Chapter 13
"Tidak bisa, Via." Tuan Althaf mencegahku melepaskan cincin. Dia menatapku dalam, dan untuk ke sekian kalinya, aku buta menjawab rahasia di balik matanya itu. "Kita tidak bisa bercerai sekarang. Kamu sedang hamil."
"B-bagaimana mungkin?" Aku tergagap. "Aku selalu minum setiap malam, kecuali ... kemarin."
"Kemungkinan berhasilnya cuman 99%, kamu masih punya peluang 1%."
"Tapi ...." Kepalaku bertambah sakit, membayangkan harus tetap tinggal di rumah Tuan Althaf sampai bayi ini lahir. "Bagaimana kalau keluarga kamu tahu?"
Tuan Althaf diam. Untuk beberapa detik, kami saling bungkam. Tuan Althaf berbalik cepat saat menyadari kenop pintu terdengar. Dia cepat memakai maskernya, dan menghampiri Mbak Rista yang baru saja masuk.
Mereka keluar meninggalkanku sendiri, karena Mbak Rista bertanya mengenai keadaanku.
***
Mangkuk berisi sup aku letakkan di tengah-tengah meja makan. Nona Chayra datang paling cepat untuk makan malam. Disusul Tuan Althaf bersama Nona Selvy, dan keluarganya yang lain.
Melihat pria itu, aku teringat lagi mengenai keadaanku sekarang ini. Sangat menyedihkan. Saat sedang hamil anaknya, dia malah sibuk merencanakan pernikahannya dengan wanita lain.
Omong-omong masalah hamil, aku tidak sepenuhnya percaya pada Tuan Althaf. Selama setengah hari di rumah sakit, aku tidak pernah bertemu dokter asli. Bertanya pada Mbak Rista pun aku segan.
Bukankah hamil banyak tanda-tandanya? Pingsan hanya salah satu, dan tidak sepenuhnya adalah tanda kehamilan.
"Tante Via, Chayra mau sup." Nona Chayra memekik, mengalihkan lamunanku sebentar.
Mangkuk yang baru kubawa tadi, diangkat, untuk diberikan pada Nona Chayra.
Aku semakin gelisah karena sampai malam tiba, belum ada tanda seperti mual. Itu tanda paling umum bagi wanita hamil. Kenapa belum aku rasakan?
Meski kecewa tidak bisa cerai dari Tuan Althaf, tetapi aku merasa menemukan sebuah harapan bahwa secepatnya dia bisa mengakuiku sebagai istri.
"Tante Via!"
Lagi, aku tersentak karena teriakan Nona Chayra yang berkali-kali lipat lebih nyaring dari sebelumnya.
"Astaga." Mangkok dan sendok segera aku letakkan di atas meja. Terlalu lama melamun, aku salah menuangkan sup ke meja, bukan di piring Nona Chayra. Dalam keadaan panik, aku memindahkan Nona Chayra agar tidak basah. Lap dari dapur aku ambil untuk membersihkan semua kekacauan ini.
"Aduh, Via! Apa yang kamu lakukan?"
Astaga, Nyonya Erisha sudah masuk.
"M-maaf, Nyonya. Saya tidak sengaja." Kepala aku tundukkan begitu dalam saat dia berdiri di depanku beberapa saat.
"Dasar tidak becus."
Aku menengadah perlahan. Nyonya Erisha sudah keluar dari ruang makan. Setelah semuanya bersih, aku menegakkan tubuh lagi. Bersiap kembali ke dapur. Namun sebelum memutar badan, aku berbagi pandangan dengan Tuan Althaf sebentar. Dia sama sekali tidak melirikku walau hanya sebentar.
Seharusnya aku tidak berharap dia akan membantuku yang dihina ibunya, karena dia terlalu takut melawan Nyonya Erisha.
***
Tiga sendok nasi, dan sedikit sayur begitu lama aku habiskan. Kegiatan makan malam di dapur bersama pembantu lainnya ini, aku lebih banyak habiskan dengan melamun.
"Via." Mbak Rista memanggil lembut, tetapi berhasil membuatku tersentak.
"Ah, ya, Mbak?" Aku gugup ditatap aneh oleh orang-orang di sini. Acara makan aku lanjutkan dengan tergesa-gesa.
"Kamu masih sakit, Via? Kan Mbak udah bilang tadi, nggak usah kerja dulu. Biar Mbak yang gantiin kamu urus Nona Chayra."
"Nggak papa, Mbak. Udah mendingan." Aku memaksakan tersenyum lebar. Lalu memakan cepat semua sisa makan agar bisa ke kamar Nona Chayra. Setidaknya gadis kecil itu tidak akan menanyai keadaanku.
Mulut masih penuh oleh nasi. Aku sudah berdiri untuk membawa piring bersih ke wastafel. Sambil mencucinya, aku menghabiskan sisa makanan di mulut. Tepat setelah piring bersih, aku juga sudah menelan sisa makanan tadi. Minum, lalu pamit pada semua orang.
Nona Chayra sedang sibuk menyelesaikan PR-nya saat aku tiba. Masih begitu banyak. Aku membantunya menyelesaikan semua. Semuanya selesai tepat jam sembilan malam. Nona Chayra merenggangkan tubuhnya sebentar.
"Belum ngantuk, Tante." Dengan wajah memelas, dia berujar.
"Besok Nona Chayra kan sekolah." Aku ikut memelas dengan wajah khas anak-anak.
"Belum mau tidur."
"Ya udah, sini. Tante bacain cerita aja, ya? Nona Chayra kalau belum ngantuk, nggak papa. Dengerin Tante aja, ya?"
Dia mengangguk lesu.
"Kenapa cemberut gitu, sih? Padahal, Tante mau cerita yang luar biasa!" Nada suara aku buat seperti antusias. "Manusia yang ditelan ikan besar."
"Ikan paus?"
"Bukan. Lebih besar lagi." Kedua tangan aku angkat keatas, lalu turun dalam keadaan direntangkan. Menunjukkan betapa besarnya yang kumaksud.
"Wow." Dia begitu antusias dan melompat ke atas ranjang. Lalu berbaring di lenganku. "Judul dongengnya apa?"
"Bukan dongeng, tapi ini cerita asli."
"Wow. Chayra nggak sabar dengernya. Dia masih hidup, Tante? Atau sudah mati? Pangeran mana yang nolongin? Terus putrinya cantik, nggak?"
Aku tersenyum mengetahui bahwa dia ternyata terlalu banyak mendengar dongeng tentang Putri dan pangeran tampan.
"Bukan putri, tapi ini seorang Nabi. Yang menyelamatkannya adalah Allah. Nona Chayra belum pernah dengar?"
Dia menggeleng cepat.
"Namanya Nabi Yunus [alayhi salam]-"
"Kayak Nabi Muhammad [shallallahu alayhi wa sallam]?"
"Iya. Nabi Yunus [alayhi salam] mengajak kaum Niwana untuk menyembah Allah. Kaum Niwana tidak mau meninggalkan ajaran nenek moyang mereka karena beranggapan bahwa Nabi Yunus [alayhi salam] itu bukanlah dari kaum mereka. Karena merasa ajakan Nabi Yunus [alayhi salam] tidak membuahkan hasil, Nabi Yunus [alayhi salam] merasa putus asa. Dia berniat meninggalkan kaum Niwana.
Suatu hari Nabi Yunus [alayhi salam], bersiap-siap hendak pergi meninggalkan kaum Ninawa, dia mengingatkan kaum Ninawa untuk segera bertobat karena akan datang azab jika mereka tidak segera bertobat. 'Wahai kaum Ninawa, sesungguhnya aku peringatkan kepada kalian bahwa jika kalian masih tetap menyembah apa yang kalian sembah saat ini. Allah akan menurunkan siksaan yang sangat pedih atas diri kalian. Oleh karena itu, cepatlah kalian bertobat. Semoga Allah mengampuni kalian semua.'
Nabi Yunus [alayhi salam] benar-benar pergi. Lalu, kaum Niwana menjadi gelisah .... Langit berubah gelap ...." Aku melebarkan mata, membuat suara bulat agar terdengar menakutkan. "Wajah kaum Niwana berubah pucat pasi. Angin bertiup kencang ...." Rambut Nona Chayra aku tiup, lalu dia terkekeh pelan sebentar. Wajahnya kembali serius saat aku melanjutkan cerita. "Suara gemuruh terdengar. Brrrmm ... brrrmm .... Mereka baru menyadari, bahwa ucapan Nabi Yunus [alayhi salam] benar adanya. Mereka menyesal, berlari cepat, mencari Nabi Yunus [alayhi salam] sambil meminta pengampunan Allah [subhana wa ta'ala]."
"Nabi Yunus [alayhi salam] pergi ke mana? Mereka bisa ketemu Nabi Yunus [alayhi salam] di mana?"
"Nabi Yunus [alayhi salam] pergi mengembara tanpa tujuan. Nabi Yunus [alayhi salam] juga merasa menyesal dan berdosa. Saat Nabi Yunus [alayhi salam] sampai di pantai, ia melihat sebuah kapal yang akan menyeberangi laut. Beliau menumpang kapal tersebut. Tapi, saat sedang berlayar, datang badai yang sangat besar. Kapal berguncang ...." Nona Chayra aku guncang sedikit tubuhnya agar bisa merasakan sensasinya.
"Chayra tahu kelanjutannya, Tante!" Dia berseru semangat. "Kapalnya menabrak es, terus tenggelam. Mereka semua pun mati. Tamat ...."
Hidung mungilnya aku tarik karena gemas. "Ini Nabi Yunus [alayhi salam], bukan Titanic."
Nona Chayra tersenyum lebar.
"Penumpang kapal pastinya tidak mau tenggelam. Jadi, mereka sepakat untuk membuang salah satu dari mereka ke laut untuk mengurangi beban kapal."
"Ish, kejam banget sih. Terus kalau ada hiu terus makan orangnya? Terus mati dong. Terus selesai kan ya?"
"Dengerin Tante, Nona. Jadi mereka mengundi, seperti saat arisan. Undian pertama jatuh kepada Nabi Yunus [alayhi salam]. Kedua, tetap Nabi Yunus [alayhi salam]. Sampai yang ketiga kalinya, tetap Nabi Yunus [alayhi salam]."
"Loh, kok gitu sih? Pasti semua nama arisannya itu Nabi Yunus [alayhi salam], kan?"
"Bukan. Itu semua kehendaknya Allah. Nabi Yunus [alayhi salam] sadar tentang itu, dan langsung menceburkan diri ke laut. Lalu ...." Aku melebarkan mata dan memandang Nona Chayra dalam-dalam. "Ikan besar datang dan ... hap! Nabi Yunus [alayhi salam] ditelan hidup-hidup."
"Ihhh .... Terus Nabi Yunus [alayhi salam] mati di dalam perut ikan?"
"Nggak. Nabi Yunus [alayhi salam] memohon ampunan Allah selama 40 hari di dalam perut ikan. Beliau berdoa, 'laa ilaaha Illa anta, subhanakan inni kuntu minadzzalimin.' artinya Tiada Tuhan melainkan Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah orang yang telah berbuat zalim."
"Setelah 40 hari, dilepasin?"
"Iya. Allah melepaskan Nabi Yunus [alayhi salam] dari perut ikan. Allah juga menumbuhkan buah labu agar bisa dimakan Nabi Yunus [alayhi salam] yang sudah kurus lemah. Setelah Nabi Yunus [alayhi salam] pulih, ia diperintahkan untuk kembali ke kaum Niwana. Nabi Yunus [alayhi salam] terkejut melihat kaum Niwana sudah beriman. Dan beliau pun melanjutkan dakwahnya, mengajari kaum Niwana mengenai ketauhidan serta menyempurnakan iman mereka."
"Wow! Menakjubkan. Udah selesai, Tante?"
"Iya. Jadi, apa pelajaran yang bisa Nona Chayra ambil?"
"Pelajaran yang bisa diambil adalah," Nona Chayra menarik napasnya panjang-panjang, sambil tersenyum bangga, "Kalau kita dimakan ikan, tinggal baca laailaha Illallah, Muhammad-eh, apa Tante?"
"Laa ilaaha Illa anta, subhanaka inni kuntu minadzzalimin."
"Nah itu. Nanti ikan bakalan keluarin kita. Bener kan, Tante?"
"Bener banget salahnya."
"Ish."
"Pelajarannya adalah: pertama, kalau ada tugas, atau PR, kerjakan, jangan ditinggal; kedua, perbanyak sabar kalau menghadapi orang-orang yang keras kepala, atau teman yang nakal; ketiga, kalau ada masalah, nggak harus ditelan ikan besar, apapun itu, selalu minta pertolongan Allah. Nanti Allah bantu."
"Besok Chayra ujian, Allah bisa bantu?"
"Bisa banget. Tapi Nona Chayra ya harus usaha juga."
"Chayra tadi udah belajar, besok Allah bantu Chayra, kan?"
"Iya." Aku termenung sendiri dengan kalimatku barusan. Kenapa sampai melupakan hal tersebut?
Laa ilaaha Illa anta, subhanaka, inni kuntu minadzzalimin.
Aku mengucap kalimat itu berulang kali sembari memejamkan mata, berharap Allah bisa memberikan bantuannya terhadap masalahku saat ini. Tanganku juga tidak bisa berhenti menyisir lembut rambut Nona Chayra. Dengkuran kecilnya terdengar. Dia sudah terlelap.
Hati-hati, aku bangun. Lalu memperbaiki selimutnya Nona Chayra. Buku-bukunya yang berantakan aku rapikan sebentar, lalu keluar kamar. Berpindah ke ruangan sebelahnya.
Namun setelah pintu terbuka, hanya ada ruangan kosong. Pintu aku tutup hati-hati, mendekati kamar mandi untuk mengecek keberadaan Tuan Althaf. Kosong juga. Tidak biasanya dia tidak di kamar setelah makan malam.
Atau mungkin dia sibuk mengobrol dengan Nona Selvy?
Aku keluar dari kamar Tuan Althaf. Turun ke lantai dasar. Benar saja, keluarga tersebut tengah berkumpul di ruang tengah. Aku berusaha mencuri dengar mengenai pembicaraan mereka.
"Tante nggak setuju, Selvy. Rencana pernikahan kalian sudah 80%."
Masalah pernikahan lagi! Aku semakin muak.
"Cuman ditunda sampai akhir bulan, Tante. Soalnya, Mom sama Dad bakalan pulang ke Indo akhir bulan. Aku juga nggak enak kalau nikah tanpa orangtua. Tante ngerti kan perasaan aku?" sahut Selvy.
Aku mendadak tertarik dengan topik pembicaraan mereka. Langkah kaki aku pelankan. Sesekali melirik pada keluarga tersebut.
"Tapi, bakalan lama lagi dong." Nyonya Erisha menoleh pada Tuan Althaf. "Althaf, kamu bisa kan usaha buat jemput atau apalah, supaya orangtuanya Selvy bisa datang cepat?"
Tuan Althaf diam, dan aku tertarik menunggu jawabannya. Mungkin ini salah satu langkah keduanya untuk secara pelan-pelan membatalkan pernikahan mereka.
Semoga saja.
"Iya, Selvy. Saya bisa usahakan untuk jemput orang tua kamu. Pernikahan kita tidak perlu ditunda."
Apa-apaan ini? Kenapa Tuan Althaf malah ... aku tidak mengerti cara pria itu berpikir.
Karena kesal, aku segera berlalu dari ruang tengah. Melewati dapur menuju kamar pembantu. Pintu aku buka dengan kasar. Jilbab ditarik paksa, lalu membanting tubuh ke atas tempat tidur.
Sesak dalam dada. Sampai, berulang kali aku menarik napas panjang agar beban berat yang menghimpit dada bisa lepas.
Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzzalimin
Doa itu terus aku rapalkan sambil memejamkan mata. Sampai secara perlahan kesadaran mulai hilang. Hanya ada kegelapan yang terlihat. Lalu beberapa saat kemudian, aku merasakan sesuatu bergerak di atas perutku. Aku langsung panik, dan membuka mata.
"Sst. Ini saya." Bisikan itu langsung menenangkanku.
Menoleh ke kanan, terlihat Tuan Althaf yang menopang kepalanya dengan sebelah tangan, dan tangannya yang lain berada di perutku.
"Kenapa di sini? Kamu bisa tunggu saya sebentar di kamar."
"Pernikahan kamu ditunda?" tanyaku, berbanding terbalik dengan topik soalnya barusan.
"Huum." Dia menyusupkan kepalanya ke leherku. Hobinya, yang aku sukai.
"Kamu kayak nggak rela, pernikahan kalian ditunda."
"Iya. Sangat."
"Kamu mau banget nikah sama Nona Selvy?"
"Bukan begitu. Hanya saja, semakin lama pernikahannya tertunda, semakin lama juga saya ungkap pernikahan kita."
"Bisa jelaskan, rencana kamu gimana? Aku nggak tau sampai kapan bisa bertahan, kalau kamunya kelihatan nggak ada usaha sama sekali."
"Kamu hanya perlu sabar, Via." Dia menggesek leherku lagi dengan hidungnya.
"Geli ish!" Aku menghindar kesal. Kepala aku jauhkan darinya.
"Bagus juga, ya, kasur sempit seperti ini. Kita bisa rapat terus dari tidur sampai bangun lagi."
"Kalau jatuh, baru tau rasa!" Aku mendengkus.
Namun diam-diam, aku menyetujui ucapannya barusan.
***
[UPDATE SETIAP HARI SABTU & AHAD]
Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini secara lengkap di :
KBM App : Es_Pucil
Dreame : Es Pucil
***
Mari kenalan :
Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III
🔺🔺🔺
Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro