Bab 3
Waktu berlalu dengan cepat dan tanpa terasa sudah satu bulan Khaelia bekerja dengan Carter. Setiap hari melalui rutinitas yang sama. Membuat kopi, menyusun berkas, melakukan penjadwalan, dan setiap pukul 12 malam keduanya beristirahat 30 menit. Sesekali Carter memanggil pelayan untuk membawa cemilan dan mengajak Khaelia mencicipinya. Dengan senang hati Khaelia memakan semua yang disuguhkan, selain karena gratis semua makanan berkualitas tinggi dengan rasa yang luar biasa lezat. Ia tidak makan camilan dengan aroma mentega yang begitu menggugah. Tidak lupa, berciuman dengan hangat sambil berbagi kopi.
Khaelia tidak pernah tahu kalau ciuman bisa memabukkan dan membuat candu. Ia pernah melakukannya dengan kekasihnya yang dulu, tapi rasanya sungguh berbeda. Dengan Carter ada kehangatan, mendamba, dam gairah yang tersembunyi. Sering kali ia membayangkan bagaimana kalau jadinya tidak hanya berciuman tapi hal lain?
Hal lain seperti apa? Bercumbu? Setelah pertemua hari pertama di mana Carter dengan berani menyentuh lehernya, tidak pernah ada lagi sentuhan. Mereka berciuman dengan tubuh saling mendekat, tapi seolah ada yang kurang? Apakah karena tidak pelukan? Khaelia mendesah, menyadari kalau pikirannya bergerak dengan liar.
"Fokus saja sebagai sekretaris. Jangan pikir hal lain. Ingat, besok terima gaji pertama."
Terlepas dari ciuman yang selalu mereka lalukan, Carter memperlakukannya dengan baik, begitu pula Bosman yang belakangan diketahui adalah asisten pribadi. Satu hal yang tidak boleh dilanggar oleh Khaelia adalah merahasiakan pekerjaannya.
"Kamu boleh bilang kerja di sini, tapi jangan katakan kamu adalah sekretaris Tuan Carter. Ini rahasia antara kita saja," ucap Bosman suatu hari saat menemui Khaelia yang baru naik lift.
"Iya, Pak. Pasti akan saya jaga rahasianya." Bukankah dari hari pertama peringatan itu sudah diberikana? Kenapa Bosman mengulanginya?
"Pegawai di sini tahunya kamu kerja di atas itu bersih-bersih. Jangan tersinggung Khaelia tapi banyak yang tidak tahu keberadaan Tuan Carter."
Kali ini Khelia terbelalak, tergelitik untuk bertanya lebih banyak soal Carter. "Hah, kenapa begitu, Pak? Bukankah Tuan Carter adalah pemilik? Maaf, hanya tanya saja."
Khaelia menggigit bibir, merasa sudah salah kata. Tidak seharusnya bertanya hal yang bukan urusannya. Untungnya Bosman hanya tersenyum dan justru menjawab pertanyaannya.
"Suatu saat kamu akan mengerti alasannya. Sekarang ini yang harus kamu lakukan adalah tetap berada di samping Tuan Carter, apa pun yang terjadi."
Memangnya apa yang bisa terjadi pada Carter yang kaya raya dan berkuasa? Bosman mengatakan seolah-olah Carter berada dalam bahaya. Padahal hampir setiap hari mereka bersama dan sejauh ini tidak ada masalah yang mengggu keselamatan Carter. Setidaknya itu yang diketahui oleh Khaelia. Namun, semua pesan dari Bosman diterima dengan baik tanpa ada bantahan darinya. Sebentar lagi ia akan menerima gaji dan menurutnya menyembunyikan pekerjaannya dari orang luar bukan hal sulit. Lagi pula keluarga bibinya bukan tipe orang yang suka ikut campur urusannya kecuali sepupunya. Kalau itu memang sudah sedari dulu mereka bersaing. Setidaknya dalam bayangan sepupunya yang bernama Mila.
"Baik, Pak. Saya mengerti sepenuhnya."
Setiap malam Khaelia masuk kerja secara diam-diam tanpa banyak pegawai lain tahu. Ia diberi akses khusus dari pintu samping. Saat datang, masih banyak pegawai yang belum pulang dan demi menghindari bertemu mereka, ia datang secara sembunyi-sembunyi. Apakah Khaelia penasaran kenapa cara bekerjanya begitu rahasia? Tentu saja ia ingin tahu tapi demi menghormati privacy Carter, memilih untuk menyimpan semua pertanyaan dalam hati. Laki-laki tampan biasanya suka memperlihatkan keberadaan mereka pada orang-orang, tapi Carter memang berbeda.
"Khaelia, apa kamu punya paspor?" tanya Carter suatu malam.
"Tidak ada, Tuan."
"Sebaiknya kamu mulai membuat dari sekarang."
Khaelia mengagguk, menuruti apa kata Carter dan saat senggang menyiapkan dokumen pribadi untuk membuat paspor. Hampir setiap hari rutinitasnya sama,berangkat kerja saat senja dan pulang menjelang matahari terbit. Setelah tidur cukup, bangun untuk merawat ibunya. Ia tidak segan mengeluarkan uang untuk perawat yang datang bekerja setengah hari kalau dirinya terlalu lelah. Jam kerjanya selalu melewati waktu dan siangnya ia nyaris tidur sepanjang hari.
"Pekerjaan kamu apa, sih? Kasir minimarket lagi?" celetuk Mila saat mendapati Khaelia sedang makan siang.
Khaelia menjawab tanpa kata, hanya menggeleng kecil dengan mulut mengunyah makan sayur sop. Ada telur ceplok sebagai lauk. Bukan makanan istimewa tapi cukup mengganjal perutnya.
"Bukan kasir? Tumben. Kerja apa kalau gitu? Biasnya kerja malam kalau nggak minimarket ya bar. Jangan-jangan kerja di diskotik?"
Lagi-lagi Khaelia menggeleng. "Bukan di bar, hanya admin gudang."
Mila adalah gadis berambut ikal sebahu dengan bibir tebal. Mendengkus keras lalu menarik kursi di depan Khaelia. "Padahal sarjana tapi malah suka kerja jadi buruh begitu. Nggak sayang ijazah?"
Dalam benak Khaelia sedang sibuk memikirkan pekerjaan di kantor dan tidak peduli dengan perkataan sepupunya. Sudah biasa Mila selalu menentang pendapatnya, seakan menjadi sepupu paling peduli padahal tidak peduli.
"Temen-temenku yang sarjana semua kerja di kantor besar. Saat weekend pada ngumpul di bar atau karaoke. Sedangkan kamu? Malah jadi admin gudang. Memangnya nggak malu apa kalau suatu saat ketemu teman?"
Khaelia mengangkat wajah dan menatap sepupunya lekat-lekat. Mila memang tidak pernah menyukainya terlebih sekarang saat ia tinggal di rumah ini. Dianggap sebagai penganggu dan menumpang hidup. Itulah kenapa ia menolak bersinggungan. Entah kenapa siang ini Mila sangat cerewet hingga mengesalkan.
"Apa pentingnya omongan orang? Yang penting kerja halal."
Mila tertawa lirih sambil memutar bola mata. "Ye, ye, ye, bilang aja sama piring kosongmu itu, apa pentingnya omongan orang. Lihat aja nanti kalau kalian berkumpul, baru tahu apa artinya diremehkan!"
Apakah Khaelia peduli omongan orang? Tentu saja. Bagaimana pun ia manusia biasa yang punya hati dan pikiran, tetap peduli dengan cemooh orang lain. Masalahnya biaya perawatan sang mama tidak bisa dibayar dengan omongan orang, karena itu ia memilih untuk mengabaikan dari pada sakit hati. Lagipula, kalau teman-temannya serta Mila tahu pekerjaan yang sesungguhnya, mereka pasti iri tapi menciptakan rasa iri orang lain bukan prioritasnya sekarang.
"Kalau takut dengan omongan orang lain, aku memilih untuk tidak bergaul."
"Nggak takut jadi perawan tua karena nggak punya pacar?"
"Masalah itu ada waktunya?"
"Percaya diri sekali kamu! Merasa cantik? Kagak, ah. Wajahmu standar aja. Aku akui dadamu memang cukup besar tapi selebihnya biasa saja."
"Apa kamu kurang kerjaan sampai mengomentari tubuh dan urusan percintaanku? Gimana kalau kamu cari kerja juga?"
Mila menyibakkan rambut ke belakang. "Tentu saja aku akan bekerja, setelah lulus. Targetku adalah Capital Group. Aku yakin bisa masuk sana dengan nilai-nilaiku."
Khaelia enggan menanggapi ucapan sepupunya. Biarkan saja Mili mau melakukan apa yang penting tidak bersinggungan dengannya. Ia bangkit dari meja, mencuci piring wastafel dan bergegas ke kamar sang mama. Bosan bicara dengan Mila yang tidak pernah akrab dengannya. Padahal sepupu tapi saling membenci. Apakah Mila lupa kalau dulu saat masih kecil, dari pakaian, mainan, dan barang-barang lain mereka selalu berbagi?
Berbaring di samping sang mama yang terpejam, Khaelia menyandarkan kepala di bahu yang kurus. Sama sekali tidak ada daging di sana, hanya tulang berbalut kulit. Sang mama tidak pernah sadar, sehari-hari berbaring dalam keadaan mata tertutup. Khaelia berharap kalau keajaiban itu ada dan sang mama sembuh seperti sedia kala.
"Maa, semoga kerjaanku lancar. Nanti kita pindah ke rumah sakit yang bagus, ya, Ma. Biar dapat perawatan yang baik."
Meskipun terpejam, tapi Khaelia yakin sang mama mendengar ucapannya. Ia akan mengumpulkan setiap sen dari gajinya, berhemat sebisa mungkin agar mamanya bisa dirawat di tempat yang lebih canggih. Tidak peduli kalau untuk itu ia harus dicium setiap hari oleh Carter. Lagipula ciuman itu bukan pemaksaan karena dirinya pun menyukainya. Kantuk menderanya dan Khaelia jatuh terlelap di samping sang mama.
**
Carter sedang berdiri di depan cermin. Sibuk memakai kemejanya. Menatap bayangannya di cermin dan mengernyit karena lingkaran hitam di bawah matanya sedikit berkurang. Apakah itu terjadi karena setiap istirahat selalu tidur? Bekerja bersama Khaelia selama satu bulan ini cukup membuatnya puas selain karena gadis itu pekerja yang cekatan tapi juga bisa mengimbangi cara berpikirnya. Khaelia menangkap perintahnya dengan cepat, tidak pernah membantah dan satu hal yang membuat senang adalah bibirnya cukup menyenangkan untuk dicium.
Tanpa sadar Carter tersenyum, mengingat tentang ciuman yang hampir setiap hari dilakukan. Entah apa yang merasukinya tapi seolah ingin mencium Khaelia terus menerus. Kalau bukan karena pekerjaan yang menumpuk, ia akan mencumbu dan meniduri gadis itu. Carter memaki dalam hati karena keinginan gila dalam dirinya. Tidak pernah terjadi sebelumnya ia begitu ingin mencumbu seorang gadis. Ingin sekali melucuti pakaian Khaelia tapi demi menjaga agar sekretarisnya tidak takut, terpaksa memendam niat bejatnya itu.
"Apakah Khaelia sadar kalau dadanya terlihat sangat besar dibandingkan dengan pinggangnya yang kecil?"
Carter mendesah, merasakan hasrat menyerbunya hanya karena teringat Khaelia. Ia harus menyingkirkan semua pikiran buruk kalau ingin Khaelia betah di tempatnya bekerja. Ia kehilangan sekretaris lamanya karena laki-laki muda itu tidak kuat bergadang terus menerus, berganti lagi dengan perempuan dan hanya bertahan satu bulan karena terlalu takut untuk bicara dengannya. Sekretarisnya yang terakhir seorang laki-laki berumut awal tiga puluhan, terhitung cukup lama bekerja, hampir enam bulan tapi akhirnya menyerah karena ingin menikah. Gonta-ganti sekretaris sampai-sampai Bosman kebingungan untuk mencari orang yang bisa menemaninya. Sejauh ini Khaelia tidak pernah mengeluh, ia hanya berharap nafsunya tidak membuat gadis itu pergi.
Selesai berpakaian, ia keluar kamar. Disambut beberapa pelayan yang membungkuk di lorong. Kamarnya berada di lantai tiga, sengaja menggunakan tangga padahal ada lift tidak jauh dari kamarnya. Ia perlu olah raga agar tubuhnya tetap bugar. Rumah keluarga yang ditempatinya terdiri atas lima tingkat dengan belasan kamar tidur. Untuk kolam renang ada di lantai paling atas berikut bar, serta lapangan helipad. Sedangkan garasi mobil ada di lantai empat, menyatu dengan mess untuk karyawan, dapur basah, serta gudang. Lantai tiga dan dua adalah ruang tidur serta perpustakaan dan ruang kerja. Lantai dasar ada dapur bersih, ruang tamu, serta ruang makan yang bisa menampung puluhan orang. Saat mencapai lantai dasar, ia terdiam di tengah pintu menatap anggota keluarganya yang sudah duduk rapi bersiap untuk makan malam.
"Kau terlambat anakku?" Sang mama, seorang perempuan berumur enam puluh tahun dengan gaun hitam glamour mendekati Carter. Bernama Eiwa, perempuan itu masih sangat cantik dengan rambut merah madu. Mengecup pipi Carter dan membimbingnya ke meja. "Duduklah, sebentar lagi makan malam akan dimulai."
Sang papa adalah laki-laki bertubuh gempal dengan rambut kelabu, sedang berbicara serius dengan anak pertama yang bernama Carlo. Duduk di samping Carlo adalah sang istri, Sofia. Sama seperti Eiwa, keduanya juga memakai baju warna hitam, hanya saja gaun yang dipakai Sofia sangat pendek hingga sebatas paha.
Di sisi kanan ada adik laki-laki Carter yang masih remaja bernama Clovis. Memakai kacamata dan sangat pendiam, Clovis sibuk dengan dunianya sendiri.
"Di mana Celila?" tanya Carter pada sang mama.
"Di kamarnya, hari ini kondisinya kembali memburuk."
"Sudah ke rumah sakit?"
"Sudah, tapi tetap sama kondisinya. Mama sudah mengumpulkan banyak donatur darah dengan golongan O-, semoga saja ada yang cocok."
"Bagaimana dengan bayinya?"
"Sama lemahnya dengan sang mama tapi aku yakin bayi itu akan bertahan."
Carter menghela napas panjang, teringat akan Khaelia yang mempunya golongan darah yang sama dengan sang adik dan juga keponakannya. Ia tidak terlalu kuatir lagi tentang pasokan darah. Selama Khaelia sehat, harusnya tranfusi darah bisa dilakukan setiap dibutuhkan. Ia mengingatkan diri untuk memanggil dokter mengecek darah Khaelia.
"Tumben kamu makan malam bersama kamu?" ujar Carlo dari kursi ujung. "Apakah hari ini waktumu untuk bersantai? Enak sekali kamu? Padahal kami yang bekerja saat siang, selalu banting tulang dan kamu enak-enak saja tidur!"
Carter tidak sempat menjawab saat terdengar suara langkah kaki. Sepasang laki-laki dan perempuan muncul dalam balutan pakaian mewah. Si perempuan bergaun biru gelap dengan taburan kristal sedangkan si laki-laki memakai jas lengkap.
"Maafkan kami terlambat!"
Tidak ingin berurusan dengan orang-orang ini, Carter bangkit dari kursi dan tanpa berpamitan menuju lift.
"Carter, mau kemana kamu?" teriak sang mama.
"Berangkat kerja."
"Karenia dan tunanganya baru saja datang. Carter! Di mana sopan santunmu?"
Pintu lift menutup dengan pandangan Carter tertuju pada satu perempuan yang membuat hatinya kesal. Lebih baik di kantor bersama Khaelia karena rumahnya sendiri seperti neraka.
.
.
Di karyakarsa update bab 20.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro