Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 17

Dering nyaring memaksa kesadaranku kembali ke permukaan. Menoleh kanan-kiri, bingung mencari sumber suara. Mata kupaksa terbuka lebar, lalu bangun. Mengangkat bantal. Benda pipih pintar yang diberikan Tuan Althaf semalam berbunyi keras. Aku tersenyum. Dia menelepon.

Icon hijau segera kugeser ke atas, lalu menempelkan layar di telinga.

"Halo?" bisikku, takut terdengar keluar. Bagaimanapun, suasana subuh selalu sepi, dan jarak antara kamarku dengan pelayan lain tidak terlalu jauh.

"Saya khawatir kamu telat bangunnya."

Aku tersenyum lebar. Mengingat kembali proses belajar menggunakan ponsel semalam. Namun sedetik berikutnya, senyumku hilang saat ucapan terakhir Tuan Althaf semalam sebelum aku tidur, terngiang di telinga.

"Kamu beneran gendong aku ke kamar?" tanyaku, hampir memekik.

"Hm." Gumaman Tuan Althaf terdengar samar.

"Gimana caranya?"

"Definisi gendong itu bagaimana?"

"Maksud aku ... gimana caranya sampai nggak ketahuan?"

"Jam 12 malam, Via. Kan saya sudah bilang, itu waktunya semua orang lengah."

"Kamu nekat!"

"Hm."

Hening. Aku tidak tahu harus memulai topik obrolan bagaimana lagi.

"Aku mau siap-siap sholat dulu."

"Iya. Kamu ikut lari pagi juga. Kita kabur lagi nanti."

Aku tersenyum lagi. "Okey."

"Siapin Chayra juga. Mamanya datang."

"Jangan bilang, kamu mau ajak kabur demi bisa ketemu mamanya Chayra."

"Memang begitu, Via. Saya mau kenalkan kalian."

***

Butuh waktu dua kali lebih lama dari biasanya saat aku mengepang rambut Nona Chayra. Ah, bukan hanya mengurus rambutnya, semua hal yang kulakukan jadi lebih lamban dari biasanya.

"Tante, biasa aja. Nanti Oma marah kalau kelamaan."

"Maaf."

Aku menepikan pikiran semrawut karena ajakan Tuan Althaf tadi subuh. Mempercepat kegiatan merapikan rambut Nona Chayra. Setelahnya, dia langsung berlari keluar kamar. Suara benda jatuh terdengar, disusul suara tangis Nona Chayra. Buru-buru aku menyusul. Namun, pinggangku menghantam sudut meja rias. Memberikan rasa sakit menyengat, tapi aku memilih tidak peduli. Tangis Nona Chayra semakin nyaring.

Benar. Dia tersungkur di lantai. Tali sepatunya terlihat menjuntai, kuyakini itu penyebabnya. Gadis itu segera kuraih untuk digendong sambil menenangkannya. Tuan Althaf muncul, disusul Nyonya Erisha. Menanyakan keadaan Nona Chayra.

"Jatuh, Nyonya," jawabku pelan. Nona Chayra berpindah digendong Tuan Althaf.

"Kamu ke mana sampai dia jatuh begitu?"

"Maaf, Nyonya."

"Tugas kamu itu cuma jaga Chayra! Pastikan keselamatan dia! Kalau tugas begini saja tidak becus, saya bisa berhentikan kamu kapan saja!"

"Ma, sudah."

Pembelaan itu datang dari Tuan Alfan. Sementara Tuan Althaf berlalu ke kamarnya, membawa Nona Chayra. Berbeda dari yang lain, Tuan Alfan mengenakan jaket kulit dan celana jeans. Sepertinya akan pergi lagi.

"Via udah kerja di sini sebulan lebih. Selama sebulan lebih itu, baru kali ini Via lengah. Masa Mama cuman permasalahkan kesalahan kecil Via, tapi nggak pernah puji kerja bagus Via selama sebulan lebih ini."

"Kamu berani mengatur Mama, Alfan?"

"Bukan." Tuan Alfan tersenyum, melirik padaku. "Cuman pencerahan aja."

Tuan Alfan pergi. Aku masih mematung di tempat, sembari menahan nyeri yang mulai menjalar di bagian perut. Aku tidak berani beranjak jika Nyonya Erisha belum pergi.

"Ma, saya mau bawa Chayra keluar." Tuan Althaf mendadak muncul.

"Hubungannya sama Mama?"

"Tidak ada. Saya mau ajak Via."

Nyonya Erisha yang semula menghadap padaku, memiringkan badan ke arah Tuan Althaf. "Via?" Caranya menyebut namaku begitu menyeramkan. Apalagi dengan alis terangkat sebelah. "Nggak usah Via. Mama telpon Selvy sekarang."

"Telpon kalau bisa, dia sibuk hari ini. Kalau sudah, Via ke bawah. Saya tunggu."

Nyonya Erisha melirikku dan Tuan Althaf bergantian. Kemudian ikut pergi.

"Ayo, Via."

Tuan Althaf mengulurkan tangannya, memberi isyarat agar aku mendekat.

"Dad, Mom really came today?" tanya Nona Chayra di dalam lift.

"Ya."

Sunyi.

Kulirik Nona Chayra. Ekspresinya ... seperti enggan? Entahlah. Namun, setelah lama tidak bertemu, seharusnya dia rindu Mommy-nya kan?

Aku juga merasa berat di sini. Dipertemukan dengan mantan istri suami. Bagaimana menjelaskannya? Itu rasanya tidak nyaman sekali.

"Tuan." Giliran aku yang memanggil sebelum keluar dari lift. "Kayaknya, saya nggak bisa ikut. Saya nggak enak badan."

"Kamu sakit?" Tuan Althaf menunggu di ambang pintu lift.

"Nggak. Cuman ... saya nggak enak badan aja. Lain kali, ya?"

"Tesa cuman bisa datang hari ini. Kamu yakin tidak mau ikut?"

Apa dia tidak bisa mengerti perasaanku? Bertemu mantan istrinya! Yang benar saja!

"Kalau takdirnya kita ketemu, bakalan ketemu kok." Perutku semakin melilit. Remasan di sana kuperkuat. "Aku nggak bisa ikut."

"Mau saya bawa ke rumah sakit?"

"Nggak. Nggak perlu. Aku bisa urus diri sendiri kok. Kalian pergi aja."

Aku pergi lebih dulu, ke arah dapur. Sebelum benar-benar masuk, aku sempatkan diri berbalik. Melihat dua orang tadi keluar. Mbak Rista aku hampiri.

"Ada yang bisa aku bantu, Mbak?" tanyaku.

"Udah. Nggak usah terlalu rajin. Semua udah beres. Kamu istirahat aja. Nanti setengah jam lagi, baru siapin camilan buat keluarga Pak Ahyar."

"Oh, okey, Mbak."

"Kamu istirahat, gih. Kamu tiap pagi pucat mulu."

"Iya, Mbak."

Keluar dapur lagi, aku menyusuri lorong menuju kamar. Nyeri di perut semakin menyiksa. Tubuh langsung kurebahkan setelah masuk kamar. Mencoba beberapa posisi yang nyaman.

Memejamkan mata. Lalu tertidur bersama rasa sakit.

***

Entah berapa menit aku tidur, lalu terbangun. Masih dengan sakit di perut. Tenagaku terkikis.

Aku tidak asing dengan sakit ini. Sakit seperti ....

Tapi tidak mungkin, kan? Aku sedang hamil sekarang.

Dengan tenaga yang menipis dan kantuk berat, aku berusaha berdiri. Berpegangan pada tembok. Bibir kugigit kuat, menahan nyeri yang amat sangat. Bahkan meski perut sudah kuremas kuat, itu sama sekali tidak mengurangi sakitnya.

Aku berjalan pelan menuju kamar mandi. Tubuh oleng dan jatuh terduduk ke tempat tidur. Bukan cuman karena sakit, tetapi fokusku terganggu. Efek kurang tidur semalam.

Saat hendak bangun, aku malah terkejut dengan penampakan di seprai putih yang baru saja kutempati tidur.

Darah?

Panik melandaku. Ponsel yang kubiarkan di bawah bantal sejak tadi subuh, aku ambil. Menelpon satu-satunya kontak di benda pintar tersebut.

Percobaan pertama, gagal.

Kedua, masih belum diangkat.

Ketiga, tetap sama.

Kelima, keenam, dan seterusnya, tetap tidak membuahkan hasil. Entah sampai percobaan ke berapa.

|Althaf, plis angkat.|
08.52

Aku kembali mencoba. Terus. Puluhan percobaan yang tidak memberikan hasil. Aku tidak tahan dengan rasa penasaran dan sakit di perut.

Aku bersiap-siap dengan perasaan cemas. Khawatir jika apa yang aku pikirkan ini benar.

Tas pakaian aku buka. Mengeluarkan beberapa lembar uang. Lalu keluar dari kamar. Menuju dapur. Tampak Mbak Rista dengan dua wanita lainnya sedang sibuk.

"Mbak Rista." Aku memanggil lemah. Dia menoleh padaku, menghampiri. "Aku izin keluar sebentar, ya?"

"Kamu kok pucet banget, Via? Kamu sakit? Aku antar, ya?"

"Nggak papa, Mbak. Udah biasa kok."

"Kamu yakin? Ajakin Mbak Fita aja. Dia nggak ada kerjaan."

"Nggak papa, Mbak. Aku bisa urus diri sendiri kok. Cuman sebentar. Nanti kalau lebih tiga jam aku keluar, Mbak boleh khawatir."

"Tapi pulangnya cepet, ya? Jangan bikin Mbak khawatir."

"Iya, Mbak. Makasih, ya? Assalamualaikum."

***

Aku duduk terlebih dahulu. Berdebar menunggu jawaban. Sementara dokter wanita yang memeriksaku tadi, terasa lamban berjalan ke tempatnya.

Sangat tidak sabaran, aku segera bertanya setelah dokter itu mendaratkan tubuhnya di kursi. "Jadi, hasilnya bagaimana, Dok?"

"Tidak ada masalah. Itu cuman datang bulan biasa. Apa ini pertama kalinya Mbak sakit perut luar biasa saat datang bulan?"

Aku menggeleng lemas. "Udah sering, sih, Dok. Setiap awal datang bulan selalu begitu. Saya cuman ... tidak ada."

Aku tidak asing dengan sakit ini. Sakit seperti datang bulan.

"Kalau sakitnya semakin bertambah, Mbak minum jamu datang bulan saja. Dan, jangan lupa minum obat tambah darah ya."

"Iya, terima kasih."

Setelah urusan selesai, aku berdiri. Kedua kakiku serasa lemas dengan pernyataan dokter barusan. Tetap kupaksakan tersenyum saat berpamitan.

Menyusuri lorong rumah sakit, ponselku berdering. Dari Tuan Althaf. Tanganku ingin segera mengangkatnya, tapi tertahan. Jika aku menjawabnya sekarang, umpatan pasti kuteriakkan padanya. Jadi, biarkan saja terus berdering.

|Angkat, Via.|
12.44

Setelah di pinggir jalan, pesan tersebut masuk. Lalu menelepon lagi.

Menggeser layar sekali, lalu menempelkannya di telinga. Aku tidak tahu sekarang. Ingin menangis, tapi lucu juga. Lucu karena diriku terlalu bodoh sehingga dipermainkan Tuan Althaf sampai sekarang.

Kenapa aku masih percaya pria itu sementara janjinya belum ada satupun yang terbukti? Bahkan terus berboohong.

Lucu sekali, Via.

"Via, kamu di mana sekarang? Kamu baik-baik saja?"

"Aku—" Aku berdeham, suara yang keluar bergetar. Ingin melanjutkan bicara, tapi tetap saja. Suaraku menunjukkan betapa lemahnya aku.

"Via?" panggil Tuan Althaf. "Kamu ada di mana sekarang? Biar saya jemput."

Berhenti untuk bersikap bodoh lagi, Via. Berhenti untuk terpesona pada pria itu lagi. Fisiknya jelas tidak menjamin bahagiaku sekarang.

"Althaf." Aku berdeham lagi. Melirik sekitar. Terlalu ramai. Aku hanya akan malu jika menangis sekarang. Sebelah tanganku yang bebas meremas perut dengan erat.

"Ya?"

"Cara bikin surat gugatan cerai gimana?"

"Via?"

"Aku serius, Althaf. Aku nggak ada alasan bertahan sama kamu."

"Saya tidak bisa menceraikan kamu sekarang, Via—"

"Aku datang bulan." Aku tertawa miris. "Harusnya kamu perhitungkan itu sebelum bohong soal kehamilan aku."

"Via, please. Kamu di mana? Saya jemput. Kita bicara secara langsung."

"Kamu cinta sama aku?"

"Sangat."

"Lepasin aku. Kamu cuman bikin aku menderita, Althaf. Plis, lepasin aku."

***

[UPDATE SETIAP HARI SABTU & AHAD]



Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini secara lengkap di :


KBM App : Es_Pucil

Dreame : Es Pucil


***


Mari kenalan :


Instagram : es.pucil

Facebook : Es Pucil III 


🔺🔺🔺


Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro