Bab 9
Khaelia berjalan melintasi lobi dari pintu samping dengan sedikit kikuk. Takut kalau akan terpergok orang lain. Bagaimana tidak, Carter memintanya datang ke kantor malam ini tanpa menggunakan bra dan celana dalam. Bagian atas kemeja putih dengan rok selutut. Terpaksa Khaelia menutupi tubuhnya dengan jaket abu-abu, agar putingnya yang menegang tidak terlihat. Untungnya Carter mengirim uang untuk ongkos taxi, kalau tidak pasti dirinya bangkrut karena tidak bisa lagi berhemat dengan berangkat kerja menggunakan angkutan umum.
Ia memelankan langkah saat melihat tiga sosok perempuan dari pemasaran yang waktu itu pernah dilihatnya. Tidak ingin bertemu mereka apalagi berebut lift, ia memilih untuk berhenti di dekat pilar. Ketiga perempuan itu bicara sambil tertawa-tawa gembira. Khaelia mengamati mereka dalam diam, teringat akan beberapa temannya yang sekarang tidak pernah lagi mengubunginya.
Saat di kantor yang lama, Khaelia dekat dengan beberapa teman kantor. Posisinya sebagai sekretaris seolah menjadikannya sebagai salah satu teman favorite untuk didekati. Saat itu juga mengenal satu laki-laki tampan yang akhirnya menjadi pacar pertamanya. Saat ia keluar dari perusahaan, bukan hanya pacar yang menghilang termasuk teman-temannya. Rupanya dalam berteman pun tetap memandang harta serta jabatan. Tanpa sadar ia mendesah, menyadari kalau tidak mempunya teman sama sekali. Merapatkan jaket, ia bersiap untuk antri lift saat ketiga perempuan itu sudah naik.
Sialnya ia tidak masuk sendirian karena ada dua laki-laki yang kini ikut antri bersamanya. Mereka sepertinya dari divisi pajak kalau didengar dari pembicaraan.
"Pak Bosman menolak laporanku."
"Samaa, aku sampai pusing harus revisi."
"Kenapa orang tua itu sangat perfectionis?"
"Hei, dia pimpinan kita. Wajar kalau begitu."
"Sepertinya malam ini kita lembur lagi."
Rupanya benar apa yang dikatakan Carter kalau para pegawai di sini menganggap Bosman adalah pimpinan mereka. Padahal yang memeriksa dan menolak laporan pajak adalah Carter. Melangkah ke dalam lift, Khaelia memilih berdiri di sudut. Tanpa disangka satu laki-laki berambut klimis dengan minyak rambut yang seakan dioles terlalu banyak menoleh padanya.
"Kamu baru kerja di sini? Dari divisi mana?"
Khaelia menggeleng gugup. "Kerja di lantai sepuluh bagian cleaning service."
Keduanya saling pandangan sesaat lalu secara bersamaan menatap Khaelia. Satu orang yang bertubuh agak kekar melayangkan tatapan menyelidik dari atas ke bawah.
"Aku baru tahu ada cleaning service di lantai sepuluh dan bekerja saat malam. Memangnya ada orang malam begini?"
"Memang tugasku malam," jawab Khaelia pelan, berharap kedua laki-laki ini cepat keluar.
"Oh, lantai sepuluh itu ruang eksekutif. Hebat sekali kamu bisa kerja di sana, meskipun hanya cleaning service. Boleh aku minta nomor ponselmu?" Laki-laki berambut klimis bertanya sambil mengedipkan sebelah mata. "Kamu sangat cantik, kapan-kapan kita bisa makan bersama atau menonton."
Khaelia menggeleng cepat. "Maaf, Pak. Nggak bisa ngasih nomor ponsel."
"Kenapa? Kamu minder sama aku? Jangan minder. Kita sama-sama kerja di sini. Aku janji akan memberimu pengalaman berharga."
Lift membuka di lantai sepuluh, Khaelia bernapas lega. Bergegas keluar tanpa mengucapkan salam pada keduanya. Ia tidak tahu apa motif laki-laki itu meminta nomor ponselnya, tapi tidak suka dengan cara menatap yang meremehkan. Meskipun ia cleaning service sekalipun, tidak akan sudi berkencan dengan laki-laki seperti itu.
Tiba di dalam kantor, Khaelia membuka jaket. Rasa dingin seketika menyerangnya. Ia menyampirkan jaket ke punggung kursi. Merapikan barang-barang dan menyiapkan dokumen untuk Carter. Selesai semua, menyalakan mesin espresso, lalu duduk di kursinya dan membuka komputer. Bersiap menunggu boss sekaligus tuannya datang.
**
Langkah Carter tertahan di ruang tengah saat Karenia menarik lengannya dan tanpa diundang memeluk lehernya serta membuatnya tidak berkutik. Karenia tanpa malu memegang lehernya dengan erat. Tersenyum manis dengan tatapan mengundang serta menantang. Carter menghela napas panjang, meredam kekesalannya karena tingkah Karenia.
"Lepaskan aku!"
Karenia memiringkan kepala. "Bagaimana kalau aku nggak mau. Apa kamu mau membantingku, Carter?"
"Karenia, jangan kenanak-kanakan."
"Kamu yang begitu, bukan aku! Semestinya aku nggak akan bersikap begini kalau kamu bisa diajak bicara secara baik-baik. Kamu terlalu angkuh dan dingin Carter."
"Ingat posisimu, ingat tunanganmu!"
"Memangnya kenapa dengan tunanganku? Fredo tahu kalau kita ini kerabat atau sepupu jauh. Kita masih keluarga, memang apa salahnya kalau aku mengunjungimu?"
Carter tidak dapat menahan dengkusan mendengar kata sepupu dari mulut Karenia. Mereka memang masih ada hubungan kerabat jauh tapi sikap Karenia padanya sama sekali tidak seperti keluarga pada umumnya. Selaly obsesif, menguasai, dan mengejarnya tanpa ampun. Karenia selalu mengatakan mencintainya padalah Carter tahu persis itu adalah kebohongan. Yang dikejar oleh perempuan ini adalah harta dan kekuasaannya, bukan cinta sejati seperti yang didengungkan.
"Karenia, aku harus kerja."
Dengan sekuat tenaga Carter berusaha menyentakkan pelukan Karenia di lengannya tapi sulit. Tubuh Karenia menempel makin erat dan bahkan dengan sengaja mengecup pundaknya. Menciptakan noda lipstik di sana.
"Apa-apaan kamu ini?!"
Carter berteriak marah dan Karena hanya tergelak. "Jangan kesal, Sayang. Anggap saja itu hadiah dariku. Siapa suruh kamu sombong sekali."
Sekarang ini Carter bukan hanya merasa marah dan kesal tapi juga sangat geram. Karenia boleh saja beranggapa apa yang dilakukannya bukan hal buruk tapi bagi Carter sangat menganggu. Kalau tidak ingat hubungan mereka, ingin rasanya ia mendorong perempuan ini hingga terjengkang ke karpet. Saat ia dilanda kemarahan yang memuncak, penyelamat datang dalam bentuk adik bungsunya. Clovis menuruni tangga setengah berlari, berdiri di hadapannya dengan sedikit terengah.
"Kak, Mama baru saja telepon katanya ada hal penting. Kakak harus meneleponnya sekarang."
Kata-kata Clovis membuat Karenia melepaskan pelukannya, menggunakan kesempatan itu Carter melesat pergi.
"Thanks, aku akan telepon Mama di mobil."
Carter sungguh-sungguh berterima kasih pada adiknya yang sudah menyelamatkannya dari gangguan Karenia. Ia menstarter kendaraan dan melesat cepat mengitasi halaman menuju jalanan. Merasa lega terbebas dari kukungan rumah besar itu sekaligus Karena yang obsesif. Ia tidak pernah mengerti apa yang diinginkan perempuan itu darinya. Sikapnya dari dulu seperti anjing yang sedang mengejar-ngejar sesuatu. Padahal Carter tidak pernah menyukai Karenia. Justru yang tergila-gila dan sangat mencintai Karenia adalah sang kakak, Carlo.
Mengesampingkan pikiran tentang Karenia, Carter memulai jam bekerja dengan menembus kemacetab malam. Orchesta menggema di dalam kendaraannya. Mengamati lampu-lampu yang menyala di sepanjang jalan dan juga di gedung-gedung bertingkat Carter memikirkan tentang cahaya matahari, Ia nyaris lupa bagaimana teriknya matahari siang karena sudah lama tidak merasakannya. Panas yang membakar kulit, kehangatan yang terpancar kala pagi, dan teriknya hingga membutakan mata, ia ingin sekali merasakan itu. Sayangnya tidak semudah itu mendapatkan hal yang bagi orang lain justru masalah remeh.
Keluar dari dalam mobil, Carter menaiki lift khusus langsung menuju lantai sepuluh. Membuka pintu dan mendapati Khaelia sedang berdiri di dekat mejanya, menerima telepon dari salah satu klien. Ia menghampiri perempuan itu, menatap langsung pada dada yang membusung dengan puting yang tegak dari balik kemeja putih. Tersenyum kecil, mengulurkan tangan untuk mengusap dada serta mendengarkan Khaelia bicara.
"Baik Mr Steven, saya akan bicarakan masalah ini dengan Tuan Carter."
Jempol Carter mengusap puting dan bola mata Khaelia menggelap.
"Tidak ada masalah, Mr Steven. Tuan Carter pasti bisa teleconferen besok malam. Baik, sampai jumpa pukul delapan besok."
Khaelia mengakhiri panggilan dan kini Carter menangkup kedua dadanya. "Sangat indah dan menawan. Tanganku bahkan tidak sanggup menangkupnya."
"Tuan, Mr Steven baru saja menelepon. Dia—"
Kata-kata Khaelia terputus karena Carter kini menyingkap roknya dan mengusap paha.
"Teruskan, apa yang dikatakan Mr Steven?"
Carter mengusap selangkangan Khaelia untuk memastikan perintahnya dilakukan. Tidak ada celana dalam atau kain penutup apa pun, ia tersenyum puas.
"Khaelia, mana laporanmu?"
Khaelia menghela napas panjang, berjuang untuk tetap berdiri dengan jari Carter mengusap-usapnya kemaluannya. Tas hitam di tangan Carter berpindah ke meja, dan Khaelia tetap dengan posisinya. Berdiri dengan kaki membuka, membiarkan jemari yang lentik tidak hanya membelai dan mengusap tapi melakukan banyak hal lain. Ia melaporkan semua pembicaraan dengan klien sambil menggigit bibir menahan desahan. Berkata dengan terbata-bata hingga laporannya selesai.
Carter membalikkan tubuh Khaelia, mendorongnya hingga membungkuk di atas meja. Menaikkan roknya hingga ke pinggang lalu memukul pinggulnya dengan cukup keras.
"Anak pintar! Kamu melakukan apa yang aku suruh dengan baik."
Selesai dengan penyambutan yang tidak terduga, Khaelia duduk di kursinya dengan gamang. Menatap Carter yang kini sibuk dengan pekerjaannya. Ia bingung dengan konsep pekerjaannya sekarang, menjadi sekretaris sekaligus submissive untuk Carter. Menerima bayaran double dan tidak boleh mengeluh. Bukankah sama saja dengan pelacur? Dibayar untuk memuaskan?
Khaelia mulai mengetik surat menyurat untuk klien, mengabaikan rasa sakit yang berdenyut di dada. Memperingatkan diri kalau sekarang dirinya membutuhkan banyak uang demi sang mama dan menjadi melankolis tidak tepat untuk sekarang ini.
"Khaelia, pakailah jaketmu. Sebentar lagi Bosman datang."
"Baik, Tuan."
Meraih jaket di sandaran kursi, Khaelia mulai memakainya. Kembali duduk di kursi dan kali ini meluruskan rok agar Bosman tidak melihat bagian bawah tubuhnya. Padahal mejanya tertutup sepenuhnya, tetap saja ia merasa sangat tidak nyaman.
Bosman datang membawa laporan, duduk di sofa bersama Carter. Khaelia mendengar tentang laporan pajak dan keuangan, teringat akan laki-laki yang mengajaknya berkencan. Ia memikirkan reaksi para pegawai di sini seandainya tahu kalau pimpinan sebenarnya bukan Bosman melainkan Carter. Tentu akan terkejut dan terjengkang.
Carter sangat tegas berbeda dengan Bosman yang lebih toleran. Selain itu Carter bukan tipe orang yang mudah diajak berbasa-basi, ia merasa setiap pegawai yang berusaha untuk akrab akan mundur karena takut atau ditolak terang-terangan. Khaelia tanpa sadar tersenyum, mengangkat wajah dan pandangannya tertuju pada Carter. Di luar dugaan laki-laki itu menangkap pandangannya. Mereka saling tatap sesaat sebelum ia menunduk dan kembali sibuk.
Tidak boleh pecah konsentrasi sekarang, harus tetap fokus karena banyak pekerjaan menumpuk. Khaelia meraih ponselnya yang bergetar, membuka untuk membaca satu pesan masuk. Mengernyit saat membaca nama Carter.
"Cara, jangan tutup kakimu. Buka yang lebar!"
Khaelia kembali memandang Carter yang masih bicara serius dengan Bosman. Heran karena laki-laki itu seolah bisa membaca pikirannya. Ia membuka kaki lebar-lebar dan kembali bekerja. Persetan dengan rasa malu, ini adalah dirinya yang sedang melakukan pekerjaan dari tuannya.
.
.
.malam ini update bab baru di Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro