Bab 18
Dua Minggu setelah pemakaman dan Khaelia masih berkubang dalam rasa sedih. Mengurung diri di kamar kontrakannya yang kecil dan tidak keluar sama sekali. Satu-satunya hal yang dilakukan hanya makan biskuit, minum, tidur, dan menangis. Hal yang sama terus dilakukan berulang, tidak peduli kalau tubuhnya menjadi kurus dengan kulit pucat.
Khaelia tidak menjawab pesan dari Carter dan Bosman. Tidak mengangkat panggilan dari keduanya. Memilih untuk menyentuh ponsel sama sekali. Hingga di hari kedelapan Mila datang. Gadis itu menggedor pintu kontrakannya.
"Khaelia, keluaar! Ngapain kamu di dalam dan tidak keluar. Jangan-jangan bunuh diri!"
Dengkusan keras keluar dari bibir Khaelia saat mendengar perkataan Mila. Kalau memang diijinkan ia ingin sekali bunuh diri, dengan begitu tidak perlu menahan rasa sakit karena ditinggal sendiri. Bisa berkumpul kembali dengan kedua orang tuanya. Tapi teringat pesan dari sang mama saat masih sehat, yang mengajarkannya untuk berani menghadapi kerasnya hidup dan tidak boleh menyerah apa pun yang terjadi.
"Kematian tidak akan mengakhiri semuanya kecuali apa yang ditakdirkan Tuhan."
Nasehat itu yang menghalanginya berbuat nekat meskipun sangat ingin mengakhiri hidup. Ia sedang bersedih, enggan melakukan apa pun tapi tidak dengan bunuh diri. Gedorang kembali terdengar, kali ini Mila sangat marah.
"Kalau kamu tidak membuka pintu, aku akan mendobraknya. Kalau sampai pintunya rusak, kamu yag harus bayar biaya perbaikan!"
Ancaman Mila membuat Khaelia mengangkat tubuh dari atas ranjang kecil dan berjalan tersaruk menuju pintu. Saat pintu membuka dan matahari menerobos masuk, Khaelia menyipitkan mata dan menutup dengan telapak tangan. Mila mengernyit dan menutup hidup.
"Bau keringat! Jangan bilang kamu nggak mandi berhari-hari?"
Khaelia menggeleng. "Mandi tentu saja. Kamu mau apa kemari? Disuruh orang tuamu? Bilang sama Paman dan Bibi, aku baik-baik saja."
Mila berkeliling kontrakan dengan tangan bersedekap. Pertama kali ia datang ke kontrakan ini dan tidak menyangka kalau keadaannya akan serapi ini. Ranjang kecil, sofa mungil warna pastel dengan meja kaca bulat, serta kamar mandinya pun bersih. Khaelia pintar menata ruangan yang kecil menjadi nyaman untuk ditempati. Bau menyengat yang awalnya ia cium ternyata bukan dari ruangan ini melainkan dari kamar sebelah. Ia menatap lemari yang cukup besar dengan rak sepatu. Ada sekurang-kurangnya lima pasang sepatu. Rasa penasaran membuat Mila bergegas ke arah lemari dan membukanya.
"Hei, apa-apaan kamu ini?" teriak Khaelia.
Untuk sesaat Mila terbelalak pada banyaknya pakaian kerja milik Khaelia. Ada yang ditumpuk, dan sebagian digantung rapi. Jauh lebih banyak dari terakhir melihatnya saat mereka masih serumah. Rupanya beberapa bulan bekerja membuat Khaelia mendapatkan banyak uang untuk membeli setelan. Mila meraba beberapa permukaan pakaian yang halus dan merasa sangat iri. Sampai sekarang ia masih belum menemukan pekerjaan yang cocok dan menganggur membuatnya frustrasi.
"Mila, mau apa kamu?" tanya Khaelia.
Mila menyambar minidres hitam tanpa lengan dan memberikan pada Khaelia. "Pakai ini?"
Khaelia tertegun dengan gaun di tangan. "Kita mau kemana? Kenapa harus pakai ini?"
"Aku akan mengajakmu ke suatu tempat untuk melupakan kesedihan. Sebagai saudara yang baik sudah pasti harus saling bantu. Cepat ganti, aku tunggu!"
"Tidak! Aku sedang nggak mood kemana-mana."
"Oh, jadi niat untuk terus berduka? Memangnya mamamu bakalan senang kalau kamu gini? Setidaknya pikirkan juga keluargamu. Gara-gara kamu begini papa dan mamaku jadi kuatir. Sedih boleh aja tapi jangan egois. Cepat ganti!"
Khaelia menggigit bibir kebingungan. "Tapi, aku sedang malam pergi."
"Aku sudah di sini untuk jemput. Nggak boleh malas!"
Mila terus mendesak hingga akhirnya Khealia pasrah. Ia berganti pakaian dengan minidress demi agar Mila diam. Sepupunya itu mengancam akan terus mengoceh sampai keinginannya dituruti. Ia bahkan membiarkan Mila merias wajah dan menyisir rambutnya. Hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya karena hubungan mereka yang tidak pernah akur. Entah kemana dirinya akan dibawa pergi, Khaelia sudah pasrah.
Hari sudah malam saat mereka keluar dari kontrakan. Mila memanggil taxi dan meluncur ke pusat kota. Khaelia menatap lampu-lampu yang berpendar di jalanan, kendaraan yang antri dalam kemacetan, para pejalan kaki di trotoar dan beragam kehidupan manusia. Sedikit menyadarkannya kalau kehidupan tetap berjalan seperti yang seharusnya. Setidaknya hidup orang-orang dan bukan dirinya. Ia tidak tahu akan dibawa kemana oleh Mila, yang terpenting bisa membantunya lepas dari rasa sedih yang mengukung.
"Aku jamin kamu pasti senang di sini!"
Teriakan Mila saat keduanya turun dari taxi dan berdiri di depan bar membuat Khaelia kebingunan. Tidak menyangka kalau sepupunya akan membawanya ke tempat seperti ini.
"Mau apa kita kemari?"
"Hah, masih tanya lagi? Tentu saja bersenang-senang. Ayo, masuk!"
Khaelia menggeleng. "Aku nggak mau ke tempat seperti ini. Pingin pulang saja."
"Oh, nggak bisa. Kamu harus temani aku bersenang-senang malam ini!"
Mila tidak menerima penolakan, menarik tangan Khaelia dan membawanya masuk. Musik yang menghentak menyambut mereka. Mila memegang tangan Khaelia agar tidak kabur dam mengajaknya ke meja bar.
"Dua coctail!"teriaknya pada bartender.
Khaelia tetap berusaha untuk pergi, tempat ini membuatnya tidak nyaman. Para laki-laki dan perempuan berada di satu ruangan yang sama, bercengkrama, menari dengan tubuh berhimpit. Alkohol, serta musik yang memekkan telinga. Khaelia merindukan kedamaian kamarnya.
"Minum sampai habis!"
"Apa ini?" tanya Khaelia menatap gelas dengan minuman yang ditata cantik.
"Coctail, enak dan segar."
"Aku nggak mau mabuk."
"Tenang aja, nggak akan mabuk! Ayo, minum!"
Mila mengajak Khaelia bersulang sebelum meneguk minumannya sendiri. Mengulum senyum saat melihat Khaelia juga minum. Gadis yang biasanya pendiam dan lugu, memang harus dipaksa untuk melihat dunia dan saat ini ia sedang melakukan itu. Membantu Khaelia menghadapi kenyataan hidup.
"Aaah."
"Gimana? Segar'kan?"
Khaelia mengangguk, menyeka bibir dengan tisu. "Iya, sangat segar. Satu gelas lagi!"
"Boleh, dua aja sekalian."
Mila sengaja tidak memberitahu Khaelia tentang kandungan alkohol dalam coctail, tidak melarang saat sepupunya menandaskan empat gelas dan mulai oleng. Ia membawa Khaelia ke lantai dansa dan menari berdua.
"Mana kartu kreditmu?" tanya Mila sambil menyorongkan jari.
"Buat apa?" Khaelia sibuk menari, hanya bertanya sambil lalu. Jemarinya merogoh dompet dan memberikan kartunya pada Mila.
"Buat bayar minuman." Mila menerima kartu dan bergegas pergi, membiarkan Khaelia menari sendirian. Ia tidak akan lama, setelah membeli barang-barang yang diinginkan akan kembali menjemput Khaelia. Keinginan belanjanya meronta-ronta saat melihat kartu kredit milik Khaelia. Ia hanya ingin menggunakan sedikit saja dan tidak akan serakah.
Ditinggalkan sendiri, Khaelia yang mabuk menahan kencing. Ia berjalan ke arah dinding, mencari arah toilet dengan langkah sempoyongan. Kepalanya pusing dan perutnya mual. Tiba di toilet ada beberapa orang sedang antri, ia menunggu sambil berdiri memeja. Tubuhnya seolah melayang tidak menginjak tanah. Setelah mengosongkan kandung kemih dan mencuci wajah, ia ingin kembali ke tempat menari. Sedikit kebingungan saat menyusuri lorong remang-remang karena tidak menemukan tempatnya semula.
"Kenapa nakal sekali, Sayang. Pelan-pelanlah."
Khaelia berdiri diam di depan pasangan yang sedang bercumbu. Seorang pemuda berkacamata sibuk menggerayangi kekasihnya. Bibir mereka bertaut dalam kegelapan dengan pakaian setengah terbuka. Si gadis sudah membuka blusnya dan membiarkan jemari kekasihnya meremas dada. Sedangkan jemarinya sendiri sibuk di selangkangan si pemuda. Khaelia terkesiap dan berbalik ingin pergi saat menubruk beberapa laki-laki mabuk. Berjumlah lima orang, pandangan mereka semua tertuju padanya, membuat Khaelia meneguk ludah.
"Ma-af," ucapnya terbata.
Salah seorang maju, mengamati Khaelia dari atas ke bawah. "Cukup cantik, body sexy, dan dadamu besar sekali. Pasti nyaman kalau diremas-remas. Bagaimana kalau kamu ikut kita, Manis?"
Khaelia yang ketakutan mundur dengan cepat dan kini berada di samping pemuda berkacamata. Entah perlindungan apa yang diharapkannya dari pemuda yang tidak dikenalnya tapi setidaknya membantu untuk membebaskan diri dari bahaya.
"Kenapa di sana, Manis? Takut sama kami?"
"Ayolah, kami akan memberimu kesenangan yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya."
Dua laki-laki maju, satu orang mengusap wajah Khaelia dan satu lagi memegang bahu. Khaelia terengah, menahan tangis bercampur takut saat merasakan jemari yang kuat merayap di dadanya. Bersiap untuk menjerit dan mengamuk meskipun tubuhnya gemetar. Ia akan mempertahankan diri apa pun yang terjadi.
"Waah dadamu besar sekali, Manis."
Khaelia menggeleng, air mata berlinang saat jemari mereka mulai menggerayangi tubuhnya. "Jangan, to-long!"
"Kenapa minta tolong? Biarkan kami memberimu kesenangan."
Satu laki-laki berusaha menyingkap minidress dan Khaelia menjerit.
"Mamaa, tolong, Maa. Aku takut, Maa."
Ia memang terbiasa bercinta, bahkan secara brutal dan cenderung kasar dengan Carter tapi didasarkan keinginan sendiri dan tanpa paksaan. Ia menyukai sentuhan serta ciuman Carter dan tidak dengan orang-orang ini. Semua laki-laki yang kini mengelilingnya membuatnya takut.
"Kenapa panggil mama, Sayang. Panggil nama kami."
Terdengar suitan nyaring dari dekat mereka. "Ehm, kalian nggak lihat aku di sini?"
Pemuda yang sebagian tubuhnya tersembunyi di kegelapan, menyingkirkan kekasihnya dan merapikan kemeja lalu berdiri di depan Khaelia. Lima laki-laki asing mengamati pemuda yang baru saja bicara dan terbelalak.
"Tuan Solitaire?"
"Tuan Clovis?"
Clovis tersenyum kecil, melambaikan tangan untuk mengusir lima orang yang memenuhi lorong. Ia sudah sangat kesal pada mereka karena sudah menganggunya. Ia baru saja ingin melakukan oral sex tapi kedatangan mereka yang ingin menganggu seorang perempuan menghancurkan moodnya.
"Pergilah! Jangan sampai membuatku kesal!"
Tanpa pikir panjang dan tidak ada bantahan, kelima laki-laki itu bergegas meninggalkan lorong. Khaelia mendesah dan terjatuh ke lantai dengan tubuh gemetar. Lega karena sudah selamat dari bencana. Entah apa yang terjadi kalau tidak ada yang menolongnya. Membayangkannya saja membuat Khelia takut. Ia tidak pernah ingin datang ke tempat seperti ini kalau bukan Mila. Ditinggalkan sendiri dalam keadaan mabuk dan hampir diperkosa membuat Khaelia bukan hanya merasa takut tapi juga sedih. Harusnya ia tetap di kamarnya, merenungi duka dan kematian dalam sunyi alih-alih malah datang ke sini dan menciptakan masalah.
"Sayang, kenapa berdiri di sini. Ayo, lanjut lagi. Aku sudan nafsu banget."
Suara si gadis terdengar merayu. Menggesekkan tubuhnya pada si kekasih yang terdiam menatap Khaelia.
"Pergilah, aku menyusul nanti."
"Kenapa?"
"Aku bilang, pergi!"
Si gadis melipir sambil mengomel, meninggalkan Clovis yang kini berjongkok di depan Khaelia. Sebenarnya ia bukan tipe orang yang suka ikut campur dan cenderung tidak peduli dengan urusan orang lain. Tapi melihat seorang perempuan menangis sambil menyebut nama orang tua membuat hatinya luluh.
"Hei, kamu. Nggak apa-apa"
Khaelia mengangkat wajah, mengusap air mata dan mengangguk. "Iya, aku baik-baik saja. Terima kasih."
"Di mana temanmu? Kenapa sendirian?"
Khaelia menggeleng. "Nggak tahu di mana dia. Aku ditinggal sendiri."
"Kenapa kamu ikut kemari? Memangnya nggak tahu ini tempat apa?"
"Entahlah, sepupuku bilang katanya tempat ini bagus untuk menghilangkan kesedihan. Mamaku baru saja meninggal dan aku sedih." Khaelia tidak tahu apa yang mendasarinya mencurahkan isi hati pada pemuda yang bbaru dikenalnya. Seakan ia sedang membutuhkan pengakuan dan rasa iba.
"Dasar bodoh! Bisa-bisanya datang ke tempat ini sendirian. Ayo, berdiri. Aku antar ke depan untuk cari taxi. Sebaiknya kamu pulang. Sepertinya kamu nggak cocok ada di sini."
Mencengkeram lengan si pemuda, Khaelia membiarkan dirinya dituntun ke depan dan menyibak kerumunan. Sampai sekarang tidak terlihat sosok Mila. Entah kemana perginya sepupunya itu, setelah mengambil kartu kreditnya. Pemuda yang menolongnya membantunya mencari taxi dan ia mengucapkan terima kasih sebelum masuk. Ingin mengingat siapa nama pemuda itu tapi otaknya buram.
"Terima kasih."
Si pemuda mengangguk kecil. "Pulang dan tidur!"
Taxi meluncur meninggalkan bar dengan Khaelia terisak kecil. Mensyukuri nasibnya yang masih baik karena lolos dari bencana. Ia tidak akan memaafkan Mila karena meninggalkan dirinya sendiri dengan membawa kartu kredit miliknya. Tiga puluh menit kemudian, taxi berhenti pinggiran dekat kontrakannya, Khaelia keluar dengan sempoyongan.
"Khaelia, apakah kamu sengaja bolos kerja untuk mabuk?"
Khaelia menegakkan tubuh saat mendengar suara Carter. Laki-laki itu berdiri di samping mobil hitam mewah yang terparkir tidak jauh darinya. Khaelia meneguk ludah saat melihat Carter mendekat.
"Tuan Carter."
"Ah, masih ingat aku ternyata," jawab Carter dengan kaku. "Dari mana kamu? Ke bar dan mabuk-mabukan? Menyenangkan sekali caramu menjalani duka, Khaelia."
Seolah ada yang mengingatkan tentang dukanya, Khaelia berjongkok di tanah dan menangis keras. Ia tidak peduli sudah berapa kali menangis, tidak peduli juga kalau Carter mengatakan dirinya cengeng. Kelegaan melanda dadanya saat melihat Carter dan membuatnya ingin menangis lebih keras lagi.
Part lengkap di Karyakarsa dan Playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro