Chapter 12
Tepat saat matahari menampakkan diri, kami sudah sampai di rumah utama Tuan Althaf. Masih sangat sepi. Hanya penjaga yang lalu lalang di halaman.
"Kamu ikut saya ke kamarnya Chayra." Tuan Althaf memberi titah, dan aku yang berada di belakangnya hanya mengangguk pelan.
Tuan Althaf memberikan Nona Chayra yang masih tertidur pulas padaku. Kepalanya aku usap saat Nona Chayra menggeliat pelan dalam dekapanku.
"Siapkan dia. Dia harus sekolah hari ini," ucap Tuan Althaf.
"Baik, Tuan." Aku pamit lebih dahulu masuk ke kamar Nona Chayra. Di ranjangnya, tubuhnya aku baringkan. Masih terlalu pagi, pikirku, jadi kubiarkan saja dia tidur sebentar. Sambil, semua peralatan sekolahnya aku rapikan.
"Tante?"
Saat sedang sibuk mengecek jadwal pelajaran Nona Chayra, suara seraknya tiba-tiba terdengar. Aku berbalik, tersenyum melihat wajah kantuknya tampak begitu lucu.
Ya, apa pun ekspresinya, dia selalu menggemaskan.
"Nona Chayra mandi, ya? Terus pakai seragam. Sudah Tante siapkan. Tante bikin sarapan. Nona Chayra mau makan apa?"
"Anything." Dia menjawab lemas, dan sama dengan suaranya, dia pun berjalan lunglai ke kamar mandi. Matanya bahkan setengah terbuka.
Ritsleting tasnya aku tutup setelah semua buku keperluannya hari ini sudah disiapkan. Waktunya untuk memasak sarapan.
Mbak Rista dan Mbak Nani saling membantu di dapur saat aku sampai. Aku berinisiatif membuka kulkas, mengecek bahan-bahan. Sandwich. Aku tersenyum memikirkan ide makanan tersebut, karena mudah untuk waktu yang mepet ini.
Telur aku keluarkan. Disusul daun selada, tomat, timun dan keju. Kecuali keju dan telur, semua bahan tadi aku bawa ke wastafel, dicuci sambil diiris. Tiga lembar roti aku panggang.
"Via, kamu dari mana aja kemarin? Kok nggak pulang sama Tuan Althaf?" Mbak Nani yang super kepo bertanya. Daging yang dipotongnya dipindahkan, bersama talenan, dan pisau, agar lebih dekat padaku. "Kamu nggak ada apa-apa kan sama Tuan Althaf?"
"Nona Chayra mau hadiah, karena menang lomba," ucapku sesuai dengan yang diajarkan Tuan Althaf saat kami kembali. Tidak sepenuhnya bohong, karena memang itu adalah salah satu alasan Tuan Althaf membawa kabur kami bertiga. "Jadi deh, dibawa jalan-jalan. Kan saya pengasuhnya, otomatis saya harus ikut Nona Chayra ke mana-mana."
"Mbak Nani mending cari bahan gosip lain deh. Tuan Althaf nggak ada cela buat digosipin buruk-buruk." Mbak Rista yang entah menggoreng apa, berceletuk.
"Tapi kan, Ris, nggak pernah loh, Tuan Althaf bawa pembantu. Nona Selvy aja jarang sama Tuan Althaf. Ini udah dua kali loh. Jangan lupa pas olahraga hari itu. Mereka juga pulangnya telat," sahut Mbak Nani. Jiwa keponya semakin akut saja.
"Kan Via itu pengasuh Nona Chayra, jadi ke manapun Nona Chayra pergi, Via harus ikut jagain." Untunglah, Mbak Rista yang membelaku. "Tuan Althaf kan bukan Tuan Alfan yang suka jijik sama pembantu. Bukannya aneh, kan ini pertama kalinya Nona Chayra punya pengasuh. Kamunya aja yang nggak ngerti tugas pengasuh."
"Masa sih?" Mbak Nani mengeraskan suara peraduan antara pisaunya dan talenan. Wajahnya cemberut. Aku menggeleng samar melihat ekspresinya tersebut, lalu fokus pada sayuran di tangan.
"Bilang aja Mbak Nani pengen kan, dibawa Tuan Althaf keluar juga?" Mbak Rista terkekeh pelan. "Inget umur, Mbak."
"Aku kan cuman lebih dua tahun dari Tuan Althaf. Dia duda, wajar kan kalau berharap?" ucap Mbak Nani.
"Sadar, Mbak, Tuan Althaf sudah tunangan. Bentar lagi nikah."
"Iya, Rista. Iya."
Setelah menyajikan roti di piring, aku mengisinya dengan sayuran lalu membawanya ke meja makan. Kemudian kembali ke kamar Nona Chayra untuk membantunya bersiap.
"Tante, kayak Elsa, kayak Elsa!" Nona Chayra yang sibuk mengacak-acak rambutnya, tiba-tiba berteriak saat aku masuk.
"Okey." Aku menghampiri, mengambil alih rambutnya untuk dikepang. Setelah selesai, dia berlari keluar kamar. Aku mengekor membawakan tas sekolahnya.
Semua keluarga besar Tuan Althaf sudah berkumpul di meja makan, sementara sarapan belum semuanya disajikan. Aku membantu Mbak Rista dan Mbak Nani yang sepertinya keteteran.
"Inget ya, Althaf. Mama nggak suka kalau kamu ambil keputusan sepihak seperti itu lagi."
Saat aku masuk, Nyonya Erisha yang mengintimidasi Tuan Althaf menjadi pemandangan pertama yang terlihat. Sembari menunduk dalam, aku mempertajam Indra pendengaran. Piring berisi lauk aku letakkan hati-hati. Ingin sekali menyimak inti obrolan mereka.
"Ya." Hanya itu yang dijawab Tuan Althaf. Saat aku meliriknya samar-samar, dia tampak malas dan memilih meminum kopi buatan Mbak Rista.
"Sebentar sore, pulang cepat. Kamu sama Selvy harus fitting baju. Sekalian, nanti kalian sama-sama rencanakan konsep pernikahan kalian," kata Nyonya Erisha.
"Biar Selvy sendiri yang urus," jawab Tuan Althaf.
"Kamu kenapa seperti tidak semangat dengan pernikahan kalian? Apa kurangnya Selvy, Althaf?"
"Tidak ada." Tuan Althaf menjawab dingin. Menyesap lagi kopinya tanpa semangat. Sementara aku melangkah semakin pelan saat akan meninggalkan ruang makan, berharap ada kelanjutan dari jawaban singkat Tuan Althaf barusan.
Tidak ada.
Ah salah, dia melanjutkan ucapannya tepat setelah aku melewati ambang ruang makan.
"Biar Selvy urus masalah pernikahan, nanti saya yang daftar ke KUA."
Jantungku seperti disentak kuat oleh jawabannya.
Dia tidak berniat menolak pernikahannya dengan Nona Selvy.
***
Selalu seperti ini. Aku seperti berada di siklus pemikiran yang sama. Pada saat statusku menjadi pengasuh, Tuan Althaf bersikap seolah dia sama sekali tidak mengenaliku. Dia tidak mewujudkan janjinya menolak pernikahannya dengan Nona Selvy.
Lalu ketika malam tiba, saat statusku berganti sebagai seorang istri, dia seperti pria yang sedang kasmaran. Meruntuhkan semua kekecewaan yang seharian penuh terbentuk dalam diriku karena sikapnya.
Namun kali ini, aku tidak tahu harus bagaimana. Karena untuk ke sekian kali, Tuan Althaf seolah tidak memiliki niat merealisasikan janjinya.
Dia tidak berniat menolak Nona Selvy, dan mengakuiku sebagai istri.
Aku mulai muak dengan sikap Tuan Althaf. Baru semalam dia membuatku terbang dengan kalimat manisnya, dan pagi ini dia seperti mematahkan semua sayap bahagiaku.
Apa aku menyerah saja? Pernikahan mereka sudah di depan mata. Tuan Althaf tidak bisa dipercaya kata-katanya.
Aku di sini, hanya akan kecewa-bahagia-sakit-diberi harapan-kecewa lagi. Hanya seperti itu terus.
Baiklah. Napas aku embuskan kasar
Aku keluar kamar. Pukul 10 siang, dan rumah terasa sepi. Aku memantapkan kaki menuju kamar Nyonya Erisha, ingin mengundurkan diri. Terserah jika Tuan Althaf nantinya akan menceraikanku karena marah. Aku memang ingin berpisah dengannya.
Sialnya saat keluar dari lift, aku malah berpapasan dengan Tuan Alfan yang kebetulan lewat. Kepalaku mendadak pusing saat dia semakin memperkecil jarak antara kami.
"Kamu nggak datang, Via." Dia berujar pelan, tepat di depanku. Matanya memang terlihat sayu, tetapi dalam keadaan seperti ini, aku seperti melihat Tuan Althaf yang marah besar.
"Maaf, Tuan. Saya ... sibuk urus Nona Chayra."
"Pergi dari pagi sama Althaf dan pulangnya pagi juga. Kamu tahu, Via?" Tuan Alfan maju selangkah. Aku ikut mundur selangkah. "Itu aneh sekali."
"A-apanya, Tuan? Saya kan pengasuhnya Nona Chayra."
"Apa ada pengasuh yang bersama tuannya selama hampir 24 jam, tanpa orang lain?"
Kepalaku semakin pening mencari jawaban. Tatapannya membuat otakku terasa buntu.
"Kamu bisa percaya aku, Via. Katakan yang sebenarnya. Kamu punya hubungan dengan Althaf, atau tidak?"
Aku bungkam, karena dua pilihan itu sulit.
"Saya sudah menikah, Tuan," ucapku lirih. Menunduk adalah hal tepat untuk menghindari tatapannya.
"Via ...." Dia memanjangkan penyebutan namaku, dan itu sangat mengerikan.
Aku berbalik cepat. Semuanya terlihat gelap. Kepalaku semakin berat saja. Gaya gravitasi terasa berkali-kali lipat lebih kuat, menarikku ke bawah, dan aku sulit menjaga tubuh untuk tetap tegak sehingga langsung ambruk di ubin dingin.
"Via, kamu kenapa?"
***
Pertama kali membuka mata, sosok berbaju putih menjadi objek pertama yang kulihat. Mengerjap sekali, dua kali, lalu bayangan buram itu terlihat jelas. Seorang pria berpakaian khas dokter, dengan masker menutup wajahnya.
"Saya kenapa, Dok?"
Dokter itu mengabaikanku, dan melirik ke arah pintu sebentar. Sepi. Dia beralih padaku lagi.
"Kamu tidak apa-apa, Via?"
Itu suara Tuan Althaf atau Tuan Alfan? Tapi dari bahasa bakunya, sepertinya itu Tuan Althaf. Otakku belum bisa diajak berpikir keras.
Suara benda ditarik terdengar. Dokter ini duduk di samping ranjang pasien yang aku tempati. Semua objek penglihatanku masih berputar.
Pria itu menurunkan maskernya. Barulah aku yakin bahwa dia adalah Tuan Althaf. Dia mengusap kepalaku yang tertutup jilbab, lalu mengecupnya pelan.
"Kamu buat saya khawatir, Via." Dia tersenyum tipis.
Jangan terpengaruh dengan sikap perhatian buatannya itu, Via! Aku berusaha menebalkan pendirian untuk menolak pria ini lagi.
"Aku mau cerai, Althaf." Aku berujar, dengan nada bergetar. Selalu saja lemah di hadapan Tuan Althaf. "Setiap malam kamu selalu yakinin aku, kalau kamu bakalan bilang ke keluarga kamu yang sebenarnya, tapi ... kamu malah selesaiin persiapan pernikahan kamu sama Nona Selvy. Aku nggak bisa percaya lagi sama kamu." Jemari tangan aku raba, melepaskan cincin yang sebenarnya agak sempit di jari manis. "Aku mau cerai."
"Tidak bisa, Via." Tuan Althaf mencegahku melepaskan cincin. Dia menatapku dalam, dan untuk ke sekian kalinya, aku buta menjawab rahasia di balik matanya itu. "Kita tidak bisa bercerai sekarang. Kamu sedang hamil."
***
[UPDATE SETIAP HARI SABTU & AHAD]
Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini secara lengkap di :
KBM App : Es_Pucil
Dreame : Es Pucil
***
Mari kenalan :
Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III
🔺🔺🔺
Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro