Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 14

Karena terbiasa, aku mudah terbangun saat tengah malam. Apalagi, ada gerakan-gerakan asing pada tempat yang kutiduri. Berbalik, dan menemukan punggung tegap dibalut kaus biru tengah menggeliat.

"Udah jam 12, ya?" Masih separuh kesadaran, aku berucap.

Bergeser sedikit untuk menuruni tempat tidur ini. Namun, aku merasa aneh. Ada yang salah ....

"Kamu mau ke mana?"

Apa dia amnesia? Ini jam 12. "Mau ke kamar."

"Kamar mana? Ini kamar kamu."

Aku mengerjap beberapa kali, mengumpulkan semua kesadaran.

Ranjang sempit. Lemari kayu kecil. Dan ruangan 4 meter persegi.

"Sekarang gantian, saya yang pindah kamar sekarang." Tuan Althaf mengucek matanya sebentar. Lalu menguap sekali. "Susah juga ternyata, ya? Pas lagi enak-enaknya tidur, harus pindah. Malas banget."

"Harusnya kamu nggak perlu ke sini."

"Saya merasa aneh kalau tidak peluk kamu."

"Jadi, beberapa tahun lalu sebelum aku datang itu apa?"

"Kamu yang buat saya terbiasa." Dia melirik arloji sebentar. Meski tidak melihat jam, aku tahu bahwa sekarang masih belum jam 12 tepat. Tuan Althaf bermalas-malasan tidur di ranjang. Tidak ingin sendiri, dia ikut menarik bahuku agar berbaring di lengannya. "Saya baru malam ini, merasakan posisi kamu. Tapi, kamu tenang saja. Saya pastikan, segera mungkin, kamu tidak akan merasakan ini lagi."

"Kapan?"

"Segera."

Aku diam sebentar. "Segeranya kapan?"

Giliran Tuan Althaf yang diam beberapa saat. "Saya tidak tahu."

Aku mendengkus ringan, supaya tidak dia sadari.

"Tapi, saya punya tips buat kamu, supaya bisa dapat restu Mama."

Cukup menarik. "Apa?"

***

Pertama, harus menjalin hubungan baik dengan Nyonya Erisha. Meminimalkan protesnya padaku. Sejauh ini, aku pikir sudah melakukannya. Kecuali, ya saat Tuan Althaf membawaku kabur ketika hari minggu, dan kala aku menuangkan sup di atas meja. Sepertinya demikian.

Namun, Tuan Althaf mengharapkan aku lebih dekat lagi dengan Nyonya Erisha.

Maka, aku mencoba pagi ini. Semua keluarga Pak Ahyar sedang sarapan pagi. Pun kami para pelayan, tetapi aku mempercepat acara makan. Teh hijau kesukaan Nyonya Erisha aku seduh dalam cangkir favoritnya. Seperti biasa sebenarnya, tetapi kali ini aku membuat sebelum mendapat perintah.

Tepat setelah air panas dituangkan dalam mug, acara sarapan keluarga besar tersebut berangsur selesai.

Aku membawakan teh ke ruang keluarga. Nyonya Erisha belum ada di sini, tetapi aku langsung saja meletakkan cangkir di atas meja. Tidak sampai sepuluh menit, pikirku, Nyonya Erisha akan ke sini.

Benar saja. Saat aku kembali ke ruang tengah, Nyonya Erisha pun berniat ke ruang keluarga setelah memastikan semua anggota keluarganya berangkat.

"Nyonya, tehnya sudah saya siapkan di ruang keluarga," ucapku saat berpapasan dengan Nyonya Erisha. Senyuman semanis mungkin-meski kepala menunduk, aku berikan padanya.

"Hm. Terima kasih."

Lalu dia berlalu.

Sesederhana ini. Aku merasa ... nyaman? Karena kata-kata Tuan Althaf semalam.

"Saat melayani Mama, jangan tempatkan diri kamu sebagai pembantu. Karena kamu hanya akan melakukan kewajiban kamu sebagai pelayan. Tempatkan diri kamu sebagai menantu, karena kamu pasti akan memberikan pelayanan istimewa pada mertuamu. Lebih dari sekadar pelayanan seorang pembantu."

Dan dadaku menghangat. Aku melayani mertuaku, bukan sekadar majikan.

***

"Via, bisa minta tolong?"

Setelah Nona Chayra tidur siang, aku turun ke dapur untuk minum, kemudian dipanggil oleh Mbak Rista.

"Gini, aku kan mau ke supermarket. Tapi Nyonya Erisha minta pijit. Kamu bisa ke supermarket buat belanja bahan makanan?"

Kesempatan untuk mendekati ibu mertua terbuka lagi, dan tentunya aku tidak akan membuangnya begitu saja.

"Begini, Mbak. Kan Mbak lebih mengerti mengenai dapur, jadi gimana kalau Mbak aja yang belanja? Nyonya Erisha biar saya yang urus keperluannya," usulku.

"Memang kamu bisa tahan sama mulut pedasnya? Mbak aja ngeri deket sama beliau." Mbak Rista mengakhiri kalimatnya dengan ekspresi takut.

"Bisa tahan kok, Mbak."

"Yaudah. Kamu pijitin Nyonya ya? Lotion-nya ada di laci meja rias Nyonya Erisha, yang paling atas. Warna hijau. Kemasan tube. Kamu bisa pijit kayak di spa gitu?"

Aku diam sebentar. "Bisa, Mbak."

"Yaudah. Kamu tebalin hati ya kalau dengerin beliau ngomel. Mbak belanja dulu."

"Iya, Mbak."

Aku ke kamar Nyonya Erisha. Mengucap salam di depan pintu, lalu masuk setelah dipersilakan.

"Ada apa, Via?" tanyanya.

"Anu ...." Kok gugup, sih? "Mbak Rista belanja di supermarket. Saya dimintai tolong buat pijitin Nyonya," ucapku.

"Memang kamu bisa pijit saya? Ini bukan sembarangan. Saya nggak mau, kamu buat salah-salat di badan saya."

"InsyaaAllah bisa, Nyonya."

Dia diam sebentar, lalu membiarkanku melayaninya.

Lotion yang dimaksud Mbak Rista aku ambil. Syukur, karena benda ini satu-satunya dalam kemasan berwarna hijau. Nyonya Erisha sudah tengkurap. Untungnya, aku sering belajar ini dari Aini, karena dia salah satu pegawai di salon.

Mulai dari kakinya. Aku memijit hati-hati. Nyonya Erisha terpejam, menandakan bahwa dia nyaman.

"Nyonya ...." Aku memanggil pelan takut mengganggunya. Dia tampak tidak terpengaruh, jadi aku melanjutkan, "Kalau butuh sesuatu, panggil saya saja. Pekerjaan saya kan cuman urus Nona Chayra. Tidak masalah jika mengurus Nyonya juga. Untuk gaji, saya sama sekali tidak keberatan jika tidak ditambah sama sekali."

"Rista makan gaji buta nanti." Nyonya Erisha menjawab. "Lagian, kamu kenapa tiba-tiba hari ini baik sekali sama saya? Kamu perlu sesuatu? Cuti mungkin?"

"Enggak kok. Karena Nyonya itu ..." mertua "saya anggap seperti ibu saya."

"Kenapa?"

"Kalau ibu saya masih hidup, beliau seusia Nyonya. Jadi pas saya lihat Nyonya, saya merasa melihat ibu saya, dan itu membuat saya ingin berbakti pada Nyonya."

"Manis sekali." Bibirnya menyeringai aneh. "Tapi saya bukan ibu kamu."

Seandainya dia berbicara dengan nada biasa saja, mungkin aku tidak masalah. Tapi intonasi bicaranya begitu angkuh. Aku merasa tidak nyaman.

"Lagipula, saya tidak sembarang merekrut seseorang untuk menjadi pelayan pribadi saya. Kamu harus bisa seperti Rista yang serba bisa kamu mau jadi pelayan pribadi saya."

Itu mudah, pikirku.

"Bagaimana pendapat kamu tentang Prada, Chanel, Gucci, Hermes, dan Louis Vuitton?"

Aku melongo mendengar deretan istilah asing yang disebutkan Nyonya Erisha barusan.

"Siapa itu, Nyonya?"

Nyonya Erisha menyeringai lagi. "Kenali mereka kalau kamu mau saya jadikan pelayan pribadi."

Kenali mereka? Aku bahkan tidak tahu makhluk apa mereka itu! Namanya asing di telingaku.

"Atau, kamu punya peluang lain untuk menjadi pelayan pribadi saya, plus bonus tambahan gaji."

Napasku berembus lega mengetahui ada jalan lain untuk mengambil hati Nyonya Erisha selain mengenali istilah-istilah tadi.

"Apa itu, Nyonya?"

"Karena kamu punya tempat sendiri bagi Althaf, bagaimana kalau kamu bantu majikan kamu itu untuk dekat dengan jodohnya? Dengan Selvy. Bantu hubungan mereka semakin kuat hingga pernikahan. Bagaimana?"

Tanpa sadar, ludah aku teguk kasar.

***

[UPDATE SETIAP HARI SABTU & AHAD]

Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini secara lengkap di :

KBM App : Es_Pucil

Dreame : Es Pucil

***

Mari kenalan :

Instagram : es.pucil

Facebook : Es Pucil III

🔺🔺🔺

Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro