Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 18

Sebuah cangkir tersodor di hadapanku. Tampak masih mengepulkan asap tebal. Disusul suara derit kursi. Aku mengangkat pandangan pada Mbak Rista yang baru saja membuatkan teh untukku.

"Makasih, Mbak." Aku menggerakkan jemariku di pinggiran cangkir, menunggu dingin sedikit.

Hela napasku panjang setiap kali mengingat kejadian satu jam lalu.

Bodoh! Bodoh! Bodoh!

Lebih dari kebencianku pada Tuan Althaf, aku lebih merutuk diri sendiri.

Kenapa begitu bodoh? Seharusnya, sejak datang ke rumah ini, dan mengetahui Tuan Althaf mengakuiku sebagai pengasuh, aku langsung meminta cerai padanya. Mataku dibutakan oleh pria itu.

Janji-janjinya yang ingin menolak Nona Selvy hanya omong kosong. Seharusnya, aku langsung menyerah saja setelah melihat Tuan Althaf dan Nona Selvy sering memamerkan kemesraan mereka.

Seharusnya ... seharusnya ....

Astagfirullah.

Kepalaku mulai sakit memikirkan kebodohan tersebut, dan aku sebaiknya tidak mengulangi lagi.

"Via, kamu kenapa? Kamu bisa cerita sama Mbak."

Mbak Rista menyentuh tanganku yang berada di atas meja. Gerakan jemariku di cangkir terhenti, lalu terlipat di atas meja.

"Nggak papa kok, Mbak. Cuman ... aku kepikiran Ayah. Beliau sakit saat aku tinggalin sendiri." Napasku berembus lelah.

"Jadi ...? Kamu mau ambil cuti buat jaga Ayah kamu?"

Aku menggeleng, lalu memandang wajah teduh Mbak Rista.

"Sebelum saya di sini, Nona Chayra siapa yang urus, Mbak?"

"Dia kan anaknya mandiri. Ya paling, ditemenin main aja pas sore. Itu aja. Dia nggak pernah diasuh khusus kayak kamu sebelumnya." Mbak Rista menatapku serius. "Kalau kamu mau cuti beberapa hari, aku bisa bantu bilangin ke Nyonya Erisha. Gimana?"

"Nggak perlu, Mbak."

Seharusnya aku mengambil jalan ini sejak dulu.

"Aku berhenti aja, ya? Mbak bisa urus Nona Chayra, kan?"

"B-bisa, tapi ... serius kamu mau berhenti? Susah loh nemu pekerjaan kayak kerjaan kamu sekarang ini."

"Iya, Mbak. Ayah punya kebun di kampung. Aku bisa urus sama Ayah. Di sana, aku nggak perlu kena tambahan beban khawatirin Ayah. Aku juga bisa tenang kalau tinggal di sana."

"Okey. Aku ngerti. Semoga kamu nggak nyesel abis ini."

"Nggak, Mbak."

Cangkir aku angkat, menyesapnya hati-hati. Sesekali meniupnya.

"Kamu nggak ada masalah di sini, kan, Via?"

"M?" Aku menurunkan cangkir. Melap bibir sebentar. "Masalah?"

"Sama siapa, mungkin? Tuan Althaf? Tuan Alfan? Nyonya?"

"Nggak ada kok, Mbak."

"Kalau ada masalah, kamu bisa cerita-"

"Rista!" Seruan itu memotong ucapan Mbak Rista. Kami berdua sama-sama menoleh ke arah pintu ruang makan. Tuan Althaf yang muncul. Aku segera merunduk, memandangi teh.

"Iya, Tuan?"

"Chayra ingin minum jus jeruk. Bisa berikan ke Chayra sekarang? Via katanya tidak enak badan?"

Situasiku memburuk saat pria itu malah berdiri di sampingku.

"Baik, Tuan." Mbak Rista berdiri, masuk ke dapur.

Aku hendak menyusul, tapi kepalaku ditahan dari atas oleh tangan Tuan Althaf.

"Tetap di situ, kita perlu bicara." Dia berbisik rendah.

Mbak Rista muncul dengan segelas jus jeruk di tangannya. Dia menunduk sekali pada Tuan Althaf saat melewatinya.

"Rista!" panggil Tuan Althaf lagi. Setelah Mbak Rista berbalik, Tuan Althaf melanjutkan, "Sekalian, jaga Chayra sampai saya ke sana. Kakinya masih sakit."

"Baik, Tuan."

Setelah kepergian Mbak Rista, aku mulai salah tingkah di tempat duduk. Beberapa kali menyesap teh hanya untuk menghilangkan gugup. Pandangan aku jaga agar tetap lurus.

Kamu harus berani menghadapi dia, Via! Jangan lemah lagi! Jangan bodoh lagi!

Kalimat itu terus aku rapalkan, agar diberi keberanian tambahan.

"Via ...."

Saatnya mengambil keputusan!

Menarik napas. Menepuk meja, lalu berdiri.

"Aww!"

Aku berjengit saat kepalaku menabrak sesuatu bersamaan dengan pekik kesakitan Tuan Althaf. Dia mundur, memegangi dagunya. Aku ikutan kalap.

"A-Althaf, kamu nggak papa." Aku mencoba mencari tahu. Kedua tangannya kulepas sehingga aku bisa fokus pada dagunya. Memar. Jujur saja, kepalaku juga sedikit sakit akibat benturan tadi. Pantas saja jika dia meringis seperti itu.

"Maaf. Aku nggak sengaja."

Memar itu aku usap lembut. Lalu memandang wajah Tuan Althaf yang sudah tampak biasa.

"Mau aku obatin?"

"Tidak perlu." Dia meraih tanganku di dagunya, mengecupnya pelan. "Jangan pergi, okey? Saya minta maaf sudah bohongi kamu, tapi saya benar-benar bingung menggunakan alasan apa untuk menahan kamu tetap di sini."

Jantungku berdegup kencang. Ditatap sangat dalam oleh mata tajamnya, dan dibisiki kalimat seperti itu. Siapa yang tidak bisa terpengaruh? Namun, aku mengerjapkan mata. Menggeleng kasar.

Jangan terpesona lagi.

"Ada. Kamu cukup kasih tahu aku, rencana kamu gimana. Aku akan berusaha untuk ngerti, Althaf. Tapi ... kamu malah bohongin aku, bikin aku berharap tinggi, terus ... nggak ada. Nggak ada hasilnya. Aku cuman sakit jadi doang."

"Kalau aku kasih tahu alasannya, kamu akan tetap bertahan sama saya."

"Aku akan berusaha."

Tautan tangan kami terlepas. Dia menarik pinggangku menghapus jarak antara kami. Menahanku tetap berada di posisi seperti itu.

"Selvy ...." Dia terlihat ragu lagi. Aku mengusap dadanya, lalu tersenyum. Memberikan semangat. "Dia selingkuhan Papa."

"Hah? G-gimana?"

"Sst!"

Aku langsung membungkam mulut.

Pak Ahyar? Orang sebaik dia?

"Kamu tahu kalau Mama tahu tentang itu? Keluarga saya kacau, Via. Saya tidak mau itu terjadi. Makanya, saya coba untuk membuat mereka berpisah dengan menerima tunangan dengan Selvy. Tapi tetap, dia tidak mau pisah dengan Papa."

"Althaf, bentar. Papa kamu? Pak Ahyar? Dia baik banget, Althaf. Dia ... aku nggak percaya."

"Dia jarang di rumah, padahal di perusahaan, saya yang urus. Menurut kamu apa yang Papa lakukan?"

"Tapi ...." Aku sulit menerima ini. Mengingat Pak Ahyar yang menolongku saat kecelakaan, memberiku tumpangan di rumah ini, memberiku uang untuk ongkos pulang .... Yang benar saja!

"Kamu jangan terpengaruh sama sikap baik Papa sama kamu." Tuan Althaf seperti tahu isi pikiranku. "Mungkin, kamu pernah masuk dalam targetnya."

"Aku masih belum percaya ...."

"Tidak semua orang baik itu benar-benar baik, Via. Kamu perlu mengorek diri lebih dalam orang lain untuk menentukan karakter aslinya."

"Tapi bukan berarti semua tukang bohong itu baik!" Aku mendengkus.

"Saya tidak pernah bilang kalau saya baik." Dia tersenyum. "Termasuk Alfan. Jangan mudah baper sama perhatian dia. Dia tidak suka sama kamu."

"Kamu kenapa jadi curiga sama semua keluarga kamu sih?"

"Bukan begitu. Saya hanya tidak ingin kamu salah percaya sama orang lain."

"Aku nggak tau harus percaya sama siapa." Aku memaksa tangannya terlepas dari pinggangku. "Karena kamu sendiri juga udah kecewain aku."

Perasaanku mendadak campur-aduk. Tidak bisa memilih. Aku mundur beberapa langkah, lalu keluar dari ruang makan tersebut.

***

Pintu kamar diketuk pelan, memaksaku terbangun. Tumben. Pukul sepuluh malam. Aku yakin betul itu Mbak Rista yang mengetuk, karena kalau Tuan Althaf, pria itu akan langsung masuk.

Jilbab hitam aku pakai. Lalu bergegas membuka pintu.

"Nona Selvy?" tanyaku, heran.

Dia menangis, menutup mulutnya. Aku semakin bingung. Kakiku mundur saat dia mencoba masuk. Pintu kamar aku tutup agar menjaga privasi.

"Nona kenapa?"

Aku membantunya duduk di atas tempat tidur. Lengannya aku usap, berusaha menenangkan dirinya.

Tanpa aba-aba, dia memelukku erat. Aku dibuat sesak, tapi melihatnya begitu menyedihkan, maka kubiarkan saja. Sampai dia merasa tenang. Entah berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk itu.

Tangisannya mulai berkurang. Hanya isakan-isakan kecil yang sulit dia kendalikan.

"Via ... Via ...."

Dia sulit berbicara karena isakannya itu.

"Sebentar. Saya ambilkan air."

Nona Selvy mengangguk. Aku keluar setelah mengambil ponsel tanpa sepengetahuannya. Nomor Tuan Althaf kuhubungi. Aku bingung harus menghadapi Nona Selvy seperti apa. Namun, dia tidak pernah mengangkatnya. Bahkan sampai aku kembali lagi ke kamar dengan segelas air, dia tidak pernah mengangkatnya.

Ponsel kusembunyikan di belakang tubuh. Lalu masuk ke kamar. Memberikannya pada Nona Selvy. Dia meminumnya sampai setengah.

Sekitar dua menit berlalu dalam diam. Aku tidak memberikan pertanyaan apa pun sampai dia benar-benar tenang.

"Aku nggak tau, ini sudah benar atau enggak. Tapi aku bingung harus cerita sama siapa kalau bukan kamu, Via." Dia memandangku dengan mata sembapnya. "Kamu istri Althaf. Jadi aku pikir ... aku cuman bisa bilang ke kamu." Air matanya berjatuhan lagi. Nona Selvy memalingkan wajah, menghapusnya secara samar.

Aku merasa iba melihat bagaimana Nona Selvy berusaha terlihat tenang, tapi dirinya seperti dikuasai sesuatu yang mengguncang mentalnya. Dia sulit mengendalikan tangisnya. Sehingga, Nona Selvy terisak lagi. Aku melupakan statusku, dan menarik Nona Selvy dalam pelukan lagi. Tidak masalah jika pelukannya begitu erat sampai aku sulit untuk bernapas. Kurasa, dia perlu berbagi kesedihannya.

"Althaf ...." Dia meracau pelan. "Althaf ... Althaf mau lecehin aku, Via."

Aku membeku di tempat.

"Kamu ...." Nona Selvy menjeda sesaat. "Kamu mungkin nggak percaya. Tapi Althaf sering coba lecehin aku. Dia sering pegang-pegang area pribadi aku. Dan tadi ... dia paksa-paksa aku ...."

Entah tanggapan apa yang harus aku berikan, yang jelas, aku seperti kehilangan separuh nyawaku sekarang. Aku seperti ... patung yang sulit menerima informasi apa pun lagi.

Nona Selvy mengusap wajahnya dengan kasar. Dia memgeluarkan smartphone dari tasnya. Entah melakukan apa. Lalu menunjukkan layarnya padaku.

Aku lupa caramya bernapas.

Nona Selvy berada di bawah kungkungan Tuan Althaf di sofa. Keduanya berciuman.

"Aku ke kantor Althaf cuman mau tanya kedatangan orang tua aku. Tapi, dia tiba-tiba nyerang aku pas lagi nggak ada orang. Aku kaget dan langsung kabur ke sini ...."

Aku sulit bergerak, bahkan walau hanya meneguk ludah.

"Aku-aku nggak berniat hancurin hubungan kamu, Via. Aku cuman merasa, kalau cuman kamu yang bisa aku ceritakan ini. Aku ...."

Aku tidak bisa merasakan diriku sendiri, kecuali rasa denyut sakit di dalam dada. Sesak. Aku sulit mendapat pasokan oksigen.

"Via ... aku minta maaf. Aku ... aku ...."

Dia mengguncang tubuhku.

Aku tetap kesulitan memberikan respon. Seluruh tubuhku kaku.

"Via, maafin aku kalau bikin kamu sakit hati. Tapi, begini sifat Althaf yang sebenarnya. Maaf ...." Dia memelukku lebih erat dari sebelum-sebelumnya. Aku bahkan pasrah jika seandainya tubuh lemasku ini remuk dalam rengkuhannya.

"Maaf. Keputusan aku buat cerita ke kamu, ternyata salah. Maaf." Nona Selvy berdiri. Keluar kamar.

Tepat setelah suara pintu dibanting terdengar, luapan sesak di dalam dada keluar melalui air mata.

***

Sejak pagi sampai siang, tidak pernah ada percakapan dengan Tuan Althaf. Aku bahkan tidak tahu pria itu pulang jam berapa semalam. Dia tidak datang padaku sama sekali atau memulai percakapan rahasia denganku.

Pekerjaan Mbak Rista untuk memijit Nyonya Erisha kuambil alih. Nyonya Erisha tidak banyak protes, dan memilih menikmati pekerjaanku dalam diam.

"Nyonya." Aku memberanikan diri. "Pernikahan Tuan Althaf dengan Nona Selvy, tinggal beberapa hari, ya?"

"Hm. Iya."

"Saya ... saya mau berhenti bekerja, Nyonya."

"Kenapa? Gaji kamu kurang?"

"Tidak, Nyonya. Cuman, saya pikir, yang mengurus rumah kan sudah lebih dari cukup. Nona Chayra juga akan memiliki ibu tiri yang bisa mengurusnya. Jadi, saya tidak punya tugas lagi di rumah ini."

"Kenapa terlalu awal mau berhenti? Masih hitungan minggu pernikahan mereka."

"Sambil itu, Nona Selvy bisa lebih dekat dengan Nona Chayra. Setelah mereka menikah, Nona Chayra tidak akan merasa aneh dengan mama barunya."

"Ide bagus. Kapan kamu mau berhenti?"

"Hari ini, boleh, Nyonya?

"Bisa. Sebentar sore kamu bisa keluar dari rumah ini. Saya akan berikan kamu pesangon."

"Tapi, kan saya yang mau berhenti."

"Anggap saja ucapan terima kasih atas ide kamu tadi."

Aku tersenyum, meski Nyonya Erisha tidak melihat karena posisinya tengkurap.

Aku akan pergi dari segala penderitaan di rumah ini.

***

Dering ponsel tidak pernah berhenti mengganggu. Aku sama sekali tidak menyentuh bendah pipih tersebut sejak kuletakkan di atas meja. Menyesal juga karena tidak sengaja membawanya pulang.

"Mbak, angkat telponnya, atau matiin. Berisik."

Teguran dari salah satu pembeli di warung membuatku tersenyum canggung. Roti yang hendak aku makan, kuletakkan di atas meja.

"Maaf, Mbak."

Icon hijau kugeser, lalu menempelkan layar di telinga.

"Halo, Via. Kamu di mana?"

Suara khawatir itu ... aku diam sebentar. Hampir runtuh pertahanan egoku.

"Via? Jangan bercanda! Kamu kenapa minta berhenti? Kamu bilang, kamu mau coba mengerti kalau saya cerita yang sejujurnya. Via?"

Aku berusaha terlihat biasa saja, meski sebenarnya ingin mengumpat pada Tuan Althaf, berteriak memakinya, atau sekadar menangis untuk menunjukkan betapa besar pengaruh Tuan Althaf pada diriku. Saat dia membuatku kecewa, dia sudah menghancurkanku.

"Via? Bicara, Via, please!"

Roti aku tarik, mengambil secuil lalu memasukkannya ke dalam mulut. Keinginan mengumpat, memaki, dan menangis aku alihkan dengan mengunyah.

"Saya tidak akan pernah melepaskan kamu, Via! Demi apa pun, kamu tidak akan bisa lepas dari saya!"

Omong kosong. Aku mengunyah roti dengan malas.

"Lakukan apa pun yang kamu mau, Via. Kamu akan tetap terjebak bersama pria egois seperti saya."

"Terserah," bisikku pelan di dekat speaker ponsel. "Aku di jalan, pulang ke kampung sekarang."

Aku mematikan sambungan secara sepihak.

Ponsel diletakkan kembali di atas meja. Saat itu, pandanganku fokus pada jari manis yang sudah kosong. Tanda pernikahan kami itu sudah aku tinggalkan di kamarnya.

Seharusnya bebanku sudah berkurang sekarang.

Seharusnya, aku tidak membawa apa pun dari pria itu.

Aku berdiri. Mengangkat koper. Bersiap pergi.

***

[UPDATE SETIAP HARI SABTU & AHAD]



Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini secara lengkap di :


KBM App : Es_Pucil

Dreame : Es Pucil


***


Mari kenalan :


Instagram : es.pucil

Facebook : Es Pucil III 


🔺🔺🔺


Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku. 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro