Bab 20
Keduanya berpandangan di ruang kantor yang luas dan sunyi. Khaelia cukup terkejut mendengar kata-kata Carter tentang pasangan. Berikutnya ia teringat akan perkataan yang sama yang pernah didengarnya. Memang benar mereka adalah pasangan dalam sex dan Carter sedang mengingatkannya akan hal itu. Khaelia mendadak tersadar, meskipun berusaha untuk menjauh dan menghindar tapi ada kontrak yang harus dipenuhi dengan Carter. Ia sudah banyak dibantu untuk biaya rumah sakit dan pamakaman, tidak mengeluarkan uang sepersepun untuk semuanya. Memang tidak patut untuk memutuskan kontrak secara sepihak.
"Maaf, Tuan. Tapi saya belum siap untuk, itu ...."
Suara Khaelia terdengar lirih dan penuh kesedihan. Carter menggunakan telunjuk untuk mengangkat wajah Khaelia.
"Tidak siap untuk apa, Khaelia? Sex maksudmu? Kamu pikir aku tidak punya hati sampai memaksamu bercinta di situasi sekarang?"
Khaelia menggeleng. "Bukan, cuma takut mengecewakan."
"Ckckck, kamu terlalu memandang rendah padaku, Khaelia. Aku tidak akan memaksamu untuk melakuan sesuatu yang tidak kamu suka. Mengajakmu datang kemari selain untuk makan juga memberimu dukungan. Aku tidak bisa datang ke pemakaman mamamu, tidak bisa datang saat kamu sedang sedih dan butuh ditemani. Kondisiku tidak mengijinkan aku keluar saat siang, kamu tahu bukan?"
"Iya, Tuan. Saya mengerti sepenuhnya soal itu."
"Terima kasih, Khaelia tapi aku tidak hanya mengharapkan pengertianmu tapi juga kesadaranmu kalau hidup ini harus berlanjut. Jangan terus berkubang dalam kesedihan, aku rasa mamamu juga tidak akan suka melihatmu menjadi seperti ini Khaelia. Kamu harus bangkit untuk masa depanmu sendiri. Sekarang ini kamu tidak punya orang tua dan penopang, kalau tidak dirimu sendiri yang berusaha. Pikirkan itu mungkin belum muncul darimu sekarang. Saat sedang berduka semua logika akan menghilang. Membutuhkan waktu untuk menganalisa semua hal, tapi jangan lama-lama Khaelia."
Khaelia kembali menunduk, merenungi nasehat dari Carter. Dirinya memang sedang berduka dan perasaan kehilangan mencengkeram hati dengan kuat dan menariknya sangat ketat serta keras. Membuat Khaelia seolah lupa untuk bernapas. Lupa juga kalau esok matahari bersinar dan udara pagi masih sejuk untuk dinikmati.
"Khaelia, sekarang tidak ada tuntutan lagi untukmu agar bekerja saat malam. Kalau memang kamu mau, bisa pindah waktu kerja siang bersama Bosman."
"Tidak, Tuan!" jawab Khaelia cepat dan tegas. "Saya lebih senang bekerja bersama Tuan Carter. Menjadi sekretaris malam jauh lebih menyenangkan buat saya. Memang beberapa waktu ini saya kehilangan arah tapi saya akan kembali, Tuan."
Carter tersenyum lebar mendengar janji Khaelia. "Aku suka semangatmu, memang sudah semestinya kamu begitu. Sekarang aku memberimu waktu berduka, tapi jangan lama-lama. Aku keteteran bekerja sendirian tanpa sekretarisku yang cekatan."
Perasaan Khaelia membaik seiring dengan percakapan yang bergulir dengan Carter. Ternyata bukan belanja gila-gilaan, atau pun ke klub malam dan mabuk sebagai cara menghilangkan duka, melainkan bicara dengan orang yang tepat. Paman dan bibinya pernha datang untuk menghibur, tapi ucapan mereka seolah hanya bergaung saja di kepalanya. Sama sekali tidak ada ketulusan, karena meskipun sang mama pernah dirawat oleh mereka tapi dianggap beban.
Selesai makan Carter mengantarnya ke kontrakan dan Khaelia berjanji akan bekerja dua hari dari sekarang. Ia masih perlu ke rumah paman dan bibinya untuk mengambil sesuatu yang dibawa oleh Mila. Sedari awal ia tidak pernah akur dengan sepupunya itu, harusnya merasa aneh saat Mila mendadak bersikap baik. Ternyata ada hal tersembunyi dari sikap baik sepupunya.
Ia mendatangi rumah sang paman, ternyata ditutup karena tidak ada satu orang pun di rumah. Khaelia bergegas ke toko kelontong mereka dan mendapati bibinya di sana.
"Mila dari kemari nggak pulang. Katanya pergi ke rumah teman dan menginap di sana. Ada perusahaan yang sedang mengadakan tes tidak jauh dari rumah temannya itu. Kenapa kamu cari Mila?"
"Ada sedikit urusan dengan Mila. Bukan hal penting."
"Telepon saja. Kamu ada nomornya bukan?"
Tentu saja Khaelia ada nomor ponsel Mila tapi panggilannya tidak pernah dijawab. Ia tidak ingin bercerita pada bibinya kalau Mila membawa kartu kreditnya tanpa ini. Ia hanya bisa menghela napas kesal saat melihat notifikasi tagihan masuk ke emailnya. Pembelian barang-barang dari departemen store berupa pakaian, make-up, dan makan di restoran. Mila sepertinya berniat menguras uangnya.
Kalau menuruti rasa marah, ingin rasanya mengatakan semuanya pada sang bibi. Agar mereka tahu bagaimana kelakuan Mila yang sesungguhnya. Lagi-lagi Khaelia terhalang balas budi. Tidak enak harus menuntut sesuatu dari orang-orang yang sudah baik padanya.
"Khaelia, kamu nggak ada niat kembali ke rumah kami lagi?"
Pertanyaan si bibi dijawab dengan gelengan kepala oleh Khaelia. Ia tersenyum kecil, merogoh beberapa lembar uang dan memberikan pada perempuan itu.
"Aku nggak mau merepotkan kalian lagi. Selama ini kalian sudah baik pada orang tuaku. Mulai sekarang aku ingin belajar mandiri, terima kasih untuk bantuannya selama ini."
"Apa kamu akan tetap di kontrakan?"
"Iya, di sana sudah terlanjut menyewa untuk satu tahun."
Khaelia berpamitan pada si bibi setelah memberikan uang. Masalahnya dengan Mila, ingin diselesaikan sendiri tanpa melibatkan orang lain. Paman dan bibinya sudah cukup lelah berjualan, tidak perlu lagi dibebani dengan masalah lain.
Ia kembali mencoba menghubungi Mila tapi lagi-lagi tidak tersambung. Dengan terpaksa menelepon pihak bank untuk menghentikan penggunaan kartu kredit.Ia tidak ingin dibebani dengan hutang yang makin menumpuk karena ulah sepupunya yang tidak bertanggung jawab. Setelah memblokir kartu kredit, Khaelia merasa lega. Entah bagaimana membayar tagihan, saat bertemu dengan Mila akan meminta gadis itu bertanggung jawab. Meskipun tidak ada keyakinan untuk itu.
Malam ini pertama kalinya Khaelia kembali bekerja setelah rehat panjang. Memakai mini dress hitam dengan blazer putih, ia memantut diri di depan cermin. Mini dress yang dipakainya mengingatkan akan kejadian di klub dan tanpa sadar membuatnya merinding. Mendadak ia teringat akan sesuatu meskipun secara samar-samar.
"Clovis dengan nama keluarga Solitare. Apakah dia ada hubungan dengan Tuan Carter? Mereka punya nama keluarga yang sama. Jangan-jangan Solitare itu nama tengah?"
Khaelia bergumam tentang pemuda yang pernah menolongnya di klub. Detik berikutnya menggeleng keras untuk menyangkal sesuatu.
"Tidak mungkin kalau dia adiknya Tuan Carter. Adiknya Tuan itu katanya pendiam dan tidak suka keramaian. Tapi pemuda kemarin sepertinya terbiasa dengan hiruk pikuk dunia malam."
Khaelia menyingkirkan bayangan soal pemuda di klub malam sebelum melangkah keluar dari kontrakan. Ia mengusap foto sang mama sesaat sebelum pergi. Menghirup udara petang di depan kontrakannya yang temaram. Rasanya menyenangkan kembali bekerja dan semangatnya menjalani hidup kembali pulih. Khaelia sadar kalau sang mama akan selalu ada di sampingnya, dan tidak akan suka melihatnya terpuruk terlalu lama.
Tiba di gedung, petugas keamanan mengenalinya dan bertanya tentang kabarnya. Ia menjawab ramah, mengatakan sedang sakit. Malam ini sedikit lebih sepi dari biasanya, ia menduga banyak pegawai sedang tidak lembur. Bosman tersenyum saat melihatnya di lorong lantai sepuluh.
"Khaelia, senang melihatmu bekerja lagi."
"Pak Bosman, apa kabar? Terima kasih bantuannya selama pemakaman."
"Jangan sungkan, selain karena tugasku juga karena perintah Tuan Carter. Ngomong-ngomong kamu sudah siap untuk rapat malam ini?"
Khaelia menggeleng bingung. "Malam ini akan rapat dengan cabang negara mana?"
"Bukan dengan cabang luar negeri melainkan dalam negeri. Jajaran staf dan direktu cabang akan berkumpul malam ini di ruang pertemuan lantai dua belas. Khaelia, aku rasa Tuan Carter akan mengajakmu serta."
Entah kenapa Khaelia merasa gugup sekarang padahal sudah biasa mendampingi rapat. Mungkin karena selama ini rapat yang dihadiri hanya lewat internet dan bukan tatap muka secara langsung.
"Tidak perlu gugup dan takut. Yang ingin mereka temui adalah aku. Siapkan saja dokumen, dan selama rapat berlangsung kamu harus ada di sampingku."
Khaelia mengangguk dan bergerak sigap untuk menyiapkan barang-barang serta dokumen sesuai perintah Carter.
"Pak Bosman akan ikut rapat, Tuan?"
"Tentu saja. Kamu pikir dia akan diam saja membiarkanku dibantai?"
Khaelia yang sedang merapikan dokumen terhenti sesaat, menatap Carter dengan was-was. "Dibantai, Tuan? Maksudnya apa?"
Carter tergelak melihat ketakutan Khaelia. Ia menghampiri gadis itu dan memeluk bahunya dengan hangat.
"Aku memberimu kekuataan untuk membantuku melewati pembantaian ini. Khaelia, kamu harus kuat!"
Kegugupan Khaelia meningkat makin kuat terlebih saat tahu kalau yang datang rapat bukan hanya staf tapi juga saudara serta kerabat Carter. Semua orang dengan nama Solitare dan tergabung dengan Capital Group akan ada di rapat. Dada Khaelia berdebar dengan jantung berdetak. Bersama Bosman, ia mengikuti langkah Carter menyusuri lorong menuju lift. Sepanjang perjalanan ketiga tidak bicara sama sekali. Lift membuka di lantai dua belas dan ada banyak orang berdiri di sana. Mereka serempak membungkuk saat melihat Carter.
"Selama malam Tuan Carter!"
Carter hanya mengangguk kecil membalas sapaan mereka. Menuju ke pintu besar yang dijaha dua orang. Mereka membantu membuka pintu dan Khaelia berdiri di depan ruangan luas dengan meja bundar serta kursi-kursi besar warna hitam. Semua orang yang ada di ruangan serempak menoleh saat melihat Carter datang. Berjalan sigap, Carter menuju mejanya yang ada di bagian ujung. Khaelia dan Bosman duduk di kursi tepat di belakangnya.
Carlo bangkit dari kursi dan menunjuk Khaelia dengan dagunya. "Kenapa dia ada di sini?"
Carter membalas tatapan kakaknya. "Khaelia adalah sekretarisku. Dia harus berada di manapun aku berada."
"Kenapa sikapmu sangat berlebihan dengan seorang sekretaris?"
"Menurutmu kenapa?"
Kaka beradik saling berdebat tentang Khaelia yang kini menunduk karena pandangan orang-orang di ruangan tertuju padanya.
.
.
Tersedia di Karyakarsa dan google playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro