Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9

"Tante! Tante Via!"

Aku mengerjap beberapa kali. Nona Chayra muncul di hadapan, dalam keadaan sayu. Baru terbangun dari tidur siangnya. Dan aku tidak sengaja ikut tertidur juga tadi.

"Kenapa?" Aku langsung bangun, terkejut. Jilbab aku perbaiki sebentar.

"Besok Chayra ada lomba masak. Ajarin Chayra masak, ya? Plis. Plis."

"Ayo." Meski masih mengantuk, aku memaksakan diri untuk turun dari ranjang. Menggenggam tangan Chayra menuju dapur.

"Masak nasi goreng, Tante! Masak nasi goreng yang kayak punyanya Tante! I love it so much." Dia berteriak setelah sampai di dapur.

"Memang nggak bosan?"

"Enggak." Nona Chayra menunjukkan sepuluh jarinya. "Seandainya semua ini jempol, Chayra bakalan kasih semua buat nasi gorengnya Tante Via."

Aku terkekeh ringan. Semua semangat terasa langsung berkumpul. Kepalanya aku usap beberapa kali. Lalu mengambil dua buah celemek untukku dan Nona Chayra. Sebuah kursi juga aku berikan, supaya dia bisa mencapai tempat memasak.

"Biar Chayra yang potong bawang sama sayurannya, Tante diem aja liatin Chayra. Bilang kalau salah, OK?"

Maka aku mundur tiga langkah, memberikan dia ruang untuk berkreasi.

"Sayurannya iris tipis-tipis, Nona."

"Siap, Chef." Nona Chayra menyempatkan diri memberikan hormat tanpa menoleh. Lidahnya sampai keluar karena terlalu fokus mengiris hati-hati. Aku tidak bisa berhenti tersenyum melihatnya.

Hanya beberapa menit. Aku kemudian panik saat Nona Chayra berteriak. Tangannya meletakkan pisau dan separuh bawang di talenan.

"Tante! Tante! Mata Chayra perih, Tante!" Dia semakin kalang-kabut. Aku segera menahan tubuhnya yang hampir jatuh dari kursi.

"Nona Chayra tenang. Tenang, Oke? Nggak papa." Aku menggendongnya, bingung harus melakukan apa.

"Tante, perih." Aku membiarkan dia memukul-mukul punggungku.

"Kenapa, Via?" Tuan Alfan muncul. Gitar dan jaketnya dibuang sembarang tempat. Nona Chayra diambilnya. Lalu dibawa keluar. Aku mengekor saja, sembari membawa gitar dan jaket Tuan Alfan. Sepertinya, dia akan keluar.

Ah, ya, besok dia akan tampil.

Saat menghampiri keduanya di ruang tengah, Nona Chayra sudah tidak sehisteris tadi. Dia sudah tenang duduk di sofa.

"Iya, nangis aja. Supaya perihnya ilang." Sifat dewasa terlihat jelas dari Tuan Alfan saat berbicara lembut dengan Nona Chayra. Tangannya yang hampir semulus milik wanita mengusap lembut pipi tembam Nona Chayra.

"Ini, Tuan." Aku memberikan barangnya. Tuan Alfan berdiri sambil menyunggingkan senyum-yang entah aku harus mengutuk atau memuji-mirip Tuan Althaf.

Tuan Alfan lalu berdiri, jadi aku mengangguk untuk menghormatinya sebagai majikan.

"Terima kasih." Dia mengambil gitar dan jaketnya. Namun, tindakan selanjutnya dari Tuan Alfan membuatku terkejut. Hanya berselang beberapa detik saat dia mengusap kepalaku yang dibalut jilbab, lalu turun agak ke bawah, dekat leher. Aku langsung mendongak. Tidak bisa mencegah atau membatalkan perbuatannya, aku hanya bisa memandangi punggung Tuan Alfan yang menjauh.

Jejak bukti perbuatan kurang ajarnya masih tersisa. Yaitu jantungku yang masih berdetak keras.

***

"Via, setelah bersihkan meja ini, kamu langsung ke kamar Chayra, ya? Besok dia harus bangun pagi-pagi, ada acara di sekolahnya. Jadi ... malam ini harus tidur lebih awal."

Perintah Nyonya Erisha aku angguki penuh hormat. Kepalaku tetap menunduk dalam sampai terdengar suara derit kursi yang didorong. Sedikit melirik, Nyonya Erisha keluar dari ruang makan ini, membuat napasku sedikit lega.

Segera, aku masuk ke dapur meletakkan piring-piring kotor bekas. Menghampiri wanita yang berseragam serupa denganku-khas pelayan.

"Mbak Rista, saya tinggal, ya? Mau urus Nona Chayra dulu," ucapku meminta izin.

"Iya. Cepetan gih! Sebelum kena amukan Nyonya Erisha lagi!" Mbak Rista terkikik geli, yang aku balas dengan senyuman tipis.

Keluar dari dapur, aku melewati ruang tamu. Di antara patung-patung yang menjadi hiasan dalam rumah ini, aku bersembunyi. Menilik melalui lubang-lubang kecil. Memperhatikan keluarga besar yang sedang berkumpul itu.

Bercengkerama begitu mesra. Idaman sekali. Di bawah sinar lampu mewah dan besar di atasnya. Hangat. Mereka tertawa, kecuali sosok pria yang selalu menjadi fokus mataku memandang. Pria yang tidak pernah menunjukkan emosinya secara berlebihan itu.

"Althaf, kamu antar Selvy pulang, gih! Sudah larut malam." Ucapan Nyonya Erisha menghentikan obrolan tersebut, juga memberikan sejuta rasa di dalam dadaku. Ada sisi bahagia, meski lebih mendominasi rasa perih.

Terlalu lama aku memperhatikan mereka, hingga lupa tugasku untuk menemui Nona Chayra di kamarnya. Dengan kepala tertunduk dan langkah cepat, aku meninggalkan tempat persembunyian barusan menuju sebuah lift yang akan mengantar ke lantai empat lebih cepat.

Tidak lama, lift terbuka. Langkahku semakin cepat menuju pintu kedua dari yang paling ujung. Tempat Nona kecil berada. Mengetuk beberapa kali, sampai seruan mungil dari dalam terdengar. Mempersilakan untuk masuk.

Wajah semringah Nona Chayra menjadi hal pertama yang tertangkap mataku, membuat sudut bibir ini ikut tertarik ke atas. Gadis kecil ini setidaknya bisa mengalihkan sejenak rasa aneh dalam dadaku.

Di tengah-tengah ranjang dengan bed cover berwarna merah muda milik Nona Chayra, aku duduk. Bersandar pada kepala tempat tidur. Nona Chayra dengan semangat berbaring di atas pahaku.

"Tante Via, mau dongeng. Mau dongeng!" seru Nona Chayra nyaring.

Aku mengangguk mengiyakan, membuat giginya semakin terlihat karena senyuman lebar Nona Chayra. Sembari mengusap rambutnya yang agak pirang--warisan ibunya--aku memulai dongeng tentang Cinderella. Nona Chayra menyimak penuh antusias.

Sampai dongeng selesai, Nona Chayra sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kantuk. Aku maklum, karena biasanya tidur satu jam lagi.

"Nona Chayra tidak mengantuk?"

Pertanyaanku dibalas dengan gelengan dari gadis kecil ini.

Tanpa mengubah posisi, aku mengganti siasat. Tangan tetap menepuk-nepuk kepalanya ringan.

"Ya udah, gini aja, Tante nyanyi, tapi Nona Chayra bobo ya?"

Senyuman lebar beserta anggukan semangat Nona Chayra berikan.

Sekitar dua lagu anak aku nyanyikan, mata Nona Chayra mulai terpejam. Aku tetap melanjutkan lagu sampai napas Nona Chayra terdengar teratur.

Hati-hati, aku memindahkan kepala Nona Chayra ke atas tempat tidur. Selimut ditarik hingga menutupi tubuhnya hingga dada. Sebelum pergi, aku mengusap lembut rambutnya. Lalu menunduk demi bisa mengecup singkat keningnya.

"Selesai?"

Tubuhku menegak seketika saat suara berat itu terdengar. Menoleh ke arah pintu, dan menyadari putra sulung Nyonya Erisha bersandar di sana.

Aku menunduk saat tatapannya terhunus tajam. Tangan di atas paha saling meremas gugup. Ditambah detak jantung yang keras, membuat perasaanku semakin buruk.

"Kamu lupa, Via? Setelah menidurkan Chayra, tugas kamu selanjutnya adalah melayani saya."

Ludah aku teguk dengan kasar setelah ultimatumnya terdengar dingin. Bahkan, suara sepatunya mengetuk lantai yang kian mendekat memberikan suasana mengerikan di dalam hatiku.

"Tuan ... tapi ... saya ...."

Aroma parfumnya yang kuat semakin menyulitkan diriku meminimalisir perasaan aneh dalam hati.

"Hukuman lagi, Via. Sudah saya bilang jangan panggil saya 'Tuan' saat kita hanya berdua," ucapnya dingin. Hanya butuh satu jarinya saja, ia mendongakkan kepalaku, menyatukan pandangan, juga bibir kami. "Jangan di sini, kita pindah ke kamar saya. Masih ada empat jam sebelum jam dua belas."

"C'mon, Little Wife. Atau mau saya gendong?"

***

Ibadah dan hukuman.

Tubuhku sangat lelah untuk dua hal tersebut, tetapi tidak boleh tidur karena sisa beberapa menit lagi jam 12 malam. Sembari bersandar di dada Tuan Althaf, aku menahan kantuk sebisaku. Setiap kali aku terpejam, sentuhan Tuan Althaf di punggung telanjangku akan mengembalikan lagi kesadaranku.

Tuan Althaf menceritakan kegiatannya hari ini, yang hanya bisa tertangkap samar-samar. Untuk menghargainya sekaligus meyakinkan Tuan Althaf bahwa aku masih sadar, gumaman dan kata 'terus' aku ucapkan sebagai tanggapan.

"Hei, kamu tidur?"

"Em ... enggak." Aku menggeliat pelan, lalu mendongak melihat Tuan Althaf. "Masih sadar kok."

"Gimana kegiatan kamu hari ini?"

"Seperti biasa. Jaga Nona ...." Aku menguap lebar sebentar. "Jaga Chayra."

"Besok kamu ada kegiatan apa?"

"Nggak ada." Menguap lagi, lebih lama dan lebih lebar dari sebelumnya. "Oh ya, aku mau datang ke konsernya Tuan Alfan. Dia ngundang."

Posisi ini terlalu nyaman. Aku tidak bisa mengendalikan diri terlalu lama untuk tetap terjaga. Selanjutnya, mataku perlahan terpejam, bersamaan dengan itu, kesadaran mulai menghilang.

"Via, sudah jam 12."

***

[UPDATE SETIAP HARI SABTU & AHAD]



Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini secara lengkap di :


KBM App : Es_Pucil

Dreame : Es Pucil


***


Mari kenalan :


Instagram : es.pucil

Facebook : Es Pucil III 


🔺🔺🔺


Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro