Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 22

Carlo mengerti statusnya sebagai laki-laki yang sudah menikah tanpa perlu diingatkan. Ia punya istri yang cantik dan sexy, sama-sama berasal dari kalangan atas yang tinggal di Soul Hills. Sofia adalah anak dari salah satu petinggi kota, punya kehidupan mapan dengan pekerjaan yang stabil. Idaman bagi para laki-laki yang ingin mencari pendamping. Masalahnya adalah hatinya sedari dulu selalu menjadi milik Karenia, sialnya saingannya adalah adiknya sendiri.

"Bukan urusanmu aku cinta dengan siapa?" sergah Carlo panas. "Aku tanya, apa benar Karenia akan bekerja di sini?"

Carter menggeleng. "Tidak! Untuk apa aku mengganti sekretarisku yang kompeten hanya demi dia?"

Melirik ke arah Khaelia yang menunduk, Carlo melontarkan tatapan mencela. Tidak sempat berkata-kata saat pintu diketuk. Bosman dan seorang pelayan muncul, membawa dua buah gelas berisi moctail dingin.

"Silakan diminum, Tuan."

Menyambar gelas di atas meja, Carlo menatap Bosman lekat-lekat. "Pandai sekali kau ini laki-laki tua. Bisa membantu gadis itu agar tidak terkena amarah. Rupanya kamu dan adikku sama, terbius oleh gadis miskin itu!"

Celaan Carlo dijawab dengan anggukan sopan oleh Bosman. "Tuan terlalu menyanjung. Ini hanya minuman biasa. Saya undur diri."

Khaelia melontarkan tatapan penuh terima kasih sebelum Bosman menghilang ke balik pintu. Kalau bukan karena Bosman, sekarang ini ia yakin akan mendapat omelan dan semburan amarah dari Carlo. Tanpa tahu apa salahnya. Ia hanya tahu Carlo membencinya, tanpa alasan yang tidak dimengertinya. Ia menebak, bisa jadi Carlo membenci apa pun yang berhubungan dengan Carter karena persaingan pribadi antar saudara. Apakah itu juga tentang cinta? Perempuan yang sedang mereka perdebatkan pernah datang kemari dan ia tidak heran kalau itu menjadi sumber masalah. Karenia memang cantik luar biasa.

"Kalau begitu kenapa Karenia meneleponku dan memberi kabar akan bekerja denganmu?"

Carter mengangkat bahu. "Entahlah, kenapa kamu tidak tanya langsung padanya? Tapi, saranku jangan terlalu dekat, ingat ada Sofia."

"Jangan mengingatkan aku tentang hal yang bukan urusanmu. Karenia itu sepupu kita."

"Yeah, sepupu jauh. Kita tidak pernah melihatnya bertahun-tahun. Mendadak dia muncul dan kau jatuh cinta. Sampai sekarang? Yang benar saja!"

"Jangan mengguruiku, Carter. Kamu tidak pantas mengkritik kakakmu sendiri!"

Carter menggeleng, merasa lelah bicara dengan Carlo karena ujungnya selalu soal Karenia. Ia tidak pernah peduli dengan Karenia, tidak pernah menjalin hubungan yang lebih dekat dari sepupu. Soal Carlo jatuh cinta dengan Karenia, itu juga bukan urusannya. Masalahnya ternyata tidak sesederhana itu.

"Khaelia, apa kamu sudah selesai menyalin?"

"Sudah, Tuan!"

"Simpan dan kirim ke emailku, nanti aku periksa."

"Baik, Tuan."

"Kemari barang-barangmu, malam ini kamu pulang lebih awal."

Perintah Carter bukan hanya membuat Carlo tercengang tapi juga Khaelia. Tidak seperti biasanya Carter memintanya pulang lebih awal. Tadinya Khaelia berpikir setelah Carlo pulang, akan membahas tentang pekerjaan yang tertunda tapi ternyata salah.

"Pulang sekarang, Tuan?" tanya Khaelia bingung.

Carter mengangguk, melambai sambil lalu ke udara. "Iya, pulang sekarang. Tidur yang nyenyak."

Khaelia mengangguk, merasa kalau dirinya diusir sekarang. Pastinya Carter ingin membicarakan hal penting yang tidak boleh diketahuinya. Khaelia merasa harus tahu diri untuk tidak ikut campur. Lagipula, pulang kerja lebih cepat juga terhitung hal bagus. Dengan begitu ia bisa istirahat dan tidur lebih lama. Ia sedang membungkuk untuk memungut notes yang jatuh saat suara Carlo tertuju padanya.

"Aku tahu kenapa kamu memilinya, Carter. Selain karena dia punya golongan darah yang sama dengan Celila juga karena bentuk tubuhnya bukan?"

"Diam! Jangan bicara hal ngawur!"

"Hei, kita sesama laki-laki. Bukankah wajar bicara tentang tubuh perempuan. Sekretaris itu cukup sexy dengan ukuran lumayan besar. Sayang sekali, orang miskin. Kalau tidak, bisa jadi aku akan tertarik padanya."

"Aku rasa kau sudah keterlalu, Carlo!"

"Kenapa marah? Jangan bilang kamu kesal karena sekretaris miskin itu kekasihmu?"

Carlo menatap sang adik dengan pandangan menyelidik. Saat ini hatinya senang karena berhasil memancing kemarahan Carter. Adiknya itu selalu tenang, jarang mengumbar emosi, dan itu yang membuat orang-orang terkesan. Tapi tidak baginya karena ia bisa melihat betapa palsu sikap Carter.

Mereka sudah saling kenal dari semenjak lahir. Carlo jelas tahu adiknya pintar memanupulasi. Ada banyak cerita dan peristiwa, di mana Carter bisa lolong dari hukuman orang tua setelah berbuat kenalakan dengan argumen dan sikap manis. Orang tuanya mungkin akan tertipu tapi tidak dengan dirinya. Carter baginya tidak lebih dari iblis bertopeng malaikat.

Khaelia bangkit dari kursi, mengambil jas dan memakainya. Mengancingkan jas hingga nyaris mencapai dagu. Kata-kata Carlo membuatnya sedikit takut. Ia tidak sengaja menjatuhkan notes dan bukan maksudnya mempertontonkan belahan dada. Ia berharap Carter mengerti.

"Tuan, saya pulang dulu," pamit Khaelia.

Carter mengangguk dan menjawab singkat. "Oke!"

Khaelia menimbang-nimbang apakah perlu berpamitan dengan Carlo dan akhirnya memilih untuk bersikap biasa dengan mengangguk sopan dan bergegas pergi. Ia ingin terbebas dari kakak beradik yang sedang berdebat. Sepanjang jalan menuju lift benaknya berkecamuk tentang Karenia yang ingin bekerja menjadi sekretaris Carter. Kalau sampai itu terjadi, lantas bagaimana dengan dirinya? Apakah itu berarti ia harus menjadi pengangguran lagi? Karena tidak mungkin bersaing dengan seseorang yang sudah dikenal baik oleh keluarga Solitare. Melintasi lobi yang sepi, Khealia berusaha mengenyahkan gundahnya. Apa yang akan terjadi biarlah terjadi esok hari. Sekarang ini ia ingin pulang dan merebahkan diri di ranjang kecilnya yang hangat.

Setelah pintu menutup dan sosok Khaelia menghilang, Carter mengalihkan pandangan pada sang kakak. Sebenarnya merasa sangat bosan karena harus membahas hal yang sama, tapi sepertinya Carlo tidak akan puas sampai mendapatkan jawaban yang diinginkan. Carlo akan terus mencecarnya, dan bersikap menyebalkan. Sebenarnya itu tidak masalah asalkan jangan menyerang Khaelia. Ia tidak suka melibatkan orang yang tidak ada hubungan dengan mereka.

"Kenapa diam, Carter? Kamu mengakui kalau gadis miskin itu kekasihmu?"

"Kalau memang benar, tidak ada masalah buat kami. Aku dan Khaelia sama-sama sendiri. Berbeda dengan kamu dan Karenia. Ingat, dia sudah bertunangan dan akan menikah. Kamu sendiri punya istri yang rupawan, Sofia. Apa yang kurang dari dia sampai-sampai kamu tidak bisa melupakan Karenia?"

Carlo mencengkeram pinggiran sofa, menatap garang pada adiknya. "Jangan sok diplomatis sampai memberiku nasehat."

"Hal yang sama berlaku untukmu. Jangan ikut campur dengan masalahku, dengan pekerjaanku, terutama dengan Khaelia. Biarkan dia bekerja dengan tenang, mamanya baru saja meninggal. Khaelia sebatang kara, apa kamu tega membuatnya ketakutan?"

Kata-kata Carter membuat Carlo tergelak. "Wah, mulai kapan Carter berubah menjadi malaikat?"

"Bukan perkara malaikat, setidaknya kita menghargai anak buah kita."

"Terserah kamu saja. Aku hanya memastikan dua hal saat datang kemari. Kalau Karenia ingin bekerja di sini, kamu harus menolaknya. Itu satu hal pertama. Hal kedua adalah, proposal tender baru sebaiknya serahkan padaku. Dengan segudang pengalamanku yakin akan menyelesaikan jauh lebih cepat dari kamu dan aku jamin Paman Kallen akan suka dan puas."

Carter menangkupkan jemari di depan tubuh, menimbang-nimbang ucapan sang kakak. Akhirnya niat sesungguhnya dari Carlo terungkap. Bukan hanya soal Karenia tapi juga perusahaan. Sedari kecil mereka terbiasa bersaing, itu karena didikan sang papa. Carlo yang merasa anak tertua tidak suka dilangkahi, sebaliknya juga bagi Carter. Meskipun berstatus adik, tidak ingin mengalah begitu saja keinginan Carlo.

"Hal pertama aku bisa pastikan akan menolak Karenia karena sudah cukup dengan Khaelia di sisiku. Sekretarisku cukup kompeten jadi tidak membutuhkan orang lain. Sedangkan masalah kedua, sorry aja kita bersaing. Aku tidak akan menyerahkan tender padamu begitu saja karena ini adalah pekerjaanku."

"Kenapa? Kamu tidak percaya padaku?"

"Salah! Justru kamu yang tidak percaya padaku. Carlo, aku lebih dari mampu membuat tender ini berhasil. Kenapa kita tidak kerja sama alih-alih saling bersaing. Bagaimana pun kita saudara."

Bangkit dengan wajah mengeras, Carlo melontarkan tatapan mencela pada Carter. Mereka memang bersaudara tapi tidak pernah ada rasa kasih sayang. Persaingan dari kecil bertahan hingga dewasa dan bahkan berubah menjadi permusuhan. Sayang sekali Carter terlalu lembut dalam menghadapinya, padahal Carlo ingin tanggapan yang keras dengan emosi yang meledak-ledak, dengan begitu bisa melampiaskan amarah dengan pukulan.

"Jangan bicara tentang sesuatu yang membuatku ingin muntah. Persaudaraan? Yang benar saja. Kamu selalu sok alim dengan menolak Kareni tapi nyatanya, membuatnya berharap."

"Apa urusannya denganmu? Kenapa selalu bawa-bawa Karenia dalam masalah kitaa?"

Carlo tidak menjawab pertanyaan Carter. Tentu saja selalu ada Karenia dalam urusan mereka karena Carlo tidak pernah bisa terima cintanya ditolak dan kalah dengan Carter yang menurutnya, tidak punya kemampuan yang melebihi dirinya.

"Suka atau tidak, Karena akan selalu ada di antara kita."

Carter mendesah frustrasi menatap kakaknya. Entah bagaimana menjelaskan pada Carlo kalau dirinya tidak pernah tertarik dengan Karenia, tidak dulu apalagi sekarang.

"Otak dan hatinya sudah buta karena cinta." Ia menggumam lirih, merasa kasihan pada Sofia karena tidak pernah mendapatkan cinta suaminya
.
.
Cerita ini tersedia versi lengkap di Karyakarsa, Playbook dan sedang PO

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro