mendengarnya. Kepalanya berbalik, dan barulah aku sadar apa yang dia lakukan.
Kupikir dia akan marah, tapi tidak. Dia justru tertawa pelan, seakan meremehkan kalimatku, atau mungkin akan lebih tepat jika bilang pujian yang aku beri barusan.
"Anggap saja aku pintar dengan caraku sendiri," ucapnya. Dia membuka lembar demi lembar buku tulis hingga tiba di halaman yang baru diisi dengan satu kalimat.
Aku masih diam di tempat, memerhatikan bagaimana jarinya bergerak bebas dan menulis beberapa kalimat yang ternyata sama, hanya dengan beragam variasi ukuran.
"Mau kabur?" tanyaku heran. Aku mencondongkan tubuh untuk membaca, dan mataku memang tidak salah.
"Hanya menuangkan apa yang ada dalam otak," jawab Emilia tanpa menoleh ke arahku. Dia bahkan kelihatan sibuk sekali menulis padahal kalimat yang dia tulis tidak ada bedanya dengan kalimat yang lain.
Aku ingin tanya mau kabur dari mana, tapi mungkin itu agak bersifat personal. Aku tahu bagaimana efeknya bertanya hal yang terlalu personal pada wanita. Dan akibatnya buruk sekali. Jangan coba-coba.
Jadi akhirnya aku memilih untuk tutup mulut dan memperhatikannya. Beberapa kalimat lainnya dia tulis sebelum dia menyodorkan bukunya ke arahku.
"Tulis apa yang kau pikirkan," katanya. Aku tidak sempat bertanya karena dia sudah menyodorkan pena ke arahku dan menambahkan, "Apa saja. Tak masalah."
Dia sih bilang begitu. Tapi aku bertanya pipi mana yang akan ditampar jika aku menulis 'gadis yang duduk di sampingku ini seksi sekali', karena itulah yang aku pikirkan. Atau justru dia lebih memilih menendang buah zakarku? Mengerikan.
Tidak ada pilihan dan sayangnya menjebloskan diri ke rumah sakit bukanlah pilihan yang baik karena itu akan memperburuk pekerjaanku. Jadi aku mengganti kalimat yang terlintas dengan yang lain.
Yoongi brengsek sekali. Harusnya dia bilang sesuatu.
Begitu membacanya, Emilia kelihatan mengerutkan kening. Entah karena apa, tapi dia justru menepuk pundakku dan tertawa. "Semoga hubungan kalian baik-baik saja."
Maksudnya?
Dia tertawa kemudian menulis lagi.
Doaku menyertai kalian.
Aku jadi makin bingung.
Emilia kemudian kembali membuka tas, menggerakan tangan untuk mencari sesuatu. Gerakannya semakin cepat. "Sial!"
"Ada apa?" Aku memandanginya tatkala dia kembali membongkar isi tas dengan posisi berdiri.
Dia memandangiku selagi berdiri dari kursi. "Aku rasa aku lupa bawa minuman ginsengku," katanya. "Ah. Sialan. Sialan." Emilia kemudian mengeluarkan dompet dari tas. "Aku akan ke kantin dulu."
"Tidak perlu," sambarku cepat. Buru-buru aku membuka tas dan mengeluarkan botol kaleng, meletakkannya di meja Emilia.
"Aku ada satu. Ambil saja," kataku. Emilia memandangi botol di mejanya sesaat sebelum tatapannya kembali padaku.
"Tapi itu kan—"
"Aku sudah minum itu dua kali tadi pagi. Sudah mual." Dia kelihatan ragu, jadi aku meyakinkannya dengan bilang, "Serius, ambil saja."
Emilia diam sesaat, nampak bingung. Namun akhirnya dia duduk lagi, tangannya memegang botol kaleng itu. Dia kelihatan mau bertanya, tapi aku langsung memotong, "Minum saja."
Gumaman kecil terdengar dari mulutnya. "Terima kasih, um... bagaimana aku harus memanggilmu?" Pada akhirnya Emilia justru bertanya.
Aku menaikkan alisku dan bertanya balik karena tidak mengerti. "Bagaimana apanya?"
"Berapa umurmu?" tanya Emilia lagi. "Rasanya kau lebih tua dariku."
"Memangnya berapa usiamu?"
"Tahun ini 21. Kau?"
Awalnya aku agak ragu menjawab, tapi tidak menjawab pertanyaan itu justru akan kelihatan aneh.
"Dua puluh empat tahun. Tapi santai saja, tak apa."
Sebenarnya aku tidak bohong. Karena aku melanjutkan kalimatku dengan "itu umurku 3 tahun yang lalu" dalam hati. Tapi untuk kesenjangan bersama dan juga pekerjaanku, kurasa Emilia tak perlu tahu hal itu. []
*
Uhuq. Taehyung sudah tua gais.
Jangan lupa ramein yaaa, makin rame janji cepet pdet deh~
bisa bikin ig story atau quote terus tag ig aku (at)aratakim 👀👀
Ayo ngerusuh sekalian ngopi bareng juki nunggu konflik asadeseee
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro