Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13

Carlo dan Sofia baru saja menginjakkan kaki di lantai teras saat kendaraan Carter melesat meninggalkan halaman. Berdecak keras sambil menggeleng, Carlo mendesah kesal. Ia sengaja datang lebih cepat untuk bicara dengan adiknya dan ternyata tidak ada kesempatan untuk itu. Carlo menahan geram karena Carter seolah tidak menghargai kedatangannya. Harusnya menundu sedikit lebih lama sebelum pergi.

"Sepertinya Carter sama seseorang," ucap Sofia mengiringi langkah suaminya.

"Kata mama itu adalah sekretaris baru, Carter."

"Hah, ada urusan apa sekretaris dibawa kemari?"

"Entahlah, bisa jadi mengambil dokumen atau apa?"

Tiba di ruang makan hanya ada Eiwa dan Kaspia. Carlo yang masih marah, mengambil kursi di dekat sang papa dan meminta pelayan menuang anggur.

"Carter kurang ajar! Aku memintanya menunggu padahal."

Kaspia menjentikkan jari dan hidangan pembuka diantar ke meja makan. "Tadi Carter bilang mau makan bersama kita bersama si sekretaris itu tapi entah kenapa batal."

"Ada pekerjaan mendadak," sela Eiwa. "Carter pamitan sebelum pergi."

"Berpamitan hanya padamu tapi tidak denganku. Entah ada apa dengan anak itu, rasanya sulit sekali mengajaknya bicara. Setiap hari ada saja perkara yang dibuatnya." Kaspia menatap Carlo, mengiris daging rusa yang malam ini dijadikan hidangan utama. "Kamu tahu siapa yang dibawanya? Gadis miskin dari area Black Street. Ada begitu banyak kandidat sekretaris dan dia memilih yang miskin? Astaga!"

"Bukankah kita punya agency pencari kerja?" Carlo menyantap dagingnya dan mengunyah perlahan. "Bisa meminta yang sesuai dengan kriteria. Aku rasa ada banyak kandidat yang akan sukarela bekerja untuk kita."

Eiwa menatap suami dan anak sulungnya bergantian. Merasa sedikit lelah karena harus membela Carter padahal anak keduanya itu tidak selayaknya diserang oleh de dan kakaknya sendiri.

"Pa, bukannya aku sudah memberitahumu? Kalau gadis itu, siapa namanya Khaelia? Memiliki golongan darah yang sama dengan Celila."

Sofia yang sedari tadi terdiam, kali ini menatap mertunya dengan tertarik. Pembahasan tentang si sekretaris ini meningkatkan rasa ingin tahunya. Biasanya saat makan malam hanya ada obrolan biasa, tidak jauh dari bisnis dan baru kali ada seseorang yang menarik perhatian keluarga hingga diperbincangkan di meja makan.

"Golongan darah unik, berarti Carter memilih gadis itu demi Celila."

Eiwa mengangguk pada menantunya. "Benar, semua hal yang dilakukan Carter demi Celila dan bayinya. Ada banyak kandidat sekretaris di kota ini, sudah pasti bagus dan mumpuni. Tapi tidak ada yang mempunya golongan darah yang sama dengan Celila. Bukankah itu keunggulan tersendiri?"

Carlo terdiam, meskipun tidak pernah menyukai Carter tapi untuk kali ini sepakat dengan pengangkat sekretaris baru. Bagaimana pun sudah semestinya sebagai saudara saling menjaga. Sayangnya ia sendiri tidak ada keinginan melakukan itu. Carter selalu mempunyai cara untuk membuat orang lain terkesan dan itu membuatnya sebal. Ia selalu kalah satu langkah dengan adiknya. Tidak peduli seberapa keras dirinya dalam berusaha dan melakukan sesuatu, Carter akan mengalahkannya bahkan tanpa susah ppapa.

"Memang harus diakui, Carter soal ini sangat hebat." Kaspia mendukung perkataan istrinya. "tetap saja aku tidak puas! Kalau Celila sudah sadar, mungkin Carter harus mencari sekretaris baru. Perempuan yang lebih berkelas untuk diperlihatkan pada klien kita."

"Pa, mereka kerjanyan malam. Tidak akan pernah bertemu klien." Sofia mengingatkan mertuanya.

"Benar juga. Memang tidak ada gunanya mempunya sekretaris bagus kalau tidak mau bekerja saat malam. Carter itu memang menyusahkan orang lain saja. Untung pekerjaannya bagus!"

Carlo menatap sang papa dalam diam. Semua orang tahu kalau dirinya anak kesayangan papa tapi selalu saja pujian datang untuk Carter. Papanya memang terlihat keras dengan adiknya tapi sebenarnya sayang. Buktinya selalu memaklumi tindakan Carter. Berbeda dengan dirinya yang harus merayu, jungkir balik dulu sebelum mendapatkan persetujuan papanya. Hidup dalam berkeluarga memang tidak adil.

Semua orang mendongak saat Clovis muncul. Memakai kacamata tebal, membawa ransel di punggung dengan buku-buku di tangan, pemuda itu mengangguk pada orang tuanya. Eiwa menepuk kursi di sebelahnya.

"Sayang, ayo, kita makan."

Clovis merapikan letak kacamata dan menggeleng. "Nggak lapar, Ma."

"Kamu pergi seharian, kuliah atau main-main saja?" tanya Carlo pada adik bungsunya. "Umurmu sudah dua puluh lebih, akan lebih baik kalau kamu mulai bekerja di perusahaan kita."

Eiwa menggeleng. "Jangan dulu. Biarkan Clovis menyelesaikan pendidikannya. Masih terlalu muda."

Carlo mendengkus pada sang mama lalu menatap adiknya dengan mencela. "Saat seumurmu aku sudah dibawa papa pulang pergi kantor. Sedangkan kamu dan Carter justru sebaliknya. Menyebalkan menjadi anak pertama."

Clovis terdiam, menatap kakak sulungnya dengan sedikit kesal. Mencoba mencari dukungan sang papa tapi tidak mendapatkannya. Ia mendekati sang mama, mengecup pipinya dengan lembut dan berpamitan.

"Ma, nanti saja aku makannya. Hari ini terlalu capek."

"Naik saja, mandi dan istirahat."

Tidak memedulikan yang lain Clovis bergegas menaiki tangga. Sebelum sang papa berteriak mengajaknya makan, sebelum Carlo kembali mencela, akan lebih baik pergi secepatnya dari sini. Ia tidak pernah suka makan malam bersama selain tidak nyaman karena bersama banyak orang, juga tidak suka mendengar sindiran dari Carlo. Lebih baik di kamar, makan di balkon atau teras kolam renang jauh lebih menyenangkan.

Carlo menatap punggung adiknya yang menghilang di lantai dua. Sekali lagi merasa tidak puas dengan pengaturan di rumah ini. Semua orang dimanjakan dan hanya dirinya yang bekerja keras karena anak sulung. Menyingkirkan piring yang masih tersisa banyak makanan, ia menyesap anggur hingga tandas.

**

Khaelia tidak pernah datang ke tempat seperti ini. Sebuah restoran di pinggir pantai dengan meja bundar serta empat kursi yang mengelilingi. Musik mengalun dari panggung di mana band sedang memainkan irama gembira. Pelayan berseragam mondar-mandir untuk mengantarkan pesanan. Carter memilih olahan kalkun, sedangkan dirinya memilih ikan salmon. Lilin menyala dan bergoyang perlahan karena tiupan angin pantai. Debur ombak berbaur dengan percakapan para pengunjung, musik, serta denting peralatan makan beradu.

Mengiris salmon panggang di atas piring, Khaelia mencoba satu iris kecil dan menyukai rasanya yang gurih dan garing. Mencelup ke dalam saos yang diberi keju permesan serta origano. Sekali lagi Khaelia berusaha untuk bersantai layaknya orang kaya dan menikmati makanan yang harganya selangit. Ia mengingatkan diri untuk tidak menanyakan harga pada Carter atau gajinya akan dipotong.

"Kamu suka masakannya?" Carter bertanya sambil menusuk gading dengan garpu. "Restoran ini sangat ramai karena terkenal dengan masakannya yang enak."

"Memang enak sekali, Tuan."

"Sebenarnya aku ingin mengajakmu makan malam bersama keluargaku tapi aku yakin kamu tidak akan nyaman. Keluargaku akan mengajukan banyak pertanyaan yang akan membuatmu salah tingkah."

"Iya, Tuan."

Khaelia merasa tersentuh dengan alasan Carter yang ingin melindunginya. Tidak banyak boss yang memikirkan begitu rinci tentang anak buahnya.

"Kalau kamu nanti sudah siap, sering datang ke rumahku dan akrab dengan keluargaku, akan tiba waktunya makan bersama mereka."

Tidak pernah terpikir dalam benak Khaelia akan datang ke rumah sang boss dan makan malam di sana. Bertemu dengan mereka saja sudah cukup membuatnya tertekan apalagi harus satu meja. Teringat akan pakaian mewah dengan perhiasan gemerlap seolah akan ke pesta padahal hanya makan malam di rumah, Khaelia akan terlihat pengemis saat berada di antara mereka. Baru pertama bertemu yang ditekankan oleh Kaspia adalah tempat tinggalnya yang berada di Black Street, bukan tentang keahliannya atau hal lain. Memang berbeda urusannya kalau bicara dengan konglomerat.

Di dalam film yang ditontonnya, tidak jarang konglomerat sangat angkuh dan menghina, itu pula yang terjadi padanya. Seharusnya tidak perlu terlalu dipikirkan tetap saja merasa tidak nyaman.

"Khaelia, habiskan makanmu. Setelah ini kita pergi ke rumahku."

Khaelia mengerjap bingung. "Ke rumah Tuan? Balik lagi ke sana?"

Carter menggeleng. "Rumahku, bukan rumah orang tuaku. Ada di sekitar sini makanya aku bawa kamu. Biar kamu bisa lihat."

"Tuan tidak tinggal bersama keluarga?"

"Lebih sering di sana memang karena aku ingin dekat dengan Celila dan anaknya. Tapi sesekali aku ke rumah pribadi. Biasanya untuk menenangkan diri kalau sedang ada masalah, atau pun ingin istirahat dengan tenang. Rumah orang tuaku sering kali banyak orang datang."

Rumah keluarga Carter sangat besar, bahkan setara dengan mall. Kalau pun ada yang datang, tidak akan menganggu satu sama lain. Bukankah alasan Carter sedikit tidak masuk akal? Kecuali kalau tamu yang datang mencapai ratusan. Itu pun masih sangat luas, mengingat halaman dengan danau serta lapangan golf.

Selesai makan Carter membawa Khaelia ke komplek perumahan yang masih satu wilayah dengan Soul hills. Mobil mewah diparkit berjejer sepanjang jalan, kafe dan bar berderet rapi, serta orang-orang dengan pakaian mahal mereka mondar-mandir sambil bergurau, Khaelia merasa dirinya berada di dunia lain.

Rumah Carter tidak kalah megah dari rumah keluarganya, bedanya hanya dua lantai dan halaman tanpa lapangan golf. Pelayan berderet menyambut kedatangan mereka di depan pintu.

"Selamat datang, Tuan."

Carter mengangguk. "Kalian semua kembali ke kamar dan tidak ada yang boleh muncul di sini tanpa dipanggil."

"Baik, Tuan."

"Ayo, kita ke kamar!"

Khaelia mengikuti langkah Carter menuju lantai dua. Bertanya-tanya apa yang akan mereka lakukan saat di kamar. Sepertinya itu bukan pertanyaan sulit untuk dijawab..
.
.
Bab 55 akan update malam ini di Karyakarsa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro