Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12

Carter menjauhkan jemarinya dari pipi Khaelia. Menatap pada orang tuanya yang baru saja datang. Mereka saling pandang sesaat dan Carter berdehem.

"Pa, Ma, ini namanya Khaelia. Sekretaris yang aku ceritakan."

Eiwa mengangguk sambil tersenyum, mengulurkan tangan pada Khaelia. "Kamu sekretaris anakku?"

"Benar, Madam," jawanb Khaelia dengan gugup.

"Siapa namamu?"

"Khaelia."

"Umur?"

"Dua puluh lima."

"Muda sekali, cantik pula. Golongan darahmu O- benar?"

"Iya, Madam."

Tanya jawab yang singkat dan membuat takut Khealia. Ia berusaha untuk tetap tenang tapi rasanya sangat sulit. Bukan hanya sang mama yang mengintimidasi dengan sikap ramahnya. Sang papa bahkanm jauh lebih menakutkan karena tidak bicara apa pun, hanya menatap Khaelia dari atas ke bawah seolah sedang menilai. Khaelia tanpa sadar mengusap tali tas untuk menghilangkan gugup. Apakah ada yang salah dengan dirinya kemari? Dilihat dari pakaian yang sangat rapi, sepertinya orang-orang di rumah ini hendak ke pesta. Kalau begitu kenapa Carter menyuruhnya datang?"

"Kamu tinggal di Black Street?"

Pertanyaan mendadak dari Kaspia membuat Khaelia sedikit tersentak. "Benar, Tuan."

"Berarti rumahmu berada di kawasan kumuh itu?"

"Papa, apakah kita harus membicarakan masalah tempat tinggal Khaelia sekarang?" sel Carter dengan nada jengkel.

"Kenapa kamu marah? Aku tanya pada sekretarismu itu."

"Paa, apa urusan kita dengan rumah Khaelia?"

Sebenarnya tidak masalah bagi Khaelia kalau ditanya tentang rumahnya, itu kalau dirinya memang memiliki rumah pribadi. Sayangnya sampai sekarang ia masih menumpang di rumah sang bibi dan paman, bahkan sekarang mengontrak di rumah kecil. Ia tidak dapat membayangkan kalau orang tua Carter tahu tentang keadaannya, apa yang akan terjadi? Apakah orang-orang yang datang ke rumah ini diwajibkan mempunyai rumah?

Kaspia berteriak, seorang pelayan laki-laki muncul dengan tergesa-gesa tapi sigap. "Tuan, ada yang bisa saya bantu?"

"Buatkan aku brendiy!"

"Baik, Tuan."

Pelayan itu berbalik arah lalu bergegas ke arah bar untuk meracik minuman. Eiwa mendesah pada suaminya. "Sayang, kita akana makan malam. Kenapa kamu malah minum?"

Kaspia menyambar brendy yang dibawa pelayan di atas nampan kristal. Meneguk perlahan dan dalam sekejap wajah bulatnya menjadi merah.

"Aku harus minum, aku butuh ketenangan. Bagaimana aku bisa tenang kalau anakku sendiri sendiri selalu menentangku!"

Carter mendesah dengan wajah murung. "Kenapa Papa harus bersikap dramatis?"

"Nah-nah-nah, lagi-lagi kamu mengkritikku, Carter? Kamu merasa sudah paling hebat hanya karena berhasil memimpin perusahaan induk?"

"Bicara apa Papa ini?"

Kaspia menunjuk pada istrinya yang berdiri di samping Khaelia yang menegang. "Lihat, bagaimana sikap anak kesayanganmu ini. Membantah dan merasa paling hebat, paling jago, paling segala-galanya! Brengsek!"

Khaelia berdiri gamang, campuran antara rasa bingung dan takut. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi sekarang, kenapa keluarga Carter bertengkar saat ini. Apa yang sedang mereka perdebatkan sekarang? Ia melirik Eiwa yang terdiam sambil menggeleng pelan. Sepertinya Eiwa tertekan dengan sikap suami serta anaknya yang sedang berdebat dan Khaelia tahu ini bukan perdebatan pertama. Apakah penghuni rumah ini memang suka bertengkar? Khaelia tidak mengerti dengan situasi yang dihadapinya, sangat berharap bisa pergi sekarang tapi takut dikatakan tidak sopan.

"Aku akan memarahi Carter nanti," jawab Eiwa. "Biarkan dia membawa Khaelia menemui Celila lebih dulu."

Carter mendorong bahu Khaelia yang tertegun. "Kami ke atas dulu, Ma."

"Kalian nanti makan malam di sini bukan?"

Carter mengangguk. "Tentu saja, Khaelia dan aku tidak ada niatan makan di luar."

Sekali lagi Khaelia dibuat tidak mengerti dengan orang-orang di rumah ini. Mereka membicarakan tentang makan malam. Bukankah mereka ingin keluar untuk berpesta? Gaun putih Eiwa setelan Kaspian menunjukkan itu. Namun Khaelia tidak punya banyak waktu untuk berpikir saat tubuhnya didorong ke dalam lift.

"Kita kemana Tuan?" tanya Khaelia saat lift membuka dan Carter mengajaknya menyusuri lorong berkarpet persis seperti hotel. Karpet tebal yang bisa meredam langkah dan membuat nyaman bagi orang yang berjalan di atasnya.

"Bertemu seseorang di balik pintu ini."

Mereka berhenti di depan pintu kayu yang tinggi, lebar, serta tebal. Dengan bentuk kokoh seakan tidak tertembus peluru sekalipun, dengan gagang baja atau besi yang sangat mengkilat. Khaelia tidak heran kalau gagang pintu ternyata dibuat dari perak murni, karena begitu bening dan mengkilat. Carter mengetuk perlahan, pintu membuka dari dalam tanpa suara.

Pemandangan yang dilihat Khaelia saat pintu membuka adalah ruangan luas berdinding putih dengan ranjang besar serta beragam alat-alat medis di sekitar ranjang. Seorang perempuan cantik dan pucat tergolek di atas ranjang. Rambut panjangnya tersisir rapi dan jatuh di bahu. Matanya terpejam dengan bibir mengatup rapat. Wajah yang tirus dengan pipi yang seakan menyatu dengan tulang. Dagu lancip, bulu mata panjang serta lentik terlihat dari sela kelopak yang menutup. Khaelia tertegun melihat betapa mirip perempuan di atas ranjang dengan Carter.

"Dia adikku, namanya Celila dan yang di dalam box anak laki-lakinya."

Untuk pertama kalinya Khaelia tersadar ada bayi di dalam ruangan. Ia meninggalkan sisi ranjang Celilia dan menuju ke dalam box. Seorang bayi kurus sedang diinfus dalam keadaan tertidur. Hati Khaelia teriris melihat bagaimana kulit bayi yang halus dan rapuh ditembus oleh jarum suntik.

"Tuan, apakah mereka sakit?" tanyanya dengan hati berdenyut sakit. Kembali ke sisi Carter yang masih berdiri di samping Celila.

"Bukan, kecelakaan dan akhirnya koma seperti sekarang. Celila melakukan perjalanan liburan dengan suami dan anaknya ke sebuah pantai. Suaminya menyetir sendiri kendaraan mereka, menabrak pagar pembatas jalan dan mobil melesat melewati jalanan curam tepat di birai pantai. Celila memeluk anaknya dan berhasil selamat meski koma, sedangkan tubuh suaminya terseret ombak. Tidak ditemukan sampai sekarang."

Khaelia menahan napas, mendengar cerita yang begitu tragis dan mengerikan. Samar-samar ia teringat akan pemberitaan dari televisi nasional serta majalah tentang keluarga konglomerat yang mengalami kecelakaan. Ia menoleh pada Carter dan bertanya tanpa sadar.

"Tuan, apakah suami Nyonya Celila bernama Edric?"

Carter mengangguk. "Benar, kamu pasti membaca berita."

Saat itu semua majalah serta televisi berlomba-lomba menyiarkan dan mencari tahu tentang kecelakaan yang menimpa Celila. Khaelia yang tidak mengerti dan mengenal siapa korban hanya melihat sambil lalu. Terjadi beberapa bulan lalu dan sepertinya belum hilang dari ingatannya.

"Bayi selamat karena sang mama memeluk dan menyelamatkannya lebih dulu," gumam Khaelia.

"Itulah yang terjadi. Celila tanpa memedulikan nyawanya sendiri berusaha untuk menyematkan anaknya. Kamu lihat lengan Celila yang luka karena terkena sambaran api."

Suster yang berjaga membuka sedikit selimut yang menutupi lengan Celila dan ada luka bakar yang menganga meskipun tidak mengering.

"Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Edric tidak ditemukan, Celila yang kesakitan dan shock akhirnya koma, sementara keponakanku sakit-sakitan dan lemah. Demi menolong mereka makanya aku membawamu datang."

Carter meraih tubuh Khaelia dan menatap matanya lekat-lekat. Tidak peduli pada Khaelia yang kebingungan melihat sikapnya.

"Tuan, ma-suknya bagaimana?"

"Golongan darahmu sama dengan Celila dan keponakanku. Golongan darah unik di mana tidak setiap manusia punya. Golongan darahmu juga istimewa karena bisa didonorkan untuk bayi, karena itulah aku membutuhkanmu di sisiku, Khaelia."

Khaelia menggigit bibir bawah. "Donor darah maksud, Tuan?"

"Benar, aku membutuhkan darahmu untuk menolong adik dan keponakanku. Karenanya aku sanggup membayarmu mahal, melakukan semua yang kamu minta, memenuhi semua kebutuhanmu asalkan kamu menolong mereka."

"Tuan, bukankah donor darah hal biasa? Saya bisa melakukannya kapanpun, tidak perlu dengan balasan yang berlebihan."

"Tidak! Kamu tidak paham, Khaelia. Yang kita butuhkan bukan donor darah sekali lalu selesai. Bukan begitu. Aku ingin kamu tetap di samping kami, dan datang saat dibutuhkan. Karena itu kamu harus menjagi diri dan tidak boleh terluka."

"Iya, Tuan. Saya pasti lakukan itu."

"Janji, Khaelia? Anggap aku sudah membeli bukan hanya raga tapi juga jiwamu. Ingat, aku ini tuanmu!" Carter mendekat, merengkuh pundak Khaelia dan berbisik. "Budak dilarang untuk membangkang atau akan menerima hukuman berat."

Ancaman Carter membuat bulu kuduk Khaelia merinding. Padahal tanpa perlu diperingatkan sekalipun, ia akan membantu Celila dan anaknya dengan senang hati. Bukankah tugas manusia untuk membantu sesama yang membutuhkan? Setidaknya itu pelajaran moral yang didapat Khaelia dari sekolah dan pengajaran orang tuanya.

Selesai menjenguk sang adik, Carter mengajak Khaelia. "Kamu pasti lapar, aku akan mengajakmu makan malam bersama keluargaku. Tapi aku yakin kamu tidak akan sanggup menelam makanan bila bersama mereka. Ayo, ikut aku makan di luar."

Beberapa menit kemudian, Khaelia meluncur di jalanan di samping Carter yang mengendarai mobil dalam kecepatan sedang. Bagian atas mobil dibuka dan membuat tubuh serta rambut mereka tertiup angin. Khaelia mau tidak mau terpanas dengan indahnya pemandangan di Soul Hills di mana ada barisan bukit, pantai, serta pepohonan hijau di sepanjang jalan. Sangat berbeda dengan Black Street yang padat, pengap, serta penuh polusi dan over populasi. Khaelia tanpa sadar mendesah, merasakan nikmatnya menjadi kaya dengan segudang fasilitas. Dalam hati Khaelia mengucapkan terima kasih pada diri sendiri karena mempunyai golongan darah yang unik dan membuatnya dibutuhkan oleh Carter. Ia melirik laki-laki itu dan dadanya berdesir tidak nyaman. 
.
.
Di Karyakarsa update bab 46-50.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro