Bab 17
Khaelia yang baru tidur dua jam setelah bekerja semalaman, menerima panggilan dari rumah sakit. Ia berlari ke rumah sakit bahkan tanpa berganti pakaia saat dokter mengatakan mamanya kritis. Mamanya tidak bisa bernapas dengan baik dan jantungnya sangat lemah. Berdiri di kaca dengan kedua tangan menempel, Khaelia membiarkan air mata bercucuran di pipinya. Memanjatkan doa-doa serta harapan agar mamanya bisa selamat kali ini seperti yang sudah-sudah. Ia tahu kalau perempuan yang sudah melahirkannya itu adalah manusia kuat. Tidak akan kalah oleh penyakit. Tidak masalah kalau harus menangung semua biaya pengobatan mamanya. Tidak akan pernah mengeluh untuk bekerja sepanjang waktu untuk membuat mamanya tetap hidup. Semua orang boleh meninggalkannya tapi tidak dengan sang mama.
Bibi, paman, serta sepupunya datang setelah ia menelepon mereka. Ketiga kerabatanya itu berdiri di sampingnya dengan wajah dan bahu menenang, menatap dokter serta perawat yang berjuang untuk menyelamatkan mamanya Khaelia.
"Ayo, Mama. Berjuanglah, demi aku. Mama kali ini harus bisa seperti dulu-dulu."
Khaelia bergumam dan merasakan seseorang menyentuh bahunya. Sang bibi menggeleng tanpa kata, memintanya untuk tetap sabar.
"Khelia, kamu harus iklas. Seandainya terjadi sesuatu."
Menggeleng cepat, Khaelia menolak untuk mengakui. "Tidaak! Mama akan baik-baik saja. Dia akan bangkit lagi seperti yang sudah-sudah."
Dengan keyakinan penuh Khaelia mengungkapkan isi hatinya. Ia tahu kalau semua orang sudah menyerah tapi tidak dengan dirinya. Selama mamanya masih bisa bernapas meskipun harus ditopang dengan alat-alat, ia akan selalu berharap. Apapun akan dilakukannya demi sang mama, bahkan menjual raganya sekalipun. Ia siap menjadi budak sex Carte selamanya, asalkan bisa menyelamatkan nyawa orang tuanya. Sayangnya harapan dan doanya kali ini tidak terkabul. Pada hitungan menit, sang mama mengembuskan napas terakhir dan dokter mengatakan kalau pasien meninggal.
"Mamaaa!"
Khaelia berteriak dan menggedor kaca, ingin menerjang pintu agar bisa masuk dan memeluk sang mama. Saat dokter memintanya masuk, ia bergegas ke arah ranjang dan memeluk sang mama kuat-kuat. Menolak untuk menerima kenyataan kalau mamanya sudah pergi.
"Maaa, tidaak! Jangan pergi! Jangan pergi, Maa. Kalau tidak ada Mama, aku sama siapaaa?"
Tangisan Khaelia memenuhi ruang rawat, orang-orang yang tidak tega melihatnya ikut terisak.
"Maa, bangun! Aku punya uang untuk obat, perawatan, dokter yang terbaik tapi Mama harus bangun. Maaa, kenapa diam ajaaa. Mamaaa!"
Layaknya anak kecil yang dengan kehilangan sesuatu yang berharga, Khaelia bukan hanya menangis tapi juga meraung. Tidak peduli kalau tenggorokannya serak. Ia tidak ingin kehilangan sang mama sekarang. Tidak siap hidup sendiri tanpa siapapun. Khelia tidak mau menjadi yatim piatu. Berharap dengan tangisannya ia bisa membuat mamanya bernapas lagi. Sayangnya, takdir Tuhan tidak dapat diubah. Meskipun Khaelia menolak tapi sang mama telah terlanjur pergi.
Dalam duka yang mendalam, Khaelia membiarkan paman dan bibi yang mengurus masalah pemakaman. Ia bahkan lupa memberitahu Carter dan meminta ijin untuk tidak bekerja. Tiga panggilan tidak terjawab dari bossnya membuat Khealia tersadar.
"Maaf, Tuan. Saya ingin cuti selama beberapa hari, mama saya meninggal."
Setelah itu ia tidak lagi memegang ponsel, duduk di samping peti sang mama yang telah terbujur kaku dengan wajah memucat. Yang diinginkan Khaelia hanya satu, menatap wajah sang mama lekat-lekat sebelum dikubur. Ia takut tidak akan bisa melihat wajah itu lagi, tidak akan pernah mendengar suaranya, dan tidak ada lagi perempuan yang menyayanginya. Khaelia menggigil, menahan rasa sedih bercampur dengan takut. Tidak pernah terpikir dalam benaknya menjadi begini takut menjadi hidup. Bagaimana kelak ia menjalani hari-hari tanpa orang tua di sisinya.
"Khaelia harus kuat, harus tegar, dan mandiri meskipun seorang perempuan. Kelak bila terjadi sesuatu Khselia bisa mengurus diri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Tapi, bukan berarti menjadi mandiri tidak membutuhkan bantuan orang. Tetap saja ada saatnya kamu menginginkan uluran tangan untuk menggenggam, teman untuk berbagi cerita serta pelukan hangat. Jangan malu untuk mengatakannya, jangan berhenti untuk mendapatkannya karena itu manusiawi. Khaelia yang cantik, anak mama yang hebat, selamanya akan menjadi orang yang mama cintai."
Kata-kata dan nasehat sang mama disimpan dalam benaknya. Tidak ingin kehilangan memori tentang orang yang dicintainya itu. Bertahun-tahun merawat sang mama yang koma tanpa mengeluh, dan ia siap melakukannya bahkan lima puluh tahun lagi. Tapi mamanya menyerah pada rasa sakit dan meninggalkan Khaelia sendiri.
"Khaelia, ada tamu datang."
Suara sang bibi menembus kesedihan Khaelia. Ia tidak mengatakan pada siapapun tentang kematian sang mama dan mendongak untuk melihat siapa yang datang. Bosman muncul dalam balutan jas hitam, melepas sepatu di pintu sebelum mendatangi Khaelia yang duduk di samping peti. Menepuk lembut bahu Khaelia yang menunduk.
"Tuan Carter tidak bisa datang, dia menitipkan ucapan bela sungkawa. Kamu diberi cuti beberapa hari, biaya administrasi rumah sakit serta biaya pemakaman ditanggung oleh perusahaan."
Pernyataan Bosman tidak membuat Khaelia bergerak dari posisinya. Tetap menunduk dengan kepala berada di antara lutut. Rok hitam lebarnya menutupi kaki dengan, dengan rambut yang dikuncir asal-asalan.
"Kehilangan orang tua memang sangat menyakitkan, Khaelia. Kamu harus kuat."
Khaelia terisak lalu mengangkat kepala. Dengan pandangan tertuju pada peti, ia berucap lirih.
"Pak, tolong sampaikan ucapan terima kasih pada Tuan Carter. Tapi sepertinya saya tidak bisa lagi bekerja di sana. Maafkan saya."
"Khaelia, jangan bicara tentang pekerjaan lebih dului. Kamu sedang sedih."
"Tidaak, saya harus bicara, Pak. Selama ini saya bekerja keras demi mama dan sekarang mama tidak ada lagi. Jadi tidak ada gunanya saya terus bekerja."
"Kamu masih muda."
Khaelia menggeleng cepat. "Tidak ada gunanya umur muda tanpa orang tua."
Bosman menghela napas panjang, kehabisan kata untuk menghibur Khaelia. Ia mengenal perempuan muda yang sedang bersedih ini selama beberapa bulan. Meskipun tidak terlalu akrab, tapi sejauh ini cukup menyukai kepribadian dan cara kerja Khaelia. Tidak pernah absen sembarangan, tidak pernah membantah perintah, bekerja dengan tekun dan bahkan saat lembur pun tidak pernah mengeluh. Yang paling penting adalah Carter puas dengan pekerjaan Khaelia dan tidak pernah komplain sekalipun. Susah payah ia mencari sekretaris yang bisa bekerjaan saat malam, tidak mungkin dilepaskannya begitu saja.
"Kamu sekarang sedang sedih, bicaramu melantur. Aku memberimu waktu untuk menenangkan diri, Khaelia."
Setelah bicara dengan Khaelia, Bosman bangkit dan berpamitan pada si paman dan si bibi. Ia berharap nasehatnya didengar dan dipatuhi oleh Khaelia. Hatinya ikut sedih untuk perempuan muda yang sedang berduka.
**
Carter menatap ruang kerja dengan perasaan sedikit tertekan. Bagaimana tidak, biasanya selalu ada celoteh Khaelia di kursinya. Suara perempuan itu yang lembut saat bicara dengan klien. Ketikan keyboard kala bekerja, langkah kaki beradu dengan lantai dan sesekali tawanya yang renyah menguar kala ada sesuatu yang lucu terjadi. Semua kegembiraan itu lenyap karena duka.
Ia beranjak ke meja Khaelia dan mengusap mejanya. Tidak bisa membayangkan harus bekerja seorang diri tanpa sekretarisnya yang cekatan. Khaelia baginya bukan hanya sekretaris tapi juga budaknya tercinta. Dia akan melakukan apa pun untuk menyeret Khaelia kembali ke sisinya.
"Khaelia mengatakan tidak ingin bekerja lagi, Tuan. Sepertinya sudah kehilangan semangat untuk menjalani hidup. Sepertinya membutuhkan banyak waktu bagi Khaelia untuk pulih seperti sedia kala."
Waktu? Berapa banyak yang dibutuhkan Khaelia untuk pulih, ia sanggup memberikannya. Asalkan kembali lagi kemari. Tidak masalah kalau sampai berminggu-minggu atau bahkan satu bulan, ia akan tetap menunggu.
Carter menghela napas panjang, mengamati meja dengan dokumen tertumpuk rapi. Tidak ada perintah untuk menandatangani ataupun laporan tentang pekerjaan malam ini. Tidak ada pula suara kopi yang diseduh, Carter merasa ruangannya sangat luas dan kosong.
Ia tidak pernah merasa kesepian selama ini. Hidupnya baik-baik saja tanpa pendamping atau kekasih. Baginya kehadiran perempuan hanya merepotkan saja, contohnya Karenia. Tidak peduli bagaimana ia menolak, perempuan itu terus mendesak dan merapat padanya. Karenia memaksa, membuatnya hilang kesabaran untuk bersikap tenang. Sedangkan dirinya paling tidak suka dipaksa.
"Khaelia, semoga saja kamu tidak terlalu lama larut dalam kesedihan. Semoga kamu masih punya pikiran waras untuk tetap bekerja di sini. Jangan menyerah dengan hidupmu, Khaelia."
Sebenarnya Carter ada niat bertemu gadis itu. Ingin mengungkapkan bela sungkawa dan memberikan dukungan secara langsung. Tapi ia tidak bisa keluar saat siang, dan itu membuatnya menyesal. Meskipun sudah meminta Bosman mewakili dan mengurus pemakaman hingga selesai, tetap saja merasa ada yang kurang karena tidak bisa datang secara langsung. Entah apa yang dirasakan Khaelia tanpa kehadirannya. Apakah merasa tidak diperhatikan?
Carter meninggalkan sisi meja Khaelia dan kembali tempatnya. Banyak pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Sementara Bosman membantunya hingga Khaelia kembali kemari. Banyak sekali panggilan masuk ke ponselnya dan membuat Carter bicara sepanjang malam sambil mencatat. Tidak lupa meletakkan catatan di meja Khaelia. Biasanya gadis itu akan menjadwal ulang semua catatan darinya dan merapikannya.
Panggilan dari sang papa membuat Carter mendesah. Ia tidak tahu apa yang diinginkan papanya menelepon tengah malam seperti ini. Bisanya hal yang tidak mengenakan terjadi dan membuat Carter mengangkat panggilan dengan enggan.
"Ya Papa."
"Carter, ada satu hal yang harus kamu lakukan. Ini penting dan tidak boleh kamu tolak."
"Apa?"
"Melakukan perjodohan dengan anak menteri perdagangan. Ini perintah, Carter!"
.
.
.versi lengkap di Karyakarsa dan google playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro